Chapter Satu
The Dark Lord Ascending
(Kebangkitan Pangeran Kegelapan)
Dua orang itu muncul secara tiba-tiba, terpisah beberapa meter di sebuah jalan sempit
yang diterangi oleh cahaya bulan. Sesaat mereka berdiri diam, tongkat masing-masing
saling terarah ke dada yang lain. Setelah mengenali satu sama lain, mereka menyimpan
tongkat masing-masing dibalik jubah dan mulai berjalan cepat ke arah yang sama.
"Bagaimana?" tanya orang yang paling tinggi dari keduanya.
"Sempurna," jawab Severus Snape.
Jalan kecil itu dikelilingi oleh semak liar yang rendah disebelah kiri, pagar tanaman yg
tinggi dan terawat disebelah kanan. Jubah panjang mereka berkibar selagi mereka
berjalan bersama.
"Kupikir aku akan terlambat," ujar Yaxley, tubuh lebarnya terlihat dan menghilang di
bawah cahaya bulan yang terhalang dedaunan. "Sedikit lebih rumit dari yang kukira, tapi
kuharap dia puas. Kedengarannya kau yakin bahwa sambutanmu akan bagus?"
Snape hanya mengangguk tanpa memberikan penjelasan. Mereka berbelok ke kanan, ke
arah jalan raya yang lebar yang menjadi ujung jalan kecil itu. Pagar tanaman tinggi yang
mengelilingi mereka membelok di kejauhan, di belakang pagar besi yang menghalangi
jalan kedua lelaki itu.
Tidak satu pun dari mereka menghentikan langkah: dalam kesunyian keduanya
mengangkat lengan kiri mereka dalam penghormatan lalu berjalan menembusnya, seakan
pagar logam berwarna gelap itu hanyalah asap.
Pagar tanaman itu seakan meredam suara langkah kaki mereka. Terdengar sebuah
desikan di suatu tempat di sisi kanan mereka : Yaxley mengacungkan tongkatnya lagi,
mengarahkannya melewati kepala kawannya, tapi sumber desikan itu ternyata hanyalah
seekor burung merak putih yang berjalan dengan angkuh disepanjang puncak pagar
tanaman itu. "Selalu berkecukupan, Lucius. Burung merak..." Yaxley memasukkan
tongkat sihirnya dibalik jubah sambil mendengus.
Rumah bangsawan yang menawan itu terlihat dalam kegelapan di ujung jalan, cahaya
berkilau dari jendela berpanel silang di lantai bawah. Di bagian kebun yang gelap, air
mancur bergemericik. Kerikil berbunyi di bawah kaki mereka ketika Snape dan Yaxley
mempercepat langkah mereka menuju pintu depan yang mengayun terbuka kedalam
ketika mereka mendekat, meskipun tak ada yang membukanya.
Koridor yang mereka lewati berukuran lebar, cahayanya redup, dan dihiasi dengan indah,
permadani mewah menutupi sebagian besar lantai batu. Mata beberapa lukisan berwajah
pucat yang tergantung di dinding mengikuti Snape dan Yaxley selagi mereka lewat.
Langkah dua pria tersebut terhenti di depan pintu kayu besar yang menuju ruang
berikutnya, dan berhenti sejenak untuk mengatur napas, lalu Snape memutar gagang
pintu perunggu.
Ruang tamu dipenuhi orang-orang yang duduk membisu mengelilingi meja hias.
Perabotan yang biasanya menghias ruangan itu telah disingkirkan hingga merapat ke
dinding. Penerangan ruangan itu berasal dari perapian pualam indah yang disepuh kaca.
Snape dan Yaxley berdiri di ambang pintu. Setelah mata mereka terbiasa dengan cahaya
yang redup, mereka melihat pemandangan yang sangat aneh: sosok manusia yang tak
sadarkan diri tergantung aneh; terbalik; jauh diatas meja, sesuatu berputar pelan seperti
digerakkan suatu benang yang tidak terlihat, dan bayangannya terpantul cermin di atas
permukaan meja yang mengilat. Tidak seorang pun yang melihat ke atas, kecuali pemuda
berparas pucat yang duduk hampir tepat di bawahnya. Sepertinya dia tidak mampu
menahan diri untuk melihat ke atas tiap menit.
"Yaxley. Snape," terdengar suara jelas bernada tinggi dari ujung meja. "Kalian hampir
terlambat."
Sosok yang berbicara duduk tepat di depan perapian, membuat kedua orang itu hanya
bisa melihat siluetnya. Saat mereka mendekat, terlihat wajah bersinar dalam kegelapan,
tidak memiliki rambut, seperti ular, dengan celah lubang hidung, dan pupil matanya
berwarna merah vertikal. Wajahnya pucat seolah-olah memancarkan cahaya seputih
mutiara.
"Severus, kemari," Voldemort menunjuk tempat duduk yang berada tepat disebelah
kanannya. "Yaxley- kau disamping Dolohov."
Dua laki- laki itu mengambil tempat yang disediakan untuk mereka. Setiap mata disekitar
meja memandang Snape, dan kepadanyalah Voldemort memulai pembicaraan.
"Jadi?"
"Tuanku, Orde Phoenix berniat memindahkan Harry Potter dari tempat perlindungan
yang selama ini ditempatinya, sabtu depan, menjelang malam."
Ketertarikan di sekitar meja memuncak: Beberapa terdiam, yang lain gelisah, semua
menatap ke arah Snape dan Voldemort.
"Sabtu... menjelang malam," ulang Voldemort. Mata merahnya menatap mata Snape yang
hitam dan mampu membuat beberapa orang memalingkan wajah, mereka terlihat
ketakutan seakan-akan mereka akan dibakar oleh keganasan tatapan itu. Snape, meskipun
begitu, balas menatap Voldemort dengan santai, dan beberapa saat kemudian, mulut
tanpa bibir Voldemort melekuk membentuk senyuman.
"Bagus. Bagus sekali. Dan informasi ini datangnya - "
" - dari sumber yang pernah kita bicarakan," kata Snape.
"Tuanku."
Yaxley memajukan tubuhnya ke depan meja, sehingga dia dapat melihat Voldemort dan
Snape. Semua wajah mengarah padanya.
"Tuanku, berita yang kudengar berbeda."
Yaxley menunggu, tetapi Voldemort tidak berbicara, lalu dia melanjutkan, "Dawlish,
salah satu Auror, mengatakan bahwa Potter tidak akan dipindahkan sampai tanggal tiga
puluh, malam sebelum dia berusia tujuh belas."
Snape tersenyum.
"Sumberku mengatakan ada rencana palsu untuk menipu kita, rencana itulah yang pasti
palsu. Tidak diragukan lagi, Dawlish terkena Mantra Confundus. Ini bukan pertama
kalinya; dia dikenal karena kepekaannya."
"Aku jamin, Tuanku. Dawlish tampak sangat yakin," kata Yaxley.
"Jika dia berada dalam kutukan Confundus, tentu saja dia terlihat sangat yakin," kata
Snape. "Kuberitahukan padamu, Yaxley, kantor Auror tidak lagi ikut campur masalah
perlindungan Harry Potter. Orde tahuu bahwa kita telah menyusup ke dalam
Kementerian."
"Akhirnya Orde benar kali ini, eh?" kata pria bungkuk yang duduk tidak jauh dari
Yaxley; dia mengeluarkan tawa aneh yang diikuti tawa lain di sekitar meja.
Tetapi Voldemort tidak tertawa. Tatapannya terarah ke atas pada tubuh yang berputar
pelan, dan dia terlihat tenggelam dalam pikirannya.
"Tuanku," Yaxley meneruskan, "Dawlish yakin sekelompok Auror akan dipakai dalam
pemindahan anak itu -"
Voldemort mengangkat tangannya putihnya yang panjang, dan Yaxley terdiam, menatap
kecewa ketika Voldemort berpaling lagi pada Snape.
"Dimana anak itu akan disembunyikan nantinya?"
"Disalah satu rumah milik anggota Orde," kata Snape. "Tempatnya, menurut sumber,
telah dilindungi dengan semua perlindungan yang dapat diberikan Orde dan
Kementerian. Kurasa hanya ada sedikit kemungkinan bagi kita untuk membawanya dari
sana, Tuanku, kecuali Kementerian berhasil kita kuasai sebelum sabtu depan,
memberikan kita kesempatan untuk menemukan dan menghapus semua mantra yang ada
di tempat itu."
"Baiklah, Yaxley?" Voldemort menatap ke arah meja, nyala api berkilat aneh di matanya,
"Akankah Kementerian kita kuasai Sabtu depan?"
Sekali lagi, semua kepala beralih, Yaxley mencondongkan bahunya.
"Tuanku, aku mempunyai berita bagus mengenai hal itu. Aku berhasil - dengan beberapa
kesulitan rupanya, dan usaha yang maksimal - memantrai Pius Thickneese dengan
kutukan Imperius."
Beberapa orang yang duduk di sekitar Yaxley tampak terkesan, seseorang di sampingnya,
Dolohov, pria berwajah panjang dan berkerut, menepuk punggung Yaxley.
"Awal yang bagus," kata Voldemort. "Tapi Thicknesse seorang tidaklah cukup.
Scrimgeour harus dikelilingi oleh orang orang kita sebelum kita beraksi. Satu kesalahan
dalam pengambilan nyawa Kementerian akan membuatku kembali menempuh jalan yang
panjang."
"Ya - Tuanku, itu benar - tetapi kau tahu, sebagai Kepala Departemen Pelaksanaan
Hukum Sihir, Thicknesse tidak hanya memiliki kontak dengan Menteri Sihir, tetapi juga
dengan semua kepala departemen di Kementerian. Hal itu, kupikir, akan menjadi mudah
karena pejabat tinggi berada di bawah kendali kita, dan mereka akan mempengaruhi yang
lain, mereka akan bekerja sama untuk menjatuhkan Scrimgeour."
"Selama teman kita Thicknesse tidak ketahuan sebelum dia mempengaruhi yang lain,"
kata Voldemort. "Bagaimanapun juga, Kementerian akan menjadi milikku sebelum sabtu
depan. Jika kita tidak bisa menyentuh anak itu di tempat tujuannya, maka kita harus
melakukannya saat dia sedang dalam perjalanannya."
“Kita memiliki keuntungan, Tuanku,” kata Yaxley, yang tampak meminta dukungan.
"Sekarang kita memiliki beberapa orang di Departemen Transportasi Sihir. Jika Potter
ber–Apparate atau menggunakan jaringan Floo, kita akan segera tahu di mana dia
berada.”
“Dia tidak akan melakukannya,” kata Snape. "Orde tidak akan menggunakan segala
bentuk transportasi yang dikontrol dan diatur oleh Kementerian; mereka tidak
mempercayai apapun yang dikerjakan Kementerian.”
"Akan lebih baik,” kata Voldemort. ”Dia akan dipindahkan secara terbuka. Lebih mudah
untuk ditangkap, pasti!”
Sekali lagi Voldemort mendongak dan melihat tubuh yang terus berputar pelan selagi dia
bicara. ”Aku akan mengurus anak itu sendirian. Terlalu banyak kesalahan yang
melibatkan Harry Potter. Sebagian kesalahan tersebut akulah yang membuatnya. Potter
selamat akibat kesalahanku dan bukan karena keberhasilannya.”
Sekelompok penyihir di sekitar meja memperhatikan Voldemort dengan penuh
kekhawatiran, beberapa dari mereka, terlihat dari ekspresi mereka, merasa takut mereka
bisa saja disalahkan karena keberadaan Harry Potter yang masih ada sampai saat ini.
Bagaimanapun, ucapan Voldemort sepertinya lebih ditujukan untuk dirinya sendiri
daripada kepada sekelompok orang di ruangan itu, pandangannya masih tertuju pada
sosok yang tak sadarkan diri di atasnya.
“Aku telah ceroboh, dan tentu saja dihalangi oleh kesempatan dan keberuntungan, semua
rencana yang kulakukan hanya menghasilkan rencana kosong yang tidak tercapai. Tapi
sekarang aku tahu sesuatu yang lebih baik. Aku mengerti beberapa hal yang tidak
kumengerti sebelumnya. Jika ada orang yang harus membunuh Harry Potter, orang itu
adalah aku.”
Ketika Voldemort mengucapkan kata-kata tersebut, terdengar sesuatu seperti tanggapan
atas perkataan itu, terdengar suara ratapan, dan berlanjut suara tangisan kesengsaraan dan
kesakitan. Beberapa orang melihat terkejut sambil melihat ke bawah meja, karena suara
tersebut seakan-akan berasal dari kaki mereka sendiri.
"Wormtail," kata Voldemort, tanpa perubahan dalam ketenangan suaranya, dan tanpa
mengalihkan pandangan dari sosok tubuh yang berputar diatasnya, "Bukankah aku sudah
menyuruhmu untuk membuat tawanan kita tetap diam?"
“Ya, T- Tuanku,” sahut penyihir kecil yang duduk begitu rendah di kursinya, orang-orang
meliriknya, dan kemudian mengabaikannya. Dia bangkit dari tempat duduknya lalu
berlalu cepat dari ruangan itu tanpa meninggalkan apapun kecuali kilauan benda perak.
“Seperti yang telah kusampaikan,” lanjut Voldemort, sambil melihat wajah tegang para
pengikutnya, "Aku lebih mengerti kali ini. Saat ini juga aku harus meminjam tongkat
salah satu dari kalian sebelum aku membunuh Potter.”
Semua wajah menunjukkan keterkejutan yang luar biasa; seakan Voldemort memberitahu
mereka bahwa dia ingin meminjam salah satu lengan mereka.
"Tidak ada sukarelawan?" kata Voldemort. "Kalau begitu... Lucius, aku tidak melihat
alasan bahwa kau masih memerlukan tongkatmu."
Lucius Malfoy mengangkat kepalanya. Kulitnya terlihat kekuningan dan seperti lilin
dalam cahaya api, dan matanya cekung serta berbayang. Saat dia berbicara, suaranya
terdengar parau.
"Tuan?"
"Tongkatmu, Lucius. Aku ingin tongkatmu."
"Aku..."
Malfoy melirik istrinya yang duduk di sampingnya. Istrinya menatap ke depan, wajahnya
sama pucatnya seperti suaminya, rambut pirangnya yang panjang tergerai di bahunya,
namun tersembunyi di bawah meja, jari-jari kurusnya memegang erat tangan Lucius.
Dengan sentuhannya, Malfoy menarik tongkat yang terselip dijubahnya dan
menyerahkannya pada Voldemort yang mengangkat tongkat itu, mata merahnya
memperhatikan tongkat itu dengan seksama.
“Apa jenis kayunya?”
"Elm, Tuanku," bisik Malfoy.
"Dan intinya?"
"Naga - Serabut hati naga."
“Bagus,” kata Voldemort. Dia menarik tongkatnya sendiri dan membandingkan ukuran
panjangnya. Lucius Malfoy membuat gerakan tak disengaja; sekejap kemudian, dia
tampak berharap menerima tongkat milik Voldemort untuk ditukar dengan miliknya.
Gerakan itu terlihat oleh Voldemort, matanya melebar penuh kedengkian.
"Kau pikir aku akan memberikan tongkatku, Lucius? Tongkatku?"
Beberapa orang terkikik.
“Aku telah memberikan kau kebebasan, Lucius, apa itu tidak cukup untukmu? Dan dari
apa yang kuperhatikan, kau dan keluargamu tampak tidak bahagia akhir-akhir ini.
Apakah kehadiranku di rumahmu sangat mengganggumu, Lucius?”
“Tidak – Tidak sama sekali, Tuanku!”
“Kau berbohong Lucius … “
Terdengar suara mendesis yang bahkan membuat mulut kejam tersebut berhenti bergerak.
Satu atau dua penyihir menunjukkan rasa takut saat desisan tersebut terdengar lebih
keras; sesuatu yang berat terdengar sedang berjalan di bawah meja.
Seekor ular besar muncul dan memanjat perlahan menuju kursi Voldemort. Ular itu terus
berjalan naik dan melingkar pada bahu Voldemort. Tebal leher ular itu sama dengan paha
manusia, matanya dengan pupil celah vertikal, tidak bekedip. Voldemort menyentuh
pelan makhluk tersebut dengan jarinya yang kurus dan panjang, matanya masih menatap
Lucius Malfoy.
"Menapa keluarga Malfoy terlihat tidak bahagia dengan keadaan mereka saat ini? Apakah
dengan kembalinya aku, kebangkitanku untuk menguasai dunia bukan hal yang mereka
inginkan beberapa tahun terakhir ini?”
“Tentu, Tuanku,” kata Lucius Malfoy. Tangannya bergetar saat dia menghapus keringat
di atas bibirnya. “Kami menginginkannya – Sangat.”
Di sisi kiri Malfoy, istrinya bergerak aneh, mengangguk kaku, matanya teralih dari
Voldemort ke ularnya. Di kanannya, anaknya Draco, yang tengah menatap tubuh yang
tidak berdaya di atas, melirik sekilas pada Voldemort dan langsung berpaling, dia terlalu
takut melakukan kontak mata dengan Voldemort.
“Tuanku,” kata seorang wanita berkulit gelap di pinggir meja barisan tengah, suaranya
penuh dengan emosi, "Suatu kehormatan Anda berada di sini, di keluarga kami. Tidak
ada kehormatan yang lebih baik daripada ini semua."
Dia duduk di sebelah saudarinya, dan tidak memiliki kemiripan dengan saudarinya,
rambutnya gelap dan pelupuk matanya tebal, dia terlihat sangat tegas dan rendah diri di
hadapan Voldemort, sedangkan Narcissa duduk diam dan kaku. Bellatrix memajukan
dirinya ke depan meja, tidak ada yang bisa menjelaskan kerinduannya untuk lebih
mendekat.
"Tidak ada kehormatan yang melebihi ini," ulang Voldemort, kepalanya dimiringkan ke
arah lain seolah dia menilai Bellatrix. “Aku menganggapnya sebuah persetujuan,
Bellatrix, darimu.”
Wajahnya seketika berwarna; air mata kebahagiaan mengalir dari matanya.
"Tuanku tahu aku mengatakan kebenaran."
"Tidak ada kehormatan yang melebihi ini... bahkan jika dibandingkan dengan pesta besar,
yang kudengar berlangsung di kediaman keluargamu minggu ini?”
Mata Bellatrix terbelalak, bibirnya membuka, dan dia terlihat kebingungan. “Saya tidak
mengerti maksud anda, Tuanku.”
“Aku membicarakan keponakanmu, Bellatrix. Dan tentunya keponakan kalian juga,
Lucius dan Narcissa. Dia baru menikah dengan si manusia serigala, Remus Lupin. Kalian
pasti merasa bangga.”
Terdengar tawa mencemooh di sekitar meja. Beberapa wajah maju ke depan untuk
memperlihatkan sirat kegembiraan; yang lain memukul meja dengan tinju mereka. Ular
besar, yang membenci keributan, membuka mulutnya lebar dan mendesis marah, tetapi
para Pelahap Maut tidak mendengarnya, mereka menikmati penghinaan yang ditujukan
pada Bellatrix dan keluarga Malfoy.
Wajah Bellatrix, yang berseri gembira, seketika berubah seakan-akan ditumbuhi bisul
jelek dan merah.
“Dia bukan keponakan kami, Tuanku,” dia menangis saat yang lain terlihat gembira.
“Kami – Narcissa dan aku – tidak pernah berhubungan dengan saudara kami sejak dia
menikah dengan si darah lumpur. Anak itu tidak punya hubungan apapun dengan kami
berdua, begitu juga binatang buas yang dia nikahi.”
“Bagaimana denganmu, Draco?” tanya Voldemort, suara pelannya mampu menyaingi
ledekan dan cemohoohan. “Apakah kau akan merawat anaknya itu?”
Kegembiraan memuncak, Draco Malfoy menatap ngeri pada ayahnya, yang hanya
menunduk melihat kakinya sendiri, lalu beralih menatap ibunya. dia menggelengkan
kepalanya nyaris tak terlihat, dan kembali menatap lurus ke arah dinding yang
berlawanan.
“Cukup,” kata Voldemort, menepuk ular yang marah. “Cukup.”
Dan tawapun langsung berhenti.
“Kebanyakan generasi sejak generasi tertua kita semakin lama semakin terinfeksi,” dia
berbicara saat Bellatrix menatapnya, sambil menahan napas dan memohon, "Kau harus
menjaga generasi keluargamu, tetap menjaganya sehat dengan memotong komponen
yang mengancam kemakmurannya."
"Ya Tuanku," bisik Bellatrix, dan sekali lagi matanya dipenuhi air mata terimakasih.
"Dikesempatan pertama!"
“Kau harus melakukannya,” kata Voldemort. "Di keluarga kalian, juga didunia... kita
akan membuang penyakit yang menginfeksi kita sampai hanya mereka yang berdarah
murni yang tersisa...”
Voldemort mengangkat tongkat Lucius Malfoy, mengarahkannya langsung pada sosok
yang berputar pelan yang terikat terbalik di atas meja, dan memberinya sedikit jentikkan.
Sosok itu mulai sadar dengan rintihan dan mulai berusaha melepaskan ikatan tak terlihat
yang mengikatnya.
"Apa kau mengenali tamu kita, Severus?” tanya Voldemort.
Snape mendongak dan melihat pada wajah kacau balau yang terikat terbalik itu. Semua
Pelahap Maut menatap tawanan itu, seolah mereka diberi izin untuk memperlihatkan
keingintahuan mereka. Saat wanita itu berputar menghadap perapian, wanita itu
mengeluarkan suara ketakutan dan gemetar, “Severus! Tolong aku!”
“Ah, ya,” kata Snape ketika tawanan itu berputar pelan sekali lagi.
“Dan kau, Draco?” tanya Voldemort, menepuk pelan moncong ular itu dengan
tongkatnya. Draco menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Saat wanita itu kembali
terbangun, Draco tidak mampu melihatnya lagi.
"Kau tidak perlu mengambil kelasnya," kata Voldemort. "Bagi kalian yang belum tahu,
kita kedatangan seseorang untuk bergabung dengan kita malam ini, Charity Burbage
yang, sampai beberapa waktu yang lalu, mengajar di sekolah Sihir Hogwarts.”
Terdengar bisikan kecil yang penuh dengan pemahaman. Di atasnya, gigi wanita tersebut
bergemelutuk.
“Ya … Professor Burbage mengajar para penyihir muda tentang Muggle... bahwa mereka
tidak berbeda dari kita... “
Salah satu Pelahap Maut meludah ke lantai. Charity Burbage berputar menatap Snape
sekali lagi.
"Severus... kumohon... tolong..."
"Diam," kata Voldemort, menjentikkan tongkat Malfoy, dan Charity langsung terdiam.
"Merasa kurang dengan mengotori dan merusak pikiran para penyihir muda, minggu lalu
Profesor Burbage menulis ketertarikan pada Darah Lumpur di Daily Prophet. Dia
berkata, penyihir harus menerima pengetahuan dan sihir dari para pencuri tersebut.
Berkurangnya darah murni, Profesor Burbage berkata, adalah keadaan yang sangat
penting... Dia ingin kita semua berteman dengan Muggle... atau, tidak diragukan lagi,
manusia serigala..."
Tak ada seorangpun yang tertawa kali ini. Ada kemarahan dan penghinaan dalam suara
Voldemort. Untuk ketiga kalinya, Charity Burbage berputar menatap wajah Snape. Air
mata mengalir dari matanya dan membasahi rambutnya. Snape balas menatapnya, terlihat
tenang, setenang putaran Charity yang menjauh dari pandangannya.
“Avada Kedavra!”
Kilatan sinar hijau menerangi setiap sudut ruangan. Charity jatuh, bedebam keras, jatuh
ke atas meja, yang bergetar dan retak. Beberapa Pelahap Maut terlonjak dari kursi
mereka. Draco jatuh ke lantai.
“Makan malam, Nagini,” kata Voldemort dengan dingin, dan ular besar itu berjalan turun
dari bahunya ke lantai yang mengkilap.
Chapter 2
In Memorandum
(Kenangan)
Harry terluka. Ia menggenggam tangan kanannya dengan tangan kirinya, menyumpahnyumpah
dalam bisikan. Ia membuka pintu kamar dengan bahunya. Terdengar suara
pecahan perabot porselen, dan sebuah pecahan cangkir berisi teh dingin tergeletak di
lantai depan pintu kamarnya.
"Apa-apaan…?"
Ia melihat sekelilingnya, rumah nomor empat, Privet Drive yang sepi. Sepertinya ide
cangkir teh ini adalah salah satu ide jebakan terbaik dari Dudley. Menjaga agar tangannya
yang terluka tetap terangkat, Harry mengambil semua pecahan cangkir itu dengan
tangannya yang lain, dan membuangnya ke tempat sampah di dekat pintu kamarnya. Lalu
ia langsung ke kamar mandi untuk mencuci lukanya.
Sungguh benar-benar bodoh dan membosankan, bahwa ia harus menghabiskan empat
minggu menahan diri untuk tidak menggunakan sihir… tapi ia merasa bahwa luka di
jarinya dapat memaksanya untuk melakukan sihir. Sayangnya ia tak pernah belajar
bagaimana mengobati luka, dan sekarang ia mulai berpikir bagaimana cara
melakukannya. Ia berencana untuk menanyakan caranya pada Hermione, Sekarang ia
menggunakan banyak tisu untuk membersihkan tumpahan tehnya sebelum ia kembali ke
kamar dan membanting pintu kamarnya.
Harry menghabiskan pagi ini untuk mengosongkan koper yang selalu ia gunakan selama
enam tahun terakhir. Pada tahun pertamanya, ia memenuhi kurang lebih tiga perempatnya
lalu kadang mengganti atau menambahkan isinya tiap tahun, dan meninggalkan sisa-sisa
di dasar koper – pena bulu lama, mata kumbang yang telah mengering, dan kaus kaki
yang sudah tidak cukup lagi. Beberapa menit sebelumnya, Harry memasukkan tangannya
ke dalam tumpukan itu, dan menghasilkan rasa sakit yang luar biasa dan pendarahan di
keempat jari tangan kanannya.
Kini ia lebih berhati-hati. Ia berlutut di sebelah kopernya, ia meraba-raba dasar kopernya
dan menemukan sebuah lencana tua yang berkedip-kedip antara DUKUNG CEDRIG
DIGGORY dan POTTER BAU, Teropong Musuh rusak yang sudah tak bisa dipakai lagi,
sebuah liontin emas dengan sebuah catatan dari R.A.B. di dalamnya, dan akhirnya ia
menemukan apa yang melukai jarinya. Ia langsung mengenalinya. Sebuah pecahan
cermin sepanjang lima senti pemberian bapak baptisnya, Sirius. Harry meletakkannya
dan melanjutkan mencari peninggalan lain dari bapak baptisnya. Tapi yang tersisa hanya
sisa pecahan cermin yang tersebar di dasar kopernya.
Harry duduk dan memerhatikan cermin yang telah melukai jarinya, yang dilihatnya
hanyalah bayangan dari mata hijau cerahnya. Lalu ia meletakkan pecahan cermin itu di
atas Daily Prophet terbitan hari ini, yang tergeletak begitu saja di atas tempat tidur.
Butuh empat jam penuh untuk mengosongkan koper, membuang yang tidak perlu,
memilih barang-barang apa yang akan kembali masuk ke dalam koper dan akan ia bawa.
Jubah sekolah, jubah Quidditich, kuali, perkamen, pena bulu, buku sekolahnya, jelas ia
akan meninggalkannya. Ia membayangkan apa yang akan dilakukan oleh paman dan
bibinya, mungkin mereka akan membakarnya, menganggapnya seperti barang bukti
kejahatan. Baju Muggle, Jubah Gaib, bahan membuat ramuan, beberapa buku, album foto
yang Hagrid berikan padanya, setumpuk surat, dan tongkatnya, dipaksa masuk ke dalam
ransel tuanya. Di kantung depan, tersimpan Peta Perompak dan liontin dengan catatan
dari R.A.B. di dalamnya. Liontin itu begitu penting karena begitu banyak hal terjadi
dalam usaha untuk mendapatkannya.
Setumpuk koran tergeletak di meja sebelah burung hantu peliharaannya, Hedwig, yang
datang setiap hari selama Harry menghabiskan liburan musim panasnya di Privet Drive.
Harry berdiri, meregangkan otot-ototnya, dan berjalan menuju meja. Hedwig diam saja
saat Harry mulai membuang koran-koran itu ke dalam tempat sampah. Burung hantu itu
sedang tidur, atau berpura-pura tidur. Ia sedang marah pada Harry karena begitu jarang
mengizinkannya keluar dari kandang.
Begitu tumpukan koran mulai menipis, Harry mencari satu edisi koran yang terbit saat ia
baru tiba di Privet Drive. Ia ingat bahwa di halaman depan tercetak berita kecil tentang
pengunduran diri Charity Burbage, guru Telaah Muggle di Hogwarts. Dan ia
menemukannya. Ia membuka halaman sepuluh, ia duduk di kursinya dan mulai membaca
ulang berita duka yang dicarinya.
MENGENANG ALBUS DUMBLEDORE
oleh Elphias Doge
Pertama kali aku bertemu dengan Albus Dumbledore adalah saat aku berusia sebelas
tahun, di hari pertama kami di Hogwarts. Ketertarikan kami berawal saat kami
diacuhkan oleh orang-orang. Aku baru saja terkena cacar naga sesaat sebelum masuk
sekolah, walaupun sudah tak lagi menular, bekas cacar kehijauan itu membuat hanya
sedikit orang berani mendekatiku. Sedangkan Albus, datang ke sekolah membawa nama
buruk. Beberapa tahun sebelumnya, ayahnya, Percival, ditangkap karena telah
menyerang tiga Muggle muda dengan kejam.
Albus tidak pernah mengelak bahwa ayahnya (yang meninggal di penjara Azkaban) telah
berbuat kesalahan. Sebaliknya, saat aku memberanikan diri untuk bertanya, dia malah
meyakinkanku bahwa ayahnya benar-benar bersalah. Lalu, Dumbledore tidak akan
melanjutkan ceritanya, tidak ingin membicarakan hal-hal sedih, katanya. Walaupun
banyak orang yang mengungkit-ungkit hal tersebut. Beberapa di antaranya, memuji
tindakan ayahnya, dan menganggap bahwa Albus juga seorang pembenci Muggle. Tapi
mereka benar-benar keliru. Karena semua orang tahu bahwa Albus tidak pernah tertarik
dengan gerakan anti-Muggle. Malahan dia sangat mendukung hak-hak Muggle, yang
membuatnya memiliki banyak musuh dalam beberapa tahun terakhir.
Dalam beberapa bulan, nama Albus mulai lebih dikenal daripada nama ayahnya. Di
akhir tahun pertamanya, dia tak lagi dikenal sebagai anak dari seorang pembenci
Muggle, namun lebih dikenal sebagai siswa paling cemerlang yang pernah ada di
sekolah. Dan teman-temannya mendapatkan banyak keuntungan darinya, termasuk
pertolongan dan dorongan semangat yang tulus darinya. Dan dia mengaku padaku
bahwa dia menemukan kesenangan tersendiri saat mengajar.
Dia tidak hanya memenangkan semua hadiah yang sekolah pernah tawarkan, dia juga
secara rutin berkoresponden dengan para penyihir hebat pada masanya, termasuk
Nicolas Flamel, alkemis kenamaan, Bathilda Bagshot, sejarahwati terkemuka, dan
Adalbert Waffling, ahli teori sihir. Beberapa esainya tiba-tiba dipublikasikan di
Transfiguration Today, Challenges in Charming, dan Practical Potioneer. Karir masa
depan Dumbledore sepertinya sudah terukir. Dan pertanyaan yang tersisa hanyalah
kapan kira-kira dia akan menjadi Menteri Sihir. Walau sudah diprediksikan pekerjaan
apa yang akan dia lakukan, dia tidak pernah berkeinginan untuk bekerja di Kementrian.
Tiga tahun setelah dia memulai sekolahnya, saudara Albus, Aberforth, tiba di sekolah.
Mereka benar-benar tidak mirip. Aberforth bukanlah seorang kutu buku seperti Albus.
Dia lebih memilih untuk menyelesaikan masalah dengan berduel daripada beradu
argumen. Namun adalah kesalahan besar bila menganggap kakak beradik ini tidak
saling bersahabat. Mereka berteman layaknya dua orang anak yang berbeda satu sama
lain. Bagi Aberforth, tentu sulit terus hidup di bawah bayang-bayang Albus. Berusaha
terus-menerus untuk menjadi lebih cemerlang, baik sebagai teman ataupun saudara. Saat
Albus dan aku lulus dari Hogwarts, kami berencana untuk berkeliling dunia bersama,
mengunjungi dan belajar dari penyihir lain, sebelum memulai karir masing-masing.
Akan tetapi, sebuah tragedi terjadi. Pada malam keberangkatan kami, ibu Albus, Kendra,
meninggal, meninggalkan Albus sebagai kepala keluarga. Aku menunda
keberangkatanku cukup lama untuk dapat menghadiri penguburan Kendra, dan
melanjutkan perjalananku sendirian. Dengan adik-adik yang butuh diurus, dan hanya
sedikit emas yang tersisa, tidak mungkin Albus bisa menemaniku.
Dan itu adalah suatu masa di mana kami jarang saling menghubungi. Aku menulis pada
Albus, keseluruhan perjalananku. Mulai dari bagaimanan aku berhasil lolos dari
Chimaera di Yunani, hingga bereksperimen dengan alkemis dari Mesir. Suratnya
kepadaku berisi tentang kesehariannya, yang menurutku tentu sangat membosankan
untuk seorang penyihir sehebat dirinya. Terbenam sendiri dalam perjalananku, di tahun
terakhir perjalananku, aku mendengar sebuah berita duka, yang menyatakan bahwa
Dumbledore mengalami tragedi lain, kematian saudarinya, Ariana.
Walau Ariana memang sudah sakit-sakitan, kematiannya setelah kematian sang ibu,
sungguh mempengaruhi kedua saudaranya. Semua orang yang dekat dengan Albus – dan
aku menganggap diriku salah satu di antaranya – yakin bahwa Albus merasa
bertanggung jawab atas kematian Ariana, walaupun tentu saja, dia tidak bersalah.
Saat aku kembali, aku telah menemui seorang pria muda yang sudah mengalami banyak
pengalaman layaknya pria berumur. Albus menjadi lebih berhati-hati dan periang dari
sebelumnya. Dan sebagai tambahan untuk kesengsaraannya, hubungan dengan
saudaranya Aberforth, mulai merenggang. Kemudian, dia mulai jarang membicarakan
keluarganya, dan teman-temannya belajar untuk tidak mengungkitnya.
Cerita lain akan mengungkapkan keberhasilannya di tahun-tahun berikutnya. Kontribusi
Dumbledore yang tak terhitung untuk pengetahuan, termasuk penemuannya atas dua
belas fungsi dari darah naga yang memberi banyak keuntungan untuk generasi
selanjutnya. Begitu pula kearifan yang ditunjukkannya dalam pengadilan saat dia
menjadi Chief Warlock of Wizengamot. Banyak yang berkata bahwa tidak ada
pertarungan yang dapat menandingi duel antara Dumbledore dengan Grindelwald di
tahun 1945. Mereka yang menjadi saksi mata, menggambarkan bagaimana kedua
penyihir luar biasa itu bertarung. Dan kemenangan Dumbledore, yang memengaruhi
dunia sihir dan menjadi titik balik sejarah sihir, atas kejatuhan Dia-yang-Namanya-Tak-
Boleh-Disebut.
Albus Dumbledore tidak pernah membanggakan diri atau menjadi sombong. Dia selalu
menghargai tiap orang yang dia kenal, dan aku percaya bahwa semua tragedi yang
pernah dia alami membuatnya menjadi lebih memiliki rasa kemanusiaan dan lebih
mudah bersimpati. Aku akan sangat merindukan persahabatan ini lebih dari yang bisa
aku ungkapkan, namun rasa kehilangan ini tidak akan memengaruhi dunia sihir. Dia
telah menjadi inspirasi dan merupakan Kepala Sekolah Hogwarts yang paling dicintai.
Dia meninggal seperti saat ia hidup, bekerja dengan kemampuannya yang terbaik hingga
saat-saat terakhirnya, sama seperti saat dia mengulurkan tangannya pada seorang anak
yang terkena cacar naga, saat pertama aku pertama kali bertemu dengannya.
Harry selesai membaca, namun terus menatap gambar yang terpampang di sana.
Dumbledore yang sedang tersenyum ramah, namun tatapan dari balik kacamata bulan
separonya memberikan kesan, walau dalam koran, seakan menembus Harry dan
merasakan kesedihan dan rasa malunya.
Harry merasa sudah sangat mengenal Dumbledore, namun sejak ia membaca berita ini, ia
menyadari bahwa ia hampir tidak mengenal Dumbledore sama sekali, tak pernah sekali
pun ia pernah membayangkan masa muda Dumbledore. Rasanya ia hanya muncul begitu
saja seperti saat Harry mengenalnya – tua, berambut keperakan, dan baik hati. Gagasan
atas Dumbledore saat remaja sungguh aneh, seperti membayangkan bagaimana bodohnya
Hermione, atau seberapa ramah Skrewt-Ujung-Meletup.
Harry tidak pernah berpikir untuk menanyakan masa lalu Dumbledore. Ia yakin akan
aneh dan kurang sopan. Namun, merupakan pengetahuan yang umum tentang
pertarungan luar biasa antara Dumbledore dan Grindelwald, dan Harry tidak pernah
bertanya bagaimana kejadiannya, atau semua pencapaiannya yang membuatnya terkenal.
Tidak, mereka selalu berbicara tentang Harry – masa lalu Harry, masa depan Harry,
rencana Harry, dan bagaimana Harry saat ini – memberitahu bahwa masa depan Harry
begitu berbahaya dan tidak pasti. Namun ia melepaskan semua kesempatan untuk
bertanya tentang Dumbledore. Bahkan pertanyaan pribadi yang pernah ia tanyakan pada
kepala sekolahnya, mungkin tidak dijawab sungguh-sungguh oleh Dumbledore.
"Apa yang Anda lihat saat Anda melihat ke cermin?"
"Aku? Aku melihat diriku memegang sepasang kaus kaki wol tebal."
Setelah beberapa menit berpikir, Harry merobek berita itu, melipatnya hati-hati dan
menyelipkannya ke dalam buku Pertahanan Sihir dan Penggunaannya untuk Melawan
Ilmu Hitam. Lalu ia membuang sisa koran itu ke tempat sampah dan melihat kamarnya.
Kamarnya jauh lebih rapi. Yang tersisa hanyalah Daily Prophet edisi hari ini, masih
tergeletak di atas tempat tidur, yang di atasnya ada pecahan cermin.
Harry berjalan menuju tempat tidurnya, menggeser pecahan cermin dan membuka koran.
Ia telah melihat tajuknya saat gulungan koran itu baru diantar oleh burung hantu, namun
tidak ada berita tentang Voldemort. Harry yakin bahwa Kementrian telah menekan
Prophet untuk tidak memberitakan Voldemort. Tapi sepertinya ada sesuatu yang ia
lewatkan.
Di bagian tengah di halaman pertama, tajuk yang lebih kecil dengan potret Dumbledore
berjalan gelisah.
DUMBLEDORE – KEBENARAN?
Minggu depan, cerita yang mengejutkan tentang penyihir jenius yang dianggap sebagai
penyihir terhebat pada masanya. Mematahkan imej seorang penyihir berjanggut
keperakan yang tenang dan bijaksana. Rita Skeeter mengungkapkan masa kanakkanaknya
yang kurang menyenangkan, masa muda yang tidak mengenal hukum, dan
masa hidup yang penuh perseteruan, dan rahasia yang Dumbledore bawa hingga ke
liang kuburnya. MENGAPA seseorang yang dapat menjadi seorang Menteri Sihir hanya
menjadi kepala sekolah? APA tujuan sebenarnya dari organisasi rahasia yang diketahui
sebagai Orde Phoenix? BAGAIMANA Dumbledore meninggal?
Jawaban dari pertanyaan di atas dan banyak pertanyaan lain akan dibahas dalam
biografi 'Kehidupan dan Kebohongan Albus Dumbledore', yang ditulis oleh Rita Skeeter,
wawancara eksklusif bersama Betty Braithwaite, halaman 13.
Harry membuka korannya dan menemukan halaman tiga belas. Artikel itu berada di
bagian atas halaman dengan potret wajah yang sudah Harry kenal. Seorang wanita
dengan kacamata hias dan rambut pirang ikal, dengan senyum kemenangan yang
menunjukkan giginya yang berjajar rapi, menggelungkan jari-jarinya ke arahnya.
Berusaha untuk tidak peduli pada potret yang memuakkan itu, Harry mulai membaca.
Sebenarnya Rita Skeeter adalah pribadi yang hangat dan lembut bila dibandingkan
dengan artikelnya yang ganas. Menyambutku di rumahnya yang nyaman. Dia langsung
mengajakku ke dapur, menyeduhkanku secangkir teh, dan memberikan sepotong kue, dan
pembicaraan tentang gosip terhangat pun mulai mengalir.
"Ya, tentu saja, Dumbledore adalah sebuah mimpi bagi penulis biografi," kata Skeeter.
"Hidupnya yang panjang. Aku yakin bukuku adalah yang pertama karena akan banyak
pula yang lain."
Skeeter bekerja cukup cepat. Buku setebal sembilan ratus halaman ini hanya ditulis
dalam jangka waktu empat minggu setelah kematian misterius Dumbledore di bulan Juni.
Aku bertanya padanya bagaimana dia bisa menyelesaikannya begitu cepat.
"Oh, bila engkau telah menjadi jurnalis seperti aku, bekerja dengan tenggat waktu yang
pendek akan menjadi kebiasaan. Aku mengerti bahwa dunia sihir sangat menanti untuk
mengetahui cerita selengkapnya, dan aku ingin menjadi orang pertama yang memenuhi
keinginan mereka."
Aku mengatakan padanya tentang komentar Elphias Doge, Special Advisor to the
Wizengamot, yang merupakan teman lama Albus Dumbledore yang menyatakan bahwa
"Fakta-fakta yang ditulis Skeeter, tidak lebih dari fakta yang tertulis di kartu Cokelat
Kodok."
Skeeter berpaling dan tertawa.
"Dodgy sayang! Aku ingat saat aku mewawancarai dia beberapa tahun lalu tentang hakhak
para duyung, terberkatilah dia. Benar-benar konyol, sepertinya kami hanya dudukduduk
di dasar danau Windermere, dan dia terus mengingatkanku untuk berhati-hati
dengan ikan trout."
Belum lagi tuduhan Elphias Doge atas ketidak-akuratan yang tersebar di mana-mana.
Apakah Skeeter benar-benar merasa bahwa empat minggu merupakan waktu yang cukup
untuk mengumpulkan data atas kehidupan Dumbledore yang panjang dan tidak biasa?
"Oh, sayang," kata Skeeter, mengingatkanku dengan penuh kasih, "kau sama tahunya
dengan diriku, sebanyak apa informasi yang dapat kita kumpulkan dengan sekantung
penuh Galleon, berkeras menolak kata ‘tidak’, dan sebuah Pena Bulu Kutip Kilat!
Orang-orang mengantri untuk mendapat remah-remah dari Dumbledore. Tidak semua
orang berpikir bahwa dia begitu hebat, kau tahu – dia suka cari masalah dengan banyak
orang penting. Tapi si Dodge tua itu tidak bisa menyangkal karena aku telah
mendapatkan sumber yang membuat tiap jurnalis mau menukarnya bahkan dengan
tongkat mereka. Seseorang yang tidak pernah berbicara di depan publik sebelumnya dan
begitu dekat dengan Dumbledore pada masa mudanya."
Biografi yang Skeeter tulis tentunya akan mengejutkan setiap orang yang percaya bahwa
Dumbledore memiliki hidup bersih tanpa kesalahan. Apa rahasia yang paling
mengejutkan yang engkau temukan, tanyaku.
"Cukup, Betty, aku tidak akan memberitahukan berita terhebat sebelum orang-orang
membeli bukuku!" tawa Skeeter. "Tapi aku meyakinkanmu bahwa setiap orang yang
percaya bahwa hidup Dumbledore seputih janggutnya akan sadar! Anggap saja orangorang
tidak tahu semarah apa dia, saat Kau-Tahu-Siapa tahu bahwa dia pernah
menganut Ilmu Hitam pada masa mudanya! Ya, Albus Dumbledore memiliki masa lalu
yang begitu kelam, belum lagi keluarganya yang mencurigakan, dimana dia selalu
berusaha untuk menyembunyikannya."
Aku bertanya apakah yang Skeeter maksud adalah saudara Dumbledore, Aberforth, yang
dinyatakan bersalah oleh Wizengamot atas skandal lima belas tahun lalu.
"Oh, Aberforth hanyalah bagian kecil," tawa Skeeter. "Tidak, tidak, aku berbicara
tentang sesuatu yang lebih buruk dari kegemaran saudaranya yang suka bermain-main
dengan kambing, lebih buruk ayahnya yang pembenci Muggle – Dumbledore tidak dapat
meredamnya tentu saja, keduanya dianggap bersalah oleh Wizengamot. Bukan juga ibu
dan saudarinya yang menggugah rasa ingin tahuku. Kalian harus membaca bab
sembilan hingga dua belas agar tahu lebih lengkap. Dan tidak heran pula mengapa
Dumbledore tidak pernah bercerita bagaimana hhidungnya patah."
Walaupun begitu, apakah Skeeter mengelak dari kecemerlangan Dumbledore yang
membuatnya menghasilkan banyak penemuan?
"Dia memang pintar," akunya, "walaupun banyak pertanyaan yang muncul apakah
hanya dia sendiri yang berhak atas segala penemuannya, seperti yang aku ungkapkan di
bab enam belas. Ivor Dillonsby telah menyatakan bahwa dia telah menemukan delapan
fungsi darah naga sebelum Dumbledore mempublikasikan esainya."
Tapi beberapa hal penting yang dilakukan Dumbledore tidak dapat dapat disangkal,
kataku. Bagaimana dengan pertarungannya dengan Grindelwald?
"Oh, aku benar-benar senang akhirnya kau menanyakan hal itu," kata Skeeter dengan
senyumnya yang menggoda. "Sepertinya kemenangan spektakuler Dumbledore pun tak
lebih dari sekadar omong kosong. Jangan begitu yakin bahwa telah terjadi sebuah
pertarungan hebat yang melegenda. Setelah engkau membaca bukuku, engkau akan tahu
bahwa sebenarnya Grindelwald telah mengibarkan saputangan putihnya dan menyerah
begiru saja."
Skeeter menolak untuk memberi penjelasan lebih lanjut pada subjek yang menarik ini.
Lalu kami melanjutkan pada sevuah hubungan yang akan membuat pembaca terkagumkagum.
"Oh, ya," kata Skeeter, mengangguk dengan tenang, "aku mencurahkan satu bab penuh
untuk membahas hubungan Potter-Dumbledore. Yang ternyata merupakan hubungan
yang tidak sehat, menakutkan bahkan. Sekali lagi, para pembaca harus membeli bukuku
untuk mengetahui cerita lengkapnya. Walau Dumbledore tidak mengambil keuntungan
dari hubungan yang aneh ini, malah si bocah yang mendapat semua keuntungannya. Dan
ini juga membuktikan bahwa Potter memiliki masa remaja yang penuh masalah."
Aku bertanya apakah Skeeter masih berhubungan dengan Harry Potter, yang telah
membuatnya begitu terkenal karena wawancara tahun lalu. Sebuah wawancara eksklusif
dengan Potter tentang kembalinya Kau-Tahu-Siapa.
"Oh, ya, kami menjadi sangat dekat," kata Skeeter. "Potter yang malang hanya memiliki
sedikit teman baik, dan kami bertemu pada saat terberat dalam masa hidupnya –
Turnamen Triwizard. Mungkin aku satu-satunya orang yang masih hidup yang tahu
siapa Harry Potter sebenarnya."
Hal ini membuat kami membicarakan tentang rumor yang beredar tentang detik-detik
terakhir Dumbledore. Apakah Skeeter percaya bahwa Potter ada di dekat Dumbledore
saat kematiannya?
"Wah, aku tidak bisa berkata banyak – semuanya ada di buku – tapi saksi mata yang ada
di Hogwarts melihat Potter berlari dari tempat kejadian sesaat setelah Dumbledore
jatuh, melompat, atau didorong. Potter kemudian memberi keterangan melawan Severus
Snape, seorang pria yang tentunya akan mendendam karenanya. Apakah semua yang
kita lihat benar-benar seperti yang kita lihat? Itu yang harus ditentukan oleh para
komunitas sihir – setelah mereka membaca bukuku."
Aku mencatat dengan rasa ingin tahu yang mulai tumbuh. Dan tidak diragukan lagi
bahwa buku Skeeter akan menjadi bestseller. Sementara para pengagum Dumbledore
akan gemetar mengetahui siapa sebenarnya pahlawan mereka.
Harry telah membaca habis artikel itu, namun terus menatap kosong pada halaman itu.
Rasa marahnya tiba-tiba memuncak dan membuatnya muak. Ia menutup koran itu dan
melemparnya ke dinding, yang lalu terjatuh di sekitar tempat sampah bersama sampah
lain yang tak kebagian tempat karena tempat sampah yang terlalu penuh.
Harry mencoba menyibukkan diri, membuka laci kosong dan memasukkan buku-buku
yang seharusnya berada di sana, lalu kata-kata Rita bermunculan di kepalanya satu bab
penuh tentang hubungan Potter-Dumbledore… yang bisa dibilang tidak sehat,
menakutkan bahkan… ia menganut Ilmu Hitam di masa mudanya… aku telah
mendapatkan sumber yang dapat membuat setiap jurnalis mau menukarnya dengan
tongkat mereka…
"Pembohong!" teriak Harry, dari jendela terlihat tetangganya yang berhenti memotong
rumput karena kaget, dan melihatnya dengan gugup.
Harry duduk di tempat tidurnya. Pecahan cermin itu meluncur menjauh darinya, ia
mengambilnya dan memainkannya dalam jari-jarinya. Ia berpikir, memikirkan
Dumbledore dan semua kebohongan yang Rita Skeeter karang…
Sekilas terlihat biru terang. Harry membeku, jari-jarinya yang terluka memegangi ujung
cermin yang tadi melukainya. Ia tidak berkhayal, hal itu benar-benar terjadi. Ia menoleh,
namun yang terlihat hanya dinding berwarna krem pucat pilihan bibi Petunia, dan tidak
ada yang berwarna biru yang bisa dipantulkan cermin itu. Ia melihat ke dalam cermin itu,
tapi yang bisa ia lihat hanya bayangan mata hijaunya yang cerah.
Ia hanya berkhayal, hanya itu penjelasannya. Berkhayal, karena ia tengah memikirkan
kematian kepala sekolahnya. Tapi bila itu benar terjadi, tadi adalah warna biru terang dari
mata Albus Dumbledore.
Chapter 3
The Dursleys Departing
KEBERANGKATAN KELUARGA DURSLEY
Suara pintu dibanting hingga bergema sampai terdengar ke lantai atas, dan terdengar
suara teriakan, “Hei! Boy!”
Sudah enam belas tahun ia terbiasa dipanggil seperti itu, sehingga Harry tahu siapa yang
dipanggil. Tapi, ia tidak bergegas untuk menjawab. Ia masih tertegun melihat pecahan
cermin, yang dalam beberapa detik yang lalu, ia berpikir telah melihat mata Dumbledore.
Hingga pamannya berteriak, ‘BOY!’ yang membuat Harry berdiri dan berjalan menuju
pintu kamarnya perlahan. Ia berhenti sebentar dan memasukkan pecahan cermin itu ke
dalam ransel yang penuh dengan berbagai barang yang akan dibawanya.
“Nikmati waktumu selagi bisa!” teriak Vernon Dursley saat melihat Harry muncul di
puncak tangga. “Turun kemari. Aku ingin sebuah penjelasan!”
Harry berjalan menuruni tangga, tangannya berada dalam saku celana jeansnya. Saat ia
masuk ke ruang tamu, ia melihat keluarga Dursley sudah memakai pakaian bepergian
mereka. Paman Vernon memakai jaket kulit rusanya, bibi Petuna memakai mantel
berwarna salmonnya, dan Dudley, sepupu Harry yang besar, pirang, dan berotot,
memakai jaket kulitnya.
“Ya?” tanya Harry.
“Duduk!” kata paman Vernon. Harry menaikkan alisnya. “Tolong!” tambah paman
Vernon, sambil mengernyit, seakan kata yang ia ucapkan melukai tenggorokannya.
Harry duduk. Sepertinya ia tahu apa yang akan terjadi. Pamannya mulai memutari
ruangan, Bibi Petunia dan Dudley memperhatikannya dengan cemas. Akhirnya, dengan
wajahnya yang besar dan ungu yang tengah berkonsentrasi, paman Vernon berhenti tepat
di depan Harry dan ia mulai berbicara.
“Aku berubah pikiran,” katanya.
“Mengejutkan sekali,” kata Harry.
“Jangan sekali-kali kau…” Bibi Petunia memulai pembicaraan dengan suaranya yang
melengking, tapi Vernon Dursley mengangkat tangannya, menyuruhnya diam.
“Semua ini omong kosong,” kata paman Vernon sambil menatap Harry dengan matanya
yang kecil. “Aku telah memutuskan untuk tidak mempercayainya. Kami akan tetap di sini
dan tidak akan pergi ke mana-mana.”
Harry melihat pamannya dan merasakan campuran antara rasa jengkel dan kagum.
Vernon Dursley telah mengubah pikirannya setiap dua puluh empat jam selama empat
minggu terakhir. Berkemas, membongkarnya, dan berkemas lagi tergantung suasana
hatinya. Momen kesukaan Harry adalah saat paman Vernon, tidak menyadari bahwa
Dudley memasukkan samsak tinju ke dalam tas, ia berusaha mengangkatnya tapi gagal
dan membuatnya terjatuh bersamaan dengan rasa sakit dan sumpah serapahnya.
“Seperti yang kau katakan,” kata paman Vernon, melanjutkan kegiatan berjalan
berputarnya, “kami, Petunia, Dudley, dan aku, sedang dalam bahaya. Yang disebabkan
oleh… oleh…”
“Oleh ’kaumku’, kan?” kata Harry.
“Oh, aku tak percaya ini,” kata paman Vernon, yang berdiri di depan Harry lagi. “Aku
terjaga semalaman memikirkan segalanya, dan menurutku kau berencana untuk
mengambil alih rumah ini.”
“Rumah?” ulang Harry. “Rumah apa?”
“Rumah ini!” teriak paman Vernon, pembuluh darah di kepalanya mulai berdenyut.
“Rumah kami! Rumah yang harganya terus meroket! Kau ingin kami pergi dan kau akan
melakukan hocus pocus-mu dan tiba-tiba tanpa sepengetahuan kami, rumah ini sudah jadi
atas namamu dan…”
“Apa kalian sudah gila?” tuntut Harry. “Rencana untuk mengambil alih rumah? Apa
kalian sebodoh tampang kalian?”
“Berani-beraninya kau…” cicit Bibi Petunia, tapi lagi-lagi Vernon membuatnya diam.
“Apa kalian lupa,” kata Harry, “aku sudah punya, bapak baptisku memberikannya
untukku. Jadi mengapa aku menginginkan rumah ini? Karena kenangannya yang indah?”
Semua terdiam. Harry mengira pamannya kagum dengan argumennya.
“Katamu,” kata paman Vernon, mulai berjalan memutar lagi, “masalah Lord itu…”
“Voldemort,” kata Harry tak sabar, “dan kita sudah membahasnya ratusan kali. Dan ini
bukan kataku, ini kenyataan, Dumbledore sudah mengatakannya pada kalian, juga
Kingsley, dan Tuan Weasley…”
Vernon melengkungkan bahunya dengan marah, dan Harry menebak bahwa pamannya
sedang mengingat-ingat kunjungan mendadak, saat liburan musim panas Harry, dua
orang penyihir dewasa. Kedatangan Kingsley Shacklebolt dan Arthur Weasley ke depan
pintu rumah keluarga Dursley membuatnya tidak senang. Harry tahu, kedatangan Tuan
Weasley yang terakhir menyebabkan setengah dari ruang tamunya hancur, dan
kedatangannya kembali tidak mungkin disambut hangat oleh paman Vernon.
“… Kingsley dan tuan Weasley juga sudah menjelaskannya padamu,” kata Harry tanpa
penyesalan. “Saat aku berusia tujuh belas, mantra perlindungan yang menjagaku akan
hilang dan tak lagi melindungi aku ataupun kalian. Anggota Orde yakin bahwa
Voldemort akan menggunakanmu untuk menemukanku, atau mungkin bila dia
menjadikanmu tawanan, aku akan datang dan mencoba untuk menyelamatkanmu.”
Mata paman Vernon dan Harry beradu. Harry yakin bahwa mereka memikirkan hal yang
sama. Lalu paman Vernon melanjutkan langkahnya dan Harry berkata, “Kalian harus
pergi untuk bersembunyi, dan anggota Orde ingin membantu. Kalian telah ditawari
perlindungan terbaik.”
Paman Vernon tidak berkata apa-apa dan tetap berjalan. Di luar, matahari mulai turun
menuju garis cakrawala. Tetangga sebelah telah selesai memangkas rumput halamannya.
“Aku kira kalian memiliki Kementrian Sihir?” tanya paman Vernon tiba-tiba.
“Memang ada,” kata Harry, terkejut.
“Kalau begitu, mengapa mereka tidak melindungi kami? Menurutku, sebagai korban
yang tak bersalah, kami seharusnya mendapat perlindungan dari pemerintah!”
Harry tertawa, ia tak bisa menahan dirinya sendiri. Pamannya mengharapkan adanya
peraturan, walaupun dalam dunia yang ia benci.
“Kau dengar apa yang tuan Weasley dan Kingsley katakan,” Harry mengingatkan. “Kami
pikir Kementriran telah disusupi.”
Paman Vernon berhenti di depan perapian dan menarik nafas dalam-dalam membuat
kumis hitam besarnya bergerak-gerak, dan wajahnya tetap ungu karena berkonsentrasi.
“Baiklah,” katanya, kini ia berdiri lagi di depan Harry. “Baiklah, karena segala alasan
yang ada, kami menerima perlindungan itu. Tapi aku masih tidak mengerti mengapa kami
tidak dilindungi oleh Kingsley?”
Harry tidak dapat mencegah dirinya untuk tidak memutar matanya. Pertanyaan ini pun
sudah ditanyakan berkali-kali.
“Aku kan sudah katakan,” katanya dengan gigi terkatup, “Kingsley menjaga Perdana
Menteri Mug… maksudku, Perdana Menteri kalian.”
“Benar sekali, dia yang terbaik!” kata paman Vernon, menunjuk layar TV yang kosong.
Dursley menyadari keberadaan Kingsley di berita TV, berjalan di belakang Perdana
Menteri Muggle saat melakukan kunjungan ke rumah sakit. Dan fakta bahwa Kingsley
mahir berpakaian seperti Muggle, tidak termasuk suaranya yang pelan, dalam, dan
mampu meyakinkan keluarga Dursley, menyebabkan keluarga Dursley tidak ingin diurus
oleh penyihir lain, walaupun mereka belum pernah melihat Kingsley saat ia memakai
antingnya.
“Yah, dia sudah menjaga yang lain.” Kata Harry. “Tapi Hestia Jones dan Dedalus Diggle
mampu menjaga kalian…”
“Walau kami sudah pernah lihat CVnya…” mulai paman Vernon, tapi Harry kehilangan
kesabaran. Ia berdiri, menantang pamannya, dan menunjuk layar TV.
“Kecelakaan itu bukan kecelakaan biasa – tabrakan, ledakan, hal-hal aneh, atau apapun
yang terjadi yang kita lihat di TV. Banyak orang hilang dan meninggal, dan dia ada di
belakang semua ini – Voldemort. Aku telah mengatakan hal ini padamu berulang kali, dia
membunuh Muggle hanya untuk bersenang-senang. Bahkan beberapa di antaranya
disebabkan oleh Dementor, dan bila kau tidak ingat apa itu, tanyakan pada anakmu!”
Dudley tersentak, tangannya menutupi mulutnya. Seluruh mata di ruangan itu tertuju
padanya, perlahan ia menurunkan tangannya dan bertanya, “Apa mereka… ada begitu
banyak?”
“Banyak?” Harry tertawa. “Lebih dari dua yang menyerang kita, maksudmu? Tentu saja,
jumlah mereka beratus-ratus banyaknya, mungkin sudah menjadi beribu-ribu sekarang
ini, melihat banyaknya hal yang menakutkan yang terjadi…”
“Baiklah, baiklah,” potong Vernon Dursley. “Kami mengerti maksudmu…”
“Aku harap begitu,” kata Harry, “karena begitu aku berumur tujuh belas, semuanya –
Pelahap Maut, Dementor, bahkan Inferi, yang merupakan mayat yang disihir oleh Sihir
Hitam – dapat menemukanmu dan menyerangmu. Dan bila kau ingat saat terakhir kali
engkau mencoba lari dari penyihir, aku yakin kau akan membutuhkan bantuan.”
Semuanya terdiam saat mereka mengingat suara dentuman saat Hagrid menghancurkan
pintu kayu beberapa tahun lalu. Bibi Petunia melihat paman Vernon dan Dudley menatap
Harry. Akhirnya paman Vernon berbicara, “Tapi bagaimana dengan pekerjaanku?
Bagaimana dengan sekolah Dudley? Sepertinya hal itu tidak terpikirkan oleh penyihir
seperti kalian…”
“Apa kalian tidak mengerti juga?” teriak Harry. “Mereka akan menyiksa dan membunuh
kalian seperti mereka melakukannya pada orang tuaku!”
“Ayah,” kata Dudley dengan suara keras, “Ayah – aku akan ikut dengan orang-orang
Orde.”
“Dudley,” kata Harry, “untuk pertama kalinya dalam hidupmu, kau mengatakan hal yang
masuk akal.”
Harry tahu bahwa ia telah memenangkan pertarungan. Bila Dudley cukup ketakutan
hingga ia menerima tawaran anggota Orde, orang tuanya akan menemaninya. Tidak
mungkin mereka mau berpisah dengan Diddykins. Harry memerhatikan jam yang berada
di atas perapian.
“Mereka akan tiba dalam lima menit,” katanya, dan saat tak seorang pun membalas
ucapannya, ia meninggalkan ruangan. Kemungkinan untuk berpisah dari bibi, paman, dan
sepupunya untuk selamanya, satu-satunya hal yang dapat membuatnya senang. Tapi tetap
saja ada kemungkinan lain. Apa yang akan kau katakan pada orang yang kau benci
selama enam belas tahun?
Di kamarnya, Harry menyeret ranselnya, lalu memasukkan kacang ke sangkar Hedwig.
Kacang itu jatuh begitu saja ke dasar sangkar, tanpa dipedulikan Hedwig.
“Kita akan segera berangkat, sebentar lagi,” Harry berkata padanya. “Dan kau dapat
terbang.”
Bel pintu berbunyi. Harry ragu, namun ia tetap keluar dari kamar dan turun. Tidak
mungkin Hestia dan Dedalus dapat menghadapi keluarga Dursley sendirian.
“Harry Potter!” seru suara yang terdengar bersemangat, begitu Harry membuka pintu.
Seorang pria kecil dengan topi ungunya langsung membungkukkan badannya. “Sebuah
kehormatan!”
“Terima kasih, Dedalus,” kata Harry, ia tersenyum malu-malu pada Hestia. “Baik sekali
kalian mau melakukan hal ini… Mereka orang-orang yang keras, bibi, paman, dan
sepupuku…”
“Selamat sore, keluarga Harry Potter!” kata Dedalus riang, ia langsung berjalan masuk ke
dalam ruang tamu. Keluarga Dursley tidak tampak gembira saat menemui mereka.
Harry mengira pamannya akan mengubah pikirannya lagi. Dudley langsung menempel
pada ibunya begitu melihat para penyihir itu.
“Aku melihat kalian sudah siap. Bagus! Rencananya seperti yang telah Harry katakan
pada kalian,” kata Dedalus sambil memeriksa saku mantelnya. “Kita akan berangkat
sebelum Harry. Karena Harry masih di bawah umur dan belum diizinkan untuk
menggunakan sihir, hal ini akan memudahkan Kementrian untuk menangkapnya. Kita
akan berkendara sejauh kurang lebih enam belas kilo sebelum kita bisa ber-Disapparate
menuju tempat perlindungan. Kau tahu bagaimana cara mengemudi? Atau aku yang
harus melakukannya?” ia bertanya dengan sopan pada paman Vernon.
“Tahu bagaimana cara…? Tentu saja aku tahu bagaimana cara mengemudi!” kata paman
Vernon tersinggung.
“Pintar sekali Anda, sangat pintar, aku sendiri akan kebingungan dengan semua tombol
dan kenop itu,” kata Dedalus. Jelas sekali Dedalus sedang mencoba menyanjung Vernon
Dursley.
“Tidak bisa mengemudi,” gumamnya marah membuat kumisnya bergerak-gerak. Untung
saja Dedalus dan Hestia tidak memperhatikannya.
“Sedangkan Harry,” lanjut Dedalus, “akan menunggu para pengawal. Ada sedikit
perubahan rencana…”
“Apa maksudmu?” kata Harry. “Bukankah Mad-Eye akan datang dan membawaku ber-
Apparate?”
“Tidak bisa,” jawab Hestia. “Mad-Eye akan menjelaskannya nanti.”
Keluarga Dursley, yang mendengarkan pembicaraan yang tidak mereka mengerti,
terkejut begitu mendengar suara yang berteriak keras “Cepat!” Harry menoleh mencari
sumber suara itu sebelum akhirnya sadar bahwa suara itu berasal dari jam saku Dedalus.
“Benar juga, kita terburu waktu,” kata Dedalus, melihat jam sakunya dan memasukkanya
lagi ke dalam saku mantelnya. “Kami usahakan agar engkau berangkat pada waktu yang
bersamaan saat keluargamu ber-Apparate, karena perlindungan akan hilang begitu kau
berangkat menuju tempat perlindungan.” Lalu ia berbicara pada keluarga Dursley,
“Sudah siap?”
Tidak seorang pun menjawab. Bahkan paman Vernon masih menatap saku mantel
Dedalus.
“Mungkin kita harus menunggu di luar, Dedalus,” bisik Hestia, yang mengira akan terjadi
perpisahan penuh cinta dan air mata.
“Tidak perlu,” gumam Harry, dan paman Vernon juga tidak memberi penjelasan, dan
langsung berkata, “Baiklah, saat untuk berpisah.”
Ia menyodorkan tangan kanannya untuk menjabat tangan Harry, tapi ia berubah pikiran
di detik-detik terakhir, dan langsung mengepalkan tangannya dan menggerakkannya maju
mundur seperti metronome.
“Siap, Diddy?” tanya Bibi Petunia, sambil memeriksa tasnya sekaligus menghindar untuk
menatap Harry.
Dudley tidak menjawab, tapi berdiri dengan mulut yang mulai membuka, mengingatkan
Harry akan Grawp.
“Baiklah kalau begitu,” kata paman Vernon.
Ia telah membuka pintu saat Dudley tiba-tiba bergumam, “Aku tidak mengerti.”
“Apa yang tidak kamu mengerti, Popkin?” tanya Bibi Petunia, melihat anaknya.
Dudley mengangkat tangannya yang besar dan menunjuk Harry,
“Mengapa dia tidak pergi bersama kita?”
Paman Vernon dan Bibi Petunia berdiri membeku, memandangi Dudley heran, seakan
mereka mendengar kalau Dudley ingin menjadi balerina.
“Apa?” kata paman Vernon.
“Mengapa dia tidak ikut?” tanya Dudley.
“Dia… dia tidak ingin,” kata paman Vernon, menatap Harry lalu menambahkan, “Kau
tidak ingin, kan?”
“Tidak sedikit pun,” kata Harry.
“Baiklah kalau begitu,” paman Vernon berkata pada Dudley. “Sekarang, ayo berangkat.”
Ia berjalan keluar dari ruangan. Mereka mendengar pintu depan membuka, tapi Dudley
tidak bergerak bahkan Bibi Petunia ikut berhenti setelah mulai melangkah.
“Sekarang apa lagi?” teriak paman Vernon, muncul dari pintu depan.
Sepertinya Dudley sedang berpikir dalam gagasannya yang nampaknya tidak mudah
diuraikan dalam kata-kata. Setelah beberapa saat kemudian, ia berkata, “Tapi, ke mana
dia akan pergi?”
Bibi Petunia dan paman Vernon saling berpandangan. Jelas sekali Dudley telah membuat
mereka takut. Hestia Jones memecah kesunyian.
“Tapi… kau tahu ke mana keponakanmu akan pergi, kan?” tanyanya, nampak
kebingungan.
“Tentu saja kami tahu,” kata Vernon Dursley. “Dia akan pergi ke rumah salah satu
temanmu, kan? Ayo, Dudley, masuk ke mobil, kau dengar dia tadi, kita terburu-buru.”
Lalu, Vernon Dursley berjalan keluar, tapi Dudley tidak mengikutinya.
Hestia tampak marah. Harry pernah mengalami hal ini, penyihir yang terpaku melihat
bahwa keluarga terdekatnya tidak memiliki ketertarikan atas Harry Potter yang begitu
terkenal.
“Tidak apa-apa,” Harry meyakinkan Hestia. “Bukan masalah besar.”
“Tidak apa-apa?” ulang Hestia, nada suaranya meninggi. “Apakah orang-orang itu tidak
tahu apa saja yang telah kau alami? Apakah mereka tahu bahwa engkau sedang dalam
bahaya? Apakah mereka tahu posisimu sebagai jantung dari gerakan anti-Voldemort?”
“Er… tidak, mereka tidak tahu,” kata Harry. “Mereka pikir aku hanya buang-buang
waktu, tapi aku sudah terbiasa…”
“Kau tidak sedang buang-buang waktu.”
Bila Harry tidak melihat bibir Dudley yang bergerak, mungkin ia tak akan percaya. Ia
menatap Dudley selama beberapa detik sebelum sadar bahwa sepupunya baru saja
berbicara. Tiba-tiba muka Dudley berubah merah. Tiba-tiba Harry merasa malu dan
terpesona.
“Yah… er… terima kasih, Dudley.”
Lalu, Dudley nampak sibuk sendiri dengan pikirannya, lalu tiba-tiba menggumam, “Kau
telah menyelamatkan nyawaku.”
“Tidak juga,” kata Harry. “Dementor mencoba menyedot jiwamu…”
Harry menatap sepupunya penuh dengan rasa ingin tahu. Selama musim panas ini dan
musim panas lalu mereka tidak sekali pun saling berbicara, karena Harry memang selalu
berada di kamarnya. Ini merupakan awal bagi Harry. Mungkin, cangkir teh tadi pagi
bukan sekadar jebakan belaka. Walau merasa sedikit tersentuh, ia tetap saja merasa
senang saat melihat Dudley berusaha setengah mati saat mengungkapkan perasaannya.
Setelah membuka mulutnya satu dua kali, Dudley memutuskan untuk tetap diam.
Bibi Petunia tiba-tiba menangis. Hestia Jones yang awalnya tersentuh kembali marah saat
Bibi Petunia datang dan memeluk Dudley, bukannya pada Harry.
“Ma-manis sekali, Dudders…” isaknya di dada Duddley, “Su-sungguh anak baik… memengucapkan
terima kasih…”
“Tapi dia tidak mengucapkan terima kasih sama sekali!” kata Hestia marah. “Dia hanya
bilang bahwa Harry tidak buang-buang waktu!”
“Yah, tapi bila itu berasal dari Dudley, itu bisa saja berarti “aku cinta padamu”,” kata
Harry membuat Bibi Petunia antara merasa terganggu dan ingin tertawa. Bibi Petunia
memeluk Dudley seakan ia baru saja menyelamatkan Harry dari gedung yang terbakar.
“Kita berangkat tidak?” teriak paman Vernon yang sudah muncul lagi di ruang tamu.
“Aku kira kita punya sedang diburu waktu!”
“Ya, ya, tentu saja,” kata Dedalus Diggle yang sedang terkagum-kagum melihat apa yang
terjadi. Tapi ia memaksakan diri, “Kami harus berangkat, Harry…”
Dedalus melangkah maju dan menjabat tangan Harry dengan kedua tangannya.
“… semoga beruntung. Semoga kita berjumpa lagi. Nasib dunia sihir berada di
pundakmu.”
“Oh,” kata Harry “iya. Terima kasih.”
“Hati-hati Harry,” kata Hestia, yang juga menjabat tangannya. “Kami selalu bersamamu.”
“Semoga semuanya akan baik-baik saja,” kata Harry sambil memandang ke arah Bibi
Petunia dan Dudley.
“Oh, aku yakin kami akan baik-baik saja,” kata Diggle riang, melambaikan topinya saat
meninggalkan ruangan. Hestia mengikutinya.
Perlahan Dudley melepaskan diri dari pelukan ibunya dan berjalan mendekati Harry, lalu
menyodorkan tangannya yang besar.
“Ya ampun, Dudley,” kata Harry, “apakah Dementor mengubah kepribadianmu?”
“Entahlah,” kata Dudley. “Sampai jumpa, Harry.”
“Yah…” kata Harry, yang kemudian menyambut tangan Dudley dan menjabatnya.
“Mungkin. Hati-hati, Big D.”
Dudley tersenyum tipis, lalu berlalu meninggalkan ruangan. Harry dapat mendengar
langkah beratnya menuju mobil, dan terdengar suara pintu ditutup.
Bibi Petunia yang menutupi wajahnya dengan saputangan, tidak menyangka hanya ia
yang tertinggal sendiri bersama Harry. Ia langsung memasukkan saputangannya yang
basah ke dalam tas dan berkata, “Baiklah, sampai jumpa,” dan ia berjalan keluar tanpa
mau melihat Harry.
“Sampai jumpa,” kata Harry.
Ia berhenti dan menoleh. Untuk beberapa saat Harry merasakan perasaan teraneh saat
melihat bibinya menatap dirinya, wajah bibinya tampak aneh dan gemetar, dan
tampaknya ia akan mengatakan sesuatu, tapi ia menggelengkan kepalanya dan segera
meninggalkan ruangan mengikuti suami dan anaknya.
Chapter 4
The Seven Potters
TUJUH ORANG POTTER
Harry berlari kembali ke kamarnya, melihat mobil keluarga Dursley melalui jendela
kamarnya. Ia dapat melihat ujung topi Dedalus di antara kepala bibi Petunia dan Dudley
di kursi belakang. Mobil itu berbelok ke kanan di ujung jalan Privet Drive, jendelanya
memantulkan cahaya kemerahan dari matahari yang mulai terbenam, lalu mobil itu tak
tampak lagi.
Harry mengambil sangkar Hedwig, Firebolt, dan ranselnya. Untuk terakhir kali ia melihat
kamarnya yang, tidak seperti biasanya, terlihat rapi dan kembali ke ruang tamu dengan
rasa enggan. Lalu ia meletakkan sangkar, sapu, dan tasnya di ujung tangga. Cahaya
matahari di luar mulai menghilang membuat ruang tamu dipenuhi engan bayangan di
bawah terangnya malam. Rasanya aneh berdiri di sana dalam diam dan tahu bahwa ia
akan meninggalkan rumah itu untuk selamanya. Dulu, ia sangat menikmati saat ditinggal
keluarga Dursley sendirian di rumah, suatu hal yang jarang terjadi. Mengenang saat
mengambil sesuatu yang enak di kulkas dan menikmatinya sambil memainkan komputer
Dudley, atau menonton televisi dan mengubah saluran
sesuka hati. Hal ini membuatnya merasakan suatu hal yang aneh saat ia mengingat saatsaat
itu, seperti mengenang saudara yang sudah tiada.
"Tidak inginkah kau melihat tempat ini untuk terakhir kalinya?" tanya Harry pada
Hedwig, yang masih menyembunyikan kepalanya di bawah sayap. "Kita tak akan pernah
kembali ke sini lagi. Apakah kau tak ingin mengenang masa lalu? Maksudku, lihatlah
keset itu. Dudley muntah di sana sesaat setelah aku menyelamatkannya dari Dementor,
dan dia berterima kasih padaku, percayakah kau? Dan, musim panas lalu, Dumbledore
datang kemari…"
Namun Harry tidak dapat mengingat kelanjutannya dan Hedwig tidak membantunya, ia
tetap diam dengan kepala di bawah sayap. Harry berjalan di lorong.
"Dan di bawah sini, Hedwig," Harry membuka pintu ruang bawah tangga, "dulu aku tidur
di sini! Kau belum bertemu denganku saat itu… Ya Tuhan, kecil sekali, aku tak ingat..."
Harry melihat setumpuk sepatu dan payung di sana, mengingat bagaimana dulu ia
terbangun di pagi hari dan langsung melihat bagian dalam dari tangga, yang biasanya
dihiasi oleh sarang laba-laba. Hari-hari di saat sebelum ia tahu siapa dirinya sebenarnya,
sebelum ia benar-benar tahu bagaimana orang tuanya meninggal, atau sebelum ia
mengerti mengapa banyak kejadian aneh terjadi di sekitarnya. Namun Harry masih bisa
mengingat jelas mimpi yang selalu menghantuinya, bahkan hingga saat ini. Mimpi yang
membingungkan tentang kilatan cahaya berwarna hijau, dan mimpi – yang membuat
paman Vernon hampir menabrakkan mobilnya saat Harry bercerita – tentang sepeda
motor terbang…
Tiba-tiba terdengar deru suara yang memekakkan telinga. Harry langsung mengangkat
kepalanya dan membuatnya terantuk kusen pintu yang rendah. Ia menahan suara saat ia
hampir memakai sumpah serapah yang biasa paman Vernon katakan. Ia berjalan
sempoyongan ke arah dapur. Sambil memegangi kepalanya ia melihat melalui jendela ke
arah halaman belakang.
Kegelapan sepertinya dapat bersuara, bahkan udara pun bergetar. Lalu, satu persatu sosok
muncul. Terlihat Hagrid dengan helm dan kacamatanya, ia duduk di atas sepeda motor
yang sangat besar, di sebelahnya tampak gandengan motor hitam berkilat. Diikuti oleh
orang-orang yang turun dari sapu mereka, juga dua ekor kuda tengkorak berwarna hitam.
Harry membuka pintu belakang dan bergegas mendatangi mereka. Terdengar isakan
Hermione yang langsung mengalungkan tangannya pada Harry, dan Ron menepuk
punggungnya, dan Hagrid berkata, "Smua baik, Harry? Siap tuk brangkat?"
"Tentu saja," kata Harry, sambil melihat semua orang yang ada di sana. "Tapi aku tidak
tahu akan begitu banyak orang yang akan datang!"
"Perubahan rencana," geram Mad-Eye, yang sedang memegangi dua buah kantung yang
sangat besar, dan mata sihirnya berputar sangat cepat saat melihat langit gelap, rumah,
lalu kebun. "Ayo masuk supaya aku bisa menjelaskannya padamu."
Harry mengajak mereka masuk ke dapur di mana mereka langsung mengobrol dan
bercanda, duduk di kursi atau di atas meja masak bibi Petunia yang berkilau atau
bersandar di lemari yang tanpa noda. Ron yang tinggi kurus. Hermione dengan rambut
panjang dan tebalnya yang dijalin rapi. Fred dan George yang sama-sama nyengir. Bill
dengan luka parut dan rambut panjangnya. Tuan Weasley yang botak dengan wajahnya
yang ramah dan kacamatanya yang agak miring. Mad-Eye yang siap tempur dengan satu
kaki dan mata sihir biru cerahnya yang tak berhenti berdesing. Tonks dengan rambut
pendek berwarna merah muda. Lupin yang tampak lebih tua dan lebih kurus. Fleur yang
cantik dan ramping dengan rambut panjangnya yang berwarna pirang keperakan.
Kingsley yang hitam, botak, dan berbahu bidang. Hagrid dengan rambut dan janggutnya
yang awut-awutan, berdiri membungkuk agar kepalanya tidak menyentuh langit-langit.
Dan, Mundungus Fletcher yang kecil dan dekil, dengan matanya yang mengantuk dan
rambutnya yang lepek. Jantung Harry berdetak kencang, ia merasa sangat senang saat
melihat mereka semua. Bahkan Mundungus, yang ingin ia cekik saat terakhir kali
bertemu.
"Kingsley, aku kira kau menjaga Perdana Menteri Muggle?" tanya Harry.
"Ia akan baik-baik saja walau aku tinggal satu malam," kata Kingsley. "Kau yang lebih
penting."
"Harry, coba tebak," kata Tonks yang duduk di atas mesin cuci, ia menunjukkan tangan
kirinya, sebuah cincin berkilauan.
"Kalian sudah menikah?" jerit Harry, memelototi Tonks dan Lupin.
"Sayang sekali kau tidak bisa hadir, Harry."
"Luar biasa! Sela…"
"Baiklah, kita akan punya waktu untuk mengobrol nanti!" teriak Moody di antara
keriuhan, dan langsung membuat semua terdiam. Moody menjatuhkan dua kantung besar
yang dibawanya dan berbicara pada Harry. "Seperti yang telah Dedalus katakan padamu,
kami tidak memakai rencana A. Pius Thicknesse bereaksi berlebihan dan memberi kita
masalah besar. Dia telah memberi izin khusus untuk menyambungkan rumah ini ke
jaringan Floo, menggunakan Portkey, bahkan untuk ber-Apparate. Dan semua itu
ditujukan untuk menjagamu untuk mencegah Kau-Tahu-Siapa untuk mendapatkanmu.
Yang tentu saja, tidak ada gunanya karena masih ada perlindungan yang telah ibumu
buat. Yang telah dia lakukan hanya mencegahmu keluar dari sini hidup-hidup.
"Masalah kedua adalah, kau masih di bawah umur. Berarti kau masih dilacak."
"Aku tidak…"
"Pelacak!" kata Mad-Eye tidak sabar. "Mantra yang dapat mendeteksi kegiatan sihir di
sekitar anak yang berusia di bawah tujuh belas tahun! Bila kau, atau siapa pun yang ada
di dekatmu mengeluarkan mantra, Thicknesse akan tahu dan begitu pula para Pelahap
Maut."
"Kita tidak dapat menunggu sampai Pelacak itu hilang, karena begitu kau berusia tujuh
belas tahun, kau akan kehilangan perlindungan dari ibumu. Pendek kata, Pius Thicknesse
telah berhasil memojokkan kita."
Harry sependapat walaupun ia tidak tahu siapa Thicknesse itu. "Jadi, apa yang akan kita
lakukan?"
"Kita akan menggunakan satu-satunya alat transportasi yang tersisa. Yang tidak akan
meninggalkan Jejak. Karena kita tidak perlu mengeluarkan mantra untuk
menggunakannya. Sapu, Thestral, dan sepeda motor Hagrid."
Harry dapat melihat cacat dalam rencana ini, tapi ia tetap diam dan membiarkan Mad-Eye
untuk melanjutkan.
"Perlindungan dari ibumu akan hilang karena dua hal, yaitu saat kau berumur tujuh belas,
atau…" Moody berputar di tengah dapur yang sangat bersih, "kau tak lagi menganggap
tempat ini sebagai rumah. Kau dan paman bibimu berpisah malam ini, yang artinya
kalian tidak akan tinggal bersama lagi, kan?"
Harry mengangguk.
"Jadi, saat kau meninggalkan rumah ini, kau tidak akan kembali, dan perlindungan itu
akan hilang saat kau keluar dari daerah ini. Pilihan kita saat ini adalah menghilangkan
perlindungan itu lebih awal, atau membiarkan Kau-Tahu-Siapa datang dan langsung
menangkapmu saat kau berusia tujuh belas."
"Untung saja Kau-Tahu-Siapa tidak tahu kalau kita akan melakukannya malam ini. Kita
akan membuat jejak palsu untuk Kementrian, karena mereka pikir kau tidak akan pergi
sebelum tanggal tiga puluh. Tapi, karena kita sedang berhadapan dengan Kau-Tahu-
Siapa, kita tidak tahu apakah dia akan termakan rencana tanggal tiga puluh. Dia
memerintahkan Pelahap Maut untuk berpatroli di atas daerah ini, untuk berjaga-jaga.
Jadi, kami telah memberi banyak perlindungan pada selusin rumah. Dan semuanya dapat
menjadi tempat perlindunganmu. Dan semuanya juga adalah milik anggota Orde:
rumahku, rumah Kingsley, rumah bibi Molly, Muriel… – kau mengerti?"
"Ya," kata Harry, tak sepenuhnya jujur, karena ia hanya mengerti sedikit dari rencana
yang telah dijelaskan tadi.
"Kau akan ke rumah orang tua Tonks. Saat kau sudah berada dalam perlindungan yang
kami buat, kau dapat menggunakan Portkey ke the Burrow. Ada pertanyaan?"
"Er… ada," kata Harry. "Sepertinya mereka akan tahu ke mana kita akan pergi, kan jelas
sekali kalau ada," Harry langsung menghitung cepat, "empat belas orang yang terbang
bersamaan ke rumah orang tua Tonks."
"Ah," kata Moody, "aku lupa menjelaskan rencana utamanya. tentu, tidak semuanya akan
pergi ke rumah orang tua Tonks. Akan ada tujuh orang Harry Potter yang ditemani
seorang pengawal yang akan terbang ke tujuh tempat perlindungan yang berbeda."
Moody mengeluarkan botol dari dalam jubahnya yang berisi sesuatu yang nampak seperti
lumpur. Dan tidak perlu lagi menjelaskan, karena Harry langsung mengerti keseluruhan
rencana itu.
"Tidak!" teriak Harry, suaranya bergema di dapur. "Tidak akan!"
"Sudah kukira akan begini," kata Hermione penuh rasa puas.
"Kau kira aku akan membiarkan enam orang membahayakan hidup mereka!"
"Kau pikir ini yang pertama kalinya…" kata Ron.
"Tapi ini berbeda, saat kalian berpura-pura menjadi aku…"
"Yah, sebenarnya kami tidak ingin, Harry," kata Fred bersungguh-sungguh. "Bayangkan
bila terjadi sesuatu dan kami akan terperangkap dalam tubuh dan wajahmu dengan bekas
luka itu untuk selamanya."
Harry bahkan tidak tersenyum.
"Kalian tidak akan melakukannya bila aku tidak bekerja sama, kalian butuh rambutku."
"Wah, tampaknya rencana kami berantakan," kata George. "Jelas tidak mungkin
mendapatkan rambutmu bila kau tidak mau bekerja sama."
"Tiga belas lawan satu, yang bahkan belum diizinkan menggunakan sihir. Kami pasti
gagal," kata Fred.
"Lucu," kata Harry sebal. "Benar-benar lucu."
"Bila kami harus memaksamu, maka itulah yang akan kami lakukan," kata Moody geram,
mata sihirnya berdesing saat akhirnya memandangi Harry. "Tiap orang yang ada di sini
sudah cukup umur, Potter, dan mereka siap dengan resiko yang mereka hadapi."
Mundungus mengangkat bahu dan menampakkan wajah tidak senang. Mata sihir Mad-
Eye berputar dan memandangi Mundungus menembus kepala Moody.
"Cukup untuk berdebat. Waktu kita tidak banyak. Aku minta beberapa helai rambutmu,
sekarang!"
"Tapi ini gila, tidak perlu…"
"Tidak perlu!" hardik Moody. "Dengan Kau-Tahu-Siapa di luar sana dan separuh
Kementrian mendukungnya? Potter, kita beruntung bila dia menelan mentah-mentah
rencana palsu pada tanggal tiga puluh. Tapi, dia menyuruh para Pelahap Maut untuk
berjaga-jaga, dan ini yang kita lakukan. Mereka tidak akan bisa kemari karena
perlindungan ibumu, tapi begitu kau pergi nanti, perlindungan itu akan langsung hilang.
Satu-satunya kesempatan yang kita miliki adalah bila kita mengalihkan perhatian mereka.
Karena tidak mungkin, bahkan Kau-Tahu-Siapa, dapat membagi dirinya menjadi tujuh."
Harry bertatapan sesaat dengan Hermione yang langsung membuang muka.
"Sekarang!" bentak Moody.
Semua mata tertuju pada Harry saat ia mencabut beberapa helai rambutnya dengan
enggan.
"Bagus," kata Moody, berjalan timpang sambil membuka tutup botol ramuan itu.
"Langsung masukkan ke sini."
Harry menjatuhkan rambutnya ke dalam ramuan yang nampak seperti lumpur itu. Sesaat
kemudian, ramuan menggelegak dan berasap. Dan langsung berubah menjadi cairan
bening berwarna keemasan.
"Wah, kau kelihatan lebih enak daripada ramuan Crabbe dan Goyle,Harry," kata
Hermione, sebelum melihat Ron yang mengangkat alisnya. "Kau tahu sendiri kan –
ramuan Goyle tampak seperti ingus."
"Baiklah, para Potter palsu, ayo antre di sebelah sini," kata Moody.
Ron, Hermione, Fred, George, dan Fleur langsung berjajar di depan wastafel bibi Petunia
yang berkilauan.
"Kurang satu," kata Lupin.
"Ini," kata Hagrid sambil menjumput kerah baju Mundungus kasar, dan menjatuhkannya
di sebelah Fleur yang langsung mengernyitkan hidungnya dan maju ke barisan
selanjutnya. Berdiri di antara Fred dan George.
"Dah kubilang, mending aku jadi pengawal," kata Mundungus.
"Diam," geram Moody. "Dasar kau cacing tak berguna, para Pelahap Maut tidak akan
membunuh Potter, mereka hanya akan menangkapnya. Dumbledore selalu berkata bahwa
Kau-Tahu-Siapa akan menghabisi Potter dengan tangannya sendiri. Para Pelahap Maut
akan berusaha membunuh para pengawal."
Mundungus tampak tidak yakin dan Moddy langsung mengeluarkan setengah lusin gelas
yang langsung diisinya dengan ramuan dan menyodorkannya ke para Potter palsu.
"Bersama-sama…"
Ron, Hermione, Fred, George, Fleur, dan Mundungus meminumnya bersamaan. Mereka
langsung merasa mual saat ramuan itu menyentuh tenggorokan mereka. Lalu, tampak
tubuh mereka mulai meleleh seperti lilin panas. Hermione dan Mundungus menjadi lebih
tinggi. Ron, Fred, dan George mengecil dan rambut mereka menjadi lebih gelap.
Tengkorak Hermione dan Fleur berubah bentuk.
Moody langsung berjongkok dan melonggarkan ikatan kantung yang tadi ia bawa. Saat ia
berdiri sudah ada enam orang Harry Potter yang terengah-engah di depannya.
Fred dan George langsung berdiri berhadapan dan bersamaan mereka berkata, "Wah, kita
mirip!"
"Entahlah, tapi sepertinya aku tetap lebih tampan," kata Fred sambil berkaca di ketel.
"Bah," kata Fleur yang sedang berkaca di kaca microwave, "Bill, jangan li'at aku. Aku
tampak mengerikan."
"Yang pakaiannya kebesaran, aku membawa pakaian yang lebih kecil di sini," kata
Moody sambil menunjuk salah satu kantung, "dan begitu pula sebaliknya. Dan jangan
lupa kacamata kalian. Setelah kalian selesai, ambil barang masing-masing di kantung
yang lain."
Harry yang asli saat ini sedang melihat hal paling aneh yang pernah ia lihat. Ia melihat
keenam tiruannya berdesakan di sekitar kantung, mengambil baju, kacamata, dan barangbarang
lain. Harry sebal saat mereka langsung berganti baju begitu saja dengan tubuhnya,
merasa privasinya dilanggar.
"Aku tahu Ginny berbohong tentang tato itu," kata Ron sambil memandangi dadanya
yang telanjang.
"Harry, penglihatamu jelek sekali," kata Hermione sambil memakai kacamatanya.
Setelah mereka berganti pakaian, Harry palsu mengambil ransel dan sangkar burung
hantu yang berisi boneka burung hantu salju dari kantung kedua.
"Bagus," kata Moddy saat melihat tujuh orang Harry yang berkacamata dan telah siap
berangkat. "Kita akan pergi berpasangan. Mundungus bersamaku naik sapu…"
"K'napa aku bareng kamu?" kata Harry yang di dekat pintu.
"Karena kau memang harus diawasi," kata Moody, dan mata sihirnya memang terus
memandang ke arah Mundungus. "Arthur dan Fred…"
"Aku George," kata Harry yang Moody tunjuk. "Apa kalian masih tidak bisa
membedakan kami?"
"Maaf, George…"
"Aku bercanda, aku Fred…"
"Cukup bercandanya!" bentak Moody. "Pokoknya, salah satu dari kalian bersama Arthur,
dan yang lainnya bersama Remus. Nona Delacour…"
"Aku bersama Fleur naik Thestral," kata Bill. "Dia tidak begitu mahir di atas sapu."
Fleur berdiri di samping Bill sambil memandanginya penuh rasa kagum dan patuh. Dan
Harry yakin bahwa raut muka itu tidak pernah muncul di wajahnya.
"Nona Granger bersama Kingsley naik Thestral…" Hermione tampak tenang saat
membalas senyum Kingsley, karena ia pun tidak begitu mahir di atas sapu.
"Berarti tinggal kau dan aku, Ron," kata Tonks riang yang kemudian menyenggol sebuah
mug saat melambaikan tangannya. Ron tampak tidak sesenang Hermione.
"Dan kau bersamaku, Harry. Tak apa, 'kan?" kata Hagrid, terlihat sedikit khawatir. "Kita
naik motor. Kau tau kan, sapu dan Thestral tidak dapat tahan berat badanku. Nanti kau
akan duduk di gandengannya."
"Bagus," kata Harry tak sepenuhnya jujur.
“Kami pikir Pelahap Maut akan mengira kau akan naik sapu,” kata Moody yang
sepertinya tahu apa yang sedang Harry pikirkan. “Snape punya banyak waktu untuk
menceritakan segala hal tentangmu di depan Pelahap Maut. Dan mungkin saja para
Pelahap Maut akan mengejar Harry yang memang ahli dan terbiasa di atas sapu.
Baiklah,” kata Moody yang langsung memimpin mereka keluar. Tiga menit lagi kita
berangkat. Ayo…”
Harry bergegas ke tangga mengambil ransel, Firebolt, dan sangkar Hedwig, lalu
bergabung dengan yang lain di halaman belakang. Semua sudah siap di samping sapu.
Hermione sedang dibantu Kingsley untuk menaiki Thestral, dan Fleur dan Bill sudah siap
di atas Thestral yang lain. Hagrid berdiri di samping sepeda motor dengan helm dan
kacamata terpasang.
“Apakah… apakah ini sepeda motor Sirius?”
“Benar,” kata Hagrid, menatap Harry. “Dan trakhir kali kau di sana, aku bisa
menggendongmu dengan hanya satu tangan!”
Harry merasa malu saat duduk di gandengan motor. Membuatnya berpuluh-puluh senti
lebih pendek dari yang lain, bahkan Ron menyeringai saat melihatnya, seperti melihat
anak kecil yang sedang duduk di bom-bom-car. Harry memaksa meletakkan ransel dan
sapunya di bawah tempat duduknya dan menaruh sangkar Hedwig di antara lututnya.
Benar-benar tidak nyaman.
“Arthur menyihirnya sdikit,” kata Hagrid yang menyadari ketidaknyamanan Harry.
Hagrid sendiri langsung menduduki sepeda motor yang langsung melesak ke tanah
sedalam beberapa senti. “Aku tambahi beberapa hal di setangnya. Ideku sendiri.”
Hagrid menunjuk sebuah tombol ungu dekat speedometer.
“Hati-hati, Hagrid,” kata tuan Weasley yang berdiri di sebelah sepeda motor sambil
memegang sapunya. “Aku tidak tahu apa akan baik-baik saja nantinya, dan gunakan
hanya saat mendesak.”
“Baiklah,” kata Moody. “Semua bersiap-siap. Aku ingin kita berangkat pada waktu yang
bersamaan atau rencana kita akan gagal.”
Semua menaiki sapu masing-masing.
“Pegangan, Ron,” kata Tonks, dan Harry melihat Ron yang secara sembunyi-sembunyi
melihat Lupin dengan pandangan penuh rasa bersalah karena telah berani melingkarkan
tangannya pada pinggang Tonks. Hagrid menstater sepeda motor yang langsung meraung
seperti naga dan gandengannya mulai bergetar.
“Semoga beruntung,” teriak Moody. “Kita akan bertemu satu jam lagi di the Burrow.
Dalam hitungan ketiga. Satu… dua… TIGA.”
Sepeda motor itu meraung hebat dan Harry merasa gandengannya menghentak
mengejutkan. Harry menembus udara dengan cepat, matanya mulai berair, rambutnya
berkibar. Di sekitarnya pun terlihat sapu yang melesat naik, juga kibasan ekor Thestral.
Kakinya terasa sakit dan mulai kebas karena berdesakan dengan sangkar Hedwig dan
ransel. Rasa tidak nyaman yang luar biasa bahkan membuatnya lupa untuk melihat
sekilas rumah nomor empat, Privet Drive, untuk terakhir kalinya. Saat ia menoleh ke
bawah, ia sudah tak bisa mengenalinya. Harry terbang semakin tinggi dan semakin tinggi.
Tiba-tiba ia dikelilingi oleh minimal tiga puluh orang bertudung, melayang di udara.
Mereka membentuk formasi
mengelilingi anggota Orde yang ada. Teriakan dan kilatan sinar hijau di mana-mana.
Hagrid berteriak dan membuat sepeda motornya berjungkir bailk. Sejenak Harry
kehilangan kendali, kebingungan, melihat cahaya
lampu jalanan ada di atas kepalanya, mendengar teriakan-teriakan, dan ia berpegangan
erat agar tidak jatuh. Sangkar Hedwig, Firebolt, dan ranselnya mulai menggelincir dari
kedua lututnya.
“Tidak – HEDWIG!”
Sapunya jatuh terjungkal, namun ia berhasil meraih pegangan ransel dan sangkar burung
hantu di saat-saat terakhir, dan akhirnya sepeda motor itu kembali ke posisi semula. Lalu,
kilatan sinar hijau lain. Hedwig mencicit dan terguling begitu saja ke dasar sangkar.
“Tidak – TIDAK!”
Sepeda motor itu melaju lebih cepat. Harry sempat melihat sekilas seorang Pelahap Maut
mencoba menghalangi saat Hagrid mempercepat laju sepeda motornya.
“Hedwig – Hedwig!”
Tapi burung hantu itu tidak bergerak, diam saja seperti boneka di dasar sangkar. Ia tak
percaya dan mulai mengkhawatirkan nasib yang lain. Ia menoleh dan melihat ada banyak
orang, kilatan-kilatan sinar hijau, dan dua pasang orang pergi menjauh di atas sapu
mereka, tapi Harry tidak tahu siapa itu.
“Hagrid, kita harus kembali! Kita harus kembali!” ia berteriak mencoba menandingi
berisiknya suara mesin, mempersiapkan tongkatnya, meletakkan sangkar Hedwig di
bawah kakinya dan tetap tidak percaya bahwa Hedwig telah mati. “Hagrid, KEMBALI!”
“Tugasku adalah membawamu pergi, Harry!” teriak Hagrid. “Berhenti – BERHENTI!”
teriak Harry. Dan dua kilatan sinar hijau baru saja melesat di sebelah telinga kiri Harry.
Empat Pelahap Maut terbang mengikuti mereka. Mencoba menyerang Hagrid. Hagrid
mengelak tapi mereka terus mengejar. Semakin banyak kutukan yang diluncurkan ke arah
mereka. Dan Harry harus meringkuk dalam-dalam di gandengan untuk menghindarinya.
Ia mengangkat tongkatnya dan berteriak, “Stupefy!” dan kilatan sinar merah melesat dari
tongkatnya dan membuat jarak antara empat Pelahap Maut yang mencoba untuk
menghindar.
“Tunggu, Harry, akan kucoba yang ini!” teriak Hagrid, dan Harry melihat Hagrid
menekan tombol hijau di dekat pengukur bahan bakar. Sebuah dinding batu bata yang
padat muncul dari knalpot. Sambil menjulurkan leher, Harry melihat dinding itu
membesar. Tiga Pelahap Maut berhasil menghindar namun satu tidak. Salah satu yang
hilang dari pandangan jatuh begitu saja saat sapunya hancur. Satu di antaranya mencoba
menyelamatkannya. Tapi keduanya hilang dari di kegelapan saat Hagrid mempercepat
laju sepeda motornya.
Lebih banyak lagi kutukan yang melesat di atas kepala Harry yang berasal dari tongkat
dua Pelahap Maut yang tersisa. Mereka masih mencoba menyerang Hagrid. Harry
melawan dengan Mantra Bius. Kilatan cahaya merah dan hijau melesat di udara seperti
kembang api. Dan para Muggle di bawah sana tidak tahu apa yang terjadi.
“Kita coba yang lain, Harry, pegangan!” teriak Hagrid yang langsung menekan tombol
kedua. Kali ini muncul sebuah jaring yang sangat besar dari knalpot. Tapi para Pelahap
Maut sudah siap dan berhasil menghindar. Bahkan datang seorang lagi yang tiba-tiba
muncul dari kegelapan. Kini ada tiga Pelahap Maut yang mengejar mereka dan terus
menerus melemparkan kutukan ke arah mereka.
“Siap-siap, Harry, pegangan yang kuat!” teriak Hagrid, dan Harry melihat Hagrid
menekan tombol ungu di sebelah speedometer.
Dengan suara raungan yang sangat keras, semburan api naga berwarna putih biru keluar
dari knalpot, dan sepeda motor itu langsung melesat secepat peluru dengan suara getaran
logam. Harry melihat para Pelahap Maut mencoba menghindari semburan api yang
mematikan itu. Pada saat yang sama, terasa gandengan motor mulai bergetar kencang.
Sambungannya mulai mengendur bersamaan dengan bertambahnya kecepatan sepeda
motor.
“Tak apa, Harry!” teriak Hagrid yang membungkuk dalam-dalam. Tidak seorang pun
yang mengejar mereka. Dan gandengan itu perlahan mulai terlepas.
“Kuusahakan, Harry, jangan khawatir!” teriak Hagrid sambil mengeluarkan payung
merah jambu dari saku mantelnya.
“Hagrid! Jangan! Aku saja!”
“REPARO!”
Terdengar letusan yang memekakan telinga dan gandengan motor itu benar-benar lepas.
Gandengan motor itu langsung jatuh dari ketinggian.
Di tengah keputusasaannya, Harry mengarahkan tongkatnya pada gandengan motor dan
berteriak “Wingardium leviosa!”
Gandengan motor itu mulai melayang walaupun tidak banyak bergerak, paling tidak ia
masih melayang. Tiba-tiba terdengar kutukan-kutukan yang dilesatkan. Tiga Pelahap
Maut tadi berhasil mengejarnya.
“Aku datang, Harry!” teriak Hagrid dari kegelapan, tapi Harry bisa merasakan kalau sisi
motor mulai kehilangan keseimbangan lagi. Meringkuk sedalam yang ia bisa, ia
mengarahkan tongkatnya pada seseorang yang sedang menuju ke arahnya dan berteriak,
“Impedimenta!”
Mantra itu tepat mengenai dada Pelahap Maut. Untuk sesaat Pelahap Maut itu berhenti
mendadak seakan ada penghalang yang tidak nampak baru saja menabraknya, dan nyaris
saja Pelahap Maut lain menabraknya.
Lalu gandengan motor itu mulai jatuh dan satu Pelahap Maut yang tersisa menembakkan
kutukan pada Harry dari jarak yang begitu dekat sehingga ia harus menunduk dan masuk
ke dalam gandengan dan membuat giginya patah karena terantuk pinggiran tempat
duduk.
“Aku datang, Harry, aku datang!” teriak Hagrid. Sebuah tangan besar mengangkat bagian
belakang jubah Harry dan menariknya keluar dari gandengan motor. Harry berhasil
membawa ranselnya saat akhirnya didudukkan di kursi sepeda motor, dan ia sadar bahwa
ia sedang beradu punggung dengan Hagrid.
Saat mereka melesat menjauh meninggalkan dua Pelahap Maut, Harry meludahkan darah
yang membanjiri mulutnya, mengarahkan tongkatnya pada gandengan motor yang jatuh
dan berteriak, “Confringo!”
Rasanya sungguh menakutkan dan seakan perutnya terpilin saat melihat Hedwig ikut
meledak di dalamnya. Dua Pelahap Maut yang tersisa terlempar jatuh dari sapunya.
“Harry, maaf, maaf!” erang Hagrid, “tak seharusnya aku mencoba membetulkannya, kau
tidak…”
“Tidak apa-apa. Tetaplah terbang,” balas Harry. Lalu dari kegelapan muncul dua Pelahap
Maut lain yang berhasil mengejar mereka.
Kutukan mulai mengarah lagi pada mereka, Hagrid mencoba mengelak dan melakukan
gerakan zigza. Harry tahu bahwa Hagrid tidak akan mencoba untuk menekan tombol api
naga itu lagi. Apalagi saat ini Harry duduk di tempat yang tidak aman. Harry melepaskan
Mantra Bius ke arah para pengejar mereka, walaupun gagal. Lalu ia melemparkan Matra
Penghalang. Salah satu dari Pelahap Maut itu menghindar dan membuat tudungnya
terbuka, dan saat cahaya merah dari Mantra Bius melesat di sebelah wajahnya, tampak
Stan Shunpike menatap kosong – Stan –
“Expelliarmus!” teriak Harry.
“Itu! Itu dia, itu yang asli!”
Teriakan Pelahap Maut itu terdengar oleh Harry walaupun dalam deru suara mesin
sepeda motor. Tiba-tiba kedua pengejarnya mundur dan menghilang.
“Harry, ada apa?” teriak Hagrid. “Ke mana mereka pergi?”
“Entahlah!”
Tapi Harry ketakutan. Pelahap Maut itu berkata, “Itu dia, itu yang asli!” Tapi bagaimana
mereka tahu? Ia memandangi kegelapan kosong dan merasakan ada hal yang aneh. Ke
mana mereka pergi?
Harry berputar dan menghadap ke depan agar ia bisa memegang jaket Hagrid.
“Hagrid, tekan tombol api naga itu lagi, kita harus cepat pergi dari sini!”
“Pegangan yang erat, Harry!”
Lalu terdengar suara deruman yang memekakkan telinga lagi, dan terlihat semburan api
putih biru keluar dari knalpot. Harry merasa ia mulai merosot dari tempat duduknya. Lalu
Hagrid memeganginya dengan satu tangan, sementara tangan yang lain berusaha
mengendalikan stang motor.
“Rasanya kita telah meninggalkan mereka, Harry! Kita berhasil!” teriak Hagrid.
Tapi Harry tidak seyakin itu. Ia merasa ketakutan bila tiba-tiba mereka kembali terkejar.
Mengapa mereka mundur? Salah satu dari mereka masih memegang tongkat… itu yang
asli… mereka mengatakannya saat ia menyerang Stan dengan Mantra Pelucutan
Senjata…
“Kita hampir sampai, Harry!” teriak Hagrid.
Harry dapat merasakan kecepatan sepeda motor berkurang. Walau lampu-lampu di
bawah masih tampak seperti bintang.
Tiba-tiba bekas lukanya terasa terbakar, saat seorang Pelahap Maut muncul di samping
sepeda motornya. Dua Kutukan Kematian lewat hanya berjarak beberapa milimeter dari
Harry, dan arahnya datang dari belakang.
Lalu Harry melihatnya. Voldemort terbang seperti asap di atas angin, tanpa sapu atau
Thestral. Wajahnya yang seperti ular bercahaya di tengah kegelapan. Dan jari-jarinya
yang putih, mengangkat tongkat lagi.
Hagrid memberanikan diri untuk membawa sepeda motornya terjun vertikal.
Berpegangan erat pada jaket Hagrid, Harry mulai menembakkan Mantra Bius ke segala
arah. Ia melihat tubuh seseorang terbang jatuh melewatinya dan ia tahu mantranya telah
mengenai sseorang. Namun terdengar suara ledakan dan terlihat percikan api dari mesin.
Sepeda motor itu jatuh berputar di udara, benar-benar lepas kendali.
Kilatan sinar hijau ditembakkan lagi ke arah mereka. Harry tidak tahu bagaimana
keadaan mereka, lukanya masih terasa terbakar. Rasanya ia ingin mati seketika.
Seseorang bertudung di atas sapu hanya berjarak beberapa meter darinya dan mulai
mengangkat tangannya.
“Tidak!”
Tiba-tiba Hagrid meninggalkan sepeda motor dan meloncat ke arah Pelahap Maut. Lalu
Harry melihat mereka berdua jatuh dan menghilang dari pandangan. Berat tubuh mereka
tidak mampu ditahan oleh sapu itu.
Lutut Harry menjepit dudukan sepeda motor, berusaha agar tidak melepasnya. Dan Harry
mendengar Voldemort berteriak “Milikku!”
Namun kini ia tidak lagi bisa melihat atau mendengar Voldemort. Tapi kini ia melihat
seorang Pelahap Maut lain mendekat dan terdengar “Avada…”
Rasa sakit di keningnya membuat Harry menutup matanya, tongkatnya bergerak sesuai
keinginannya sendiri. Ia merasa tangannya ditarik oleh sebuah magnet yang sangat kuat,
dan terlihat pancaran api keemasan. Kemudian terdengar suara retakan dan teriakan
kemarahan. Para Pelahap Maut yang tersisa berteriak, tapi Voldemort menjerit “Tidak!”
Tiba-tiba Harry melihat tombol api naga tepat di bawah hidungnya. Ia menekannya dan
sepeda motor itu menyemburkan lebih banyak api ke udara dan meluncur langsung ke
tanah.
“Hagrid!” panggil Harry, mencoba untuk tetap berpegangan pada sepeda motor itu.
“Hagrid – accio Hagrid!”
Sepeda motor itu melaju langsung menuju tanah. Sambil memegangi setang sepeda
motor, Harry hanya bisa melihat lampu-lampu yang mendekat. Ia akan menabrak dan ia
tidak bisa melakukan apa-apa. Di kejauhan terdengar teriakan…
“Tongkatmu, Selwyn, berikan tongkatmu!”
Ia dapat merasakan Voldemort sebelum ia melihatnya. Saat menoleh, ia melihat ke dalam
mata merahnya dan merasa yakin itulah yang akan terakhir di lihatnya. Voldemort akan
segera membunuhnya.
Namun Voldemort menghilang. Harry melihat ke bawah dan melihat Hagrid yang
terjatuh tergeletak di tanah. Ia berusaha untuk mengendalikan setang sepeda motor itu
agar tidak menabrak Hagrid. Lalu ia mencoba untuk menggengam rem sebelum akhirnya
ia menabrak sebuah kolam berlumpur.
Chapter 5
Fallen Warrior
Pejuang yang Gugur
“Hagrid?”
Harry memaksa dirinya untuk bangun dan melepaskan diri dari reruntuhan logam dan
kulit yang menutupinya. Tangannya terendam beberapa senti di dalam air berlumpur saat
ia mencoba untuk berdiri. Ia tidak mengerti mengapa tiba-tiba Voldemort menghilang
dan berharap kegelapan ini segera hilang. Sesuatu yang panas dan basah mengalir dari
dahi ke pelipisnya. Ia merangkak keluar dari kolam dan berusaha untuk mendekati
Hagrid yang tampak seperti gundukan hitam besar di atas tanah.
“Hagrid? Hagrid, bicaralah padaku…”
Tapi gundukan itu diam saja.
“Siapa di sana? Apakah itu kau, Potter? Kaukah Harry Potter?”
Harry tidak mengenali suara pria itu. Lalu terdengar suara teriakan seorang wanita,
“Mereka menabrak, Ted! Mereka di kebun!”
Kepala Harry basah.
“Hagrid,” ulang Harry, lututnya tersangkut.
Hal selanjutnya yang ia ingat adalah ia sedang tertidur di atas sesuatu yang empuk. Dada
dan tangan kanannya terasa terbakar. Giginya yang patah sudah tumbuh kembali. Bekas
lukanya masih terasa menyakitkan.
“Hagrid?”
Ia membuka mata dan melihat dirinya sedang berbaring sofa di sebuah ruang duduk yang
tidak ia kenal. Ranselnya tergeletak di lantai tak, basah dan penuh lumpur. Seorang pria
berperut tambun sedang melihat Harry penuh rasa khawatir.
“Hagrid baik-baik saja, nak,” kata pria itu, “istriku sedang merawatnya. Bagaimana
keadaanmu? Ada yang patah? Aku telah menyembuhkan tulang iga, tangan, dan gigimu.
Aku Ted, Ted Tonks, ayah Dora.”
Harry duduk terlalu mendadak membuat matanya berkunang-kunang dan membuatnya
merasa pusing.
“Voldemort…”
“Tenang,” kata Ted Tonks, sambil menyuruh Harry kembali untuk berbaring. “Kau baru
saja mengalami tabrakan hebat tadi. Apa yang terjadi? Apa ada yang salah dengan sepeda
motornya? Apa Arthur Weasley terlalu memaksa dirinya dengan alat-alat Muggle itu?”
“Tidak,” kata Harry, bekas lukanya mulai berdenyut lagi. “Pelahap Maut, begitu banyak,
mereka mengejar kami…”
“Pelahap Maut?” tanya Ted tajam. “Apa maksudmu? Aku pikir mereka tidak tahu bahwa
kau akan dipindahkan malam ini.”
“Mereka tahu,” kata Harry.
Ted Tonks melihat langit-langit seakan-akan ia bisa langsung melihat langit.
“Kalau begitu, perlindungan kami telah berhasil mencegah mereka, kan? Mereka tidak
bisa mendekati rumah ini dalam jarak ratusan meter dari berbagai arah.”
Sekarang Harry tahu mengapa Voldemort tiba-tiba menghilang. Ia telah berhasil masuk
ke dalam area perlindungan. Sekarang ia hanya berharap kalau mantra perlindungan itu
cukup kuat. Karena saat ini ia bisa membayangkan Voldemort, beratus-ratus meter
jauhnya, sedang mencari cara untuk masuk ke dalam sesuatu yang Harry bayangkan
seperti sebuah gelembung transparan yang sangat besar.
Harry mencoba untuk berdiri. Ia harus melihat Hagrid dengan mata kepalanya sendiri
sebelum ia percaya kalau Hagrid masih hidup. Saat ia hampir berdiri, pintu tiba-tiba
membuka dan Hagrid mencoba melewatinya. Wajahnya penuh lumpur dan darah, sedikit
terpincang, tapi tetap hidup.
“Harry!”
Hanya butuh dua langkah besar bagi Hagrid untuk menyebrangi ruangan dan menarik
Harry ke dalam pelukannya dan hampir mematahkan tulang iganya yang baru saja di
sembuhkan. “Ya ampun, Harry, bagaimana kau bisa menghadapi mereka semua? Aku
pikir kita akan mati.”
“Aku juga. Aku tak bisa percaya…”
Harry terdiam. Ia baru mengenali seorang wanita yang ada di belakang Hagrid.
“Kau!” teriak Harry sambil mencoba meraih sesuatu di kantungnya tapi tidak ada.
“Tongkatmu ada di sini, nak,” kata Ted, menyerahkan tongkat Harry. “Tadi terjatuh, dan
aku memungutnya. Dan kau baru saja berteriak pada istriku.”
“Oh, aku, aku minta maaf.”
Saat wanita itu mendekati mereka, terlihat kemiripan Mrs. Tonks dengan saudarinya
Bellatrix. Namun rambutnya berwarna coklat lembut, matanya lebih lebar, dan tampak
lebih ramah. Tapi ia terlihat sedikit terkejut setelah diteriaki Harry.
“Apa yang terjadi dengan putri kami?” tanyanya. “Hagrid bilang tadi kalian diserang. Di
mana Nymphadora?”
“Aku tidak tahu,” kata Harry. “Kami tidak tahu bagaimana keadaan yang lain.”
Ted dan istrinya bertukar pandang. Rasa takut dan bersalah bercampur dalam dada Harry.
Bila ada yang meninggal, itu adalah kesalahannya, semua adalah salahnya. Ia telah
menyetujui rencana itu dan memberikan rambutnya…
“Portkey,” tiba-tiba Harry teringat. “Kami harus ke the Burrow dan mencari tahu. Nanti
akan langsung kami kabari begitu Dora…”
“Dora akan baik-baik saja. Dia tahu apa yang dia kerjakan. Dia sudah sering melakukan
ini bersama para Auror. Kemarilah,” tambah Ted. “Kalian akan berangkat dalam waktu
tiga menit.”
“Baiklah,” kata Harry. Ia mengambil ranselnya dan menyandangnya di pundak. “Aku…”
Ia melihat Mrs. Tonks ingin meminta maaf atas segala hal yang terjadi, ia merasa
bertanggung jawab. Tapi tidak satu kata pun keluar.
“Aku akan beritahu Tonks – Dora – untuk mengabari kalian, saat dia… terima kasih
sudah menolong kami, terima kasih untuk segalanya. Aku…”
Harry merasa lega saat ia meninggalkan ruangan itu dan mengikuti Ted Tonks menuju
kamar tidur. Hagrid berada di belakangnya, menunduk dalam-dalam agar tidak terantuk
kusen pintu.
“Itu Portkey-nya, nak.”
Mr. Tonks menunjuk sebuah sisir kecil berwarna keperakan yang ada di atas meja rias.
“Terima kasih,” kata Harry, yang langsung menyentuhkan jarinya, siap untuk berangkat.
“Dia… dia kena,” kata Harry.
Teringat sesaat ledakan itu membuatnya merasa bersalah dan setitik air mata ada di ujung
matanya. Hedwig telah menjadi kawannya, ia adalah penghubungnya dengan dunia sihir
saat ia kembali ke rumah keluarga Dursley.
Hagrid menepuk-tepuk tangannya yang besar ke pundak Harry.
“Tidak apa-apa,” katanya muram. “Tidak apa-apa. Dia telah hidup cukup lama…”
“Hagrid!” Ted Tonks mengingatkan. Sisirnya mulai bercahaya biru terang dan Hagrid
langsung menyentuhkan jarinya.
Sentakan dari belakang mengangkat mereka seperti kaitan yang tak terlihat, membuat
Harry berputar tak terkendali. Jarinya menempel di Portkey saat ia meninggalkan rumah
keluarga Tonks. Sedetik kemudian ia terlempar ke tanah yang keras dengan tangan dan
lutut menyentuh halaman the Burrow terlebih dulu. Ia mendengar teriakan. Harry berdiri
dan berjalan perlahan, dan melihat Mrs. Weasley dan Ginny yang berlari keluar dari pintu
belakang. Hagrid yang juga terjatuh saat mendarat, berusaha berdiri di atas kakinya.
“Harry? Apakah kau benar-benar Harry? Apa yang terjadi? Mana yang lain?” teriak Mrs.
Weasley.
“Apa maksudmu? Apa belum ada yang kembali?” kata Harry.
Jawabannya sudah jelas saat ia melihat wajah pucat Mrs. Weasley.
“Pelahap Maut sudah menunggui kami,” Harry menceritakan. “Kami langsung dikelilingi
sesaat setelah kami berangkat – mereka tahu tentang malam ini – aku tidak tahu apa yang
terjadi pada yang lain. Empat di antaranya mengejar kami saat kami berhasil menjauhkan
diri, dan Voldemort berhasil menemukan kami…”
Harry dapat mendengar jelas nada pembelaan dalam ceritanya, sebuah alasan mengapa ia
tidak tahu bagaimana keadaan yang lain.
“Syukurlah kau baik-baik saja,” Mrs. Weasley langsung memberikan pelukan yang Harry
anggap ia tidak pantas dapatkan.
“Punya sdikit brandy, Molly?” tanya Hagrid yang gemetaran. “Tuk tujuan pengobatan?”
Ia bisa saja mengambilnya dengan shir, tapi ia berlari masuk ke rumah. Harry tahu kalau
Mrs. Weasley ingin menyembunyikan perasaannya. Harry melihat Ginny yang langsung
memberinya berita.
“Ron dan Tonks harusnya kembali pertama, tapi mereka terlambat mencapai Portkey,”
katanya sambil menunjuk kaleng berkarat tak jauh dari sana. “Dan itu,” ia menunjuk
sepatu tua, “harusnya ayah dan Fred menjadi yang kedua. Kau dan Hagrid yang ketiga,
dan” Ginny melihat jamnya, “jika mereka berhasil, George dan Lupin akan kembali
semenit lagi.”
Mrs. Weasley muncul sambil membawa sebotol brandy yang langsung diserahkannya ke
Hagrid. Hagrid membuka tutupnya dan langsung menghabiskannya dalam sekali minum.
“Mum!” teriak Ginny sambil menunjuk sebuah titik.
Cahaya kebiruan muncul dari kegelapan yang makin besar dan makin terang. Lupin dan
George muncul, berputar lalu terjatuh. Harry melihat sesuatu yang tidak baik. Lupin
membopong George yang tidak sadarkan diri dan darah menutupi wajahnya.
Harry berlari dan membantu mengangkat kaki George. lupin dan Harry membawa
George masuk ke dalam rumah melalui dapur dan meletakkannya di sofa di ruang duduk.
Saat cahaya lampu menerangi George, Ginny terperangah dan perut Harry terasa
terpelintir. George kehilangan satu telinganya. Kepala dan lehernya basah, dibanjiri darah
segar.
Mrs. Weasley langsung berlutut di sebelah putranya saat Lupin memegang tangan Harry
dan menariknya kasar, membawanya kembali ke dapur, di mana Hagrid masih terjebak di
pintu.
“Oi!” kata Hagrid marah. “Lepaskan Harry! Lepaskan dia!”
Lupin tidak peduli.
“Makhluk apa yang ada di pojok ruangan saat Harry Potter masuk ke dalam kantorku di
Hogwarts?” tanyanya sambil menggoncang Harry. “Jawab!”
“Grind-grindylow dalam tank.”
Lupin melepaskan cengkeramannya dan jatuh bersandar di lemari dapur.
“Apa itu tadi?” teriak Hagrid.
“Maaf Harry, tapi aku harus memastikan,” kata Lupin. “Ada pengkhianat di antara kita.
Voldemort tahu kau dipindahkan malam ini dan orang yang bisa membocorkannya
adalah orang yang menjemputmu. Bisa saja kaulah penipu itu.”
“Mengapa kau tidak memastikan aku?” tanya Hagrid yang masih berusaha keluar dari
pintu.
“Kau setengah-raksasa,” kata Lupin sambil melihat Hagrid. “Ramuan Polyjus didesain
khusus untuk manusia.”
“Rasanya tidak mungkin salah satu dari anggota Orde yang akan membocorkannya pada
Voldemort,” kata Harry. Gagasan itu begitu mengejutkan, Harry memercayai mereka
semua. “Voldemort mengejarku sesaat kami hampir tiba, dia tidak mengenaliku pada
awalnya. Kalau orang itu tahu rencana kita, tentu Voldemort tahu bahwa aku pergi
bersama Hagrid.”
“Voldemort mengejarmu?” tanya Lupin tajam. “Apa yang terjadi? Bagaimana kau bisa
lolos?”
Harry meringkas ceritanya, bagaimana seorang Pelahap Maut mengenalinya, bagaimana
mereka meninggalkan pengejaran dan memanggil Voldemort, dan bagaimana mereka
semua muncul sesaat Harry berhasil mencapai rumah orang tua Tonks.
“Mereka mengenalimu? Tapi bagaimana mungkin? Apa yang telah kau lakukan?”
“Aku…” Harry berusaha untuk mengingat perjalanan yang membingungkan dan penuh
rasa panik tadi. “Aku melihat Stan Shunpike… kau tahu, kondektur Bus Ksatria? Aku
mencoba melucuti senjatanya. Sepertinya dia tidak tahu apa yang dia lakukan, dia pasti di
bawah Mantra Imperius!”
Lupin terperanjat.
“Harry, masa melucuti senjata sudah lewat! Orang-orang ini berusaha menangkap dan
membunuhmu! Paling tidak pingsankan mereka kalau kau tidak ingin membunuh
mereka!”
“Kami ada ratusan meter di atas tanah! Dan Stan bukan dirinya sendiri! Bila aku
membuatnya pingsan, dia akan jatuh dan mati! Tidak ada bedanya bila aku memakai
Avada Kedavra! Expelliarmus telah menyelamatkanku dari Voldemort dua tahun yang
lalu,” tambah Harry. Lupin mengingatkan Harry pada Zacharias Smith, anak Hufflepuff,
yang mengejek dirinya saat Harry mengajari Laskar Dumbledore Mantra Perlucutan
Senjata.
“Tentu saja, Harry,” kata Lupin mengalah, “dan ratusan Pelahap Maut melihatmu
melakukannya! Maafkan aku, tapi itu bukanlah mantra yang umum bila kau ada di ujung
kematian. Dan kau memakainya lagi di depan para Pelahap Maut yang pernah melihatmu,
atau paling tidak mendengarmu, melakukannya di saat kau terancam.”
“Jadi lebih baik bila aku membunuh Stan Shunpike?” kata Harry marah.
“Tentu saja tidak,” kata Lupin, “tapi, para Pelahap Maut, dan banyak orang lain,
mengharapkanmu untuk melawan mereka! Expelliarmus adalah mantra yang berguna,
Harry. Tapi sepertinya Pelahap Maut menganggap bahwa itu adalah penanda, mantra
yang selalu kau pakai. Dan aku ingatkan kau untuk tidak membiarkannya menjadi
penandamu.”
Lupin membuat Harry merasa seperti orang idiot tapi Harry masih ingin melawan.
“Aku tidak ingin meledakkan orang yang menghalangi jalanku,” kata Harry. “Itu kerjaan
Voldemort.”
Lupin tidak sempat membalas karena Hagrid, yang akhirnya bisa membebaskan dirinya
dari pintu, berjalan terhuyung, jatuh terduduk, dan menjatuhi Lupin. Harry langsung
bertanya lagi pada Lupin.
“Apakah George akan baik-baik saja?”
Semua kemarahan Lupin tiba-tiba menguap saat mendengar pertanyaan itu.
“Semoga saja. Walau tidak mungkin untuk mengembalikan telinganya, tidak mungkin
bila disebabkan oleh kutukan.”
Terdengar suara dari luar. Lupin langsung berlari keluar dari dapur. Harry meloncati kaki
Hagrid dan mengekor keluar.
Dua orang telah muncul di halaman dan terlihat Hermione, yang sudah kembali ke bentuk
semula, bersama Kingsley, keduanya memegangi gantungan baju. Hermione langsung
melingkarkan lengannya untuk memeluk Harry, tapi Kingsley tidak terlihat senang.
Melalui bahu Hermione ia melihat Kingsley mengangkat tongkat dan mengarahkannya ke
dada Lupin.
“Apa kata-kata terakhir yang Dumbledore katakan pada kita?”
“’Harry adalah harapan kita. Percayalah padanya,’” kata Lupin tenang.
Kingsley mengarahkan tongkatnya pada Harry, tapi Lupin berkata, “Itu memang dia,
sudah kuperiksa.”
“Baiklah,” kata Kingsley yang langsung memasukkan tongakatnya ke dalam jubah. “Tapi
seseorang berkhianat! Mereka tahu, mereka tahu tentang malam ini!”
“Sepertinya,” jawab Lupin, “tapi sepertinya mereka tidak tahu kalau akan ada tujuh orang
Harry.”
“Untung sekali,” kata Kingsley geram. “Siapa saja yang sudah kembali?”
“Hanya Harry, Hagrid, George, dan aku.”
Hermione terperanjat dan mengatupkan tangan menutupi mulutnya.
“Apa yang terjadi pada kalian?” tanya Lupin pada Kingsley.
“Diburu lima Pelahap Maut, berhasil melukai dua orang, dan mungkin membunuh
seorang,” kata Kingsley sambil terhuyung, “dan berhadapan langsung dengan Kau-Tahu-
Siapa, dia datang di tengah pengejaran lalu menghilang. Remus, dia bisa…”
“Terbang,” potong Harry. “Aku juga bertemu dengannya, dia mengejarku dan Hagrid.”
“Jadi itu alasannya dia menghilang, untuk mengejarmu!” kata Kingsley. “Aku tidak tahu
mengapa dia tiba-tiba pergi. Tapi mengapa dia tiba-tiba mengubah target?”
“Harry bersikap terlalu baik pada Stan Shunpike,” kata Lupin.
“Stan?” ulang Hermione. “Tapi, aku kira dia ada di Azkaban.”
Kingsley tertawa suram.
“Hermione, telah terjadi pelarian besar-besaran yang tidak diberitakan oleh Kementrian.
Tudung Traver terlepas saat aku melawannya, dan dia seharusnya ada di Azkaban juga.
Apa yang terjadi padamu Remus? Di mana George?”
“Dia kehilangan salah satu telinganya,” kata Lupin.
“Kehilangan apa?” ulang Hermione dengan nada tinggi.
“Hasil kerja Snape,” kata Lupin.
“Snape?” teriak Harry. “Kau tidak bilang…”
“Tudungnya terlepas saat pengejaran. Sectusempra memang sudah jadi spesialisasi
Snape. Rasanya aku ingin membalasnya, tapi aku harus memegangi George di atas sapu
setelah dia terluka, dia kehilangan begitu banyak darah.”
Mereka berempat terdiam saat menatap ke langit. Tidak ada tanda apa pun di sana. Hanya
bintang yang tidak berkedip dan tampak sama. Di mana Ron? Di mana Fred dan Mr.
Weasley? Di mana Bill, Fleur, Tonks, Mad-Eye, dan Mundungus?
“Harry, tolong aku!” kata Hagrid yang terjepit lagi di pintu. Lega saat harus melakukan
sesuatu, Harry menarik Hagrid hingga terlepas dari pintu, lalu masuk ke dalam dapur dan
terus ke ruang duduk, di mana Mrs. Weasley dan Ginny masih merawat George. Mrs.
Weasley berhasil menghentikan pendarahan, dan di bawah sinar lampu Harry bisa
melihat sebuah lubang, di mana seharusnya ada telinga George.
“Bagaimana keadaannya?”
Mrs. Weasley menoleh dan berkata, “Aku tidak dapat menumbuhkannya kembali, tidak
bisa kalau hilang karena Ilmu Hitam. Tapi bisa saja lebih buruk… untung saja dia masih
hidup.”
“Ya,” kata Harry. “Syukurlah.”
“Rasanya aku mendengar yang lain di halaman,” kata Ginny.
“Hermione dan Kingsley.”
“Syukurlah,” bisik Ginny. Mata mereka saling memandang. Ingin rasanya Harry
memeluknya, bergantung padanya, ia bahkan tidak peduli ada Mrs. Weasley di sana, tapi
sebelum Harry melakukan apa yang ia inginkan terdengar suara teriakan dari dapur.
“Akan kubuktikan diriku, Kingsley, tapi setelah aku melihat keadaan anakku. Sekarang
minggir kalau kau tahu apa harus kau lakukan!”
Harry tidak pernah mendengar Mr. Weasley berteriak sebelumnya. Ia menerobos masuk
ke ruang duduk. Kepalanya yang botak dipenuhi keringat dan kacamatanya miring. Fred
berdiri di belakangnya. Keduanya tampak pucat tapi tidak terluka.
“Arthur!” isak Mrs. Weasley. “Oh, syukurlah!”
“Bagaimana keadaannya?”
Mr. Weasley langsung berlutut di sebelah George. Untuk pertama kalinya Harry melihat
Fred kehilangan kata-kata. Ia berdiri di belakang sofa melihat luka kembarannya dan
sepertinya tak percaya akan apa yang ia lihat.
Mungkin karena mendengar suara kedatangan Fred dan ayahnya, George mulai sadar.
“Bagaimana perasaanmu, Georgie?” tanya Mrs. Weasley.
George memegang sisi kepalanya.
“Seperti seorang malaikat,” gumamnya.
“Ada apa dengannya?” teriak Fred ketakutan. “Apakah otaknya juga terganggu?”
“Seperti seorang malaikat,” ulang George sambil menatap saudaranya. “Kau tahu… aku
holy (suci). Holey (berlubang)*, Fred, ngerti?”
Suara isakan Mrs. Wealey semakin keras. Wajah pucat Fred mulai berwarna.
“Menyedihkan!” kata Fred pada George. “Menyedihkan! Dari begitu banyak humor
tentang telinga di dunia ini, kau pilih holey?”
“Ah, menyebalkan,” George tersenyum pada ibunya yang sedang menangis. “Sekarang
kau bisa membedakan kami, Bu.”
George memerhatikan sekelilingnya.
“Hai Harry! Kau Harry, kan?”
“Ya,” kata Harry sambil mendekat ke sofa.
“Paling tidak, kami bisa membantumu,” kata George. “Mengapa Ron dan Bill tidak ada
di sini dan menangisi aku?”
“Mereka belum kembali, George,” kata Mrs. Weasley. Senyum George langsung
menghilang. Harry memandang Ginny dan memintanya untuk menemaninya ke halaman
belakang. Saat mereka berjalan melewati dapur, Ginny berbicara perlahan, “Ron dan
Tonks harusnya akan datang sebentar lagi. Jarak mereka tidak terlalu jauh. Rumah bibi
Muriel tidak jauh dari sini.”
Harry diam saja. Dia berusaha untuk tidak menunjukkan rasa takutnya sejak ia tiba di the
Burrow. Tapi kini rasa takut itu menyelimutinya, merambati kulitnya, menyakiti dadanya,
menyumbat tenggorokannya. Saat mereka keluar di halaman belakang yang gelap, Ginny
meraih tangannya.
Kingsley berjalan berputar-putar, berkali-kali melihat ke langit. Mengingatkan Harry
pada paman Vernon yang juga suka melakukannya di ruang tamu berjuta tahun lalu.
Hagrid, Hermione, dan Lupin berdiri berjajar dalam diam, melihat ke atas. Tak seorang
pun sadar saat Harry dan Ginny bergabung.
Semenit terasa seperti bertahun-tahun. Bahkan hembusan angin paling ringan yang
menyentuh semak dan pohon membuat mereka terlonjak dan mencari-cari dari mana
gerakan itu berasal. Berharap anggota Orde akan muncul dari balik dedaunan.
Lalu sesuatu yang terbang di atas mereka turun menuju tanah.
“Itu mereka!” teriak Hermione.
Tonks mendarat. “Remus!” teriak Tonks yang terhuyung turun dari sapunya dan jatuh
dalam pelukan Lupin. Wajah Lupin berubah kaku dan pucat dan tampak tidak bisa
berbicara. Ron tersandung ke arah Harry dan Herminone.
“Kalian baik-baik saja,” kata Ron yang langsung dipeluk erat oleh Hermione.
“Aku tak apa-apa,” kata Ron sambil menepuk-nepuk punggung Hermione. “Aku baikbaik
saja.”
“Ron hebat,” kata Tonks hangat sambil melepaskan diri dari pegangan Lupin. “Luar
biasa. Memingsankan seorang Pelahap Maut, tepat di kepala, dan saat kau membidik
target bergerak dari sapu yang sedang terbang…”
“Kau melakukannya?” kata Hermoine menatap Ron, tangannya masih dikalungkan di
leher Ron.
“Selalu dengan nada kaget,” katanya sedikit marah, mencoba melepaskan diri dari tangan
Hermione. “Apa kami yang terakhir?”
“Tidak,” kata Ginny, “kami masih menunggu Bill, Fleur, Mad-Eye, dan Mundungus. Aku
akan bilang pada ayah dan ibu kalau kau baik-baik saja.”
Ginny berlari masuk.
“Apa yang menahanmu? Apa yang terjadi?” suara Lupin bernada sedikit marah.
“Bellatrix,” kata Tonks. “Dia begitu menginginkanku seperti dia menginginkan Harry,
Remus. Dia berusaha untuk membunuhku. Aku ingin membalasnya, aku berhutang pada
Bellatrix. Tapi kami berhasil melukai Rodolphus… saat kami tiba di rumah bibi Ron,
Muriel, kami ketinggalan Portkey. Dia begitu marah pada kami…”
Tampak sebuah otot muncul di rahang Lupin. Ia mengangguk tapi tidak bisa berkata apaapa.
“Jadi, apa yang terjadi pada kalian?” tanya Tonks pada Harry, Hermione, dan Kingsley.
Mereka menceritakan kembali cerita masing-masing. Namun ketidakadaan Bill, Fleur,
Mad-Eye, dan Mundungus membuat mereka makin merasa khawatir.
“Aku harus kembali ke Downing Street. Seharusnya aku tiba di sana satu jam yang lalu,”
kata Kingsley setelah menatap langit untuk terakhir kalinya. “Beritahu aku bila mereka
sudah kembali.”
Lupin mengangguk. Kingsley melambaikan tangannya dan berjalan di kegelapan menuju
pagar. Lalu Harry mendengar suara pop saat Kingsley ber-Disapparate di luar the
Burrow.
Mr. dan Mrs. Weasley keluar dari rumah diikuti Ginny di belakang mereka. Mereka
langsung memeluk Ron lalu beralih pada Lupin dan Tonks.
“Terima kasih,” kata Mrs. Weasley, “sudah menjaga anak-anak kami.”
“Jangan begitu, Molly,” kata Tonks.
“Bagaimana George?” tanya Lupin.
“Ada apa dengannya?” tanya Ron.
“Dia kehilangan…”
Kalimat Mrs. Weasley tak terselesaikan saat terdengar suara tangisan. Seekor Thestral
muncul dan mendarat beberapa meter dari mereka. Bill dan Fleur turun, agak kacau tapi
tidak terluka.
Mrs. Weasley berlari mendekati mereka tapi Bill tidak membalas pelukan ibunya. Ia
menatap lurus-lurus ke mata ayahnya dan berkata, “Mad-Eye meninggal.”
Tak seorang pun berbicara. Tak seorang pun bergerak. Harry merasa sesuatu dari dirinya
sedang jatuh, jatuh dalam ke bumi, meninggalkan dirinya untuk selamanya.
“Kami melihatnya,” kata Bill. Fleur mengangguk, air matanya berkilauan tertimpa
cahaya lampu dari dapur. “Terjadi begitu saja. Mad-Eye dan Dung ada di sebelah kami,
mereka juga mengarah ke utara. Voldemort – dia bisa terbang – dia langsung mengejar
mereka. Dung panik, aku mendengarnya berteriak-teriak, Mad-Eye mencoba
menyuruhnya diam, tapi dia tetap ber-Disapparate. Kutukan Voldemort tepat mengenai
wajah Mad-Eye, dia terjatuh dari sapunya dan kami tidak bisa menolongnya. Kami
sendiri dikejar enam Pelahap Maut…”
Bill berhenti berbicara.
“Jelas kalian tidak bisa menolongnya,” kata Lupin.
Mereka berdiri sambil memandang satu sama lain. Harry tidak paham. Mad-Eye
meninggal. Tidak mungkin… Mad-Eye yang begitu tangguh, begitu berani, yang selalu
bisa bertahan hidup…
Semuanya mengerti, tanpa seorang pun yang mengatakannya, tak ada gunanya lagi
menunggu di halaman belakang. Dalam diam, mereka mengikuti tuan dan Mrs. Weasley
masuk ke the Burrow, langsung ke ruang duduk, di sana Fred dan George sedang
bercanda.
“Ada apa?” tanya Fred memerhatikan wajah mereka yang baru masuk. “Apa yang
terjadi? Siapa yang…”
“Mad-eye,” kata tuan Weasley, “meninggal.”
Senyum di wajah si kembar hilang berganti dengan rupa terkejut. Sepertinya tak seorang
pun tahu apa yang harus mereka lakukan. Tonks menangis dalam diam di balik
saputangannya. Harry tahu, Tonks dekat dengan Mad-Eye, ia murid kesayangan Mad-
Eye di Kementrian Sihir. Hagrid yang duduk di lantai di pojok ruangan dan
menghabiskan paling banyak tempat, sedang mengusap matanya dengan saputangan
seukuran taplak.
Bill berjalan menuju lemari dan mengeluarkan gelas dan sebotol Firewhisky.
“Ini,” katanya, dan dengan ayunan tongkatnya tiga belas gelas yang telah terisi yang
terbang mendekati tiap orang yang ada di ruangan. “Untuk Mad-Eye.”
“Mad-Eye,” kata semua orang dan meminumnya.
“Mad-Eye,” kata Hagrid, terlambat, terdengar isakkannya.
Firewhisky membasahi tenggorokan Harry. Membuatnya terasa terbakar, rasa kebas dan
ketidakpercayaannya menghilang, memberinya semangat keberanian.
“Jadi Mundungus menghilang?” kata Lupin yang langsung mengosongkan gelasnya
sekali teguk.
Keadaan langsung berubah. Tiap orang tampak waspada, melihat Lupin, menunggu ia
melanjutkan. Tiba-tiba Harry takut akan apa yang akan didengarnya.
“Aku tahu apa yang kaupikirkan,” kata Bill, “aku juga memikirkan hal yang sama
sepanjang perjalanan kemari, karena sepertinya Pelahap Maut sedang menunggui kita,
kan? Tapi Mundungus tidak mungkin mengkhianati kita. Pelahap Maut tidak tahu akan
ada tujuh orang Harry, mereka tampak kebingungan saat kita baru saja berangkat. Dan
hanya untuk mengingatkan, adalah Mundungus yang mengajukan ide gila ini. Kalau dia
membocorkannya, mengapa dia tidak langsung menceritakan keseluruhan rencana?
Kurasa Dung panik, hanya itu. Dia tidak ingin jadi yang pertama diserang, tapi Mad-Eye
membawanya, dan Kau-Tahu-Siapa langsung menyerang mereka. Itu sudah cukup
membuat seseorang menjadi panik.”
“Kau-Tahu-Siapa bereaksi seperti perkiraan Mad-Eye,” isak Tonks. “Mad-Eye bilang
bahwa Kau-Tahu-Siapa akan mengira bahwa Harry yang asli akan dijaga oleh Auror
yang paling berpengalaman. Dia langsung mengejar Mad-Eye, tapi begitu Mundungus
menghilang, dia langsung mengincar Kingsley.”
“Benar,” potong Fleur, “tapi itu tidak menjelaskan bagaimana mereka tahu kita akan
memindahkan “’Arry malam ini, kan? Seseorang telah sembrono. Seseorang telah
memberitahukan tanggal pemindahan pada orang luar. “’Anya itu penjelasan yang ada,
bagaimana mereka tahu tanggal peminda”an tapi tidak tahu keseluru”an rencana.”
Fleur memandang ke penjuru ruangan, terlihat sisa air mata membekas di wajahnya yang
cantik, ia menantang bila ada yang tak sependapat. Tak seorang pun. Suara yang
terdengar hanya isakkan Hagrid. Harry melihat Hagrid, yang sudah membahayakan diri
untuk menyelamatkan Harry. Hagrid yang ia sayang, yang ia percaya, yang dengan
mudah ditipu dan telah menukarkan informasi penting pada Voldemort dengan sebutir
telur naga…
“Tidak,” kata Harry keras, dan semuanya menoleh padanya, terkejut. Sepertinya
Firewhisky telah memperbesar suaranya. “Maksudku… bila seseorang melakukan
kesalahan,” lanjut Harry, “dan tanpa sengaja memberitahukannya pada orang lain, aku
tahu mereka tidak bermaksud seperti itu. Itu bukan kesalahan mereka,” ulang Harry,
sudah dengan suaranya yang biasa. “Kita harus percaya satu sama lain. Aku percaya pada
kalian semua. Aku yakin tak seorang pun di ruangan ini yang akan menyerahkanku pada
Voldemort.”
Tak ada yang menjawab. Semua tetap melihat Harry. Harry merasa panas, ia meminum
Firewhiskynya sedikit. Lalu ia teringat Mad-Eye. Mad-Eye yang selalu mengomentari
kebiasaan Dumbledore yang selalu percaya pada orang lain.
“Bagus sekali, Harry,” kata Fred.
“Ya, benar-benar bagus,” imbuh George sambil menatap Fred.
Lupin menatap Harry dengan sebuah ekspresi aneh. Menatapnya penuh rasa kasihan, atau
sayang.
“Kau pikir aku idiot,” tantang Harry.
“Tidak. Kupikir kau seperti James, “yang menganggap bahwa mengkhianati teman
adalah aib paling memalukan.”
Harry tahu ke mana arahnya. Ayahnya pernah dikhianati oleh temannya sendiri, Peter
Pettigrew. Entah mengapa tiba-tiba Harry merasa marah. Tapi Lupin sudah menoleh,
meletakkan gelasnya, dan berbicara pada Bill, “Ada sesuatu yang harus aku lakukan. Aku
bisa meminta Kingsley, kalau kau…”
“Tidak,” kata Bill, “akan ku lakukan.”
“Mau ke mana?” kata Tonks dan Fleur bersamaan.
“Mayat Mad-Eye,” kata Lupin, “kami harus mengambilnya.”
“Tidak bisakah kalian…” Mrs. Weasley memohon pada Bill.
“Menunggu?” kata Bill. “Tidak, kecuali bila kau ingin Pelahap Maut menemukannya
lebih dulu.”
Semuanya diam. Tiap orang berdiri saat Lupin dan Bill berpamitan.
Setiap orang kembali duduk di kursi masing-masing kecuali Harry, yang tetap berdiri.
“Aku harus pergi,” kata Harry.
Sepuluh pasang mata memandanginya.
“Jangan bodoh, Harry,” kata Mrs. Weasley. “Apa yang kau bicarakan?”
“Aku tidak bisa tinggal di sini.”
Harry menggosok dahinya. Bekas lukanya terasa menusuk lagi. Rasanya tak pernah
sesakit ini dalam setahun terakhir.
“Kalian dalam bahaya bila aku tetap tinggal di sini. Aku tidak ingin…”
“Jangan bersikap bodoh, kalau begitu!” kata Mrs. Weasley. “Tujuan utama seluruh
rencana malam ini adalah untuk membawamu ke sini dalam keadaan hidup. Dan untung
saja berhasil. Bahkan Fleur sudah setuju untuk menikah di sini daripada di Perancis.
Semua sudah diatur agar semua orang bisa berkumpul di sini dan menjagamu.”
Mrs. Weasley tidak mengerti. Ia bahkan membuat Harry merasa lebih buruk. Bukan lebih
baik.
“Bila Voldemort tahu aku ada di sini…”
“Mengapa dia harus tahu?” tanya Mrs. Weasley.
“Kau mungkin saja di salah satu dari selusin rumah perlindungan lain, Harry,” kata tuan
Weasley. “Kau-Tahu-Siapa tidak akan tahu di mana kau akan berada.”
“Bukan itu yang aku khawatirkan!” kata Harry.
“Kami tahu,” kata tuan Weasley tenang, “tapi seluruh usaha kami malam ini jadi sia-sia
bila kau pergi.”
“Kau tidak akan pergi ke mana-mana,” geram Hagrid. “Ya ampun, Harry, setelah semua
hal yang kita lalui malam ini.”
“Yah, bagaimana dengan telingaku?” kata George sambil menaikkan tubuhnya di atas
bantal.
“Aku tahu, tapi…”
“Mad-Eye tidak akan…”
“AKU TAHU!” teriak Harry.
Ia merasa semua bersekongkol untuk melawannya. Mereka pikir Harry tidak tahu apa
yang telah mereka lakukan untuknya. Apa mereka tidak mengerti justru karena itulah
Harry ingin pergi, sebelum mereka lebih menderita demi Harry? Ada kecanggungan
panjang di antara mereka. Bekas luka Harry semakin menusuk dan menyakitinya.
Kesunyian itu akhirnya dipecah oleh Mrs. Weasley.
“Di mana Hedwig, Harry?” bujuknya, “kita bisa membawanya bersama Pigwidgeon dan
memberinya makan.”
Rasanya isi perutnya mengepal menjadi satu. Ia tidak bisa menceritakannya. Ia
menghabiskan Firewhiskynya menghindar dari menjawab pertanyaan.
“Tunggu hingga hal itu muncul lagi, Harry,” kata Hagrid. “Lakukan lagi nanti saat kau
berhadapan dengan Kau-Tahu-Siapa!”
“Itu bukan aku!” kata Harry. “Itu tongkatku. Tongkatku melakukannya sendiri.”
Setelah beberapa saat, Hermione berkata lembut, “Tapi tidak mungkin, Harry. Mungkin
maksudmu, kau melakukan sihir tanpa kau bermaksud begitu, kau bereaksi sesuai
nalurimu.”
“Bukan,” kata Harry, “saat itu sepeda motornya sedang jatuh, dan aku tidak tahu
Voldemort ada di mana, tapi tongkatku bergerak sendiri dan menembakkan mantra yang
bahkan aku tidak kenal. Aku tidak pernah membuat pancaran api keemasan sebelumnya.”
“Terkadang,” kata tuan Weasley, “saat kau berada dalam keadaan terpojok, kau dapat
menciptakan sihir yang bahkan tidak bisa kau bayangkan. Biasanya hal itu terjadi pada
anak-anak, bahkan sebelum mereka…”
“Bukan itu,” geram Harry dengan giginya terkatup. Bekas lukanya terasa terbakar. Ia
merasa marah dan tertekan. Dia benci akan gagasan bahwa ia memiliki kekuatan yang
dapat menandingi Voldemort.
Tak ada yang berbicara. Harry tahu tidak ada yang percaya padanya. Sekarang ia
memikirkannya, ia tidak pernah mendengar bahwa tongkat bisa menghasilkan sihir
sendiri.
Bekas lukanya benar-benar menyakitkan. Dia berusaha keras agar tidak mengerang
keras-keras. Sambill bergumam tentang udara segar, Harry meletakkan gelasnya dan
meninggalkan ruangan.
Saat ia berjalan di halaman gelap, Thestral yang besar melihatnya, mengepakkan
sayapnya yang seperti sayap kelelawar, kemudian melanjutkan merumput. Harry berhenti
di dekat pagar, melihat ke arah tanaman yang tumbuh liar. Ia menggosok dahinya yang
kesakitan. Ia sedang memikirkan Dumbledore.
Dumbledore pasti akan memercayainya, ia tahu itu. Dumbledore tentu tahu bagaimana
dan mengapa tongkatnya bereaksi sendiri, karena Dumbledore selalu tahu jawabannya.
Dumbledore juga tahu tentang tongkatnya, bagaimana ia menjelaskan tentang hubungan
antara tongkatnya dan tongkat Voldemort. Tapi Dumbledore, seperti Mad-Eye, Sirius,
orang tuanya, dan burung hantunya yang malang, telah pergi sehingga Harry tidak bisa
berbicara padanya lagi. Ia merasa tenggorokannya terbakar dan itu tidak ada
hubungannya dengan Firewhisky.
Lalu, rasa sakit di bekas lukanya memuncak. Saat ia memegangi dahinya dan menutup
matanya, ia mendengar suara teriakan di dalam kepalanya.
“Kau bilang masalahnya akan selesai bila aku menggunakan tongkat yang berbeda!”
Lalu dalam pikirannya ia melihat sebuah gambaran tentang seorang pria tua kurus
berbaring di atas kain kumal di lantai batu. Ia berteriak ketakutan. Berteriak karena rasa
sakit yang luar biasa.
“Jangan! Jangan! Aku mohon, aku mohon…”
“Kau berbohong pada Lord Voldemort, Ollivander!”
“Tidak… aku tidak…”
“Sepertinya kau ingin membantu Potter, membantunya melarikan diri!”
“Sumpah, aku tidak… setahuku dengan tongkat yang berbeda…”
“Jelaskan yang terjadi, kalau begitu. Tongkat Lucius hancur begitu saja!”
“Aku tidak tahu… hubungan itu… hanya terjadi… antara kedua tongkat…”
“Pembohong!”
“Tolong… aku mohon…”
Lalu Harry melihat sebuah tangan putih mengangkat tongkat dan merasakan kemarahan
Voldemort yang luar biasa. Lalu ia melihat pria tua yang lemah itu menggeliat-geliat
menahan sakit…
“Harry?”
Semua berhenti secepat saat tiba. Harry berdiri gemetar dalam gelap. Tangannya
mencengkeram pagar. Jantungnya berdetak kencang. Bekas lukanya masih terasa nyeri.
Butuh beberapa saat sebelum ia menyadari bahwa Ron dan Hermione ada di sampingnya.
“Harry, masuklah ke dalam rumah,” bisik Hermione. “Kau sudah tidak berpikir untuk
pergi, kan?”
“Kau harus tinggal, sobat,” kata Ron sambil menepuk punggung Harry.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Hermione yang sudah cukup dekat sehingga bisa melihat
wajah Harry. “Kau kelihatan kacau!”
“Mungkin,” kata Harry, “tapi aku masih lebih baik daripada Ollivander…”
Setelah Harry selesai menceritakan apa yang ia lihat, Ron melihatnya terkejut ngeri dan
Hermione benar-benar ketakutan.
“Tapi seharusnya hal itu berhenti! Bekas lukamu – seharusnya ini tidak terjadi lagi!
Tidak seharusnya kau membuka hubungan itu lagi – Dumbledore ingin kau menutup
pikiranmu!”
Saat Harry tidak menjawab, Hermione menarik tangan Harry.
“Harry, dia sudah menguasai Kementrian, koran, dan separuh dunia sihir! Jangan biarkan
dia mengambil alih pikiranmu juga!”
=================
* Holy dan Holey memiliki cara pengucapan yang sama.
Chapter 6
The Ghoul in Pajamas
GHOUL* BERPIYAMA
Kegemparan atas meninggalnya Mad-Eye berlangsung selama beberapa hari. Harry tetap
berharap bahwa Mad-Eye akan muncul dari pintu belakang seperti anggota Orde lainnya,
yang keluar masuk membawa berita baru. Harry merasa bahwa hanya ada satu hal bisa
membantunya meredakan rasa sedih dan bersalahnya, yaitu pergi mencari dan
menghancurkan Horcrux secepatnya.
“Yah, kau tidak bisa melakukan apa-apa dengan…” mulut Ron mengucapkan kata
Horcrux tanpa bersuara, “sampai berumur tujuh belas tahun. Kau masih dipantau. Dan
kita bisa menata rencana di sini. Atau,” Ron mengecilkan suaranya, “kau sudah yakin
kau-tahu-apa berada di mana?”
“Tidak,” aku Harry.
“Kukira Hermione sedang melakukan penelitian,” kata Ron. “Katanya dia menyiapkan
sesuatu untukmu.”
Mereka berdua duduk di meja sarapan. Mr. Weasley dan Bill baru saja berangkat bekerja.
Mrs. Weasley pergi ke atas untuk membangunkan Hermione dan Ginny. Sedangkan Fleur
sedang mandi.
“Pelacak itu akan hilang pada tanggal tiga puluh satu nanti,” kata Harry. “Itu artinya aku
hanya perlu tinggal di sini empat hari lagi. Tidak perlu…”
“Lima hari,” Ron mengoreksinya. “Kau harus tinggal untuk pesta pernikahan. Atau kau
akan dibunuh mereka.”
Harry sadar bahwa mereka yang dimaksud adalah Mrs Weasley dan Fleur.
“Hanya ditambah sehari,” kata Ron pada Harry.
“Apa mereka tidak tahu seberapa pentingnya…”
“Tentu mereka tidak tahu,” kata Ron. “Mereka sama sekali tidak tahu. Oh iya, aku ingin
memperingatkanmu tentang itu.”
Ron melihat ke arah pintu memastikan Mrs. Weasley belum kembali, lalu ia mendekat ke
arah Harry.
“Mum bertanya padaku dan Hermione, tentang apa yang akan kita lakukan. Dia akan
bertanya padamu nanti, jadi persiapkan dirimu. Dad dan Lupin juga bertanya. Tapi saat
kami katakan bahwa Dumbledore ingin hanya kami yang tahu, mereka menyerah. Tapi
tidak dengan Mum. Dia benar-benar ingin tahu.”
Prediksi Ron terjadi beberapa jam kemudian. Sesaat sebelum makan siang, Mrs. Weasley
memisahkan Harry dari yang lain dengan memintanya membantu mengenali kaus kaki
yang tidak punya pasangan. Begitu ia berhasil memojokkan Harry di dapur, ia
memulainya.
“Ron dan Hermione sepertinya berpikir bahwa kalian bertiga akan keluar dari Hogwarts,”
Mrs Weasley memulai dengan nada seperti biasa.
“Oh,” kata Harry. “Iya.”
Alat pencuci pakaian di pojok ruangan sedang memeras sesuatu yang tampak seperti
rompi Mr. Weasley.
“Bolehkan aku tahu mengapa kau memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikanmu?”
kata Mrs. Weasley.
“Dumbledore menyuruhku untuk… melakukan sesuatu,” gumam Harry. “Ron dan
Hermione tahu dan ingin membantu.”
“’Sesuatu’ apa?”
“Maaf, aku tidak bisa…”
“Sejujurnya, menurutku, aku dan Arthur punya hak untuk tahu, dan aku yakin Mr. dan
Mrs. Granger juga!” kata Mrs. Weasley. Harry sudah bersiap-siap dengan serangan orang
tua yang merasa cemas. Ia memaksa dirinya untuk melihat langsung ke mata Mrs.
Weasley, yang langsung menyadari bahwa matanya berwarna coklat seperti Ginny. Ini
tidak membantu.
“Dumbledore tidak ingin orang lain tahu, Mrs. Weasley. Maafkan aku. Ron dan
Hermione tidak harus ikut bersamaku. Itu adalah pilihan mereka sendiri…”
“Kupikir kau pun tidak harus pergi!” bentak Mrs. Weasley tidak lagi berpura-pura. “Kau
bahkan belum dewasa! Ini sama sekali tidak masuk akal. Jika Dumbledore membutuhkan
sesuatu, dia bisa menyuruh anggota Orde! Harry, kau pasti sudah salah paham. Mungkin
dia mengatakan apa yang ingin dia lakukan. Namun kau mengartikannya sebagai apa
yang dia ingin kau lakukan.”
“Aku tidak salah paham,” kata Harry datar. “Yang dia maksud pasti aku.”
Harry mengambil kaus kaki yang Mrs. Weasley pegang di belakang punggungnnya. Kaus
kaki berpola semak emas.
“Itu bukan milikku. Aku tidak mendukung Puddlemere United.”
“Oh, tentu tidak,” kata Mrs. Weasley yang sudah kembali dengan nada biasanya.
“Seharusnya aku tahu. Harry, selama kau di sini, apakah kau tidak keberatan bila
membantu persiapan pesta pernikahan Bill dan Fleur? Begitu banyak hal yang harus
dipersiapkan.”
“Tidak – aku – tentu saja tidak,” kata Harry yang kebingungan dengan pergantian topik
pembicaraan yang tiba-tiba.
“Bagus sekali,” jawabnya sambil tersenyum kemudian meninggalkan Harry di dapur.
Selanjutnya, Mrs. Weasley membuat Harry, Ron, dan Hermione sibuk dengan persiapan
pesta pernikahan sehingga mereka tidak punya waktu untuk berpikir. Alasan Mrs.
Weasley adalah untuk mengalihkan perhatian mereka dari kesedihan mengenang Mad-
Eye dan dari perjalanan mencekam yang telah mereka lalui. Setelah dua hari tanpa henti
membersihkan, mencocokkan warna pita dan bunga, membersihkan jembalang dari
kebun, dan membantu Mrs. Weasley memasak canapé** yang sangat banyak, Harry
menebak ada alasan lain. Semua pekerjaan ini ditujukan agar Harry, Ron, dan Hermione
tidak punya waktu untuk berkumpul dan berbicara sejak malam ia tiba di sini, saat ia
bercerita tentang Voldemort yang sedang menyiksa Ollivander.
“Mum pikir dia bisa mencegahmu pergi atau menyusun rencana. Paling tidak dia pikir dia
bisa memperlambat keberangkatanmu,” bisik Ginny saat mereka menyiapkan meja
makan pada malam ketiga.
“Lalu dia pikir apa yang akan terjadi?” bisik Harry. “Akan ada orang lain yang akan
membunuh Voldemort sementara di sini dia menyuruh kami untuk membuat vol-auvents***?”
Harry bicara begitu saja tanpa sempat berpikir dan melihat wajah Ginny yang memucat.
“Jadi benar?” katanya. “Itu yang akan kau lakukan?”
“Aku – tidak – aku hanya bercanda,” elak Harry.
Mereka saling berpandangan. Dan Harry melihat tidak hanya ekspresi terkejut yang ada
di wajah Ginny. Tiba-tiba Harry menyadari bahwa ini pertama kalinya ia bisa berduaan
dengan Ginny sejak masa-masa di Hogwarts. Harry yakin bahwa Ginny juga
mengenangnya. Keduanya terkejut saat pintu terbuka dan Mr. Weasley, Kingsley, dan
Bill masuk.
Akhir-akhir ini para anggota Orde sering datang untuk makan malam bersama. Karena
the Burrow telah menggantikan Grimmauld Place nomor dua belas sebagai markas Orde.
Mr. Weasley menjelaskan bahwa setelah kematian Dumbledore setiap orang yang tahu
tentang Grimmauld Place menjadi Penjaga Rahasia.
“Dan kurang lebih ada dua puluhan orang, itu melemahkan Mantra Fidelius. Ada dua
puluh orang yang bisa dikorek rahasianya oleh Pelahap Maut. Dan kami yakin Mantra itu
tidak bisa bertahan lama.”
“Berarti Snape bisa memberitahukan alamat itu ke seluruh Pelahap Maut?” tanya Harry.
“Tenang saja, Mad-Eye sudah menyiapkan beberapa hal untuknya kalau dia berani
kembali ke sana. Semoga saja bisa menahannya bila dia akan bicara, tapi siapa tahu.
Tetap saja gila kalau kami tetap menggunakan tempat itu sebagai markas, saat
perlindungannya tidak lagi stabil.”
Malam itu dapur penuh sesak, bahkan sulit untuk bisa menggerakkan pisau dan garpu.
Harry duduk berdesakan di sebelah Ginny. Mereka saling diam mengingat hal tadi, dan
membuat Harry berharap ada beberapa orang yang duduk di antara mereka. Bahkan
Harry berusaha untuk tidak menyentuh tangan Ginny saat ia berusaha memotong
ayamnya.
“Ada berita tentang Mad-Eye?” Harry bertanya pada Bill.
“Tidak,” jawab Bill.
Mereka tidak bisa memakamkan Mad-Eye karena Bill dan Lupin tidak bisa menemukan
mayat Mad-Eye. Sulit menentukan di mana ia jatuh bila saat itu gelap dan semua sedang
sibuk bertarung.
“Daily Prophet tidak menyebutkan tentang kematian atau adanya penemuan mayat,”
lanjut Bill. “Tapi memang berita agak sepi akhir-akhir ini.”
“Dan mengapa Kementrian belum mengadakan sidang untuk penggunaan sihir pada
penyihir di bawah umur, yang aku gunakan saat melawan Pelahap Maut?” tanya Harry
pada Mr. Weasley yang ada di seberang meja, yang langsung menggelengkan kepalanya.
“Karena mereka tahu aku tak punya pilihan atau mereka tidak ingin mendengar cerita
saat Voldemort menyerangku?”
“Sepertinya Scrimgeour tidak ingin mengakui kekuatan Kau-Tahu-Siapa, seperti kejadian
pelarian besar-besaran dari Azkaban.”
“Ya, mengapa harus memberitahu yang sebenarnya pada semua orang?” kata Harry yang
menggenggam pisaunya begitu kuat sehingga bekas luka di tangan kanannya terlihat
jelas. ’Aku tidak boleh berbohong’.
“Apakah orang-orang di Kementrian tidak ingin melawannya?” kata Ron marah.
“Tentu saja, Ron, tapi orang-orang juga ketakutan,” jawab Mr. Weasley, “takut bila
mereka yang akan hilang selanjutnya, atau anak-anak mereka yang akan diserang.
Banyak isu-isu mengerikan yang beredar. Aku sendiri tidak percaya bila profesor
pengajar Telaah Muggle telah mengundurkan diri dari Hogwarts. Sudah bermingguminggu
aku tidak bertemu dengan Charity. Sedangkan Scrimgeour mengunci diri di
dalam kantornya, semoga saja dia sedang melakukan sesuatu.”
Semua berhenti saat Mrs. Weasley menghilangkan sisa-sisa makanan dan menyajikan tart
apel.
“Kau harus memutuskan kau akan berpura-pura menjadi siapa, “Arry,” kata Fleur saat
tiap orang sedang menyantap puding. “Saat pernika’an nanti,” tambahnya saat melihat
Harry kebingungan. “Tentu tidak akan ada Pela’ap Maut, tapi bisa saja ada seseorang
yang kelepasan bicara setelah mereka minum banyak champagne.”
Harry merasa bahwa Fleur masih mencurigai Hagrid.
“Benar juga,” kata Mrs. Weasley dari ujung meja yang sedang duduk dan menggunakan
kacamatanya saat memeriksa daftar pekerjaan yang sudah ditulisnya pada sehelai
perkamen panjang. “Ron, sudahkah kau merapikan kamarmu?”
“Mengapa?” tuntut Ron sambil menjatuhkan sendok dan menatap ibunya. “Mengapa aku
harus merapikan kamarku? Aku dan Harry tidak ada masalah dengan itu!”
“Saudaramu akan menikah beberapa hari lagi, anak muda.”
“Memangnya mereka akan menikah di kamarku?” tanya Ron marah. “Tidak, kan! Dan
demi keriput Merlin…”
“Jangan berkata seperti itu pada ibumu!” kata Mr. Weasley. “Dan lakukan apa yang
diperintahkan.”
Ron memandangi orang tuanya penuh rasa sebal, mengangkat sendoknya dan
menyendokkan sesendok penuh tart apel ke dalam mulutnya.
“Akan kubantu, aku juga membuat berantakan,” kata Harry pada Ron, tapi Mrs. Weasley
melarangnya.
“Jangan, Harry, sayang, lebih baik kau membantu Arthur membersihkan kandang ayam.
Dan Hermione, aku akan sangat berterima kasih bila kau mau mengganti seprai untuk
Monsieur dan Madame Delacour. Mereka akan datang besok pukul sebelas pagi.”
Tapi ternyata tidak banyak yang bisa dilakukan dengan kandang ayam.
“Jangan bilang-bilang pada Molly,” kata Mr. Weasley pada Harry sambil menutupi
kandang ayam, “Ted Tonks mengirimi aku apa yang tersisa dari motor Sirius dan, er, aku
menyembunyikan – menyimpannya – di sini. Barang yang fantastis. Mesin aki, kalau
tidak salah, sebuah batere yang luar biasa. Dan aku juga ingin tahu bagaimana cara kerja
rem. Aku akan mencoba untuk merangkainya kembali saat Molly tidak – maksudku, saat
aku punya waktu.”
Saat mereka kembali ke rumah, Mrs. Weasley tidak terlihat di mana pun, Harry langsung
naik ke kamar Ron.
“Akan kulakukan! Akan kula – Oh, kau,” kata Ron lega saat Harry memasuki kamar.
Ron kembali berbaring di tempat tidurnya. Ruangan itu masih tetap berantakan.
Perbedaannya hanyalah bahwa saat ini Hermione sedang duduk di pojok ruangan,
kucingnya yang berbulu kecoklatan, Crookshank, melingkar di kakinya. Hermione
sedang memilah buku, beberapa diantaranya Harry kenal sebagai bukunya, menjadi dua
tumpuk.
“Hai, Harry,” katanya, saat Harry duduk di kasur lipat.
“Bagaimana kau bisa melarikan diri?”
“Oh, ibu Ron lupa bahwa dia sudah pernah menyuruhku dan Ginny mengganti seprai
kemarin,” kata Hermione sambil menaruh buku Numerology and Grammatica ke satu
tumpukan dan The Rise and Fall of the Dark Arts ke tumpukan yang lain.
“Kami baru saja membicarakan Mad-Eye,” Ron memberitahu Harry. “Menurutku dia
masih hidup.”
“Tapi Bill melihatnya terkena Kutukan Kematian,” kata Harry.
“Tapi saat itu Bill juga sedang diserang,” kata Ron. “Bagaimana dia bisa yakin dengan
apa yang dia lihat?”
“Walau Mad-Eye tidak terkena Kutukan Kematian, dia jatuh dari ketinggian ribuan
meter,” kata Hermione yang memegang Quidditch Teams of Britain and Ireland.
“Bisa saja dia menggunakan Mantra Pelindung.”
“Fleur bilang tongkatnya terlepas dari tangannya,” kata Harry.
“Baiklah, kalau kalian ingin dia mati,” kata Ron galak. Ia meninju bantalnya agar
bentuknya lebih nyaman.
“Tentu saja kami tidak ingin dia mati!” kata Hermione terkejut. “Mengerikan saat tahu
dia mati! Tapi kita harus bersikap realistis!”
Untuk pertama kalinya Harry membayangkan Mad-Eye yang tergeletak mati seperti
Dumbledore, hanya saja mata sihirnya masih tetap berdesing dalam matanya. Anehnya,
Harry mendadak ingin tertawa.
“Mungkin Pelahap Maut membawanya bersama mereka, hanya itu alasan mengapa
mayatnya tidak ditemukan,” kata Ron bijak.
“Ya,” kata Harry. “Seperti Barty Crouch yang tiba-tiba ditemukan tinggal tulang dan
dikubur di kebun Hagrid. Mungkin saja mereka mentrasfigurasi Mad-Eye dan
memasukkanya…”
“Cukup!” pekik Hermione. Terkejut, Harry melihat air matanya menetes membasahi
Kamus Spellman’s Syllabary.
“Oh,” kata Harry berusaha berdiri dari kasur lipat tuanya. “Hermione, aku tidak
bermaksud…”
Tapi, diiringi derak keras dari per kasur yang berkarat, Ron mendahuluinya. Satu tangan
memeluk Hermione, dan tangan lain berusaha mengambil saputangan yang baru ia
gunakan untuk membersihkan oven dari saku jeansnya. Dengan tergesa-gesa
mengeluarkan tongkatnya dan menunjuk ke arah saputangan dan berkata, “Tergeo.”
Tongkatnya menghapus kotoran. Ron terlihat cukup puas dan memberikan saputangan
yang masih berasap ke Hermione.
“Oh… terima kasih, Ron… maaf…” ia membersit hidungnya dan terisak. “Sungguh
mengeri-kan, ya. Tepat setelah Dumbledore… aku ti-tidak pe-pernah membayangkan
Mad-Eye meninggal, dia begitu tangguh!”
“Ya, aku tahu,” kata Ron mempererat pelukannya. “Tapi kau tahu apa yang akan
dikatakannya kalau dia ada di sini.”
“’Te-tetap waspada’,” kata Hermione sambil mengusap matanya.
“Benar,” angguk Ron. “Dia pasti menyuruh kita untuk belajar atas apa yang telah terjadi
padanya. Dan yang telah aku pelajari adalah jangan pernah percaya pada si pengecut
Mundungus.”
Hermione tertawa gemetar lalu mengambil dua buku lain. Beberapa saat kemudian Ron
melepaskan pelukannya saat Hermione menjatuhkan The Monster of Monsters di
kakinya. Buku itu terlepas dari ikatannya dan langsung menggigit pergelangan kaki Ron.
“Maaf, maaf!” kata Hermione saat Harry berusaha melepaskan buku itu dari kaki Ron
dan mengikatnya kembali.
“Apa yang kau lakukan dengan buku-buku itu?” tanya Ron sambil berjalan timpang ke
arah tempat tidur.
“Memilah buku mana yang harus kita bawa,” kata Hermione, “saat kita mencari
Horcrux.”
“Oh, tentu saja,” kata Ron sambil menepukkan tangannya ke dahi. “Aku lupa bahwa kita
akan mengejar Voldemort dengan perpustakaan berjalan.”
“Ha, ha,” kata Hermione yang masih melihat Kamus Spellman' Syllbary. “Apa nanti kita
akan mengartikan huruf Rune? Mungkin saja… aku rasa lebih baik aku membawanya,
untuk berjaga-jaga.”
Ia meletakkannya ke tumpukan yang lebih besar dan mengambil buku History of
Hogwarts.
“Dengar,” kata Harry.
Ia duduk tegak. Ron dan Hermione menatapnya dengan mimik yang sama dan juga
menantang.
“Aku tahu, saat pemakaman Dumbledore, kalian berkata ingin ikut pergi bersamaku,”
Harry memulai.
“Dia mulai lagi,” kata Ron sambil memutar matanya.
“Seperti yang kita duga,” desah Hermione yang kembali sibuk dengan buku-buku.
“Sepertinya aku akan membawa Sejarah Hogwarts. Walau kita tidak akan kembali ke
sana, rasanya aneh bila tidak…”
“Dengarkan aku!,” kata Harry lagi.
“Tidak, Harry, kau yang harus dengar,” kata Hermione. “Kami akan pergi bersamamu.
Dan sudah diputuskan seperti itu berbulan-bulan – bertahun-tahun yang lalu, bahkan.”
“Tapi…”
“Diamlah,” kata Ron menyarankan.
“… apa kalian sudah benar-benar memikirkannya?” Harry berkeras.
“Dengar,” kata Hermione yang membanting buku Travels with Trolls ke tumpukan buku
yang tidak terpakai sambil menatap tajam. “Aku sudah berkemas sejak berhari-hari yang
lalu, jadi kita bisa langsung pergi begitu waktunya tiba, dan agar kau tahu aku sudah
melakukan sihir yang sulit untuk mempersiapkannya, bahkan aku menyelundupkan
semua simpanan Ramuan Polijus milik Mad-Eye di bawah hidung ibu Ron.
“Aku juga sudah memodifikasi ingatan orang tuaku sehingga mereka mengira bahwa
mereka adalah Wendell dan Monica Wilkins, dan ambisi hidup mereka adalah pindah ke
Australia, dan di sanalah mereka sekarang. Aku melakukan itu untuk mencegah
Voldemort mencari dan mengintrogasi mereka tentang aku, atau kau – aku bercerita
sedikit banyak bercerita tentangmu.
“Berharap kita akan selamat setelah mencari Horcrux, aku akan mencari Mum dan Dad
dan menghapus sihirnya. Bila tidak – aku sudah melakukannya dengan baik sehingga
mereka akan tetap aman dan bahagia. Kau tahu, Wendell dan Monica Wilkins tidak tahu
kalau mereka punya seorang putri.”
Mata Hermione bergelimang air mata lagi. Ron berdiri dari kasur dan meletakkan
tangannya di pundak Hermione lagi dan mengerutkan dahinya pada Harry memintanya
bersikap bijaksana. Harry tidak bisa berkata apa-apa, karena tidak biasanya Ron
mengajari seseorang tentang kebijaksanaan.
“Aku – Hermione, aku minta maaf – aku tidak…”
“Tidak sadar bahwa Ron dan aku tahu apa yang akan terjadi bila ikut pergi denganmu?
Kami tahu Harry. Ron, tunjukkan pada Harry apa yang telah kau lakukan.”
“Jangan, Harry baru saja makan,” kata Ron.
“Ayo, Harry harus tahu!”
“Oh, baiklah. Harry kemari.”
Lalu Ron menarik tangannya lagi dari pundak Hermione dan berjalan ke arah pintu.
“Ayo.”
“Mengapa?” tanya Harry sambil mengikuti Ron keluar kamar.
“Descendo,” gumam Ron mengarahkan tongkatnya ke langit-langit rendah. Sebuah
lubang membuka tepat di atas kepala mereka, dan sebuah tangga meluncur turun tepat ke
kaki mereka. Terdengar suara setengah menghisap, setengah mengerang yang
mengerikan keluar dari lubang itu, bersamaan dengan bau yang tidak enak.
“Itu ghoulmu, kan?” tanya Harry yang sebenarnya tidak pernah melihat makhluk yang
terkadang mengganggu ketenangan malam.
“Iya,” kata Ron menaiki tangga. “Kemari dan lihat dia.”
Harry mengikuti Ron menaiki beberapa anak tangga ke loteng. Kepala dan pundaknya
masuk dan saat ia melihat sesuatu yang bergelung beberapa meter darinya, tertidur
dengan mulut terbuka lebar.
“Tapi… itu… Apa ghoul biasanya memakai piyama?”
“Tidak,” kata Ron. “Mereka juga biasanya tidak berambut merah atau bernanah.”
Harry memerhatikannya dan merasa jijik. Makhluk itu berbentuk dan berukuran seperti
manusia dan memakai, sekarang mata Harry mulai bisa melihat jelas di kegelapan,
piyama tua milik Ron. Setahu Harry, ghoul tidak memiliki rambut dan berkulit polos,
bukannya memiliki rambut dan dipenuhi bisul keunguan.
“Itu aku, mengerti?” kata Ron.
“Tidak,” kata Harry. “Aku tidak mengerti.”
“Akan kujelaskan di kamar, aku tidak tahan baunya,” kata Ron. Mereka menuruni tangga,
menutup langit-langit, dan kembali bergabung dengan Hermione yang masih memilah
buku.
“Saat kita pergi, ghoul itu akan tinggal di kamarku,” kata Ron. “Aku rasa dia akan senang
– tapi, entahlah, dia hanya bisa mengerang dan berliur – tapi, mengangguk terus-terusan
saat aku tawarkan itu padanya. Dia akan menjadi aku yang sedang terkena spattergoit.
Bagus, kan?”
Harry menatapnya kebingungan.
“Aduh!” kata Ron kesal saat Harry tidak mengerti ide brilian ini. “Dengar, saat kita tidak
kembali ke Hogwarts, mereka akan berpikir aku dan Hermione juga pergi bersamamu,
kan? Itu artinya para Pelahap Maut akan langsung menyerang orang tua kami untuk
mencari informasi tentang di mana dirimu.”
“Tapi semoga saja mereka akan mengira bahwa aku pergi bersama Mum dan Dad.
Banyak anak kelahiran Muggle yang pergi untuk bersembunyi untuk beberapa saat,” kata
Hermione.
“Dan, tidak mungkin menyembunyikan seluruh keluargaku, terlalu mencurigakan dan
mereka juga harus pergi bekerja,” kata Ron. “Jadi, aku membuat cerita bahwa aku sakit
parah karena terkena spattergoit sehingga aku tidak bisa kembali ke sekolah. Bila ada
yang datang dan ingin cari tahu, Mum atau Dad akan menunjukkan ghoul di atas tempat
tidurku, berselimut, dan penuh dengan bisul bernanah. Spattergoit sangat menular. Jadi
tidak akan ada yang berani mendekatinya. Tidak masalah kalau nantinya ghoul itu tidak
bisa berbicara, kau sendiri tidak akan bisa bicara kalau lidahmu dipenuhi jamur.”
“Dan orang tuamu tahu rencanamu ini?” tanya Harry.
“Dad tahu. Dia bahkan membantu Fred dan George membentuk ghoul itu. Mum… kau
tahu kan dia seperti apa. Mum nantinya akan tahu saat kita sudah pergi.”
Semua terdiam, hanya terdengar suara buku yang bertumbukan saat Hermione terus
menumpuk buku-buku itu. Ron memperhatikan Hermione. Harry memperhatikan
keduanya dan tidak bisa berkata apa-apa. Apa yang telah mereka lakukan untuk
melindungi keluarga mereka telah menyadarkan Harry. Mereka telah memperhitungkan
segalanya untuk bisa pergi bersama dengan Harry dan mereka benar-benar tahu bahaya
apa yang akan mereka hadapi. Harry ingin mengatakan betapa berartinya hal itu tapi ia
tidak dapat menemukan kata-kata yang sebanding.
Dalam kesunyian terdengar suara teriakan Mrs. Weasley dari empat lantai di bawah.
“Mungkin Ginny meninggalkan setitik noda di cincin serbet,” kata Ron. “Aku tidak tahu
mengapa keluarga Delacour harus datang dua hari sebelum pesta pernikahan.”
“Saudara Fleur akan menjadi pendamping, jadi dia harus ada saat latihan, dan dia masih
terlalu kecil untuk bisa pergi sendirian,” kata Hermione yang ragu-ragu untuk
menentukan Break with a Banshee.
“Datangnya tamu tidak akan meringankan ketegangan Mum,” kata Ron.
“Yang harus kita pikirkan adalah,” kata Hermione yang langsung melempar Defensive
Magical Theory ke dalam tempat sampah dan mengambil An Appraisal of Magical
Education in Europe, “ke mana kita akan pergi. Aku tahu kau ingin pergi ke Godric
Hollow, Harry, dan aku tahu mengapa, tapi… bukankah prioritas kita adalah mencari
Horcrux?”
“Kalau kita tahu di mana Horcrux itu, aku setuju,” kata Harry yang tidak percaya bahwa
Hermione benar-benar mengerti tentang keinginan Harry untuk pergi ke Godric Hollow.
Ia merasa makam orang tuanya akan memberi banyak petunjuk. Mungkin karena di
sanalah tempat saat ia bertahan dari Kutukan Kematian Voldemort. Kini Harry akan
mengingat kejadian malam itu, saat ia kembali ke sana untuk mencari tahu.
“Apa Voldemort akan mengawasi Godric Hollow?” tanya Hermione. “Bisa saja dia
mengira kau akan kembali dan mengunjungi makam orang tuamu begitu kau bebas untuk
pergi, kan?”
Harry tidak pernah memikirkannya. Saat Harry mencari argumen untuk melawan, Ron
bicara.
“R.A.B. itu,” katanya. “orang yang sudah mencuri liontin asli, kan?”
Hermione mengangguk.
“Dia bilang kalau dia akan menghancurkannya, kan?”
Harry menarik ranselnya dan mengeluarkan Horcrux palsu yang di dalamnya ada catatan
dari R.A.B.
“’Aku telah mengambil Horcrux asli dan aku akan menghancurkannya secepat
mungkin’,” baca Harry.
“Bagaimana kalau pria itu berhasil menghancurkannya?” kata Ron.
“Bisa saja wanita,” potong Hermione.
“Terserah,” kata Ron, “itu artinya sudah ada satu yang hancur!”
“Ya, tapi tetap saja kita harus mencari liontin yang asli, kan?” kata Hermione. “Untuk
memastikan apakah liontin itu sudah benar-benar hancur.”
“Dan saat kita menemukannya, bagaimana cara kita menghancurkan Horcrux?” tanya
Ron.
“Aku,” kata Hermione, “masih mencari tahu.”
“Bagaimana caranya?” tanya Harry. “Memangnya ada buku tentang Horcrux di
perpustakaan?”
“Tidak ada,” kata Hermione yang langsung bersemu. “Dumbledore menyingkirkannya,
tapi tidak menghancurkannya.”
Ron langsung duduk tegak, matanya melebar.
“Demi celana Merlin! Bagaimana kau bisa menemukan buku itu?”
“Yang pasti aku tidak mencurinya!” kata Hermione. “Kan masih menjadi milik
perpustakaan walau Dumbledore menyingkirkannya dari rak. Lagipula, kalau dia tidak
ingin seseorang menemukannya, aku yakin dia akan…”
“Intinya?” kata Ron tidak sabar.
“Yah, mudah sebenarnya,” kata Hermione, suaranya mengecil. “Aku memakai Mantra
Pemanggil. Kau tahu – accio – dan langsung terbang dari jendela ruang baca
Dumbledore.”
“Tapi kapan kau melakukannya?” tanya Harry yang memandang Hermione penuh rasa
kagum dan tidak percaya.
“Tepat setelah – pemakaman – Dumbledore,” kata Hermione dalam suara yang makin
mengecil. “Tepat setelah kita setuju akan mencari Horcrux dan meninggalkan sekolah.
Saat aku kembali ke atas untuk mengambil barang-barang, aku yakin semakin kita tahu
banyak tentang Horcrux… aku sendirian saat itu… jadi aku coba… dan berhasil. Buku
itu terbang langsung ke kamarku, dan aku membawanya.”
Hermione menelan ludah, “Aku yakin Dumbledore tidak akan marah, kita tidak akan
membuat Horcrux, kan?”
“Memangnya kami marah?” kata Ron. “Di mana buku itu?”
Hermione terdiam ragu lalu menunjukkan sebuah buku besar bersampul hitam yang
judulnya sudah memudar. Hermione tampak mual dan memeganginya seakan buku itu
adalah sesuatu yang mengerikan.
“Buku ini menjelaskan tentang instruksi bagaimana cara membuat Horcrux. Secrets of the
Darkest Art – buku yang mengerikan, benar-benar menakutkan, penuh dengan sihir jahat.
Aku ingin tahu kapan Dumbledore menyingkirkannya dari perpustakaan… bila dia baru
melakukannya saat dia menjadi kepala sekolah, aku yakin Voldemort mendapatkan
semua yang dia butuhkan dari buku ini.”
“Kalau begitu mengapa dia bertanya pada Slughorn bagaimana cara membuat Horcrux
kalau dia sudah tahu?” tanya Ron.
“Dia hanya bertanya apa yang terjadi bila kau membagi jiwamu menjadi tujuh bagian,”
kata Harry. “Dumbledore yakin bahwa Riddle sudah tahu bagaimana cara membuat
Horcrux saat dia bertanya pada Slughorn. Aku rasa kau benar Hermione.”
“Semakin aku membacanya,” kata Hermione, “semakin mengerikan, dan semakin aku
tidak percaya kalau dia sudah membuat enam Horcrux. Diperingatkan dalam buku
bagaimana jiwamu menjadi begitu rapuh, bahkan bila kau hanya membuat satu Horcrux!”
Harry teringat Dumbledore saat ia berbicara tentang kelakuan Voldemort yang lebih dari
kejahatan biasa.
“Apa tidak ada cara menyatukannya kembali?” tanya Ron.
“Ada,” kata Hermione tersenyum tipis, “tapi akan sangat menyakitkan.”
“Bagaimana caranya?” tanya Harry.
“Penyesalan,” kata Hermione. “Kau harus benar-benar merasa menyesal atas perbuatan
itu. Di sini juga ditulis bahwa bahkan rasa sakitnya akan membawamu pada kehancuran.
Aku rasa Voldemort tidak akan melakukannya, kan?”
“Tidak kata Ron, mendahului Harry. “Apa juga dikatakan tentang bagaimana
menghancurkan Horcrux?”
“Ya,” kata Hermione sambil membalik halaman yang rapuh itu hati-hati, “dikatakan
bahwa saat kau menanamkan Horcrux, diperlukan banyak sihir untuk melindunginya.
Dan menurutku, bagaimana cara Harry menghancurkan diary Riddle adalah salah satu
dari beberapa cara yang ada.”
“Apa? Menikamnya dengan taring Basilisk?”
“Wah, beruntung sekali! Kita punya setumpuk taring Basilisk di sini,” kata Ron. “Aku
sampai bingung apa yang harus kulakukan terhadapnya.”
“Tidak harus dengan taring Basilisk,” kata Hermione sabar. “Yang penting cukup
merusak sehingga Horcrux tidak dapat memperbaikinya. Racun Basilisk hanya punya
satu penawar, dan sangat jarang…”
“… air mata phoenix,” kata Harry mengangguk.
“Tepat,” kata Hermione. “Masalahnya adalah hanya ada sedikit barang yang seampuh
racun Basilisk, dan pasti berbahaya untuk di bawa ke mana-mana. Itu adalah salah satu
masalah yang harus kita pecahkan. Karena merobek, memukul, dan membanting tidak
akan ada pengaruhnya pada Horcrux. Kau harus melakukan sesuatu yang tidak bisa
dibenahi dengan sihir.”
“Tapi bahkan bila kita sudah bisa merusak inangnya,” kata Ron, “mengapa potongan jiwa
itu tidak bisa pindah ke inang lain?”
“Karena Horcrux tidak seperti nyawa.”
Melihat Ron dan Harry kebingungan, Hermione melanjutkan, “Bila aku mengambil
sebilah pedang dan langsung menikamkannya padamu, Ron, aku tidak akan merusak
jiwamu sama sekali.”
“Sungguh menenangkan,” kata Ron.
Harry tertawa.
“Sungguh! Maksudku, apapun yang terjadi pada tubuhmu, jiwamu tidak akan tersentuh,”
kata Hermione. “Tapi berbeda dengan Horcrux. Potongan jiwa itu sangat tergantung pada
inangnya, tubuh tiruannya, agar bisa bertahan. Jiwa itu hanya bisa tetap ada bila inangnya
tidak rusak.”
“Diary itu seperti mati saat aku menikamnya,” kata Harry, mengingat tinta yang mengalir
seperti darah dari lembaran-lembaran halamannya, dan teriakan kesakitan dari potongan
jiwa Voldemort.
“Dan saat diary itu benar-benar hancur, potongan jiwa yang ada di dalamnya tidak dapat
lagi bertahan. Ginny sudah mencoba menghancurkannya sebelumnya. Mencoba
membuangnya ke toilet, tapi, jelas, buku itu kembali seperti baru.”
“Tunggu,” kata Ron kaku. “Potongan jiwa itu mempengaruhi Ginny kan? Bagaimana
caranya?”
“Saat keadaan sang inang masih utuh, potongan jiwa di dalamnya bisa saja berpindah dari
satu orang ke orang lain yang terlalu dekat dengan sang inang. Bukan hanya
memegangnya terlalu lama,” tambah Hermione sebelum Ron berbicara. “Maksudku
dekat secara emosional. Ginny menumpahkan semua perasaannya pada diary itu dan
membuat dirinya jadi mudah diserang. Kau dalam masalah besar jika kau terlalu
bergantung pada Horcrux.”
“Aku ingin tahu bagaimana Dumbledore menghancurkan cincin itu,” kata Harry.
“Mengapa dulu aku tidak bertanya? Aku tidak pernah…”
Kalimatnya tak terselesaikan. Harry berpikir segala hal yang seharusnya ia tanyakan pada
Dumbledore. Dan sejak meninggalnya sang kepala sekolah, Harry merasa telah
membuang banyak kesempatan untuk mencari tahu lebih banyak… untuk mencari tahu
segalanya…
Keheningan terpecah saat pintu kamar membuka dan membentur dinding dengan suara
keras. Hermione terkejut dan menjatuhkan buku Secrets of the Darkest Art. Crookshank
bersembunyi di bawah tempat tidur dan mendesis marah. Ron melompat dari tempat
tidur, mendarat di atas tumpukan bungkus Cokelat Kodok, dan membenturkan kepalanya
ke dinding. Dan, Harry spontan menarik tongkatnya sebelum menyadari bahwa itu adalah
Mrs. Weasley dengan rambut berantakan dan wajahnya dipenuhi amarah.
“Maaf aku harus menghentikan pertemuan penting kalian,” katanya dengan suara
gemetar. “Aku yakin kalian butuh istirahat… tapi ada setumpuk hadiah pernikahan
memenuhi ruangan dan butuh dirapikan, dan aku merasa bahwa kalian berniat akan
membantu.”
“Oh, iya,” kata hermione ketakutan yang langsung berdiri dan membuat buku-buku yang
ada di pangkuannya berjatuhan, “akan kami bantu… maaf…”
Dengan pandangan menderita Hermione yang menatap Harry dan Ron, langsung berjalan
mengikuti Mrs. Weasley keluar kamar.
“Aku merasa seperi peri rumah,” keluh Ron dengan suara rendah, masih menggosaok
kepalanya. “Tapi tanpa kepuasan bekerja. Secepat mungkin pernikahan ini usai, semakin
bahagia aku.”
“Ya,” kata Harry, “lalu kita tinggal mencari Horcrux… rasanya akan seperti pergi
berlibur saja.”
Ron baru mulai tertawa dan langsung berhenti saat melihat tumpukan hadiah pernikahan
yang menanti di kamar Mrs. Weasley.
Keluarga Delacour tiba keesokan pagi pukul sebelas. Harry, Ron, Hermione, dan Ginny
merasa sedikit kesal dengan kedatangan keluarga Fleur. Dengan wajah sebal Ron kembali
ke kamarnya untuk mengganti kaus kakinya agar lebih pantas dan Harry diharuskan
untuk merapikan rambutnya. Saat mereka semua tampak lebih baik, mereka menunggu
para tamu di halaman belakang.
Harry tidak pernah melihat tempat ini sebegitu rapi. Kuali berkarat dan sepatu wellington
tua yang biasanya memenuhi tangga teras belakang menghilang, berganti dengan dua
Semak Flutterby baru dalam pot besar yang berada di kedua sisi pintu. Semak itu
bergerak-gerak walau tidak ada hembusan angin, memberi efek gerakan yang menarik.
Ayam-ayam sudah disembunyikan, halaman sudah disapau, dan rumput di kebun sudah
dipotong, disiangi, dan dirapikan. Tapi tetap saja Harry lebih suka saat rumput itu tumbuh
tinggi dan ditinggali oleh banyak jembalang.
Ia tidak tahu ada berapa banyak mantra perlindungan yang diberikan pada the Burrow
oleh baik anggota Orde ataupun Kementrian, yang membuat tidak mungkin seseorang
dapat masuk ke tempat itu dengan sihir. Mr. Weasley telah berangkat untuk menjemput
keluarga Delacour dari bukit terdekat, di mana mereka akan tiba dengan Portkey.
Terdengar suara tawa bernada tinggi mendekat yang ternyata adalah tawa Mr. Weasley
sambil membawakan barang bawaan dan menggandeng wanita cantik berambut pirang
dalam jubah hijau panjang, yang sepertinya adalah ibu Fleur.
“Maman!” teriak Fleur yang berlari menyambutnya, “Papa!”
Monsieur Delacour tidak semenarik istrinya. Ia pendek dan sangat gemuk dengan janggut
hitam kecil. Tapi, terlihat sangat ramah. Ia berjalan ke arah Mrs. Weasley yang
menggunakan boot berhak tinggi, dan langsung mencium kedua pipinya dan membuat
Mrs. Weasley bersemu.
“Kalian tak perlu repot,” katanya dengan suara dalam. “Fleur bercerita bagaimana kalian
berusa’a keras di sini.”
“Oh, tidak! Tidak!” seru Mrs. Weasley. “Sama sekali tidak repot!”
Ron melepaskan amarahnya dengan menendang jembalang yang bersembunyi di balik
pot Semak Flutterby.
“Mrs. Weasley!” kata monsieur Delacour, masih memegangi tangan Mrs. Weasley
dengan kedua tangannya yang gemuk. “Kami merasa ter’ormat bisa datang saat kita
mempersatukan keluarga kita! Mari kuperkenalkan pada istriku, Apoline.”
Madame Delacour maju dan mencium pipi Mrs. Weasley juga.
“Enchantée,” katanya. “Suami Anda telah menceritakan banyak cerita yang
menyenangkan!”
Mr. Weasley tertawa lagi. Mrs. Weasley langsung memberi tatapan yang membuatnya
langsung terdiam.
“Dan tentu kau sudah bertemu dengan putri kecil kami, Gabrielle!” kata Monsieur
Delacour. Gabrielle adalah miniatur Fleur, sebelas tahun, dengan rambut pirang
keperakan sepanjang pinggang, yang langsung memberi senyuman mempesona dan
memeluk Mrs. Weasley. Lalu ia menatap Harry penuh kagum dan mengedip-kedipkan
bulu matanya. Ginny berdeham keras.
“Ayo, ayo masuk!” kata Mrs. Weasley ceria sambil mengajak keluarga Delacour masuk
ke dalam rumah diiringi dengan “Tidak!” dan “Kalian dulu!” dan “Tidak apa-apa!”
Keluarga Delacour ternyata tamu yang menyenangkan dan tidak menyusahkan. Mereka
tidak bermasalah dengan apa yang ada dan ingin bisa membantu persiapan pernikahan.
Monsieur Delacour membantu mempersiapkan dari menata letak kursi para tamu hingga
sepatu pendamping pernikahan. “charmant!” Madame Delacour yang ahli dengan mantra
rumah tangga telah membersihkan oven. Dan Gabrielle mengekor pada sudarinya
mencoba membantu apa yang sedang saudarinya lakukan dan berbicara cepat dalam
bahasa Perancis.
Karena the Burrow dibangun tidak untuk menampung begitu banyak orang, Mr. dan Mrs.
Weasley akhirnya tidur di ruang duduk tapi diiringi dengan protes keras dari Monsieur
dan Madame Delacour yang tidak ingin memakai kamar mereka. Gabrielle tidur bersama
Fleur di kamar Percy dan Bill akan berbagi dengan Charlie begitu Charlie kembali dari
Rumania. Kesempatan untuk menyusun rencana semakin kecil dan dalam
keputusasaannya, Harry, Ron, dan Hermione merelakan diri untuk memberi makan ayam
hanya agar bisa keluar dari rumah yang penuh sesak.
“Tapi Mum tetap mengikuti kita!” geram Ron yang sudah bertemu dua kali dengan Mrs.
Weasley di halaman sambil membawa-bawa sekeranjang besar cucian.
“Oh, bagus, kalian memberi makan ayam,” katanya sambil datang mendekat. “Lebih baik
menyembunyikan mereka lagi sebelum orang-orang itu datang… untuk mendirikan tenda
pernikahan,” jelasnya. Ia tampak kelelahan. “Tenda Sihir Millamant… mereka sangat
bagus… Bill akan menemai mereka… sebaiknya kau di dalam saja saat mereka di sini,
Harry. Sungguh susah mengurus pesta pernikahan dengan begitu banyak mantra
perlindungan di sini.”
“Maaf,” kata Harry merasa bersalah.
“Oh, jangan bodoh, sayang!” kata Mrs. Weasley. “Aku tidak bermaksud – yah,
keamananmu lebih penting! Sebenarnya aku ingin bertanya bagaimana kau akan
merayakan ulang tahunmu, Harry. Tujuh belas tahun, itu angka yang penting…”
“Aku tidak ingin macam-macam,” jawab Harry cepat, tidak ingin menambah beban
mereka. “Sungguh, Mrs. Weasley, makam malam biasa saja sudah cukup… itu kan sehari
sebelum pesta pernikahan…”
“Oh, baiklah, bila itu yang kau inginkan, sayang. Bagaimana kalau aku akan mengundang
Remus dan Tonks? Dan Hagrid?”
“Bagus sekali,” kata Harry. “Tapi tolong jangan sampai merepotkanmu.”
“Tidak, sama sekali tidak merepotkan...”
Mrs. Weasley menatapnya lama dan tersenyum sedih, berbalik lalu berjalan menjauh.
Harry melihatnya saat ia mengayunkan tongkatnya dan cucian langsung terangakat ke
udara dan menggantung sendiri di tali cucian. Tiba-tiba Harry merasa menyesal telah
memberi begitu banyak beban dan kesulitan pada Mrs. Weasley.
===================================
* Ghoul = semacam mayat hidup yang tidak memiliki intelegensi
** canapé = adalah makanan kecil dari biskuit atau irisan kecil roti atau roti panggang
yang dipotong dalam beragam bentuk dan dihiasi beragam makanan, seperti keju, daging,
pure kentang, foie gras atau makanan lain
*** vol-au-vent = kue ringan yang berisi daging, ikan, dan lain-lain di dalam saus
Chapter 7
The Will of Albus Dumbledore
PENINGGALAN/WASIAT ALBUS DUMBLEDORE
Harry berjalan di pegunungan yang dingin di bawah langit pagi yang gelap. Jauh di
bawahnya, sebuah kota kecil diselimuti kabut. Apakah pria itu ada di bawah sana? Pria
yang sangat ia butuhkan sampai ia tidak dapat memikirkan hal yang lain. Pria yang tahu
jawaban dari masalahnya…
"Oi, bangun."
Harry membuka matanya. Ia berbaring di atas kasur lipat di dalam kamar Ron. Matahari
belum lagi terbit dan ruangan itu masih gelap. Pigwidgeon masih tertidur dengan kepala
di bawah sayap kecilnya. Bekas luka di dahi Harry terasa menusuk.
"Kau mengigau dalam tidurmu."
"Benarkah?"
"Ya. 'Gregorovitch'. Kau terus menerus mengucapkan 'Gregorovitch'."
Harry tidak memakai kacamatanya. Wajah Ron terlihat kabur.
"Siapa Gregorovitch?"
"Entahlah. Kan kau yang terus menyebutkannya."
Harry menggosok dahinya, berpikir. Ia merasa pernah mendengar nama itu sebelumnya,
tapi entah kapan.
"Kurasa Voldemort sedang mencarinya."
"Pria malang," kata Ron.
Harry duduk, masih menggosok dahinya, benar-benar terjaga. Ia mencoba untuk
mengingat apa yang ia lihat dalam mimpinya. Yang terlihat hanyalah pegunungan dan
pedesaan kecil di lembah.
"Aku rasa dia ada di luar negeri."
"Siapa? Gregorovitch?"
"Voldemort. Aku rasa dia ada di luar negeri, mencari Gregorovitch. Karena tadi tidak
seperti di Inggris."
"Sepertinya kau melihat ke dalam pikirannya lagi."
Ron terdengar khawatir.
"Tolong jangan beritahu Hermione," kata Harry. "Walau entah bagaimana cara mencegah
melihat sesuatu dalam tidurku…"
Ia memandangi sangkar Pigwidgeon, berpikir… mengapa nama ‘Gregorovitch’ terasa
familiar?
"Aku rasa," kata Harry pelan, "ada hubungannya dengan Quidditch. Ada hubungannya,
tapi aku... aku tidak tahu di mana."
"Quidditch?" kata Ron. "Maksudmu Gorgovitch?"
"Siapa?"
"Dragomir Gorgovitch, Chaser, dipindahkan ke Chuddley Cannons dua tahun lalu.
Pemegang rekor sebagai orang yang paling sering menjatuhkan Quaffle dalam satu
musim."
"Bukan," kata Harry. "Aku tidak memikirkan Gorgovitch."
"Aku rasa juga bukan," kata Ron. "Oh, iya, selamat ulang tahun, Harry."
"Wow, benar, aku lupa! Aku sudah tujuh belas tahun!"
Harry mengambil tongkatnya yang tergeletak di samping tempat tidur, mengarahkannya
pada kacamata di atas meja dan berkata, "Accio kacamata!" Walau hanya setengah meter
jauhnya, ada rasa puas saat melihatnya terbang dan menggantung di depan mata.
"Dasar," dengus Ron.
Merayakan atas 'hilangnya Pelacak', Harry membuat Ron melayang berputar di dalam
kamarnya, membangunkan Pigwidgeon yang ikut terbang di dalam sangkarnya. Harry
juga mencoba mengikat tali celana trainingnya dengan sihir (butuh beberapa menit untuk
melepaskan ikatannya). Dan, hanya bermaksud untuk bersenang-senang, mengubah jubah
jingga Chuddley Cannons milik Ron menjadi biru cerah.
"Aku membungkusnya dengan tanganku," kata Ron terkikik saat Harry melihat
bungkusan. "Itu hadiah untukmu. Bukalah di sini, aku tidak ingin Mum tahu."
"Buku?" tanya Harry yang sibuk dengan bungkusan berbentuk kotak. "Tidak seperti
biasanya."
"Itu bukan buku biasa," kata Ron. "Benar-benar berguna. Twelve Fail-Safe Ways to
Charm Witches. Menjelaskan semua yang kau perlukan tentang para gadis. Seandainya
aku memilikinya tahun lalu. Sekarang aku tahu bagaimana cara putus dengan Lavender
dan memulai dengan… Fred dan George membelikannya untukku, dan aku belajar
banyak. Kau akan terkejut, ini tidak bisa dikerjakan dengan tongkatmu."
Saat mereka sampai di dapur, mereka melihat setumpuk hadiah menunggu di meja. Bill
dan Monsieur Delacour telah menyelesaikan sarapan mereka sementara Mrs. Weasley
masih mengajak mereka mengobrol dari balik penggorengannya.
"Arthur menyampaikan selamat ulang tahun padamu, Harry," kata Mrs. Weasley,
menatapnya. "Dia sudah berangkat bekerja, tapi dia pasti datang saat makan malam.
Hadiah kami ada di sana."
Harry duduk dan mengambil hadiah yang ditunjukkan dan membukanya. Di dalamnya
ada sebuah jam mirip seperti milik Ron yang ia dapatkan dari Mr. dan Mrs. Weasley saat
ulang tahun ketujuh belasnya. Terbuat dari emas dengan bintang-bintang berputar di
atasnya.
"Adalah tradisi untuk memberikan jam pada penyihir yang baru menginjak dewasa," kata
Mrs. Weasley, memperhatikan penuh rasa cemas dari balik panci. "Itu bukan baru, tidak
seperti milik Ron. Sebenarnya itu milik saudaraku, Fabian, dan ia tidak begitu berhatihati
menjaga barang-barangnya, bagian belakangnya sedikit penyok, tapi…"
Ia tidak melanjutkan kalimatnya karena Harry telah berdiri dan memeluknya. Harry
mencoba menyalurkan semua yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata lewat
pelukannya dan sepertinya Mrs. Weasley mengerti. Karena ia langsung mengusap pipi
Harry saat Harry melepaskan pelukannya, lalu melambaikan tongkatnya tanpa sengaja
dan menyebabkan daging asap di atas penggorengan meloncat ke lantai.
"Selamat ulang tahun, Harry!" kata Hermione yang masuk ke dapur dan menumpukkan
hadiahnya di atas kado lainnya. "Tidak terlalu bagus, tapi semoga kau suka. Apa yang
kau berikan padanya?" tanya Hermione pada Ron yang sepertinya tidak mendengarkan.
"Ayo buka hadiah dari Hermione!" kata Ron.
Hermione memberinya Sneakoscope baru. Hadiah lain berupa pisau cukur otomatis dari
Bill dan Fleur ("Ah, ini akan memberikan hasil ter’alus," Monsieur Delacour
meyakinkannya, "tapi kau ‘arus mengataknnya dengan jelas… atau kau akan ke’ilangan
banyak rambutmu…"), cokelat dari keluarga Delacour, dan sekotak besar barang-barang
terbaru dari Sihir Sakti Weasley dari Fred dan George.
Harry, Ron, dan Hermione tidak bergabung di meja sarapan, sejak Madame Delacour,
Fleur, dan Gabrielle turun, dapur makin penuh sesak.
“Akan kurapikan untukmu,” kata Hermione senang, mengambil hadiah-hadiah Harry saat
mereka bertiga menuju ke atas, “aku hampir selesai berkemas, tinggal menunggu celana
kalian selesai dicuci.”
Pembicaraan mereka berhenti saat pintu terbuka di lantai ke dua.
“Harry, bisakah kau kemari sebentar?”
Ginny. Ron tiba-tiba berhenti, tapi Hermione menggandengnya dan memaksanya untuk
terus menaiki tangga. Harry mengikuti Ginny memasuki ruangan, merasa gugup.
Harry tidak pernah masuk ke sini. Ruangan itu kecil tapi terang. Ada sebuah poster besar
band penyihir Weird Sister di dinding, dan sebuah potret Gwenog Jones, kapten tim
Quidditch Holyhead Harpies. Sebuah meja diletakkan di dekat jendela. Dari sini terlihat
kebun di mana ia pernah bermain Quidditch bersama Ron dan Hermione, di mana
sekarang berdiri sebuah tenda putih besar. Bendera keemasan tepat ada di depan jendela
kamar Ginny.
Ginny menatap wajah Harry, menarik nafas dalam, dan berkata, “Selamat ulang tahun
ketujuh belas.”
“Terima kasih.”
Ginny menatap Harry dalam-dalam, sedangkan Harry merasa sulit untuk menatap balik,
serasa melihat cahaya yang menyilaukan.
“Pemandangannya bagus,” kata Harry pelan, mengarah keluar jendela.
Ginny diam saja.
“Aku tidak tahu harus memberikan hadiah apa,” kata Ginny.
“Kau tidak perlu memberikan apa-apa.”
Ginny tidak peduli.
“Aku tidak tahu apa yang akan berguna untukmu. Sesuatu yang tidak terlalu besar, agar
dapat kau bawa.”
Harry mencoba memandang wajah Ginny. Tidak tampak air mata di sana. Itu adalah
salah satu hal luar biasa dari Ginny, ia jarang menangis. Mungkin mempunyai enam
orang kakak laki-laki membuatnya tangguh.
Ginny meju selangkah mendekati Harry.
“Lalu aku pikir, lebih baik memberikan sesuatu yang bisa kau kenang. Kau tahu, bila kau
bertemu Veela saat perjalananmu nanti.”
“Jujur saja, kecil kemungkinan untuk berkencan.”
“Ada sebuah garis perak yang aku cari,” bisik Ginny yang lalu mencium Harry seperti ia
tak pernah menciumnya, dan Harry membalasnya. Dan ini adalah sebuah kebahagiaan
yang tak terlupakan, jauh lebih baik dari Firewhisky. Ia adalah hal yang paling penting di
dunia ini, Ginny, merasakannya, satu tangan memeluk punggungnya dan tangannya lain
membelai rambutnya yang panjang, harumnya manis…
Pintu tiba-tiba terbuka lebar dan mereka melompat berpisah.
“Oh,” kata Ron. “Maaf.”
“Ron!” desis Hermione yang ada tepat di belakangnya. Ada ketegangan di antara mereka,
lalu Ginny berkata dengan nada datar, “Selamat ulang tahun, Harry.”
Telinga Ron memerah, Hermione tampak gelisah. Ingin rasanya Harry membanting pintu
di depan muka mereka. Rasanya ada cairan dingin masuk mengaliri ruangan saat pintu
terbuka tadi, dan masa-masa indah Harry pecah seperti gelembung sabun. Segala alasan
untuk putus dari Ginny, untuk menjaga jarak darinya, sepertinya semua alasan itu tidak
terbukti.
Harry menatap Ginny, ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak tahu apa, tapi Ginny terlanjur
membalikkan tubuhnya. Harry mengira Ginny akan menangis, dan Harry tidak bisa
menenangkannya di depan Ron.
“Sampai jumpa,” kata Harry keluar ruangan diikuti dua sahabatnya.
Ron turun, melewati dapur yang masih kacau, dan terus menuju halaman belakang, dan
Harry terus mengikutinya, Hermione mengekor di belakang terlihat ketakutan.
Saat mereka tiba di ujung halaman belakang yang rumputnya barus saja dipotong, Ron
berbalik menghadap Harry.
“Kau telah mencampakkannya. Lalu apa yang kau lakukan barusan?
Mempermainkannya?”
“Aku tidak mempermainnkanya,” kata Harry. Hermione mencoba menengahi.
“Ron…”
Tapi Ron mengangkat tangannya. Memintanya tetap diam.
“Dia benar-benar sedih waktu kau memutuskannya.”
“Aku juga. Kau tahu mengapa aku memutuskannya. Dan kau tahu aku tidak ingin putus
dengannya.”
“Iya, tapi sekarang kau menciumnya dan memberinya harapan…”
“Dia bukan orang bodoh, dia tahu hal itu tidak akan terjadi, dia tidak mungkin mengira
bahwa kami akhirnya akan – akan menikah, atau…”
Saat Harry mengatakannya, sebuah bayangan nyata muncul di dalam pikiran Harry.
Ginny dalam gaun putih menikah dengan seorang pria tanpa wajah. Dan pada saat itu,
Harry terasa terpukul. Masa depannya bebas dan tanpa beban… yang bisa ia lihat di
depan hanyalah Voldemort.
“Berani kau menggerayanginya lagi…”
“Tak akan terjadi lagi,” kata Harry kasar. Hari itu cerah. Tapi Harry merasa bahwa
matahari telah menghilang, “ok?”
Ron tampak separuh marah, separuh malu. Ia bergoyang ke depan dan belakang di atas
tumitnya lalu berkata, “Ya sudah, kalau begitu…”
Ginny tidak lagi berusaha untuk berdua-duan dengan Harry sepanjang hari itu. Tidak ada
hal khusus yang Ginny tunjukkan bahwa mereka baru saja melakukan sesuatu yang lebih
dari percakapan biasa di kamarnya. Kedatangan Charlie seperti menjadi suatu hal yang
melegakan baginya. Membuat Mrs. Weasley sibuk memaksa Charlie untuk duduk diam
agar Mrs. Weasley bisa memotong rambutnya.
Makan malam pada hari ulang tahun Harry tidak bisa dilaksanakan di dapur bahkan
sebelum kedatangan Charlie, Lupin, Tonks, dan Hagrid. Akhirnya beberapa meja
dikeluarkan dan ditata di kebun. Fred dan George menyihir lentera besar berwarna ungu
yang bertuliskan “17” melayang di atas meja. Keahlian Mrs. Weasley membuat luka
George tampak bersih dan rapi. Tapi Harry tidak terbiasa melihat sebuah lubang di sisi
kepala, sedangkan si kembar malah bercanda terus-terusan dengan itu.
Hermione membuat pita ungu dan emas dan menghiasnya di atas pohon dan semak.
“Bagus,” kata Ron saat Hermione memberi sentuhan akhir yang mengubah warna daun
pohon apel menjadi keemasan. “Kau ahli dalam hal seperti ini.”
“Terima kasih, Ron!” Hermione terlihat senang dan bingung dalam saat yang bersamaan.
Harry berputar dan tersenyum sendiri. Ia membayangkan apa yang akan dibacanya di
Twelve Fail-Safe Ways to Charm Witches saat ia punya waktu untuk membacanya nanti.
Harry bertemu mata dengan Ginny dan tersenyum padanya sebelum ia ingat janjinya
pada Ron yang langsung membuatnya tiba-tiba ingin berbicara dengan Monsieur
Delacour.
“Permisi, minggir!” kata Mrs. Weasley, datang dari arah pintu membawa sesuatu yang
tampak seperti Snitch sebesar bola pantai melayang di depanya. Yang baru kemudian
Harry sadari sebagai kue ulang tahunnya. Saat kue itu akhirnya mendarat di tengahtengah
meja, Harry berkata, “Luar biasa sekali, Mrs. Weasley.”
“Oh, ini bukan apa-apa, sayang,” kata Mrs. Weasley penuh cinta. Melalui bahu Mrs.
Weasley, Harry dapat melihat Ron mengacungkan jempolnya dan mulutnya bergerak,
Bagus.
Pada pukul tujuh, semua tamu sudah datang, dibawa masuk oleh Fred dan George yang
menunggu mereka di ujung jalan. Hagrid datang dengan mengenakan setelan terbaiknya,
yaitu jubah berbulu kecoklatan yang mengerikan. Walau Lupin tersenyum saat menjabat
tangan Harry, Harry menganggapnya sedang tidak senang. Sungguh aneh, melihat di
samping Lupin ada Tonks yang berseri-seri.
“Selamat ulang tahun, Harry,” kata Tonks sambil memeluknya erat-erat.
“Tujuh belas tahun, heh!” kata Hagrid saat menerima anggur dalam gelas seukuran ember
dari Fred. “Sudah enam taun sejak kita bertemu, Harry. Masih ingat?”
“Tidak juga,” Harry tersenyum pada Hagrid. “Kalau tidak salah kau merobohkan pintu
depan, memberi ekor babi pada Dudley, dan berkata bahwa aku seorang penyihir, kan?”
“Aku lupa detailnya,” kekeh Hagrid. “Pa kabar, Ron, Hermione?”
“Kami baik,” kata Hermione. “Bagaimana denganmu?”
“Er, tidak buruk. Cukup sibuk, ada beberapa bayi unicorn baru. Akan aku tunjukkan saat
kalian kembali nanti.” Harry menghindari tatapan Ron dan Hermione saat Hagrid sibuk
dengan sakunya. “Ini, Harry – aku tidak tau harus memberi apa, tapi aku langsung ingat
ini.” Hagrid mengeluarkan sebuah tas kecil berbulu dengan tali panjang yang sepertinya
dikenakan di sekitar leher. “Mokeskin. Dapat sembunyikan apapun di dalamnya dan
hanya pemiliknya yang bisa ngambil. Barang yang jarang ada.”
“Hagrid, terima kasih!”
“Bukan apa-apa,” Hagrid mengayunkan tangannya yang sebesar tutup tempat sampah.
“Dan itu Charlie! Aku selalu suka padanya – hey! Charlie!”
Charlie mendekat sambil menyentuh sedih potongan rambut barunya yang super pendek.
Charlie sedikit lebih pendek dari Ron dengan luka bakar dan luka gores di atas tangannya
yang berotot.
“Hai, Hagrid, apa kabar?”
“Aku berusaha tulis surat. Bagaimana kabar Norbert?”
“Norbert?” tawa Charlie, “Naga Punggung Bersirip Norwegia itu? Kami memanggilnya
Norberta, sekarang.”
“Apa – Norbert itu betina?”
“Iya,” kata Charlie.
“Bagaimana kalian tahu?” tanya Hermione.
“Karena lebih ganas,” kata Charlie. Ia menoleh lalu merendahkan suaranya. “Semoga
Dad cepat pulang. Mum mulai tidak tenang.”
Mereka melihat ke arah Mrs. Weasley. Ia sedang berbicara dengan Madame Delacour
dan sesekali menatap ke arah pintu pagar.
“Aku rasa kita mulai pestanya tanpa Arthur,” katanya setelah beberapa saat. “Dia pasti
tertahan di – oh!”
Semua melihat hal yang sama. Kilatan keperakan datang menuju ke arah meja yang
kemudian berubah bentuk menjadi musang yang berdiri dengan kedua kaki belakangnya
dan berbicara dengan suara Mr. Weasley.
“Menteri Sihir datang bersamaku.”
Patronus itu menghilang diikuti decak kagum keluarga Fleur.
“Kami harus pergi,” kata Lupin tiba-tiba. “Harry – maaf – akan kujelaskan lain kali.”
Lupin merangkul pinggang Tonks dan menariknya pergi. Mereka berlari ke arah pagar,
dan menghilang. Mrs. Weasley menatap kebingungan.
“Sang Menteri – tapi – mengapa? Aku tidak mengerti.”
Tak ada waktu berdiskusi karena beberapa saat kemudian, Mr. Weasley muncul di pintu
gerbang ditemani oleh Rufus Scrimgeour, yang langsung dapat dikenali dengan rambut
singanya.
Dua orang itu berjalan menyebrangi halaman menuju meja yang diterangi lentera, di
mana semua orang duduk terdiam melihat mereka mendekat. Saat Scrimgeour terkena
cahaya, Harry merasa ia tampak lebih tua dari saat Harry terakhir kali bertemu
dengannya, lebih kurus dan suram.
“Maaf mengganggu,” kata Scrimgeour saat baru saja mendekati meja. “Aku tahu aku
menjadi perusak suasana di sini.”
Matanya terhenti sejenak pada kue Snitch raksasa.
“Selamat ulang tahun.”
“Terima kasih,” kata Harry.
“Aku ingin berbicara secara pribadi denganmu,” lanjut Scrimgeour. “Juga dengan Mr.
Ronald Weasley dan Miss Hermione Granger.”
“Kami?” kata Ron terkejut. “Mengapa kami?”
“Akan kuberitahu saat kita bisa pindah ke tempat yang lebih pribadi,” kata Scrimgeour.
“Apakah ada?” pintanya pada Mr. Weasley.
“Ya, tentu saja,” kata Mr. Weasley terlihat gugup. “Er, ruang duduk, kalian bisa
menggunakannya.”
“Tunjukkan,” kata Scrimgeour pada Ron. “Kau tak perlu menemani kami, Mr. Weasley.”
Mr. Weasley bertukar pandang gugup dengan Mrs. Weasley saat Ron dan Hermione
berdiri. Mereka berjalan dalam diam menuju rumah. Harry tahu sahabatnya memikirkan
hal yang sama dengannya. Scrimgeour pasti, entah bagaimana, tahu bahwa mereka akan
keluar dari Hogwarts.
Scrimgeour tidak mengatakan apa-apa saat melewati dapur yang berantakan dan langsung
ke ruang duduk. Walau di kebun dipenuhi lembutnya cahaya malam, tapi ruangan ini
begitu gelap. Harry mengayunkan tongkatnya ke arah lampu dan langsung menyala dan
menerangi ruangan lusuh tapi nyaman itu. Scrimgeour duduk di kursi malas yang biasa
ditempati Mr. Weasley, dan Harry, Ron, dan Hermione duduk berdesakan di sofa. Saat
semua tenang, Scrimgeour berbicara.
“Aku ingin bertanya beberapa hal pada kalian bertiga, dan akan lebih baik bila dilakukan
sendiri-sendiri. Aku rasa kalian berdua,” Scrimgeour menunjuk Harry dan Hermione,
“bisa menunggu di atas, aku akan mulai dengan Ronald.”
“Kami tidak akan ke mana-mana,” kata Harry diikuti anggukan Hermione. “Kau harus
berbicara pada kami atau tidak sama sekali.”
Scrimgeour menatap Harry dingin. Harry merasa bahwa sang Menteri sedang berpikir
apakah berarti bila harus bersikap bermusuhan saat ini.
“Baiklah, bersamaan,” katanya sambil mengangkat bahu. Ia berdeham. “Aku di sini
karena, aku tahu kalian sudah tahu, keinginan Albus Dumbledore.”
Harry, Ron, dan Hermione saling bertukar pandang.
“Kalian terkejut! Kalian tidak tahu, kalau begitu, bahwa Dumbledore meninggalkan
seseuatu untuk kalian?”
“Ka-kami?” kata Ron. “Aku dan Hermione juga?”
“Ya, kalian…”
Harry memotongnya.
“Dumbledore sudah meninggal sebulan lalu. Mengapa butuh waktu yang begitu lama
untuk memberikannya pada kami?”
“Sudah jelas, kan?” kata Hermione sebelum Scrimgeour menjawab. “Mereka ingin
memeriksanya terlebih dahulu. Kalian tidak punya hak!” suaranya bergetar.
“Kami punya,” kata Scrimgeour. “Dekrit Hak Penyitaan memberi Kementrian hak untuk
menyita barang, bila…”
“Hukum itu ditujukan untuk menghentikan para penyihir yang memindahkan artifak Ilmu
Hitam,” kata Hermione, “dan Kementrian seharusnya punya bukti kuat untuk menyita
barang! Kau pikir Dumbledore akan memberikan barang yang dikutuk pada kami?”
“Apakah kau berencana bekerja di Departemen Hukum Sihir, Miss Granger?” tanya
Scrimgeour.
“Tentu tidak,” jawab Hermione. “Aku hanya ingin melakukan sesuatu yang benar!”
Ron tertawa. Mata Scrimgeour menatap Ron lalu kembali ke Harry saat Harry berbicara.
“Jadi, mengapa kau memutuskan untuk memberikannya pada kami sekarang? Tidak
punya alasan lain untuk bisa menahannya?”
“Bukan, karena batas tiga puluh satu hari mereka sudah habis,” kata Hermione. “Mereka
tidak boleh menyimpan suatu benda lebih lama kalau memang tidak terbukti berbahaya.”
“Apakah kau dekat dengan Dumbledore, Ronald?” tanya Scrimgeour mengacuhkan
Hermione. Ron terkejut.
“Aku? Tidak – tidak juga… biasanya Harry yang…”
Kata Ron sambil menoleh ke arah Harry dan Hermione yang memberinya tatapan
’Diam’! Tapi sudah terlambat. Scrimgeour sudah mendapatkan apa yang ingin ia dengar.
Ia langsung menyambar jawaban Ron seperti seekor burung yang sudah mengincar
mangsanya.
“Kalau kau tidak terlalu dekat dengan Dumbledore, apa yang kau katakan bila kau ada
dalam wasiatnya? Dia telah memilih beberapa orang untuk menerima barang
peninggalannya. Begitu banyak peninggalannya – perpustakaan pribadi, benda-benda
sihir, barang-barang pribadi – yang tertinggal di Hogwarts. Menurutmu, mengapa kau
menjadi salah satu penerimanya?”
“Aku… entahlah,” kata Ron, “aku… saat aku bilang kami tidak terlalu dekat…
maksudku, aku rasa dia cukup menyukaiku…”
“Jangan merendah, Ron!” kata Hermione. “Dumbledore benar-benar menyukaimu.”
Tentu saja itu tidak benar. Setahu Harry, Ron dan Dumbledore tidak pernah begitu dekat
bahkan mereka hampir tidak pernah saling kontak. Namun, Scrimgeour tidak peduli. Ia
mengeluarkan sebuah tas dari balik jubahnya, tas yang ukurannya sedikit lebih besar dari
kantung pemberian Hagrid untuk Harry. Lalu ia mengeluarkan segulung perkamen,
membukanya dan membacanya.
“’Peninggalan dan Wasiat Terakhir Albus Percival Wulfric Brian Dumbledore’... ah, ini
dia… ‘untuk Ronald Bilius Weasley, aku berikan Deluminator, semoga dia akan
mengingatku saat menggunakannya.’“
Scrimgeour mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Harry pernah melihatnya. Sebuah
korek perak yang dapat menyedot cahaya dan mengembalikannya lagi dalam sekali
tekan. Scrimgeour menyerahkannya pada Ron yang langsung memainkannya dengan
tangan, tertegun.
“Sebuah benda yang berharga,” kata Scrimgeour, memperhatikan Ron. “Juga unik. Jelas
Dumbledore membuatnya sendiri. Mengapa ia memberimu barang yang begitu langka?”
Ron menggelengkan kepalanya, kebingungan.
“Dumbledore pasti punya ribuan murid,” lanjut Scrimgeour. “Tapi yang dia hanya kalian
bertiga. Tahukah kalian? Kira-kira Dumbledore ingin kau melakukan apa dengan
Deluminator itu, Mr. Weasley?”
“Memadamkan lampu, kurasa,” gumam Ron. “Memang aku bisa melakukan hal
lainnya?”
Jelas Scrimgeour pun tak tahu. Setelah memperhatikan Ron beberapa saat, ia kembali ke
surat wasiat Dumbledore.
“’Untuk Miss Hermione Jean Granger, aku berikan The Tales of Beedle the Bard, semoga
ia terhibur dan dapat belajar darinya.’“
Kali ini Scrimgeour mengeluarkan sebuah buku kecil dari dalam tasnya. Buku itu tampak
sama tuanya dengan Secrets of the Darkest Art. Sampulnya lusuh dan banyak bagian
yang boncel. Hermione mengambilnya dari Scrimgeour tanpa berkata apa-apa. Hermione
meletakkan buku itu dipangkuannya dan terus menatapnya. Harry melihat judulnya
tertulis dalam huruf Rune. Lalu terlihat tetesan air mata membasahi simbol-simbol itu.
“Mengapa ia memberimu buku itu, nona Granger?” tanya Scrimgeour.
“Dia… dia tahu aku suka buku,” isak Hermione sambil menghapus air mata dengan
lengan bajunya.
“Tapi mengapa buku itu?”
“Aku tidak tahu. Mungkin dia pikir aku akan suka.”
“Apakah kau pernah berdiskusi tentang kode atau pesan rahasia dengan Dumbledore?”
“Tidak pernah,” kata Hermione yang masih mengapus air mata dengan lengan baju. “Dan
bila dalam tiga puluh satu hari Kementrian tidak bisa menemukan kode rahasia, aku rasa
aku pun tidak bisa.”
“’Untuk Harry James Potter,’“ baca Scrimgeour, dan Harry dipenuhi merasa
kegembiraan, ”’aku berikan Snitch yang ditangkap dalam pertandingan Quidditch
pertamanya di Hogwarts, sebagai tanda penghargaan atas bakat dan usahanya.’“
Lalu Scrimgeour mengeluarkan sebuah bola emas kecil seukuran kacang walnut. Sayap
peraknya bergetar lemah. Sekarang yang Harry rasakan hanyalah kegembiraan yang
memudar.
“Mengapa ia memberimu Snitch ini?” tanya Scrimgeour.
“Tidak tahu,” kata Harry. “Seperti yang telah kau baca, kurasa… penghargaan bila kau…
berusaha dan apa tadi itu.”
“Jadi, menurutmu ini tanda mata belaka?”
“Sepertinya,” kata Harry. “Memang ada yang lain?”
“Jelaskan padaku,” kata Scrimgeour, menggeser kursinya mendekat ke sofa. Di luar
malam sudah benar-benar turun. Dari jendela terlihat tenda putih jauh di balik pagar
tanaman.
“Kue ulang tahunmu berbentuk Snitch,” kata Scrimgeour pada Harry. “Jelaskan!”
Hermione tertawa mengejek.
“Oh, itu karena Harry memang seorang Seeker hebat, jelas sekali kan,” kata Hermione.
“Mungkin ada pesan rahasia dari Dumbledore di permukaannya!”
“Aku rasa tidak ada yang di sembunyikan di permukaannya,” kata Scrimgeour, “tapi
Snitch adalah sebuah barang yang tepat untuk menyembunyikan sebuah benda kecil. Aku
yakin kalian tahu.”
Harry mengangkat bahunya. Hermione tahu jawabannya. Harry merasa bahwa sudah
menjadi kebiasaan Hermione untuk menjawab semua pertanyaan dengan benar.
“Karena Snitch mampu mengingat sentuhan,” jawab Hermione.
“Apa?” kata Harry dan Ron bersamaan, mengingat sedikitnya pengetahuan yang Hermine
tahu tentang Quidditch.
“Benar,” kata Scrimgeour. “Sebuah Snitch tidak pernah disentuh sebelum dilepaskan,
bahkan oleh para pembuatnya, mereka diharuskan untuk menggunakan sarung tangan.
Disihir agar dapat mengenali orang pertama yang menyentuhnya, mencegah bila ada
pertengkaran siapa yang menangkap lebih dulu. Snitch ini,” Scrimgeour mengangkat bola
emas kecil itu, “akan mengingat sentuhanmu, Potter. Menurutku, Dumbledore, dengan
kemampuan sihirnya yang menakjubkan, telah menyihir Snitch agar hanya terbuka
untukmu.”
Jantung Harry berdetak kencang. Ia yakin Scrimgeour benar. Sekarang, bagaimana cara
menolak menerima Snitch itu dengan tangan telanjang?
“Kau diam saja,” kata Scrimgeour. “Apakah kau sudah tahu apa isi Snitch ini?”
“Tidak,” kata Harry yang masih memikirkan cara untuk bisa menerima Snitch itu tanpa
harus menyentuhnya. Seandainya ia menguasai Legilimency dan bisa membaca pikiran
Hermione.
“Terimalah,” kata Scrimgeour.
Harry menatap langsung ke dalam mata kuning sang Menteri dan tahu tidak ada pilihan
lain selain patuh. Harry mengulurkan tangannya dan Scrimgeour meletakkan Snitch,
perlahan dan penuh hati-hati, di telapak tangan Harry.
Tidak terjadi apa-apa. Saat Harry mengenggam Snitch, sayapnya bergetar dan kembali
diam. Scrimgeour, Ron, dan Hermione tetap memandangi bola itu, berharap akan ada
perubahan sekecil apa pun.
“Dramatis sekali,” kata Harry tenang. Ron dan Hermione tertawa.
“Hanya itu, kan?” kata Hermione sambil berusaha berdiri dari sofa.
“Tidak juga,” kata Scrimgeour, yang mulai marah. “Dumbledore memberi dua warisan
padamu, Potter.”
“Apa itu?” kata Harry, kegembiraan itu kembali.
“Pedang Godric Griffindor,” kata Scrimgeour.
Hermione dan Ron membeku. Harry mencari-cari tanda adanya pedang berhiaskan mirah
di gagangnya, tapi Scrimgeour tidak mengeluarkan sesuatu dari tasnya, yang jelas terlalu
kecil untuk menyimpan sebuah pedang di dalamnya.
“Ada di mana?” tanya Harry curiga.
“Sayangnya,” kata Scrimgeour, “bukan hak Dumbledore untuk memberikan pedang itu.
Pedang Godric Gryffindor adalah artifak sejarah yang penting, sehingga barang itu
menjadi milik…”
“Itu milik Harry!” kata Hermione panas. “Pedang itu memilihnya, Harry yang
menemukannya, Harry mengeluarkannya dari topi seleksi…”
“Berdasarkan sumber sejarah yang dapat dipercaya, pedang itu dapat muncul dihadapan
orang yang sesuai dengan kriteria Gryffindor. Dan itu tidak membuatnya menjadi barang
pribadi milik Mr. Potter, walau Dumbledore sudah memutuskan.” Scrimgeour menggaruk
pipinya yang tidak tercukur rapi sambil mengamati Harry. “Menurutmu, mengapa…”
“Mengapa Dumbledore memberikan pedang itu padaku?” potong Harry yang mencoba
menahan amarahnya. “Mungkin Dumbledore pikir akan bagus bila aku menjadikannya
hiasan dinding.”
“Jangan bercanda, Potter!” geram Scrimgeour. “Apakah karena Dumbledore percaya
bahwa hanya pedang Godric Gryffindor yang dapat mengalahkan Ahli Waris Slytherin?
Apakah dia ingin memberikan pedang itu padamu, Potter, karena dia percaya, seperti
kebanyakan, bahwa kau adalah yang ditakdirkan untuk menghabisi Dia Yang Tak Boleh
Disebut?”
“Teori yang menarik,” kata Harry. “Apakah sudah ada yang pernah mencoba menusuk
Voldemort dengan pedang? Mungkin Kementrian harus menyuruh seseorang untuk
melakukannya, daripada membuang waktu meneliti Deluminator, atau menangkap
buronan dari Azkaban. Jadi ini yang kau lakukan, tuan Menteri, mengunci diri di dalam
kantor, mencoba membuka Snitch? Orang-orang sekarat di luar sana, dan aku salah satu
dari mereka. Voldemort terbang mengejarku dan membunuh Mad-Eye Moody, dan
Kementrian diam saja. Dan kau masih berharap kami akan bekerja sama denganmu!”
“Keterlaluan!” teriak Scrimgeour yang langsung berdiri. Harry pun melompat berdiri.
Scrimgeour melangkah maju dan menusukkan tongkatnya ke arah dada Harry dan
meninggalkan lubang kecil seperti bekas terbakar di kaus Harry.
“Oi!” kata Ron yang langsung berdiri dan mengangkat tongkatnya, tapi Harry berkata,
“Jangan! Jangan beri dia alasan untuk menangkap kita.”
“Ingat bahwa kau tidak sedang di sekolah, hah?” kata Scrimgeour mendengus di depan
wajah Harry. “Ingat bahwa aku bukan Dumbledore yang memaafkan semua penghinaan
dan keangkuhanmu, Potter. Kau bisa saja menyandang bekas lukamu seperti mahkota,
Potter, tapi anak berumur tujuh belas tahun tidak pantas memberi tahu apa yang harus
kukerjakan! Sudah saatnya kau belajar menghormati orang lain!”
“Dan saatnya kau belajar mendapatkannya,” kata Harry.
Lantai bergetar, terdengar suara berlari, lalu pintu ruang duduk terbuka. Mr. dan Mrs.
Weasley berlari melewatinya.
“Kami – kami rasa kami mendengar…” kata Mr. Weasley yang langsung waspada
melihat Harry dan Menteri berdiri berhadapan saling mengangkat dagu.
“… ada yang berteriak,” kata Mrs. Weasley terangah-engah.
Scrimgeour mundur beberapa langkah menjauhi Harry dan melihat lubang yang
dibuatnya di kaus Harry. Scrimgeour menyesal telah kehilangan kendali.
“Tidak – tidak ada apa-apa,” geram Scrimgeour. “Aku… kecewa atas kelakuanmu,”
katanya sambil menatap wajah Harry. “Sepertinya kau menganggap bahwa Kementrian
tidak memiliki keingingan yang sama denganmu – dengan Dumbledore. Seharusnya kita
bekerja sama.”
“Aku tidak menyukai metodemu, Pak Menteri,” kata Harry. “Ingat ini?”
Harry mengacungkan kepalan tangan kanannya dan menunjukkan pada Scrimgeour bekas
luka yang masih tampak jelas, bertuliskan aku tidak boleh berbohong. Wajah Scrimgeour
mengeras. Ia berbalik dan meninggalkan ruangan tanpa satu kata pun. Mrs. Weasley
bergegas mengikutinya. Harry dapat mendengar Mrs. Weasley berkata dari pintu
belakang, “Dia sudah pergi!”
“Apa yang dia ingingkan?” tanya Mr. Weasley memandangi Harry, Ron, dan Hermione.
Lalu Mrs. Weasley kembali ke dalam.
“Memberikan peninggalan Dumbledore pada kami,” kata Harry. “Benda-benda ini
diberikan sesuai wasiat Dumbledore.”
Di atas meja makan di kebun, ketiga barang yang baru saja diserahkan Scrimgeour
berpindah-pindah tangan mengelilingi meja. Tiap orang membicarakan Deluminator dan
The Tales of Beedle the Bard dan kecewa akan keputusan Scrimgeour tidak menyerahkan
pedang itu. Tapi tidak seorang pun mengerti mengapa Dumbledore memberikan Snitch
tua pada Harry. Mr. Weasley memeriksa Deluminator ketiga atau keempat kalinya,
sementara Mrs. Weasley berkata, “Harry, sayang, semua orang kelaparan sekarang, kami
tidak ingin memulainya tanpamu… bisakah aku menyajikan makan malam sekarang?”
Setelah semua makan, menyanyikan “Selamat Ulang Tahun”, dan menelan banyak
potongan kue, pesta pun usai. Hagrid, yang diundang ke pesta pernikahan ke esokan
harinya, tapi terlalu besar untuk bisa tidur di dalam The Burrow, mendirikan tenda di
halaman belakang.
“Temui kami di atas,” bisik Harry pada Hermione saat mereka membantu Mrs. Weasley
membereskan sisa-sisa pesta. “Setelah semua orang pergi tidur.”
Di loteng, Ron memeriksa Deluminator dan Harry sedang mengisi kantung Mokeskin
pemberian Hagrid, tidak dengan emas, tapi dengan benda-benda yang ia anggap berharga,
walaupun juga ada yang tidak berarti. Peta Perampok, potongan cermin Sirius, dan liontin
R.A.B. Harry mengulur talinya dan mengalungkannya pada lehernya. Lalu ia terduduk,
memegangi Snitch tua dan memperhatikan sayapnya yang bergetar lemah. Akhirnya
Hermone datang dan masuk ke kamar perlahan.
“Muffliato!” bisik Hermione mengayunkan tongkatnya ke arah tangga.
“Kukira kau tidak akan menggunakan mantra itu,” kata Ron.
“Perubahan,” kata Hermione. “Sekarang, tunjukkan Deluminator itu.”
Ron langsung mengangkat dan menekannya. Cahaya di ruangan itu langsung padam.
“Masalahnya,” bisik Hermione dalam gelap, “kita bisa saja memakai Bubuk Kegelapan
Peruvian.”
Terdengar suara klik, dan cahaya itu terbang kembali ke tampat semula dan kembali
menerangi ruangan itu.
“Tetap saja ini keren,” bela Ron. “Dan seperti orang lain katakan, Dumbledore
membuatnya sendiri!”
“Aku tahu, tapi aku yakin Dumbledore memberikannya padamu tidak hanya untuk
memadamkan lampu!”
“Apa Dumbledore sudah mengira bahwa Kementrian akan menahan wasiatnya dan
semua barang yang akan diberikannya pada kita?” tanya Harry.
“Tentu saja,” kata Hermione. “Dumbledore tidak dapat menjelaskan fungsinya dalam
wasiat. Tapi tetap saja kita tidak tahu mengapa…”
“Mengapa Dumbledore tidak memberikan petunjuk saat dia masih hidup?” tanya Ron.
“Ya, benar,” kata Hermione yang langsung memandangi buku The Tales of Beedle the
Bard. “Jika benda-benda ini terlalu penting untuk diberikan langsung di bawah hidung
Kementrian, seharusnya dia memberi penjelasan sebelumnya pada kita… mungkin dia
pikir kita akan mengerti.”
“Kurasa Dumbledore salah,” kata Ron. “Sudah kukatakan kalau dia itu gila. Brilian
memang, tapi gila. Memberi Harry sebuah Snitch tua – apa maksudnya?”
“Entahlah,” kata Hermione. “Saat Scrimgeour menyerahkannya padamu, Harry, aku
yakin akan terjadi sesuatu.”
“Ya,” jantung Harry berdetak kencang saat ia mengangkat Snitch yang ada di tangannya.
“Aku tidak harus melakukannya di depan Scrimgeour, kan?”
“Apa maksudmu?” tanya Hermione.
“Snitch yang aku tangkap di pertandingan Quidditch pertamaku, kan?” kata Harry.
“Kalian tidak ingat?”
Hermione terpesona, sedangkan Ron kebingungan memandangi Harry dan Snitch itu.
Lalu Ron mengerti.
“Yang hampir kau telan!”
“Tepat,” jantung Harry berdetak lebih kencang, lalu ia memasukknya Snitch itu ke dalam
mulutnya.
Snitch itu tidak membuka. Merasa frustasi dan kecewa, Harry mengeluarkan bola emas
itu. Hermione langsung berteriak.
“Tulisan! Ada tulisan, cepat, lihat!”
Harry hampir menjatuhkan Snitch karena kaget dan terlalu senang. Hermione benar.
Terukir di permukaan emas, yang sebelumnya tidak ada, ada lima kata tertulis dengan
tulisan tangan yang Harry kenal sebagai tulisan tangan Dumbledore.
I open at the close - Aku terbuka saat tertutup, aku terbuka saat akan berakhir*.
Harry membacanya, lalu tulisan itu menghilang.
“'Aku terbuka saat tertutup…' Apa artinya?”
Ron dan Hermione menggeleng, tidak mengerti.
“Aku terbuka saat tertutup… saat akan berakhir… aku terbuka saat tertutup, saat akan
berakhir…”
Bagaimana pun mereka mengulangi kata-kata itu, dengan berbagai perubahan, tetap saja
mereka tidak mengerti apa maksudnya.
“Dan pedang,” kata Ron setelah mereka menyerah untuk mencari arti lain dari tulisan
pada Snitch. “Mengapa Dumbledore memberikan pedang itu pada Harry?”
“Dan mengapa Dumbledore tidak langsung memberitahu aku?” kata Harry. “Pedang itu
ada di sana, terpajang di dinding kantor Dumbledore saat kami berbicara tahun lalu! Bila
Dumbledore ingin aku memilikinya, mengapa dia tidak langsung memberikannya padaku
saat itu?”
Harry merasa seperti sedang duduk menghadapi soal ujian yang seharusnya ia tahu
jawabannya, tapi otaknya tidak bereaksi. Apa ada yang ia lewatkan saat berbicara dengan
Dumbledore tahun lalu? Apakah seharusnya ia mengerti semua ini? Apakah Dumbledore
berharap Harry akan mengerti?
“Dan buku ini… The Tales of Beedle the Bard… aku tidak pernah mendengarnya!”
“Kau tidak pernah mendengar The Tales of Beedle the Bard?” kata Ron tak percaya.
“Kau bercanda, kan?”
“Tidak!” kata Hermione terkejut. “Kau pernah mendengarnya kalau begitu?”
“Tentu saja!”
Harry kebingungan. Keadaan bahwa Ron telah membaca buku yang belum pernah dibaca
Hermione tidak pernah terjadi sebelumnya. Ron sendiri kelihatan tidak percaya dengan
keterkejutan mereka.
“Ayolah! Semua dongeng anak-anak ditulis oleh Beedle, kan? 'The Fountain of Fair
Fortune'… 'The Wizard and the Hopping Pot'… 'Babbitty Rabbitty’ dan ‘Her Cackling
Stump'.”
“Apa?” kata Hermione terkikik. “Apa yang terkahir?”
“Ayolah!” kata Ron yang masih tidak percaya akan reaksi Ron dan Hermione. “Kalian
pasti sudah dengar ‘Babbitty Rabbity’…”
“Ron, kau tahu kan kalau Harry dan aku dibesarkan oleh keluarga Muggle,” kata
Hermione. “Kami tidak mendengar cerita seperti itu, kami mendengar Putri Salju dan
Tujuh Kurcaci dan Cinderella…”
“Apa itu? Nama penyakit?” tanya Ron.
“Jadi ini dongeng anak?” tanya Hermione, kembali memperhatikan huruf-huruf Rune.
“Mungkin,” kata Ron tidak yakin, “maksudku, hanya itu yang aku dengar, kalau semua
dongeng anak dibuat oleh Beedle. Aku tidak pernah tahu tahu versi aslinya.”
“Tapi mengapa Dumbledore ingin aku membacanya?”
Terdengar suara dari bawah.
“Mungkin Charlie, Mum pasti sudah tidur. Charlie sedang berusaha menumbuhkan
rambutnya kembali,” kata Ron gelisah.
“Tetap saja, kita harus tidur sekarang,” bisik Hermione. “Tidak mungkin kita bisa bangun
terlambat besok.”
“Tidak juga,” kata Ron. “Sebuah pembunuhan kejam terhadap ibu pengantin dapat
mengacaukan pesta pernikahan. Aku yang memadamkan lampu.”
Dan Ron menekan Deluminator sesaat setelah Hermione keluar dari kamar.
======================
*I open at the close - 'Aku terbuka saat tertutup' atau 'Aku terbuka saat akan berakhir'.
Chapter 8
The Wedding
Pernikahan
Pukul tiga keesokan sorenya, Harry, Ron, Fred, dan George berdiri di luar tenda putih
besar yang dipasang di kebun, menunggu kedatangan para tamu undangan. Harry telah
meminum segelas dosis besar Ramuan Polijus dan menyaru menjadi seorang bocah
berambut merah di desa Ottery St Catchpole, yang beberapa helai rambutnya telah
diambil Fred dengan Mantra Panggil. Rencananya adalah memperkenalkan Harry sebagai
‘sepupu Barny’ dan bergantung pada banyaknya jumlah sanak saudara keluarga Weasley
sebagai penyamarannya.
Keempatnya memegang daftar tempat duduk agar bisa membantu para tamu undangan
menemukan tempat duduk mereka. Pembawa acara, pelayan berjubah putih, dan anggota
band berjaket emas, sudah datang satu jam sebelumnya. Mereka semua sekarang sedang
duduk di bawah pohon tak jauh dari tenda. Harry dapat melihat pipa rokok biru di sana.
Di belakang Harry, di bawah tenda, kursi emas telah ditata di samping karpet ungu yang
di kedua sisinya dihiasi oleh bunga putih dan emas. Fred dan George telah memasang
seikat besar balon-balon emas di tempat di mana Bill dan Fleur akan disumpah menjadi
pasangan suami istri. Di luar, kupu-kupu dan lebah terbang perlahan di atas rumput dan
pagar tanaman. Harry merasa kurang nyaman. Bocah Muggle yang ditirunya ternyata
lebih gemuk dari Harry dan membuat jubah Harry menjadi kesempitan dan terasa panas,
apalagi di hari yang cerah di musim panas.
”Saat aku menikah nanti,” kata Fred sambil melonggarkan kerah jubahnya, ”aku tidak
akan repot-repot dengan semua omong kosong ini. Kalian semua bisa datang dengan
pakaian yang kalian suka. Dan Mum akan kuberi Kutukan Pengikat Tubuh Sempurna
sampai acara selesai.”
”Mum tidak terlalu cerewet tadi pagi,” kata George. ”Hanya mengeluh karena Percy tidak
datang, memangnya ada yang ingin dia datang? Ya ampun, siap-siap – mereka datang,
lihat.”
Sosok-sosok berjubah terang muncul satu persatu, entah dari mana, tidak jauh dari
pekarangan. Dalam beberapa menit mereka semua berjalan menuju tenda. Bunga-bunga
eksotis dan burung-burungan menghiasi topi para penyihir wanita, sedangkan permatapermata
berkilauan dari rompi para penyihir pria. Dengungan senang dari obrolan mereka
semakin keras saat mereka mendekati tenda.
”Luar biasa, sepertinya aku melihat beberapa sepupu Veela,” kata George, menjulurkan
leher agar bisa melihat lebih jelas. ”Mereka pasti butuh bantuan untuk mempelajari
kebiasaan orang Inggris. Aku pasti akan mengajari mereka…”
“Tidak secepat itu, Tuan yang Agung,*” kata Fred yang langsung melewati sekelompok
wanita paruh baya.
”Mari – permettez-moi untuk assister vous,” kata Fred ke sepasang gadis Perancis cantik
yang terkikik dan mengizinkan Fred untuk menemani mereka. George akhirnya
membantu para wanita paruh baya itu. Dan Ron membantu teman kerja Mr. Weasley,
Perkins. Sementara Harry harus menghadapi sepasang orang tua yang agak tuli.
“Hai,” terdengar suara yang sudah familiar saat Harry keluar dari tenda untuk menjemput
antrian selanjutnya. Ternyata Tonks dan Lupin ada di barisan terdepan. Tonks mengubah
rambutnya menjadi pirang untuk acara ini. “Arthur bilang kau yang berambut keriting.
Maaf semalam,” tambah Tonks dalam bisikan. Lalu Harry mengantar mereka.
”Kementrian telah menjadi anti-manusia serigala saat ini dan kedatangan kami semalam
akan menambah masalahmu.”
“Tidak apa-apa, aku tahu,” kata Harry, yang lebih berbicara pada Lupin daripada Tonks.
Lupin memberinya senyuman tipis, dan saat Tonks dan Lupin berbalik, Harry dapat
melihat wajah Lupin sudah kembali murung. Harry penasaran, tapi tidak ada waktu untuk
itu. Hagrid telah membuat keributan. Ia salah mengartikan petunjuk Fred. Seharusnya
Hagrid duduk di kursi yang telah diperbesar dan diperkuat untuknya di barisan belakang,
bukannya malah duduk di lima kursi yang sekarang sudah hancur dan menyerupai
setumpuk korek emas.
Sementara Mr. Weasley membenahi kerusakan dan Hagrid tak berhenti meminta maaf,
Harry kembali ke depan dan menemukan Ron sedang berhadapan dengan penyihir paling
aneh. Dengan rambut putih sepanjang bahu, ia memakai topi yang jumbainya menyentuh
hidungnya, dan jubah berwarna kuning telur yang menyakitkan mata.
” Xenophilius Lovegood,” katanya sambil mengulurkan tangan pada Harry, ”aku dan
putriku tinggal di seberang bukit, baik sekali keluarga Weasley mau mengundang kami.
Apakah kau mengenal Luna?” tanyanya pada Ron.
”Ya,” kata Ron, ”bukankah tadi dia bersamamu?”
”Dia pergi ke kebun kecil yang menarik itu, ingin menyapa jembalang, bukankah itu
sebuah investasi berharga! Hanya beberapa penyihir yang bisa belajar kearifan pada
jembalang – atau lebih baik kita menyebutnya dengan nama mereka yang sebenarnya –
Gernumbli gardensi.”
”Kami tahu beberapa nama yang bagus untuk mereka,” kata Ron, ”tapi kurasa Fred dan
George sudah memakainya.”
Ron mengantar beberapa warlock saat Luna datang.
”Hallo, Harry!” kata Luna.
”Er – namaku Barny,” kata Harry terkejut.
”Kau mengubah namamu juga?” tanya Luna ceria.
”Bagaimana kau bisa tahu?”
“Oh, aku mengenali ekspresimu.”
Seperti ayahnya, Luna memakai jubah berwarna kuning terang dan menghiasi rambutnya
dengan bunga matahari besar. Karena sudah terbiasa dengan tingkah aneh Luna,
melihatnya sekarang seperti berpakaian cukup normal. Untung saja tidak ada lobak yang
menggantung menjadi pengganti anting-anting.
Xenophilius yang sedang berbicara serius dengan seorang kenalannya, tidak
memperhatikan pembicaraan Luna dan Harry. Setelah berpisah dari penyihir itu, ia
kembali menemui putrinya yang langsung mengacungkan jari dan berkata, ”Dad, lihat –
tadi ada jembalang yang menggigitku!”
”Hebat! Liur jembalang punya banyak kegunaan!” kata Mr. Lovegood, memegang tangan
Luna yang terluka dan memeriksa luka yang berdarah itu. ”Luna, sayangku, bila kau
merasakan sebuah bakat yang tumbuh hari ini – keinginan untuk menyanyi opera atau
berpuisi dalam bahasa Mermish, mungkin – jangan ditahan! Mungkin saja kau telah
diberkati oleh Gernumbli!”
Ron, yang melewati mereka langsung mendengus keras.
”Ron, kau boleh saja tertawa,” kata Luna tenang, saat Harry mengantarkan menuju kursi
mereka, ”tapi Dad sudah banyak meneliti tentang kemampuan sihir Gernumbli.”
”Benarkah?” kata Harry, yang tidak memiliki keinginan untuk menantang cara berpikir
Luna dan ayahnya yang aneh. ”Kau yakin tidak ingin memberikan sesuatu pada bekas
gigitan itu?”
”Ah, tidak usah,” kata Luna sambil memasukkan jarinya ke dalam mulut dan
memandangi Harry dari atas ke bawah. ”Kau kelihatan pintar. Aku sudah bilang pada
ayah kalau semuanya akan memakai jubah pesta, tapi dia yakin seharusnya kita
menggunakan warna kuning bila ingin ke pesta pernikahan, untuk keberuntungan.”
Saat Luna pergi mengikuti ayahnya, Ron muncul dengan seorang wanita tua yang
menggamit tangannya. Hidungnya yang seperti paruh, lingkaran merah di matanya, dan
topi merah muda berbulu, membuatnya seperti burung flamingo yang sedang marah.
”… dan rambutmu terlalu panjang Ronald, tadi kukira kau Ginevra. Demi jenggot
Merlin, apa yang Xenophilius pakai? Dia jadi seperti telur dadar. Dan siapa kau?”
bentaknya pada Harry.
“Oh iya, Bibi Muriel, ini sepupu kami, Barny.”
“Weasley yang lain? Kalian berkembang seperti jembalang. Bukankah Harry Potter ada
di sini? Aku berharap bisa bertemu dengannya. Kukira dia temanmu, Ronald, atau kau
hanya membual?’
”Tidak – dia tidak bisa datang.”
”Ehm. Hanya alasan, kan? Sepertinya dia tidak seberani seperti yang ditulis di koran.
Aku yang menganjurkan agar sebaiknya sang pengantin memakai tiaraku,” jelasnya pada
Harry. “Buatan goblin, kau tahu, dan sudah ada pada keluargaku selama berabad-abad.
Gadis itu cantik, tapi tetap saja – orang Perancis. Antarkan aku ke tempat duduk yang
bagus, Ronald, aku sudah seratus tujuh dan tidak boleh terlalu lama berdiri.”
Ron memberi pandangan penuh arti pada Harry saat pergi dan tidak kembali untuk
beberapa wakut. Saat Ron kembali, Harry sudah mengantarkan selusin orang ke tempat
masing-masing. Tenda itu sudah hampir penuh dan sudah tak ada barisan lagi di depan
tenda.
”Muriel itu mimpi buruk,” kata Ron sambil mengusap dahinya dengan lengan jubah.
”Untung saja dia hanya datang saat Natal. Dia marah sekali saat Fred dan George
menaruh Bom Kotoran di bawah kursinya saat makan malam. Dad selalu berkata bahwa
mereka tidak akan menerima warisan dari Bibi Muriel – seperti mereka peduli saja.
Mereka kan sudah kaya, dengan apa yang mereka kerjakan… wow!” Ron berkedip
beberapa kali ke arah Hermione yang mendatangi mereka. “Kau tampak hebat!”
“Selalu dengan nada terkejut,” kata Hermione tersenyum. Hermione memakai jubah
ringan berwarna lembayung yang sesuai dengan sepatunya. Rambutnya halus dan
berkilau. “Bibi Muriel tidak sependapat denganmu. Aku bertemu dengannya di tangga
saat ia akan memberikan tiaranya pada Fleur. Dia bilang ‘Oh, jadi ini si gadis kelahiran
Muggle itu?’ lalu ‘Postur tubuhmu jelek dan kakimu terlalu kurus’.”
“Jangan diambil hati, dia memang kasar pada setiap orang,” kata Ron.
”Membicarakan Muriel?” tanya George yang baru muncul dari dalam tenda bersama
Fred. ”Dia bilang telingaku besar sebelah. Seandainya paman Bilius masih ada, walau ia
akan menjadi bahan tertawaan.”
”Bukankah dia yang melihat Grim dan meninggal dua puluh empat jam kemudian?”
tanya Hermione.
”Ya, dia meninggal dengan sedikit aneh,” aku George.
”Tapi sebelum dia gila, dia selalu menjadi biang pesta,” kata Fred. ”Biasanya dia akan
menghabiskan sebotol Firewhisky dan langsung ke lantai dansa, mengangkat jubahnya,
dan mengeluarkan bunga dari…”
”Sepertinya orang yang menyenangkan,” kata Hermione, sementara Harry tertawa keras.
”Aku tidak akan menikah, untuk beberapa alasan,” kata Ron.
”Kau membuatku takjub Ron,” kata Hermione.
Semuanya tertawa hingga tidak memperhatikan seseorang yang datang terlambat, seorang
pria muda berambut gelap, berhidung bengkok, dan beralis hitam tebal, sampai ia
menyodorkan undangan ke Ron dan memandangi Hermione berkata, ”Kau kelihatan luar
biasa!”
”Viktor!” Hermione terkejut sampai menjatuhkan tas manik-maniknya, yang bersuara
terlalu keras, tidak sesuai dengan ukurannya. Ia beringsut mengambilnya dan berkata,
”Aku tidak tahu kau akan – ya ampun – senang bisa bertemu – apa kabar?”
Kuping Ron memerah. Setelah melihat undangan tapi tidak percaya, Ron bertanya
dengan nada yang terlalu tinggi, ”Bagaimana kau bisa kemari?”
“Fleur mengundangku,” kata Krum sambil mengangkat alisnya.
Harry, yang tidak punya dendam terhadap Krum, menjabat tangannya. Lalu, merasa perlu
menjauhkan Krum dari Ron, Harry menawarkan diri untuk mengantarkannya ke tempat
duduk.
”Temanmu sepertinya tidak senang melihatku,” kata Krum, saat memasuki tenda. ”Atau
saudaramu?” tambahnya saat melihat ke rambut Harry yang merah dan keriting.
”Sepupu,” gumam Harry, tapi Krum tidak mendengarkan. Kedatangannya menyebabkan
sebuah keributan, terutama di antara sepupu Veela. Karena Krum memang seorang
pemain Quidditch terkenal. Sementara orang-orang masih menjulurkan leher mereka agar
bisa melihat Krum, Ron, Hermione, Fred, dan George terburu-buru memasuki tenda.
”Saatnya duduk,” kata Fred pada Harry, ”atau kita akan diinjak sang pengantin.”
Harry, Ron, dan Hermione duduk di barisan kedua, di belakang Fred dan George. wajah
Hermione masih bersemu dan kuping Ron masih merah. Setelah beberapa saat, Ron
membisiki Harry, “Apa kau perhatikan kalau dia menumbuhkan jenggot kecil bodoh
itu?”
Harry menggerutu tidak tahu.
Rasa tidak sabar sudah memenuhi tenda yang hangat, dengung obrolan berkurang saat
terdengar tawa sopan yang terdengar gembira. Mr dan Mrs. Weasley berjalan di atas
karpet, tersenyum dan melambaikan tangan pada keluarga. Mrs. Weasley memakai jubah
baru berwarna nila yang sesuai dengan topinya.
Sesaat kemudian Bill dan Charlie berdiri di depan. Keduanya memakai jubah pesta
dengan mawar putih besar di setiap lubang kancingnya. Fred bersiul dan membuat
sepupu Veela terkikik. Semua orang terdiam saat musik dimainkan, yang sepertinya
berasal dari balon-balon emas.
“Oooh!” kata Hermione yang berputar di tempat duduknya, melihat ke arah pintu masuk.
Banyak orang yang mendesah terkesan saat Monsieur Delacour dan Fleur berjalan masuk
di atas karpet. Fleur memakai gaun putih yang sangat sederhana dan berkilau keperakan.
Biasanya sinar auranya akan membuat orang lain tampak redup, tapi hari ini semua orang
menerima sebagian kecantikannya. Ginny dan Gabrielle, keduanya memakai gaun emas,
terlihat lebih cantik dari biasanya. Dan saat Fleur sampai di depan, Bill tampak seperti
tidak pernah bertemu dengan Fenrir Greyback.
”Tuan dan nyonya,” Harry terkejut melihat dari siapa suara itu berasal. Orang dengan
rambut yang menipis, orang yang sama yang memimpin upacara pemakaman
Dumbledore, orang yang kini berdiri di depan Bill dan Fleur. ”Kita berkumpul pada hari
ini untuk merayakan penyatuan dua jiwa…”
“Ya, tiaraku membuat semua tampak bagus,” kata Bibi Muriel dalam bisikan. “Tapi
kurasa gaun Ginevra terlalu pendek.”
Ginny menoleh, lalu tersenyum dan mengedip pada Harry, lalu kembali menghadap ke
depan. Pikiran Harry terbang keluar dari tenda dan kembali pada sore saat ia
menghabiskan waktu berduaan bersama Ginny di sekolah. Rasanya sudah lama sekali dan
terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Rasanya seperti mencuri waktu yang berharga
dari seseorang, seseorang yang tidak memiliki bekas luka seperti petir di dahi.
“Apakah kau, William Arthur, menerima Fleur Isabelle…“
Di barisan depan, Mrs. Weasley dan Madame Delacour terisak dalam sapu tangan
berenda mereka. Suara seperti terompet terdengar dari arah belakang, yang menandakan
bahwa Hagrid sudah mengeluarkan sapu tangan berukuran taplak miliknya. Hermione
menoleh dan Harry dapat melihatnya, mata Hermione juga dipenuhi air mata.
“… dan aku nyatakan kalian sebagai suami istri.”
Pria berambut tipis itu mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi melampaui kepala Bill dan
Fleur dan hujan bintang perak turun melingkari dua orang yang baru saja disumpah. Saat
Fred dan George mulai bertepuk tangan, balon-balon emas meletus dan berubah menjadi
burung-burung dan lonceng-lonceng emas kecil.
”Tuan dan nyonya!” kata pria berambut tipis itu. ”Tolong Anda sekalian berdiri!”
Semua orang berdiri, Bibi Muriel menggerutu keras. Pria itu mengayunkan tongkatnya.
Kursi-kursi yang tadi diduduki melayang anggun keluar saat dinding kanvas tenda
menghilang, meninggalakan kanopi yang disangga oleh tiang-tiang emas,
memperlihatkan pemandangan daerah perkebunan yang indah di bawah sinar matahari
sore. Lalu, emas cair mengalir dari tengah tenda membentu lantai dansa yang berkilau.
Kursi-kursi yang melayang tadi kembali dengan meja bertaplak putih, membentuk grupgrup
kecil. Semuanya melayang anggun dan menyentuh tanah perlahan. Anggota band
berjaket emas berjalan menuju podium.
”Halus sekali,” aku Ron. Para pelayan muncul sambil membawa nampan perak berisi jus
labu, Butterbeer, dan Firewhisky, sementara nampan lain berisi kue tart dan sandwich.
“Kita harus memberi selamat pada mereka!” kata Hermione yang berjinjit mencoba
mencari Bill dan Fleur yang sudah dikelilingi oleh orang yang ingin memberi selamat.
“Kita akan punya waktu nanti,” kata Ron yang mengambil tiga gelas Butterbeer dari
nampan yang lewat dan memberikan segelas pada Harry. ”Hermione, ayo, kita cari meja
dulu… jangan di sana! Jangan dekat-dekat Muriel.”
Ron berjalan melewati lantai dansa, menoleh ke kanan dan kiri, Harry yakin Ron sedang
menjauhkan diri Krum. Saat mereka sudah memutari tenda, hampir seluruh meja sudah
ditempati, yang kosong hanya meja di mana Luna duduk sendiri.
”Boleh bergabung?” tanya Ron.
”Oh, ya,” kata Luna senang. ”Dad baru saja pergi untuk memberikan hadiah kami pada
Bill dan Fleur.”
”Apa itu? Persediaan Gurdyroot seumur hidup?”
Hermione ingin menendang kaki Ron tapi malah kaki Harry yang kena. Membuat Harry
merintih kesakitan dan tidak mendengar percakapan selanjutnya.
Band sudah mulai bermain musik. Bill dan Fleur turun ke lantai dansa untuk pertama
kali, diiringi oleh tepuk tangan meriah. Lalu Mr. Weasley mengajak madame Delacour
turun ke lantai dansa yang diikuit oleh Mrs. Weasley dan ayah Fleur.
”Aku suka lagu ini,” kata Luna mengikuti musik waltz dan beberapa detik kemudian dia
berdiri dan meluncur ke lantai dansa, di mana dia berputar di satu titik dengan mata
tertutup dan mengayunkan tangnnya.
”Dia hebat, ya,” kata Ron kagum. ”Selalu tau saat yang tepat.”
Tapi senyum Ron langsung menghilang karena Viktor Krum langsung duduk di kursi
Luna. Hermione terlihat senang, tapi kali ini Krum datang tidak untuk memujinya.
Dengan wajah marah Krum berkata, ”Siapa pria dengan baju kuning itu?”
”Xenophilius Lovegood, ayah dari teman kami,” kata Ron. Nada dari kalimat Ron
menunjukkan agar tidak menertawakan Xenophilius, dan jelas, menantang. ”Ayo
berdansa,” tambah Ron pada Hermione.
Hermione menoleh dan kelihatan senang, ia berdiri, dan mereka berdua menghilang di
tengah-tengah kumpulan orang yang ada di lantai dansa.
”Ah, mereka bersama sekarang?”
”Er – sepertinya,” kata Harry.
”Siapa kau?” tanya Krum.
”Barny Weasley.”
Mereka berjabat tangan.
”Barny – kau kenal dengan Lovegood itu?”
”Tidak juga, aku baru bertemu dengannya hari ini. Mengapa?”
Krum melihat dari atas gelasnya, memperhatikan Xenophilius yang sedang berbicara
dengan beberapa warlock di sebrang lantai dansa.
”Karena,” kata Krum, ”jika dia bukan tamu Fleur, aku akan berduel dengannya, di sini,
saat ini juga, karena telah memakai lambang kotor itu di dadanya.”
”Lambang?” kata Harry yang akhirnya memandangi Xenophilius juga. Tanda segitiga
aneh berkilau di dadanya. ”Mengapa? Apa yang salah dengan itu?”
”Grindelvald. Itu lambang Grindelvald.”
”Grindelwald… Penyihir hitam yang dikalahkan Dumbledore?”
”Tepat.”
Otot di rahang Krum mengeras, dan ia berkata, ”Grindelvald membunuh banyak orang,
termasuk kakekku. Tapi dia tidak pernah menjamah negeri ini, dia bilang dia takut pada
Dumbledore – dan jelas, saat dia dikalahkan. Tapi itu,” Krum menunjuk Xenophilius.
”Itu adalah lambang Grindelvald. Aku langsung mengenalinya. Grindelvald mengukirnya
di dinding di Durmstrang saat dia masih menjadi murid di sana. Beberapa idiot memakai
lambang itu di buku dan pakaian mereka, berpikir bisa membuat orang lain kagum –
sampai mereka diajari oleh orang yang telah kehilangan keluarga karena Grindelvald.”
Krum mengepalkan tangannya berlagak mengancam dam masih memandangi
Xenophilius. Harry merasa bingung. Sepertinya tidak mungkin ayah Luna menjadi
pendukung seorang Penyihir Hitam dan tak seorang pun di dalam tenda bermasalah
dengan tanda segitiga yang seperti huruf Rune itu.
„Apa kau – er – yakin kalau itu lambang…“
”Tidak mungkin aku salah,” kata Krum dingin. ”Aku melihat lambang itu bertahuntahun,
aku sangat mengenalnya.“
”Yah, mungkin saja,“ kata Harry, „Xenophilius tidak tahu lambang apa itu. Bisa saja dia
menganggap bahwa itu potongan kepala dari Snorkack Tanduk-Kisut.”
”Tanduk-Kisut apa?”
”Aku sendiri tidak tahu. Tapi sepertinya dia dan putrinya pergi berlibur untuk mencari
Snorkack itu.”
Harry merasa talah memberikan penjelasan yang buruk tentang Luna dan ayahnya.
”Itu putrinya,” kata Harry sambil menunjuk Luna yang masih menari sendiri,
mengayunkan tangan di atas kepalanya seperti ingin menakut-nakuti para kurcaci.
”Mengapa dia bergerak seperti itu?” tanya Krum.
”Mungkin dia ingin mengusir Wrackspurt,” kata Harry yang mengenali gerakan itu.
Krum tidak mengerti apakah Harry bercanda atau tidak. Krum mengeluarkan tongkatnya
dan mengetuk-ketukkannya di atas pahanya, percikan api muncul dari ujungnya.
”Gregorovitch!” kata Harry tiba-tiba, dan Krum terkejut, tapi Harry tidak peduli. Ia
teringat saat melihat tongkat Krum pertama kali: Ollivander memegang dan
memeriksanya sebelum Turnamen Triwizard.
”Memang ada apa?” kata Krum curiga.
”Dia pembuat tongkat!”
”Aku tahu,” kata Krum.
”Dia membuat tongkatmu! Jadi itu sebabnya aku kira – Quidditch...”
Krum memandangi Harry, semakin curiga.
“Bagaimana kau tahu Gregorovitch membuat tongkatku?”
”Aku… aku membacanya, kurasa,” kata Harry. ”Di – di sebuah majalah fans,” Harry
mengarang gila-gilaan dan Krum sudah tidak curiga lagi.
“Aku tidak ingat aku pernah berbicara tentang tongkatku dengan fans,” kata Krum.
”Jadi… er… di mana Gregorovitch sekarang?”
Krum kebingungan.
“Dia pensiun beberapa tahun lalu. Milikku adalah salah satu tongkat terakhir yang
Gregorovitch jual. Dia yang terbaik – walau aku tahu, kalau orang-orang Inggris lebih
banyak memakai buatan Ollivander.”
Harry tidak menjawab. Dia berpura-pura memperhatikan orang-orang yang berdansa,
seperti Krum, tapi Harry berpikir keras. Jadi Voldemort mencari pembuat tongkat
ternama, dan Harry tidak perlu mencari alasannya. Jelas karena tongkat Harry telah
merusak tongkat Voldemort saat pengejaran malam itu. Tongkat holly dan bulu phoenix
miliknya telah mengalahkan tongkat pinjaman itu, karena sesuatu yang tidak diketahui
atau dimengerti oleh Ollivander. Apakah Ollivander lebih tahu? Apakah dia memang
lebih punya kemampuan daripada Ollivander? Apakah dia juga tahu tentang rahasia
tongkat yang tidak diketahui Ollivander?
”Gadis itu cantik sekali,” kata Krum pada Harry. Krum menunjuk Ginny yang baru saja
menari bersama Luna. ”Apakah dia juga saudaramu?”
”Ya,” kata Harry terdengar tidak suka, ”dan dia sudah punya pacar. Tipe pencemburu
bertubuh besar. Kau tidak akan ingin melawannya.”
Krum menggerutu.
”Apa untungnya,” kata Krum, menghabiskan minumannya lalu berdiri, ”menjadi pemain
Quidditch internasional kalau semua gadis cantik sudah ada yang punya?”
Dan Krum pergi meninggalkan Harry untuk mengambil sandwich dari nampan dan
berjalan menerobos kerumunan. Harry ingin mencari Ron, memberitahu tentang
Gregorovitch, tapi Ron sedang berdansa dengan Hermione di tengah lantai dansa. Harry
mengalihkan pandangannya dan melihat Ginny yang sekarang dengan teman Fred dan
George, Lee Jordan. Harry berusaha untuk tidak menyesal mengingat janjinya pada Ron.
Harry tidak pernah ke pesta pernikahan sebelumnya. Jadi Harry tidak tahu apakah
perayaan para penyihir ini berbeda dengan perayaan Muggle, walau Harry yakin tidak
mungkin ada kue pernikahan dengan burung Phoenix di atasnya yang langsung terbang
setelah kuenya di potong, atau berbotol-botol champagne beterbangan di atas kerumunan
undangan, di dunia Muggle. Saat malam mulai turun, kanopi diterangi oleh cahaya dari
lentera emas, dan keriuhan pesta mulai berkurang. Fred dan George sudah menghilang
sejak tadi bersama dengan sepasang sepupu Fleur. Charlie, Hagrid, dan seorang penyihir
pendek bertopi ungu, sedang bernyanyi ’Odo the Hero’ di pojok.
Harry sedang menerobos kerumunan dan melarikan diri paman Ron yang mabuk dan
menganggap Harry sebagai anaknya, lalu Harry melihat seorang penyihir tua duduk
sendirian. Rambut putih tebalnya membuatnya tampak seperti bunga dandelion yang
sedang mekar yang memakai topi yang sudah dimakan ngengat. Rasanya pria itu begitu
familiar. Harry tiba-tiba teringat kalau pria itu adalah Elphias Doge, anggota Orde
Phoenix, dan penulis berita kematian Dumbledore.
Harry mendekatinya.
“Bolehkah aku duduk?”
“Tentu, tentu,” kata Doge, suaranya mencicit tinggi.
Harry duduk dan mendekat pada Doge.
“Mr. Doge, saya Harry Potter.”
Doge terkejut.
”Anakku! Arthur bilang kau ada di sini, menyamar… aku senang, aku merasa
terhormat!”
Doge menuangkan Harry segelas champagne.
”Aku ingin menulis surat untukmu,” bisik Harry, ”setelah kematian Dumbledore…
rasanya tidak percaya… dan kau, aku yakin…”
Tiba-tiba mata kecil Doge dipenuhi air mata.
“Aku membaca berita kematian yang kau tulis di Daily Prophet,” kata Harry. ”Aku tidak
tahu kalau berteman dengan profesor Dumbledore.”
“Semua orang juga mengira begitu,” kata Doge sambil mengusap matanya dengan serbet
makan. ”Jelas aku yang paling lama mengenalnya, jika Aberforth tidak masuk hitungan –
dan entah, orang-orang tidak pernah mengingat Aberforth.”
“Ngomong-ngomong tentang Daily Prophet… aku tidak tahu apakah kau melihatnya,
Mr. Doge…”
“Oh, Elphias saja, anakku.”
“Elphias, apakah kau melihat hasil wawancara Rita Skeeter tentang Dumbledore?”
Wajah Doge diwarnai dengan amarah.
”Oh, ya, Harry, aku melihatnya. Wanita itu, lebih pantas bila menyebutnya sebagai
burung hering, benar-benar menolak saat aku ingin berbicara padanya. Aku sendiri malu
bisa jadi begitu kasar. Memanggilnya ikan trout yang suka ikut campur, dan kau bisa lihat
hasilnya, dia mengatakan kalau aku agak gila.”
”Dalam wawancara itu,” lanjut Harry, ”Rita Skeeter berkata bahwa profesor Dumbledore
pernah berkutat dengan sihir hitam saat masih muda.”
”Jangan percaya sedikit pun!” kata Doge. ”Sedikit pun, Harry! Jangan biarkan sesuatu
merusak kenanganmu dengan Albus Dumbledore!”
Harry melihat wajah Doge yang marah, dan Harry malah merasa tertekan. Apa Doge
pikir mudah sekali untuk Harry memilih untuk tidak percaya? Apakah Doge mengerti
bahwa Harry butuh diyakinkan, butuh untuk tahu segalanya?
Mungkin Doge tau apa yang dirasakan Harry, ia lalu melanjutkan, ”Harry, Rita Skeeter
itu mengerikan…”
Kalimat itu dipotong oleh lengkingan seseorang.
”Rita Skeeter? Oh, aku suka dengannya, selalu membaca tulisannya!”
Harry dan Doge menatap Bibi Muriel yang sudah berdiri di sana dengan bulu-bulu yang
menari di topinya, dan segelas champagne di tangannya. ”Rita menulis buku tentang
Dumbledore, kau tahu!”
”Hallo, Muriel,” kata Doge. ”Ya, kami baru saja membicarakan…”
”Hei kau! Berikan kursimu, usiaku sudah seratus tujuh!”
Sepupu Weasley berambut merah yang lain meloncat dari kursinya, ketakutan. Dan Bibi
Muriel mengangkat kursi itu dengan kekuatan yang mengejutkan dan mendudukkan
dirinya di antara Doge dan Harry.
„Hallo lagi, Barry, atau siapa pun namamu,“ kata bibi Muriel pada Harry. „Nah, apa
pendapatmu tentang Rita Skeeter, Elphias? Kau tahu dia menulis biografi Albus
Dumbledore? Aku sudah ingin membacanya, aku bahkan sudah memesannya di Flourish
dan Blotts!“
Doge bersikap serius, tapi Bibi Muriel malah mengosongkan gelasnya dan menjentikkan
jarinya yang kurus pada pelayan yang lewat, untuk mengisi gelasnya lagi. Ia meminum
champagne barunya dalam tegukan besar, bersendawa, lalu berkata, „Kalian jangan
bertingkah seperti kodok beku! Sebelum Dumbledore dihormati atas segala hal itu,
memang ada banyak isu miring tentang Albus!“
”Berita yang salah,” kata Doge, wajahnya memerah.
”Oh, semua tahu kalau kau memuja Dumbledore. Aku yakin kau akan tetap
menganggapnya malaikat walau kau tahu apa yang dilakukannya pada saudarinya yang
Squib itu!”
”Muriel”’ Doge memperingati.
Rasa dingin yang tidak ada hubungannya dengan champagne dingin, memenuhi dada
Harry.
“Apa maksudmu?” tanya Harry pada Muriel. ”Siapa bilang saudari Dumbledore seorang
Squib? Bukannya dia sakit?”
”Kau salah, Barry!” kata bibi Muriel, kelihatan senang atas perhatian yang ia dapat.
”Lagipula, apa yang kau tau tentangnya? Semuanya terjadi bertahun-tahun bahkan
sebelum kau ada, sayang, dan kenyataannya adalah hanya sedikit orang yang masih hidup
yang tahu kejadian sebenatnya. Itu sebabnya aku penasaran bagaimana Rita tahu!
Dumbledore menyembunyikan saudarinya bertahun-tahun!”
”Salah!” kata Doge. ”Benar-benar salah!”
”Dia tidak pernah cerita padaku kalau saudarinya seorang Squib,” kata Harry tanpa
berpikir, dadanya masih terasa dingin.
“Mengapa dia harus menceritakannya padamu?” tanya Bibi Muriel yang berusaha untuk
memperhatikan Harry.
“Alasan Albus Dumbledore tidak pernah membicarakan Ariana,” kata Elphias, suaranya
penuh dengan emosi, ”adalah, menurutku, karena Dumbledore begitu hancur setelah
kematian Ariana.”
”Mengapa tidak ada orang yang pernah melihatnya, Elphias?” kata Muriel. ”Mengapa
tidak ada orang yang tahu kalau Ariana itu ada, sampai mereka mengeluarkan peti mati
dari dalam rumah dan melakukan upacara pemakaman? Di mana Albus yang baik hati
saat saudarinya terkunci dalam gudang bawah tanah? Pergi dan belajar di Hogwarts, dan
tidak peduli dengan apa yang terjadi di rumah!”
”Apa maksudmu, ’terkunci di gudang bawah tanah’?” tanya Harry. ”Apa maksudnya?”
Bibi Muriel tertawa dan menjawab pertanyaan Harry.
”Ibu Dumbledore adalah seorang wanita yang menakutkan. Kelahiran Muggle, tapi
kudengar dia berpura-pura…”
“Dia tidak berpura-pura menjadi apa pun itu! Kendra adalah seorang wanita yang baik,”
bisik Doge sedih, tapi Bibi Muriel tidak peduli.
“… begitu bangga dan berkuasa, penyihir yang lebih baik mati daripada menghasilkan
seorang Squib…”
”Ariana bukan seorang Squib!” bisik Doge marah.
”Kalau begitu jelaskan, Elphias, mengapa Ariana tidak masuk Hogwarts!” kata Bibi
Muriel, lalu kembali pada Harry. ”Dulu, Squib sering diusir, memenjarakan mereka di
dalam rumah, dan dianggap tidak ada...”
“Kuberitahu kau, bukan itu yang terjadi!” kata Doge, tapi Bibi Muriel tidak
mendengarkan dan terus berbicara pada Harry.
“Squib biasanya dikirim ke sekolah Muggle dan tinggal di komunitas Muggle… karena
lebih mudah begitu daripada harus mencari tempat di dunia sihir, di mana mereka jadi
orang buangan. Tapi sepertinya Kendra Dumbledore tidak ingin putrinya di kirim ke
sekolah Muggle…”
”Ariana rapuh!” kata Doge putus asa. ”Kesehatannya membuatnya tidak bisa pergi…”
“Membuatnya tidak bisa pergi bahkan hanya untuk keluar rumah?” bantah Muriel.
“Bahkan ibunya tidak membawanya ke St Mungo atau memanggil Penyembuh untuk
putrinya!”
“Muriel, bagaimana kau bisa tahu lebih baik daripada…”
“Agar kau tahu, Elphias, sepupuku, Lancelot, saat itu bekerja menjadi Penyembuh di St
Mungo. Dan dia bercerita pada keluarganya bahwa dia tidak pernah melihat Ariana
dirawat di sana. Bukankah mencurigakan!”
Doge mulai meneteskan air mata. Bibi Muriel yang sepertinya menikmati
kemenangannya, menjentikkan jarinya untuk meminta champagne lagi. Harry mengingat
bagaimana keluarga Dursley menyingkirkannya, menguncinya, dan menyembunyikannya
hanya karena ia seorang penyihir. Apakah saudari Dumbledore juga mendarita karena
alasan yang berkebalikan darinya, terpenjara karena tidak punya kemampuan sihir?
Apakah Dumbledore benar-benar meninggalkannya dan pergi ke Hogwarts untuk
membuktikan dirinya sebagai penyihir yang brilian dan berbakat?
”Kalau saja Kendra tidak meninggal lebih dulu,” Muriel menyimpulkan, ”aku yakin
kalau dia akan membunuh Ariana.”
”Muriel!” bentak Doge. ”Seorang ibu membunuh putrinya sendiri? Pikirkan apa yang
baru saja kau katakan!”
”Jika ibu itu mampu memenjarakan putrinya bertahun-tahun, mengapa tidak?” Bibi
Muriel mengangkat bahunya. ”Tapi tentu saja itu tidak mungkin, karena Kendra lebih
dulu mati – sepertinya tidak ada yang berpikir…”
”Oh, kau yakin kalau Ariana yang membunuh Kendra?” tantang Doge. “Mengapa tidak?”
“Ya, Ariana mungkin saja sangat ingin bebas dan membunuh Kendra agar bisa bebas,”
kata Bibi Muriel yakin. “Gelengkan kepalamu sebanyak kau suka, Elphias! Kau ada di
pemakaman Ariana, kan?”
”Memang,” kata Doge dengan bibir gemetar. ”Perasaan Albus begitu terluka…”
”Bukan hanya perasaannya yang terluka. Bukankah Aberforth mematahkan hidung
Dumbledore saat itu?”
Doge terlihat begitu ketakutan, seakan Muriel akan menusuknya. Muriel tertawa keras
dan meneguk champagnenya lagi.
”Bagaimana kau tahu?” kata Doge.
”Ibuku adalah teman dari Bathilda Bagshot,” kata Bibi Muriel senang. ”Bathilda
menceritakan semuanya pada ibuku saat aku menguping di pintu. Bertengkar di depan
peti mati! Kata Bathilda, Aberforth berteriak-teriak bahwa semua adalah Albuslah yang
harus disalahkan sebagai penyebab kematian Ariana, lalu dia menonjok wajah Albus.
Menurut Bathilda, Albus bahkan tidak menghindar, bukankah itu aneh. Karena Albus
bisa saja mengalahkan Aberforth bahkan dengan kedua tangannya terikat ke belakang.”
Muriel meneguk lagi champagnenya. Cerita skandal lama ini sepertinya membuat Muriel
berbesar hati dan Doge malah ketakutan. Harry tidak peduli harus percaya pada siapa.
Yang ia inginkan hanya satu, kebenaran. Dan Doge hanya duduk di sana dan berkeras
bahwa Ariana sakit parah. Harry tidak percaya kalau Dumbledore akan diam saja bila ada
kekejaman seperti itu terjadi di rumahnya, tapi tetap saja cerita itu terdengar aneh.
”Dan kuberitahu satu hal lagi,” kata Muriel setelah menurunkan gelasnya. ”Aku rasa
Bathilda sudah menceritakan semua itu pada Rita Skeeter. Semua petunjuk tentang
sumber yang dekat dengan Dumbledore – semua orang tahu kalau dia ada saat
pemakaman Ariana.”
”Bathilda tidak akan pernah berbicara pada Rita Skeeter!” bisik Doge.
”Bathilda Bagshot?” kata Harry. ”Penulis Sejarah Sihir?”
Nama itu tercetak di halaman depan salah satu buku Harry, walau bukan buku yang
paling sering dibaca Harry.
“Ya,” kata Doge lega, seakan menemukan tempat untuk mengapung saat ia hampir
tenggelam. ”Seorang sejarahwan berbakat dan teman lama Albus.”
”Sedikit sinting sekarang, setahuku,” kata Bibi Muriel ceria.
”Kalau memang benar, Skeeter makin tidak terhormat karena telah mengambil
keuntungan darinya,” kata Doge, ”dan tidak ada jaminan atas semua yang dikatakan
Bathilda!”
”Oh, selalu ada cara untuk mengingat kenangan itu, dan aku Yakin Rita Skeeter tahu
semua itu,” kata Muriel. ”Bahkan bila Bathilda benar-benar sinting, aku yakin masih ada
foto dan surat peninggalannya. Bathilda mengenal Dumbledore begitu lama… dan begitu
Skeeter pergi Godric Hollow, semua akan jelas.”
Harry yang baru saja meminum Butterbeernya, tersedak. Doge menepuk-nepuk pungung
Harry, sambil memandangi bibi Muriel dengan mata marah. Saat Harry sudah baikan, ia
bertanya, “Bathilda Bagshot tinggal di Godric Hollow?”
“Oh, ya, dia sudah tinggal lama di sana! Bahkan saat keluarga Dumbledore pindah ke
sana setelah Percival dipenjara. Dan mereka bertetangga.”
“Keluarga Dumbledore tinggal di Godric Hollow?”
”Ya, Barry, kan baru aku bilang tadi!” kata bibi Muriel.
Harry merasa kosong. Selama enam tahun, Dumbledore tidak pernah memberitahunya
kalau mereka berdua pernah tinggal dan kehilangan orang terkasih mereka di Godric
Hollow. Mengapa? Apakah Lily dan James Potter dimakamkan denkat dengan ibu dan
saudari Dumbledore? Apakah Dumbledore pernah mengunjungi makam mereka? Tapi
Dumbledore tidak pernah memberitahu… tidak merasa perlu bercerita…
Dan mengapa hal ini begitu penting, Harry juga tidak tahu. Tapi Harry menganggap
bahwa Dumbledore telah berbohong dengan tidak pernah mengatakan bahwa mereka
berdua pernah tinggal di tempat yang sama dan mengalami hal yang sama. Harry
menerawang tidak memerhatikan sekitarnya sampai Hermione muncul dari kerumunan
dan duduk di sebelahnya.
”Aku sudah tidak kuat berdansa lagi,” kata Hermione lelah. Ia melepaskan salah satu
sepatunya dan menggosok tumitnya. ”Ron sedang mengambil Butterbeer. Tadi aku
melihat Viktor pergi dari ayah Luna setelah marah-marah padanya. Aneh, kan. Sepertinya
mereka bertengkar…” Hermione menurunkan nada suaranya dan menatap Harry, ”Harry,
kau baik-baik saja?”
Harry tidak tahu bagaimana ia harus memulai, tapi itu tidak penting. Karena saat itu,
sesuatu yang besar dan keperakan telah turun menembus kanopi, tepat di atas lantai
dansa. Anggun dan berkilauan, seekor lynx mendarat membuat orang-orang terpesona.
Semua menoleh dan terdiam melihatnya. Lalu mulut Patronus itu membuka lebar dan
terdengat suara nyaring, dalam, dan lambat, milik Kingsley Shacklebolt.
”Kementrian telah dikuasai. Scrimgeour mati. Mereka datang.”
Chapter 9
A Place To Hide
TEMPAT UNTUK BERSEMBUNYI
Semuanya berjalan lambat dan membingungkan. Harry dan Hermione meloncat dari
kursi dan mengeluarkan tongkat mereka. Banyak orang yang baru menyadari suatu hal
aneh telah terjadi. Mereka masih tampak kebingungan saat kucing perak itu menghilang.
Semua bungkam memandangi tempat Patronus tadi muncul, lalu seseorang berteriak.
Harry dan Hermione berlari menerobos kerumunan orang yang panik. Para tamu berlari
ke segala arah, beberapa di antaranya ber-Disapparate, perlindungan the Burrow telah
rusak.
”Ron!” teriak Hermione. “Ron, kau di mana?”
Saat mereka menerobos di tengah lantai dansa, Harry dapat melihat sosok bertudung dan
bertopeng muncul. Lalu ia melihat Lupin dan Tonks mengangkat tongkat mereka dan
keduanya berteriak ”Protego!”, dan terdengar tangisan menggema.
”Ron! Ron!” panggil Hermione yang hampir menangis saat mereka berada di tengahtengah
para tamu yang ketakutan. Harry meraih tangan Hermoine meyakinkan diri agar
tidak terpisah. Lalu kilatan cahaya melewati atas kepala mereka.
Akhirnya mereka menemukan Ron, yang langsung meraih tangan Hermione yang lain,
lalu Harry merasa tempat itu berputar. Semuanya berubah gelap. Dan yang bisa Harry
rasakan hanya tangan Hermione yang menggenggamnya erat. Harry merasa mereka
menjauh dari the Burrow, dari Pelahap Maut yang berdatang, bahkan dari Voldemort.
“Kita ada di mana?” terdengar suara Ron.
Harry membuka matanya. Sesaat ia pikir mereka masih di pesta pernikahan, karena
mereka masih dikelilingi oleh banyak orang.
”Jalan Totenham Court,” kata Hermione terengah-engah. ”Jalan. Kita harus menemukan
tempat untuk berganti pakaian.”
Harry menurut. Mereka setengah berlari di sebuah jalan yang lebar dan gelap yang
dipenuhi pejalan kaki. Di kedua sisi jalan berjajar toko-toko yang sudah tutup, dan
bintang-bintang berkedip di atas mereka. Saat sebuah bus tingkat berhenti dan
penumpang di dalamnya menatap mereka saat mereka berlari melewatinya. Harry dan
Ron masih mengenakan jubah pesta mereka.
”Hermione, kita tidak membawa pakaian ganti,” kata Ron saat seorang wanita tertawa
keras melihatnya.
”Mengapa aku tidak membawa Jubah Gaib?” Harry mengutuki kebodohannya sendiri.
”Tahun lalu aku membawanya ke mana-mana.”
‘‘Tenang, aku membawa Jubahmu, dan aku membawa pakaian ganti untuk kita semua,”
kata Hermione. ‘‘Sekarang bersikaplah seperti biasa, masuk kemari.”
Hermione berbelok masuk ke dalam gang kecil yang gelap.
‘‘Saat kau bilang kau membawa Jubah dan pakaian…” kata Harry sambil mengerutkan
dahinya ke arah Hermione yang hanya membawa tas manik kecil, yang jelas tidak punya
banyak ruang di dalamnya.
‘‘Bagaimana mungkin…”
‘‘Mantra Perluasan yang Tak Terdeteksi,” kata Hermione. ‘‘Sulit memang, tapi aku rasa
aku sudah melakukannya dengan baik. Aku sudah memasukkan semua yang kita
butuhkan.”Hermione mengayunkan tas kecilnya yang kemudian terdengar gema seperti
kotak dengan banyak muatan yang berguling di dalam. ‘‘Oh, sial, pasti buku-buku itu,”
kata Hermione sambil mengintip ke dalam tas, ‘‘padahal sudah kutata sesuai dengan
abjad… ah sudahlah… Harry, pakai Jubah Gaibmu. Ron, cepat ganti pakaianmu.”
‘‘Kapan kau mengemasi semua ini?” tanya Harry saat Ron melepas jubahnya.
‘‘Sudah kubilang di the Burrow, kan? Aku mengemasi barang-barang yang kita
butuhkan. Kau tahu, siapa tahu kita harus kabur tiba-tiba. Aku mengemasi ranselmu tadi
pagi, Harry, setelah kau ganti baju… dan aku masukkan ke sini semua… saat itu aku
merasa…”
‘‘Kau memang benar-benar luar biasa,” kata Ron yang menyerahkan gulungan jubahnya.
‘‘Terima kasih,” kata Hermione yang berusaha memasukkan jubah Ron ke dalam tasnya.
‘‘Harry, cepat pakai Jubahmu!”
Harry memakai Jubah Gaib di bahunya dan memakai tudung untuk menutupi kepalanya,
dan ia menghilang dari penglihatan. Harry baru saja menyadari apa yang baru saja terjadi.
‘‘Yang lain — orang-orang di pesta pernikahan…”
‘‘Kita tidak bisa mengkhawatirkan mereka sekarang,” bisik Hermione. ‘‘Mereka
mencarimu, Harry, dan akan lebih membahayakan mereka bila kau kembali ke sana.”
‘‘Hermione benar,” kata Ron yang seperti tahu kalau Harry akan berkomentar walau Ron
tidak bisa melihatnya. ‘‘Hampir semua anggota Orde ada di sana. Mereka akan
mengatasinya.”
Harry mengangguk, lalu teringat kalau mereka tidak bisa melihatnya dan berkata,
‘‘Benar.” Lalu Harry teringat akan Ginny dan ia merasa perutnya dipenuhi cairan asam.
‘‘Ayo, aku rasa kita harus pergi,” kata Hermione.
Mereka kembali ke jalan dan melihat segerombolan orang yang bernyanyi bersama saat
menyebrang jalanan.
‘‘Hanya ingin tahu, mengapa Jalan Tottenham Court?” tanya Ron pada Hermione.
‘‘Entahlah, muncul begitu saja di kepalaku. Tapi aku yakin kita akan lebih aman di dunia
Muggle, mereka tidak akan mengira kita akan kemari.”
‘‘Benar,” kata Ron sambil melihat sekeliling, ‘‘tapi apa tidak terlalu – terbuka?”
‘‘Memang mau di mana lagi?” kata Hermione yang terlihat ngeri saat gerombolan pria di
sebrang jalan bersiul padanya. ‘‘Kita tidak mungkin bisa memesan kamar di Leaky
Cauldron, kan? Lalu Grimmauld Place, Snape bisa saja masuk ke sana… kurasa kita bisa
mencoba bersembunyi di rumah orang tuaku, walau mungkin saja mereka akan
kembali… oh, aku harap mereka tidak akan bilang apa-apa.”
‘‘Baik-baik saja, sayang?” teriak pria mabuk di seberang jalan. ‘‘Mau minum? Segelas
besar ditch ginger mungkin?”
‘‘Ayo cari tempat duduk,” kata Hermione tak sabar saat Ron ingin membalas teriakan
pria di seberang jalan. ‘‘Lihat! Ayo ke sana!”
Sebuah café malam yang kecil dan lusuh. Sebuah lampu minyak redup ada di setiap meja
plastik, tapi tempat itu hampir kosong. Harry duduk di kursi di pojok dan Ron duduk di
sampingnya, di depan Hermione. Hermione tidak menyukai tempat ini, ia begitu sering
menoleh untuk memastikan karena ia duduk membelakangi pintu masuk. Harry tidak
suka diam saja, berjalan telah memberinya ilusi bahwa mereka memiliki tujuan. Di
bawah Jubah, Harry dapat merasakan efek Ramuan Polijus perlahan memudar, tangannya
sudah kembali seperti semula. Harry mengeluarkan kacamatanya dan memakainya.
Setelah beberapa menit, Ron berkata, ‘‘Kau tahu kita tidak jauh dari Leaky Cauldron,
jalan Charing Cross hanya…”
‘‘Kita tidak bisa Ron!” kata Hermione.
‘‘Kita tidak perlu menginap di sana, hanya untuk cari tahu apa yang terjadi!”
‘‘Kita tahu apa yang terjadi! Voldemort sudah menguasai Kementrian. Apa lagi yang
perlu kita tahu?”
‘‘Baik, baik, itu hanya sebuah usulan.”
Lalu kembali bungkam. Pelayan yang sedang mengunyah permen karet mendekat dan
Hermione memesan dua cappucino. Karena Harry tidak terlihat, tentu aneh bila mereka
memesan tiga. Dua orang pekerja yang tinggi besar memasuki café dan duduk di sebelah
mereka. Hermione mengecilkan suaranya menjadi bisikan.
‘‘Setelah kita menemukan tempat yang cukup sepi untuk ber-Dissaparate dan kita pergi
ke pedesaan, aku akan mengirim pesan untuk anggota Orde.”
‘‘Kau bisa melakukan Patronus yang berbicara itu?” tanya Ron.
‘‘Aku sudah berlatih, dan aku rasa aku bisa,” kata Hermione.
‘‘Selama hal itu tidak mempersulit mereka saja. Bisa saja mereka sedang ditahan
sekarang. Ya ampun, menjijikkan,” tambah Ron setelah menerima dan mencicipi kopi
dengan busa di atasnya. Pelayan itu langsung memelototinya dan pergi untuk melayani
tamu yang lain. Pekerja bertubuh besar dan berambut pirang itu mengusir sang pelayan.
Pelayan itu menatap merasa terhina.
‘‘Ayo pergi, aku tidak ingin minum kotoran ini,” kata Ron. ‘‘Hermione, apa kau
membawa uang Muggle untuk membayar ini?”
‘‘Ya, aku membawa semua tabunganku sebelum berangkat ke the Burrow. Aku rasa
uangku ada di dasar tas,” keluh Hermione sambil mengambil tas maniknya.
Kedua pekerja itu melakukan hal yang sama, dan Harry menirunya. Mereka bertiga
mempersiapkan tongkat masing-masing. Ron baru menyadari apa yang terjadi, langsung
mendorong Hermione untuk bersembunyi di bawah bangku, tepat saat seorang Pelahap
Maut melepaskan mantra yang meleset dan mengenai dinding. Harry yang masih tidak
kelihatan, berteriak, ‘‘Stupefy!”
Pelahap maut berambut pirang terkena kilatan cahay merah tepat di wajahnya, yang
langsung terjatuh, pingsan. Temannya, tidak tahu darimana mantra itu berasal,
melepaskan serangan pada Ron. Tali hitam meluncur dari ujung talinya dan mengikat
tubuh Ron –- pelayan itu berteriak dan berlari keluar pintu –- Harry melepaskan Mantra
Pemingsan lagi pada Pelahap Maut yang sudah mengikat Ron. Tapi mantra itu meleset,
memantul di kaca jendela, dan mengenai sang pelayan yang langsung pingsan.
‘‘Expulso!” teriak Pelahap Maut itu, lalu meja yang ada di depan Harry meledak.
Ledakan itu membuat Harry terpental ke dinding dan tongkatnya terlepas, dan Harry
merasa Jubahnya merosot.
‘‘Petrificus totalus!” teriak Hermione, dan Pelahap Maut itu terbujur kaku dan jatuh ke
atas meja, kursi, danporselen di dekatnya. Hermione merangkak keluar dari bawah
bangku sambil membersihkan pecahan asbak yang menjatuhi rambutnya. Hermione
gemetar hebat.
‘‘D-Diffindo!” Hermione mengacungkan pada Ron yang langsung berteriak karena
Hermione menyobek bagian lutut celana jeansnya. ‘‘Oh, maaf, Ron, tanganku gemetar!
Diffindo!”
Tali yang mengikat Ron terlepas. Ron berdiri dan menggerakkan tangannya untuk
meredakan rasa sakitnya. Harry memungut tongkatnya dan menyingkirkan puing-puing
bekas pertarungan yang menutupi tubuh besar Pelahap Maut yang berambut pirang yang
sekarang tergeletak di bawah bangku.
‘‘Seharusnya aku mengenalinya, dia ada di sana saat Dumbledore meninggal,’‘ kata
Harry. Harry berpindah ke Pelahap Maut lainnya. Mata pria itu bergerak cepat
memelototi Harry, Ron, dan Hermione.
”Dolohov,” kata Ron. ‘‘Aku mengenalinya dari poster buronan tua. Aku rasa yang besar
itu Thorfirm Rowle.”
‘‘Aku tidak peduli siapa mereka!” kata Hermione sedikit histeris. ‘‘Bagaimana mereka
menemukan kita? Apa yang harus kita lakukan?”
Entah bagaimana kepanikan Hermione bisa membuat Harry bisa berpikir jernih.
‘‘Kunci pintunya,” kata Harry pada Hermione, ‘‘dan Ron, padamkan lampu.”
Harry memandangi Dolohov yang lumpuh, berpikir cepat saat pintu terkunci dan Ron
menggunakan Deluminator untuk menenggelamkan café itu dalam kegelapan. Harry bisa
mendengar dari jauh pria yang menggoda Hermione tadi, sekarang berteriak pada gadis
lain.
‘‘Apa yang harus kita lakukan pada mereka?” bisik Ron pada Harry dalam gelap.
‘‘Membunuh mereka? Mereka pasti akan membunuh kita.”
Hermione ketakutan dan mundur beberapa langkah. Harry menggelengkan kepalanya.
‘‘Kita akan menghapus ingatan mereka,’‘ kata Harry. ‘‘itu lebih baik dan mereka tidak
akan mengejar kita lagi. Bila kita membunuh mereka, malah membuktikan bahwa kita
pernah ada di sini.”
‘‘Kau bosnya,” kata Ron lega. ‘‘Tapi aku tidak pernah menggunakan Mantra Memori.”
‘‘Aku juga tidak,” kata Hermione, ‘‘tapi aku tahu teorinya.”
Hermione menarik nafas dalam untuk menenangkan diri lalu mengarahkan tongkatnya ke
dahi Dolohov dan berkata, ‘‘Obliviate!”
Mata Dolohov menjadi tidak fokus dan menerawang.
‘‘Brilian!” kata Harry yang menepukkan tangannya ke bahu Hermione. ‘‘Urus yang lain
sementara aku dan Ron membereskan semuanya.”
‘‘Membereskan?” kata Ron, memandang café yang sudah setengah hancur itu.
‘‘Mengapa?”
‘‘Bukankah kau akan penasaran kalau tiba-tiba terbangun dan melihat sekitarmu seperti
baru saja dibom?”
‘‘Oh, benar…”
Ron berusaha keras sebelum akhirnya berhasil mengeluarkan tongkat dari saku
celananya.
‘‘Tidak heran mengapa aku tidak bisa mengeluarkannya, Hermione, kau membawa jeans
lamaku. Ketat sekali.”
‘‘Oh, maaf,” desis Hermione saat ia menarik sang pelayan menjauh dari jendela, lalu
Harry mendengar Hermione menggumam sendiri tentang di mana Ron bisa menancapkan
tongkatnya.
Saat café sudah dibenahi ke kondisi semula dan mengangkat dua Pelahap Maut itu ke
tempat duduk mereka, saling berhadapan.
‘‘Bagaimana mereka menemukan kita?” tanya Hermione yang masih memandangi kedua
pria yang tidak sadar itu. ‘‘Bagaimana mereka tahu di mana kita?”
Hermone menoleh ke arah Harry.
‘‘Kau –- kau sudah tidak meninggalkan jejak, kan, Harry?”
‘‘Tidak mungkin,” kata Ron. ‘‘Jejak itu akan hilang begitu seseorang berusi tujuh belas
tahun, itu hukum sihir, kau tidak bisa melakukannya pada penyihir dewasa.”
‘‘Itu yang kau tahu,” kata Hermione. ‘‘Bagaimana jika Pelahap Maut menemukan cara
untuk melakukannya pada penyihir yang sudah berusia tujuh belas tahun!”
‘‘Tapi Harry tidak berada dekat dengan Pelahap Maut mana pun dalam waktu dua puluh
empat jam. Siapa yang akan memantrai Harry?”
Hermione tidak membalas. Harry merasa bersalah. Benarkah ia yang menyebabkan
Pelahap Maut menemukan mereka?
‘‘Jika aku tidak menggunakan sihir dan kalian tidak bisa menggunakan sihir di dekatku,
sepertinya kita harus…” kata Harry.
‘‘Kita tidak akan berpisah!” kata Hermione tegas.
‘‘Kita butuh tempat yang aman untuk bersembunyi,” kata Ron. ‘‘Kita butuh waktu untuk
berpikir.”
‘‘Grimmauld Place,” kata Harry.
Ron dan Hermione tercengang.
‘‘Jangan bodoh, Harry, Snape bisa masuk ke sana!”
‘‘Ayah Ron bilang mereka sudah menyiapkan kutukan untuk Snape–-bila itu tidak dapat
menahannya,” lanjut Harry, saat melihat Hermione yang ingin menentang, ‘‘memang
kenapa? Sungguh, tak ada yang lebih kuinginkan daripada bertemu Snape!”
‘‘Tapi…”
‘‘Hermione, apa ada tempat lain? Itu satu-satunya kesempatan kita. Snape hanya seorang
Pelahap Maut. Kalau aku masih meninggalkan jejak, mereka semua akan datang ke mana
pun kita pergi.”
Hermione tidak dapat membalas, walau sepertinya ia sangat ingin membalas. Saat
Hermione membuka kunci pintu, Ron menekan Deluminator untuk mengembalikan
cahaya café. Lalu, dalam hitungan ketiga, mereka mengangkat mantra dan sebelum
Pelahap Maut dan sang pelayan merasakan sesuatu yang tidak lebih dari rasa kantuk yang
luar biasa, mereka bertiga menghilang dalam kegelapan sekali lagi.
Beberapa detik kemudian, Harry bernafas lega saat membuka matanya. Mereka berdiri di
depan bangunan kecil dan lusuh yang sudah mereka kenal. Mereka bisa melihat
bangunan nomor dua belas itu, karena mereka telah diberitahu oleh Dumbledore, sang
Pemegang Rahasia. Mereka langsung berlari sambil memeriksa apakah mereka diikuti
atau dimata-matai. Mereka bergegas menaiki tangga batu, dan Harry mengetukkan
tongkatnya ke pintu.
Terdengar suara denting logam dan rantai, lalu pintu berderak terbuka dan mereka
bergegas masuk. Saat Harry menutup pintu, lampu gas bermodel lama langsung menyala,
memberi cahaya di sepanjang lorong panjang. Tetap sama seperti yang Harry ingat,
penuh jaring laba-laba dan terdapat pajangan kepala peri rumah yang berjajar di dinding.
Tirai gelap panjang menutup potret ibu Sirius. Satu hal yang tidak pada tempatnya hanya
tempat payung berbentuk kaki Troll yang sekarang tergeletak, sepertinya Tonks
menyandungnya terakhir kali.
‘‘Aku rasa ada orang yang pernah datang kemari,” bisik Hermione.
‘‘Tidak mungkin kalau anggota Orde sudah meninggalkannya,” gumam Ron membalas.
‘‘Jadi di mana kutukan yang disiapkan untuk Snape?” Tanya Harry.
‘‘Mungkin aktif kalau dia yang datang,” tebak Ron.
Mereka masih berdiri di atas keset tepat di depan pintu, tidak berani masuk lebih dalam.
‘‘Kita tidak bisa diam saja di sini,” kata Harry yang melangkah maju.
‘‘Severus Snape?”
Suara Mad-Eye Moody berbisik dalam kegelapan, membuat mereka bertiga melompat
kaget. ‘‘Kami bukan Snape!” teriak Harry sebelum udara dingin menyapunya dan
membuat lidahnya bergulung membuatnya tidak bisa bicara. Sebelum Harry bisa
merasakan lidahnya lagi, lidah itu kembali seperti semula.
Ron dan Hermione juga sepertinya merasakan hal yang tidak menyenangkan yang sama.
Ron seperti ingin muntah. Hermione tergagap, ‘‘Itu p-pasti K-Kutukan Pengikat L-Lidah
yang Mad-Eye siapkan untuk Snape!”
Harry memberanikakn diri untuk melangkah lagi. Sesuatu bergerak dalam bayangan di
ujung lorong, dan sebelum mereka bisa berkata sesuatu, sebuah sosok muncul dari bawah
karpet, tinggi, keabuan, dan menakutkan. Hermione berteriak, begitu pula nyonya Black,
tirainya terbuka. Sosok keabuan itu melayang ke arah mereka, dengan rambut dan
janggut sepanjang pinggang yang melambai, wajahnya tirus seakan tak berdaging,
dengan rongga matanya yang kosong. Sosok mengerikan tapi sudah dikenalnya itu
mengangkat tangan, menunjuk Harry.
‘‘Tidak!” teriak Harry, walaupun sosok itu mengangkat tongkatnya, tidak ada mantra
terlepas darinya. ‘‘Tidak! Bukan kami! Kami tidak membunuhmu…”
Bersamaan dengan kata ‘membunuhmu’ sosok itu meletup menghilang, meninggalkan
kumpulan awan debu. Harry terbatuk dan matanya berair. Hermione berjongkok dengan
tangannya memegangi kepala. Ron yang bergetar hebat menepuk bahu Hermione dan
berkata, ‘‘TT-tidak apa-apa… s-sudah pergi.”
Debu masih beterbangan membentuk kabut tipis, dan nyonya Black masih berteriak.
‘‘Darah lumpur, sampah, kotoran memalukan yang menodai rumah ayahku…”
‘‘DIAM!” teriak Harry yang mengacungkan tongkatnya, dan dengan ledakan dan
percikan merah, tirai itu menutup dan membuatnya terdiam.
‘‘Itu… itu…” rengek Hermione saat Ron membantunya berdiri.
‘‘Ya,” kata Harry, ‘‘tapi itu bukan dia, kan? Hanya sosok untuk menakut-nakuti Snape.”
Harry penasaran apakah semua itu bisa berhasil, atau Snape akan menyingkirkan sosok
menakutkan tadi, sama seperti saat ia membunuh Dumbledore? Rasa takut masih
tertinggal saat mereka terus berjalan, bersiap-siap bila ada sesuatu lain yang akan terjadi,
tapi hanya ada tikus yang berjalan merapat di dinding.
‘‘Sebelum lebih jauh, lebih baik kita memeriksanya dulu,’‘ bisik Hermione yang
mengangkat tongkatnya dan berkata, ‘‘Homenum revelio!”
Tidak terjadi apa-apa.
‘‘Kau baru saja mengalami shock berat,” kata Ron berbaik hati. ‘‘Memang harusnya apa
yang terjadi?”
‘‘Itulah yang seharusnya terjadi!” kata Hermione sedikit tersinggung. ‘‘Tadi itu mantra
untuk menunjukkan keberadaan manusia, dan tidak ada seorang pun di sini selain kita!”
‘‘Dan si Dusty* tua,” kata Ron sambil memandangi bagian karpet di mana sosok tadi
muncul.
‘‘Ayo naik,” kata Hermione yang memandangi tempat yang sama penuh ketakutan.
Hermione mendahului untuk menaiki tangga yang berderak menuju ruang tamu di lantai
satu.
Hermione mengayunkan tongkatnya untuk menyalakan lampu yang kemudian menerangi
ruangan. Hermione duduk di sofa dengan tangan memeluk tubuhnya erat. Ron berjalan
menuju jendela dan membuka tirai beludru sedikit.
‘‘Tidak ada orang di luar,” Ron melaporkan. ‘‘Dan kalau Harry masih meninggalkan
Jejak, mereka pasti sudah mengejar kita kemari. Aku tahu kalau mereka tidak masuk ke
dalam rumah, tapi – ada apa, Harry?”
Harry meringis kesakitan. Bekas lukanya terasa terbakar lagi. Dan dalam pikirannya ia
bisa melihat pantulan cahaya di atas air dan merasakan amarah yang bukan miliknya
memenuhi tubuhnya, begitu garang dan cepat seperti tersengat listrik.
‘‘Apa yang kau lihat?” tanya Ron sambil mendekati Harry. ‘‘Apa kau melihatnya di
rumahku?”
‘‘Tidak, aku hanya merasa marah – dia benar-benar marah.”
‘‘Tapi bisa saja dia di the Burrow,” kata Ron. ‘‘Apa lagi? Apa kau tidak melihat yang
lain? Apa dia sedang menyiksa seseorang?”
‘‘Tidak, aku hanya merasa marah – aku tidak tahu…”
Harry merasa kebingungan dan Hermione pun tidak membantu saat ia bertanya dengan
suara ketakutan, ‘‘Bekas lukamu lagi? Ada apa? Kukira koneksi itu sudah tertutup.”
‘‘Tadinya,” gumam Harry, bekas lukanya masih terasa sakit dan membuatnya tidak bisa
berkonsentrasi. ‘‘Aku–-aku rasa koneksi itu terbuka lagi saat dia kehilangan kendali,
makanya…”
‘‘Kalau begitu tutup pikiranmu!” kata Hermione nyaring. ‘‘Harry, Dumbledore tidak
ingin kau menggunakan koneksi itu, dia ingin kau menutupnya, itu sebabnya kau belajar
Occlumency! Atau Voldemort akan menanamkan penglihatan yang salah, ingat…”
‘‘Ya, aku ingat, terima kasih,” kata Harry dengan gigi terkatup. Harry tidak butuh
Hermione untuk mengingatkannya bahwa Voldemort pernah menggunakan koneksi
mereka untuk menjebaknya, yang kemudian berakhir dengan kematian Sirius. Harry
berharap ia tidak pernah mengatakan apa yang ia lihat dan katakan. Karena membuat
Voldemort lebih menakutkan, dan sepertinya Voldemort sedang melihat mereka dari
jendela. Bekas lukanya makin terasa sakit dan Harry mencoba untuk melawannya.
Harry memunggungi Ron dan Hermione, berpura-pura memperhatikan permadani pohon
keluarga Black yang terpampang di dinding. Lalu Hermione terpekik. Harry langsung
mengeluarkan tongkatnya dan saat ia menoleh, ia melihat Patronus keperakan menembus
jendela dan mendarat di lantai di depan mereka, dan memadat menjadi musang yang
berbicara dengan suara ayah Ron.
‘‘Keluarga selamat, jangan membalas, kami dimata-matai.”
Patronus itu menghilang. Ron mengeluarkan suara antara rengekan dan perasaan lega,
dan menjatuhkan diri ke sofa. Hermione mendekat dan memegangi tangannya.
‘‘Mereka baik-baik saja!” bisik Hermione. Ron tertawa kecil dan memeluknya.
‘‘Harry,” kata Ron dari balik bahu Hermione, ‘‘aku…”
‘‘Tidak apa-apa,” kata Harry, rasa sakit masih menerpa kepalanya. ‘‘Itu keluargamu,
tentu saja kau khawatir. Aku pun akan merasakan hal yang sama.” Harry teringat akan
Ginny. ‘‘Aku memang merasakan hal yang sama.”
Rasa sakit di bekas lukanya memuncak dan terasa terbakar sepert saat di kebun di The
Burrow. Samar-samar Harry mendengar Hermione berkata, ‘‘Aku tidak ingin sendirian.
Bisakah kita tidur di kantung tidur yang aku bawa dan tidur di sini?”
Harry mendengar Ron menyetujui. Harry sudah tidak bisa lagi menahan rasa sakitnya. Ia
ingin menyerah.
‘‘Kamar mandi,” gumamnya sambil meninggalkan ruangan secepat mungkin tanpa harus
berlari.
Harry hampir berhasil, menggerendel pintu dengan tangannya yang gemetar hebat. Ia
memegangi kepalanya yang kesakitan dan jatuh ke lantai. Lalu, dalam ledakan kesakitan,
ia merasakan amarah yang bukan miliknya. Ia melihat ruangan yang panjang dan hanya
diterangi oleh perapian. Pelahap Maut berambut pirang itu terbaring di lantai, berteriak,
dan menggeliat. Dan ada sosok yang berdiri di depannya, mengangkat tongkat, sementara
Harry berkata dalam suara tinggi, dingin, dan tak berbelas kasihan.
‘‘Lagi, Rowle, atau harus kami sudahi dan memberikanmu pada Nagini? Lord Voldemort
tidak akan mengampunimu kali ini… Kau memanggilku hanya untuk mengatakan bahwa
Harry Potter telah meloloskan diri lagi? Draco, berikan Rowle rasa kesakitan… lakukan,
atau kau akan merasakan kemarahanku!”
Sepotong kayu dimasukkan ke dalam perapian, dan api memerah. Cahayanya jatuh pada
wajah pucat yang ketakutan – seakan baru keluar dari kedalaman air, Harry menarik
nafas dalam dan membuka matanya.
Harry bergelung di lantai marmer hitam yang dingin. Hidungnya hampir menyentuh ekor
ular perak yang menyangga bak mandi besar. Ia duduk. Wajah Malfoy yang cekung dan
ketakutan terpatri di dalam matanya. Harry merasa muak atas apa yang baru ia lihat, apa
yang Voldemort perintahkan pada Draco.
Terdengar ketukan keras di pintu dan Harry melompat saat mendengar suara Hermione.
‘‘Harry, kau mau memakai sikat gigimu?”
‘‘Ya, terima kasih,” kata Harry menjaga agar suaranya terdengar seperti biasa. Lalu ia
berdiri dan membukakan pintu untuk Hermione.
======================
* Dusty bisa menjadi nama orang, bisa juga berarti berdebu.
* Ditch ginger dalam pengertian ini dinyatakan sebagai nama minuman. Kita masih
menerima saran atas pengertian dari ditch ginger.
Chapter 10
Kreacher’s Tale
KISAH KREACHER
Harry bangun lebih dulu keesokan paginya, terbungkus kantung tidur di lantai ruang
tamu. Langit terlihat dari celah tirai. Langit tampak biru tenang, masih antara malam dan
fajar. Begitu sepi, yang terdengar hanya nafas berat dan pelan dari Ron dan Hermione
yang masih tertidur. Harry menatap sosok gelap yang tertidur di sebelahnya. Ron telah
bersikap ksatria dan memaksa Hermione tidur di sofa. Bayangan Hermione menutupi
Ron. Tangan Hermione menggantung, dan jarinya hampir menyentuh jari Ron. Harry
berpikir apakah mereka tertidur dengan saling berpegangan tangan. Bayangan itu tibatiba
membuatnya merasa sendiri.
Harry menatap langit-langit yang gelap, ke arah lampu gantung yang dipenuhi jaring
laba-laba. Kurang dari dua puluh empat jam yang lalu, ia sedang berdiri di bawah sinar
matahari di depan pintu masuk tenda, menunggu para tamu untuk menunjukkan tempat
duduk mereka. Sepertinya sudah lama sekali. Apa yang akan terjadi sekarang? Ia
terbaring di lantai dan memikirkan Horcrux, misi yang rumit dan sulit, yang telah
Dumbledore berikan… Dumbledore…
Keberanian yang muncul sejak kematian Dumbledore mulai berubah. Tuduhan yang
diberikan Muriel di pesta pernikahan telah bersarang di pikirannya dan seperti penyakit
yang menginfeksi kenangan tentang penyihir yang diidolakannya. Apakah Dumbledore
akan membiarkan hal itu terjadi? Apakah iaseperti Dudley yang tidak peduli selama hal
itu tidak mengganggunya? Apakah ia meninggalkan saudarinya yang terpenjara dan
disembunyikan?
Harry memikirkan Godric Hollow, memikirkan makam yang tidak pernah Dumbledore
ceritakan. Harry memikirkan benda misterius yang diwariskan Dumbledore tanpa
penjelasan. Dan rasa marah Harry terus membesar dalam kegelapan. Mengapa
Dumbledore tidak memberitahu? Mengapa Dumbledore tidak menjelaskan? Apakah
Dumbledore benar-benar peduli pada Harry? Atau Harry sekadar alat yang terpoles dan
terasah, tapi tidak pernah dipercaya?
Harry tidak tahan untuk tetap terbaring dan memikirkan hal-hal pahit itu. Ia harus
melakukan sesuatu untuk mengalihkan perhatiannya. Ia keluar dari kantung tidurnya,
mengambil tongkatnya, dan berjalan perlahan keluar ruangan. Di ujung tangga ia berbisik
“Lumos,” dan pelan-pelan ia menaiki tangga diterangi cahaya dari ujung tongkatnya.
Di lantai dua ada kamar dimana ia dan Ron pernah tidur saat terakhir kali mereka kemari.
Harry memandangi bagian dalam kamar itu. Pintu lemari terbuka dan seprai tertarik lepas
dari tempat tidur. Harry teringat dengan tempat payung Troll yang tergeletak jatuh.
Seseorang telah mengobrak-abrik tempat ini sepeninggal anggota Orde. Snape? Atau
Mundungus, yang melucuti barang-barang di rumah ini baik sebelum dan sesudah
kematian Sirius? Harry menatap potret yang terkadang diisi oleh Phineas Nigellus Black,
kakek buyut Sirius. Tapi potret itu kosong, meninggalkan sebidang latar belakang
berwarna lumpur. Phineas Nigellus tentu sedang menghabiskan malamnya di kantor
kepala sekolah di Hogwarts.
Harry menaiki tangga lagi hingga di lantai teratas yang hanya diisi oleh dua pintu. Satu
pintu dengan papan nama Sirius. Harry belum pernah masuk ke kamar bapak baptisnya.
Harry mendorong pintu sambil mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi, memperluas
jangkauan cahaya dari ujung tongkatnya.
Kamar itu luas dan, pasti sebelumnya, indah. Ada tempat tidur besar dengan kayu ukiran
di bagian kepala, jendela tinggi yang ditutupi oleh tirai beludru, dan tempat lilin gantung
yang tertutup debu dengan lilin yang masih tertancap di tempatnya ditemani sisa tetesan
lilin yang membeku. Debu melapisi gambar yang terpasang di dinding dan di atas tempat
tidur. Jaring laba-laba terbentang dari lampu gantung ke atas lemari kayu. Harry
memasuki kamar itu dan terdengar suara tikus yang berlari.
Sirius remaja telah memenuhi dinding dengan berbagai poster dan potret, dan hanya
sedikit warna asli dinding yang terlihat, perak keabuan. Harry yakin kalau orang tua
Sirius telah gagal menghilangkan Mantra Tempel Permanen yang Sirius pasang, karena
Harry yakin kalau orang tua Sirius tidak akan suka dengan selera dekorasi anak tertua
mereka. Mungkin Sirius sedikit keterlaluan saat ingin menggoda orang tuanya. Ada
beberapa bendera besar Gryffindor, merah dan emas, hanya untuk menunjukkan
perbedaan dirinya dengan seluruh keluarga Slytherinnya. Ada banyak gambar sepeda
motor Muggle dan (Harry harus mengakui keberanian Sirius) beberapa poster gadis
Muggle berbikini, Harry tahu karena gambar itu tidak bergerak, tersenyum dan mata
menatap menerawang diam di atas kertas. Kontras sekali dengan potret yang ada di
dinding. Potret itu berisi empat siswa Hogwarts yang berjajar saling merangkul bahu
kawannya, tertawa ke arah kamera.
Dengan luapan rasa senang, Harry mengenali ayahnya dari rambut hitam yang tidak bisa
rapi dan mencuat di bagian yang sama dengan rambut Harry, juga memakai kacamata. Di
sebelahnya, Sirius, sangat tampan, wajah arogannya begitu muda dan lebih bahagia
daripada yang pernah Harry lihat. Di sebelah kanan Sirius berdiri Pettigrew, lebih
pendek, gemuk, dengan mata berair, penuh rasa senang karena bisa bergabung dalam
kelompok paling keren, bersama biang onar paling dikagumi, James dan Sirius. Di
sebelah kiri James ada Lupin, yang terlihat lusuh, tapi dalam keadaan yang sama gembira
dan terkejutnya karena bisa bergabung… dan Harry tahu alasannya. Harry mencoba
melepasnya dari dinding, potret itu menjadi miliknya sekarang – Sirius telah mewariskan
segalanya – tapi bahkan menggesernya pun Harry tidak bisa. Sirius telah melakukan
segalanya untuk mencegah orang tuanya mendekor ulang kamarnya.
Harry memandang lantai. Langit di luar semakin terang, seberkas cahaya menerangi
kertas-kertas, buku-buku, dan benda-benda kecil lain yang berserakan di karpet. Jelas
kalau kamar Sirius juga sudah digeledah, walau sepertinya barang-barangnya dianggap
tidak berharga. Beberapa buku telah ditarik begitu kasar sehingga hampir terlepas dari
sampulnya, dan halaman-halaman buku itu tersebar di lantai.
Harry membungkuk untuk mengambil beberapa lembar kertas dan memeriksanya. Harry
mengenali salah satunya sebagai bagian dari edisi lama Sejarah Sihir yang ditulis oleh
Bathilda Bagshot, dan yang kedua adalah manual perawatan sepeda motor. Dan yang
ketiga adalah kertas kusut dengan tulisan tangan. Harry merapikannya.
Dear Padfoot,
Terima kasih banyak untuk hadiah ulang tahun Harry! Itu adalah hadiah favoritnya.
Masih berusia satu tahun tapi sudah terbang ke mana-mana dengan sapu terbang
mainannya. Dia begitu senang memainkannya. Aku sertakan foto agar kau bisa
melihatnya sendiri. Kau tahu kalau sapu itu hanya melayang satu meter dari tanah, tapi
Harry hampir membunuh kucing kami dan memecahkan vas mengerikan yang Petunia
berikan sebagai kado Natal (tidak ada yang mengeluh). Tentu saja James
menganggapnya lucu, selalu berkata bahwa Harry akan menjadi pemain Quidditch
hebat. Tapi kami harus menyimpan semua pajangan dan tidak boleh lengah mengawasi
Harry saat dia di atas sapu.
Kami mengadakan pesta ulang tahun kecil, hanya kami dan Bathilda yang selalu baik
pada kami dan begitu menyayangi Harry. Sayang sekali kau tidak bisa datang, tapi Orde
lebih penting. Lagipula Harry masih terlalu muda untuk tahu ulang tahunnya! James
merasa sedikit tertekan bersembunyi di sini, walau dia berusaha menyembunyikan
perasaannya tapi aku tahu – apalagi Dumbledore masih meminjam Jubah Gaibnya. Tak
ada kesempatan untuknya berjalan-jalan. Jika kau bisa mengunjungi kami, James pasti
akan senang. Wormy datang minggu lalu, dia kelihatan sedih, mungkin karena berita
McKinnon. Aku sendiri menangis semalam begitu mendengar beritanya.
Bathilda sering mengunjungi kami. Dia seorang wanita tua yang mengagumkan, yang
selalu bercerita betapa luar biasanya Dumbledore. Aku penasaran, apakah Dumbledore
akan senang kalau tahu. Jujur, aku tidak tahu apa aku harus percaya atau tidak. Karena
rasanya tidak dapat dipercaya kalau Dumbledore
Tubuh Harry terasa kebas. Ia berdiri kaku memegangi kertas itu dalam jari-jarinya yang
gemetar. Sementara di dalam dirinya muncul letupan rasa senang yang mengalir di
seluruh pembuluh darahnya. Perlahan Harry berjalan menuju tempat tidur dan duduk.
Harry membaca surat itu sekali lagi, tapi ia tidak mendapatkan apapun lebih dari saat
membacanya untuk pertama kali tadi, lalu ia memandangi tulisan tangan itu. Ibunya
menuliskan huruf 'g' yang sama seperti dirinya. Harry memperhatikan huruf perhuruf
tulisan di surat itu dan semakin ia merasa akrab dengannya. Surat itu merupakan harta
berharga. Sebuah bukti bahwa Lily pernah hidup, benar-benar hidup. Bukti bahwa tangan
hangatnya pernah bergerak di atas perkamen ini, menggoreskan tinta ke dalam huruf dan
kata. Kata-kata tentang Harry, anaknya.
Harry cepat-cepat mengusap matanya yang basah dan membaca ulang surat itu. Kali ini
lebih berkonsentrasi pada isinya. Rasanya seperti mendengarkan dari suara yang pernah
diingatnya.
Mereka memelihara kucing… mungkin kucing itu mati, seperti orang tuanya, di Godric
Hollow… atau pergi karena tidak ada yang memberinya makan... Sirius memberi sapu
pertama Harry… orang tuanya mengenal Bathilda Bagshot. Apakah Dumbledore yang
memperkenalkan mereka? Dumbledore masih meminjam Jubah Gaibnya… ada yang
aneh…
Harry berhenti dan memikirkan kata-kata ibunya. Mengapa Dumbledore meminjam
Jubah Gaib James? Harry masih mengingat jelas saat sang kepala sekolah
memberitahunya, bertahun-tahun yang lalu, “Aku tidak butuh Jubah untuk menjadi tidak
terlihat.” Mungkinkah ada anggota Orde yang membutuhkannya dan Dumbledore
menjadi perantaranya? Harry melanjutkan.
Wormy datang… Pettigrew, si pengkhianat, yang terlihat “sedih”. Benarkah? Apa ia
peduli bahwa ia sedang menemui Lily dan James dalam keadaan hidup untuk terkahir
kali?
Lalu Bathilda lagi, yang menceritakan betapa hebatnya Dumbledore, rasanya tidak dapat
dipercaya kalau Dumbledore...
Kalau Dumbledore apa? Begitu banyak kemungkinan yang tidak dapat dipercaya yang
dapat terjadi pada Dumbledore. Mendapatkan nilai terendah dalam pelajaran
Transfigurasi, misalnya. Atau tiba-tiba memiliki ketertarikan khusus pada kambing
seperti Aberforth.
Harry berdiri dan mencari-cari di lantai, mungkin lanjutan suratnya ada di sana. Harry
mengambil kertas-kertas itu dan menikmati mencarinya. Lalu ia meniru penggeledah
sebelumnya, menarik laci-laci, mencari di dalam buku, berdiri di atas kursi agar bisa
menjangkau bagian atas lemari, dan merangkak ke bawah tempat tidur dan kursi.
Akhirnya, Harry berbaring di lantai dan menemukan sepotong kertas yang tersobek,
terselip di bagian bawah laci. Saat Harry menariknya, ia tahu bahwa itu adalah foto yang
dimaksudkan Lily. Bayi berambut hitam di atas sapu kecil, terbang keluar masuk foto,
tertawa senang, dan sepasang kaki, yang pasti milik James, mengejarnya. Harry
menyimpan foto dan surat Lily dalam kantungnya, dan melanjutkan mencari lembar
kedua.
Setelah lima belas menit mencari, Harry terpaksa harus menyimpulkan bahwa sisa surat
ibunya tidak ada. Apakah sisa surat itu hilang begitu saja setelah enam belas tahun, atau
telah diambil oleh seseorang yang telah menggeledah kamar ini? Harry membaca lembar
pertama surat itu lagi, kali ini mencoba mencari petunjuk yang mungkin menunjukkan isi
lembar kedua. Sapu terbang mainannya mungkin akan menjadi petunjuk menarik bagi
Pelahap Maut… petunjuk paling potensial hanyalah tentang Dumbledore. Rasanya tidak
dapat dipercaya kalau Dumbledore – apa?
“Harry? Harry! Harry!”
“Aku di sini!” jawab Harry. “Ada apa?”
Terdengar derap kaki di luar dan Hermione memasuki ruangan.
“Kami bangun dan tak tahu kau ada di mana!” kata Hermione yang kehabisan nafas.
Hermione menoleh dan berteriak, “Ron! Aku sudah menemukannya!”
Terdengar suara Ron menjawab dan menggema dari lantai bawah.
“Bagus! Katakan padanya kalau dia kurang ajar!”
“Harry, tolong jangan menghilang begitu saja! Kami khawatir! Lagipula mengapa kau
naik ke kamar ini?” Hermione memandangi kamar yang berantakan. “Apa yang kau
lakukan?”
“Lihat apa yang baru saja kutemukan.”
Harry mengacungkan surat ibunya. Hermione mengambil dan membacanya sementara
Harry memperhatikan. Saat Hermione selesai membaca, ia menatap Harry.
“Oh, Harry…”
“Dan ini.”
Harry menyodorkan foto sobek dan Hermione tersenyum saat melihat seorang bayi yang
terbang keluar masuk foto di atas sapu mainan.
“Aku sudah mencari sisa suratnya,” kata Harry, “Tapi tidak ada.”
Hermione memandangi ke sekeliling ruangan.
“Apakah kau yang membuat ruangan ini berantakan, atau memang sudah seperti ini
sebelum kau kemari?”
“Seseorang sudah mengobrak-abrik dan sedang mencari sesuatu sebelumnya,” kata
Harry.
“Sudah kuduga. Setiap ruangan yang aku masuki juga berantakan. Menurutmu apa yang
mereka cari?”
“Informasi tentang Orde, bila itu Snape.”
“Tapi dia sudah mendapatkan semuanya, maksudku, dia ada dalam Orde, kan?”
“Kalau begitu,” kata Harry yang ingin terus mendiskusikan teori ini, “bagaimana kalau
informasi tentang Dumbledore? Yang ada dalam lembar kedua surat ini. Kau pasti
mengenal Bathilda yang ibuku sebutkan.”
“Siapa?”
“Bathilda Bagshot, penulis…”
“Sejarah Sihir,” kata Hermione yang mulai tertarik. “Jadi orang tuamu mengenalnya?
Bathilda adalah seorang sejarahwan sihir yang luar biasa.”
“Dan dia masih hidup,” kata Harry, “dan dia tinggal di Godric Hollow. Bibi Muriel
berbicara tentangnya di pesta pernikahan. Dia juga berbicara tentang keluarga
Dumbledore. Topik yang menarik, kan?.”
Hermione tersenyum mengerti akan apa yang Harry maksudkan. Harry mengambil surat
dan foto itu, lalu memasukkannya ke dalam kantung yang menggantung melingkar di
lehernya, sehingga ia tidak perlu menatap Hermione, lalu ia berpaling.
“Aku mengerti mengapa kau senang berbicara dengan Muriel tentang ayah dan ibumu,
juga Dumbledore,” kata Hermione. “Tapi itu tidak begitu membantu kita untuk
menemukan Horcrux, kan?” Harry tidak menjawab dan Hermione langsung melanjutkan,
“Harry, aku tahu kau ingin pergi ke Godric Hollow, tapi aku takut… aku takut bagaimana
mudahnya para Pelahap Maut menemukan kita seperti kemarin. Dan hal itu yang makin
membuatku ingin menghindari tempat orang tuamu dimakamkan, aku yakin mereka
berharap kau akan pergi ke sana.”
“Bukan itu,” kata Harry yang masih menghindar untuk menatap Hermione. “Muriel
mengatakan sesuatu tentang Dumbledore di pesta pernikahan. Dan aku ingin
kebenaran…”
Harry memberitahu Hermione semua yang Muriel ceritakan. Saat Harry selesai,
Hermione berkata, “Tentu, aku mengerti mengapa kau kecewa, Harry…”
“Aku tidak kecewa,” kata Harry berbohong, “aku hanya ingin tahu apakah cerita itu
benar atau…”
“Harry, apa kau pikir kau bisa mendapatkan kebenaran dari wanita tua kejam seperti
Muriel atau Rita Skeeter? Bagaimana bisa kau percaya pada mereka? Kau kenal
Dumbledore!”
“Aku pikir aku kenal,” gumam Harry.
“Tapi kau tahu berapa banyak kebenaran yang Rita tulis tentangmu! Doge benar,
bagaimana mungkin kau biarkan orang-orang seperti mereka merusak kenanganmu
tentang Dumbledore?”
Harry memandang ke arah lain, mencoba untuk tidak mengingkari amarah yang ia
rasakan. Hal itu lagi, memilih yang kita percaya. Harry menginginkan kebenaran.
Mengapa setiap orang ingin agar Harry tidak mengetahui kebenaran?
“Lebih baik kita turun ke dapur,” usul Hermione setelah jeda beberapa saat. “Kita harus
mencari sarapan.”
Harry setuju walau enggan, lalu mengikuti Hermione keluar dan melewati pintu kamar
kedua. Di pintu terdapat goresan yang cukup dalam di bawah sebuah tanda yang tidak
Harry sadari saat keadaan gelap tadi. Harry berhenti di ujung tangga untuk membacanya.
Sebuah tanda larangan kecil yang ditulis dengan tulisan tangan yang rapi. Tanda larangan
seperti yang Percy Weasley gantung di depan pintu kamarnya.
Dilarang Masuk
Tanpa Izin Langsung Dari
Regulus Arcturus Black
Rasa senang memenuhi darah Harry, walau ia sendiri tidak tahu mengapa. Ia membaca
tanda larangan itu sekali lagi. Hermione sudah ada di tangga di lantai bawah.
“Hermione,” kata Harry, dan ia begitu terkejut karena suaranya begitu tenang.
“Kembalilah ke atas.”
“Ada apa?”
“R.A.B. kurasa aku menemukannya.”
Terdengar suara terkejut dan Hermione berlari kembali ke atas.
“Dalam surat ibumu? Tapi aku tidak melihat…”
Harry menggelengkan kepalanya, lalu menunjuk tanda larangan milik Regulus. Hermione
membacanya, lalu menggamit tangan Harry dan berkedip-kedip tidak percaya.
“Adik Sirius?” bisik Hermione.
“Dia seorang Pelahap Maut,” kata Harry, “Sirius menceritakannya padaku. Dia menjadi
Pelahap Maut dalam usia yang sangat muda lalu ketakutan dengan apa yang akan dia
lakukan sebagai Pelahap Maut dan ingin keluar – jadi mereka membunuhnya.”
“Pas sekali!” pekik Hermione. “Kalau dia seorang Pelahap Maut, dia punya akses ke
Voldemort, dan saat dia sadar, dia ingin menjatuhkan Voldemort!”
Hermione melepaskan pegangannya, berjalan ke arah pegangan tangga, dan berteriak,
“Ron! RON! Cepat naik!”
Ron muncul, terengah-engah, beberapa menit kemudian, dengan tongkat siap di tangan.
“Ada apa? Kalau laba-laba raksasa lagi, aku ingin sarapan sebelum...”
Ron berdiri membeku menatap tanda larangan yang ditunjuk oleh Hermione.
“Apa? Ini kamar adik Sirius, kan? Regulus Arcturus… Regulus… R.A.B.! Liontin – apa
kau pikir?”
“Ayo cari tahu,” kata Harry. Harry mendorong pintu, tapi terkunci. Hermione
mengarahkan tongkatnya ke pegangan pintu dan berkata, “Alohomora.” Terdengar suara
click dan pintu terbuka.
Mereka masuk bersamaan dan memandang sekeliling. Kamar tidur Regulus lebih kecil
daripada kamar Sirius, tapi memiliki kemegahan yang sama. Sementara Sirius
menekankan betapa berbedanya dirinya dengan anggota keluarganya, Regulus bersikap
sebaliknya. Warna Slytherin yang perak dan hijau memenuhi ruangan, menutupi tempat
tidur, dinding, dan jendela. Logo keluarga Black dilukis dengan begitu teliti di atas
kepala tempat tidur, lengkap dengan moto mereka, TOUJOURS PUR. Di bawahnya
tertempel potongan koran yang sudah menguning yang membentuk sebuah kolase yang
tidak teratur. Hermione berjalan melintasi ruangan untuk melihatnya.
“Semuanya tentang Voldemort,” kata Hermione. “Sepertinya Regulus telah menjadi fans
Voldemort selama bertahun-tahun sebelum dia bergabung menjadi Pelahap Maut.”
Debu beterbangan dari tempat tidur saat Hermione duduk di atasnya untuk membaca
kliping-kliping itu. Sementara Harry, menemukan foto lain, tim Quidditch Hogwarts
yang sedang tersenyum dan melambaikan tangan mereka. Harry mendekat dan melihat
lambang ular menghiasi dada mereka. Slytherin. Regulus mudah sekali dikenali, seorang
anak yang duduk di tengah di barisan depan, dia memiliki rambut hitam dan wajah
arogan yang sama seperti kakaknya, walau ia lebih pendek, kurus, dan tidak setampan
Sirius.
“Dia seorang Seeker,” kata Harry.
“Apa?” kata Hermione tidak jelas, karena ia masih membenamkan diri dalam kliping
tentang Voldemort.
“Dia duduk di tengah di barisan depan, itu tempat Seeker… sudahlah,” kata Harry,
menyadari bahwa tidak seorang pun mendengarkan. Ron sedang membungkuk mencoba
mencari sesuatu di bawah lemari. Harry melihat berkeliling mencoba mencari tempat
untuk menyembunyikan sesuatu. Tapi sepertinya sudah ada yang menggeledah tempat ini
sebelum mereka. Isi laci berantakan, debu-debu sudah tersentuh, tapi tidak ada yang
berharga di sana, hanya pena bulu tua, buku pelajaran tua yang sudah diperlakukan kasar,
sebotol tinta yang baru saja dipecahkan yang isinya sudah mengental menutupi sebagian
isi laci.
“Ada cara yang lebih mudah,” kata Hermione saat Harry mengelap jarinya yang terkena
tinta ke celana jeansnya. Hermione mengangkat tongkatnya dan berkata, “Accio Liontin!”
Tidak terjadi sesuatu. Ron yang sedang mencari di lipatan tirai, terlihat kecewa.
“Jadi sekarang sudah jelas, kan? Benda itu tidak ada di sini?”
“Oh, bisa saja masih di sini, tapi dilindungi oleh kontra-mantera,” kata Hermione.
“Mantera yang mencegah agar sesuatu tidak dapat dipanggil dengan sihir.”
“Seperti yang Voldemort lakukan pada baskom batu di gua,” kata Harry, mengingat saat
ia tidak bisa memanggil Liontin palsu.
“Bagaimana cara kita menemukannya kalau begitu?” tanya Ron.
“Kita cari secara manual,” kata Hermione.
“Ide bagus,” kata Ron sambil memutar matanya, lalu melanjutkan memeriksa tirai.
Mereka menyisir tiap senti ruangan itu selama lebih dari satu jam, tapi akhirnya, dengan
terpaksa, mereka harus menyimpulkan bahwa Liontin itu tidak ada di sana.
Matahari sudah benar-benar terbit sekarang. Cahayanya bahkan tetap menyilaukan walau
sudah ditahan oleh jendela suram yang berdebu.
“Tetap saja ada kemungkinan liontin itu disembunyikan di rumah ini,” kata Hermione
berharap, saat berjalan menuruni tangga. Saat Harry dan Ron mulai kehilangan semangat,
Hermione malah semakin tertarik. “Entah apakah dia berhasil menghancurkannya atau
tidak, dia pasti ingin menyembunyikannya dari Voldemort, kan? Ingat semua hal buruk
yang terjadi saat kita kemari terakhir kali? Jam yang menyemburkan baut-bautnya pada
tiap orang dan jubah-jubah tua yang mencoba mencekik Ron. Mungkin saja Regulus
yang menyiapkannya untuk melindungi tempat persembunyian liontin itu, walau kita
tidak menyadarinya saat… saat…”
Harry dan Ron menatap Hermione. Satu kaki Hermione melayang di antara anak tangga,
tatapannya seperti orang yang baru terkena Mantra Ingatan, matanya menjadi tidak fokus.
“… saat itu,” Hermione menyelesaikan kalimatnya dalam bisikan.
“Ada yang salah?” tanya Ron.
“Ada di lemari kaca di ruang tamu. Tidak ada yang bisa membukanya. Dan kita…
kita…”
Harry merasa ada sebuah bata yang memaksa masuk ke dalam dada dan perutnya. Harry
ingat, ia bahkan sempat memegangnya saat setiap orang mencoba untuk membukanya.
Lalu liontin itu dibuang ke karung sampah, bersamaan dengan sekotak bubuk Wartcap
dan kotak musik yang membuat setiap orang mengantuk…
“Kreacher menyelinapkan banyak barang dari kita,” kata Harry. Hanya itu satu-satunya
harapan yang ada, harapan tipis yang mereka miliki, ysng tidak akan mereka lepaskan.
“Dia menyembunyikan semua barang-barang itu di lemarinya di dapur. Ayo!”
Harry berlari menuruni tangga dengan melompati dua-dua anak tangga sekaligus, Ron
dan Hermione juga berlari di belakangnya. Keramaian yang mereka buat bahkan
membangunkan potret ibu Sirius saat mereka melewati ruang tengah.
“Kotoran! Darah Lumpur! Sampah!” ibu Sirius meneriaki mereka saat mereka berlari
menuju dapur di lantai dasar dan menutup pintu di belakang mereka.
Harry berlari menyebrangi ruangan. Tergelincir sedikit saat mencoba berhenti di depan
lemari Kreacher dan Harry membukanya. Terdapat sebuah sarang kotor yang di atasnya
terdapat selimut tua yang pernah digunakan si peri rumah untuk tidur, tapi tidak ada lagi
barang-barang atau perhiasan-perhiasan kecil yang Kreacher selamatkan. Satu-satunya
yang tersisa hanyalah buku Alam Kebangsawanan: Silsilah Para Penyihir. Menolak
untuk mempercayai penglihatannya, Harry menarik selimut itu dan mengoyanggoyangkannya.
Seekor tikus mati jatuh dan terlempar ke atas lantai. Ron mengerang dan
menjatuhkan diri ke atas kursi, dan Hermione menutup matanya.
“Belum selesai,” kata Harry, ia lalu meninggikan suaranya dan memanggil, “Kreacher!”
Terdengar suara crack keras dan si peri rumah yang Harry warisi dari Sirius muncul
begitu saja di depan perapian yang kosong dan dingin. Bertubuh hanya separuh tinggi
manusia, kurus, kulitnya yang berkeriput, dan banyak rambut putih yang mencuat dari
telinganya yang berbentuk saperti sayap kelelawar. Ia masih memakai kain kotor yang
sama saat mereka pertama kali bertemu, dan dengan tatapan menghina ia menunduk pada
Harry untuk menunjukkan sikap santunnya pada sang majikan.
“Tuan,” kata Kreacher dengan suaranya yang seperti kodok, dan ia membungkuk dalamdalam,
lalu menggumam pada lututnya, “kembali ke rumah Nyonya bersama Weasley si
Darah Pengkhianatdan si Darah Lumpur…”
“Aku melarangmu untuk menyebut seseorang dengan “Darah Pengkhianat” atau “Darah
Lumpur”,” geram Harry. Kreacher, dengan hidung yang seperti moncong babi dan mata
merahnya, bukanlah makhluk menggemaskan dan mudah disukai, bahkan bila si peri
rumah tidak mengkhianati Sirius demi Voldemort.
“Aku punya beberapa pertanyaan untukmu,” kata Harry, jantungnya berdetak cukup
kencang saat ia melihat si peri rumah, “dan aku menyuruhmu untuk menjawabnya
dengan jujur. Mengerti?”
“Ya, Tuan,” kata Kreacher sambil membungkuk lebih dalam. Harry melihat bibir
Kreacher bergerak-gerak tanpa suara, jelas ia mengucapkan hinaan yang Harry larang.
“Dua tahun lalu,” kata Harry, jantungnya berdetak kencang hingga terasa memenuhi
rusuknya, “ada sebuah liontin emas di ruang tamu. Kami membuangnya. Apa kau
mengambilnya?”
Terjadi kebungkaman sesaat, lalu Kreacher mengangkat wajahnya dan menatap wajah
Harry. Lalu ia berkata, “Ya.”
“Di mana liontin itu sekarang?” tanya Harry yang merasa senang, Ron dan Hermione pun
tampak lega.
Kreacher menutup matanya seakan ia tidak sanggup untuk melihat reaksi mereka saat
mendengar jawabannya.
“Hilang.”
“Hilang?” suara Harry menggema, rasa senang itu langsung menguap. “Apa maksudmu,
liontin itu hilang?”
Peri rumah itu gemetar.
“Kreacher,” kata Harry tajam, “aku menyuruhmu untuk…”
“Mundungus Fletcher,” teriak si peri rumah, matanya masih tertutup rapat. “Mundungus
Fletcher mencuri segalanya. Potret nona Bella dan nona Cissy, sarung tangan nyonya,
piala Order of Merlin, Tingkat Pertama, dengan logo keluarga, dan, dan…”
Kreacher terengah-engah mencari udara. Dadanya kembang kempis, bergerak cepat, lalu
matanya membuka dan ia berteriak-teriak.
“… dan liontin, liontin Tuan Regulus, Kreacher melakukan kesalahan, Kreacher tidak
melaksanakan perintah!”
Harry bereaksi dengan instingnya, saat Kreacher menyerbu tongkat besi yang bersandar
di perapian, Harry langsung meloncat menindih Kreacher. Teriakan Hermione bercampur
dengan teriakan Kreacher, tapi Harry berteriak lebih keras, “Kreacher, aku menyuruhmu
untuk tetap diam!”
Harry merasa si peri rumah membeku dan ia melepaskannya. Kreacher terbaring di lantai
batu yang dingin, air mata mengalir dari matanya yang cekung.
“Harry, biarkan dia berdiri!” bisik Hermione.
“Agar dia bisa memukuli dirinya sendiri dengan tongkat besi itu?” dengus Harry, berlutut
di samping si peri rumah. “Tidak. Baiklah, Kreacher, aku ingin kebenaran. Bagaimana
kau tahu Mundungus Fletcher mencuri liontin itu?”
“Kreacher melihat dia!” isak si peri rumah, air matanya masih mengalir melewati
hidungnya dan mulutnya yang penuh dengan gigi yang keabuan. “Kreacher melihat dia
keluar dari lemari Kreacher dengan tangan dipenuhi harta Kreacher. Kreacher menyuruh
pencuri itu untuk berhenti, tapi Mundungus Fletcher tertawa dan l-lari…”
“Kau bilang “liontin Tuan Regulus”,” kata Harry. “Mengapa? Dari mana asalnya? Apa
yang harus Regulus lakukan dengannya? Kreacher, duduklah dan ceritakan semua yang
kau tahu tentang liontin itu, dan semua yang harus Regulus lakukan dengannya.”
Peri rumah itu duduk dan meringkuk seperti bola, meletakkan wajahnya di antara kedua
lututnya dan mulai bergerak maju mundur. Saat ia berbicara, suaranya mendengung, tapi
cukup jelas didengar dalam dapur yang sepi dan bergema.
“Tuan Sirius melarikan diri, sebuah pembersihan yang bagus, karena dia anak nakal dan
menyakiti hati Nyonya dengan cara rendah. Tapi Tuan Regulus adalah kebanggaan.
Beliau tahu bagaimana menjaga nama keluarga Black dan martabat darah murni.
Bertahun-tahun beliau bercerita tentang Pangeran Kegelapan, yang akan membawa para
penyihir keluar dan dapat menguasai Muggle dan kelahiran Muggle... dan saat beliau
berusia enam belas tahun, Tuan Regulus bergabung dengan Pangeran Kegelapan. Sebuah
kebanggaan, begitu bangga, begitu senang dapat mengabdi…
Lalu suatu hari, setahun setelah beliau bergabung, TuanRegulus datang ke dapur untuk
menemui Kreacher. Tuan Regulus selalu menyayangi Kreacher. Dan Tuan Regulus
berkata… beliau berkata…”
Peri rumah tua itu bergerak lebih cepat.
“…beliau berkata bahwa Pangeran Kegelapan membutuhkan peri rumah.”
“Voldemort butuh peri rumah?” ulang Harry, menoleh pada Ron dan Hermione, yang
juga sama bingungnya.
“Oh, ya,” desah Kreacher. “Dan Tuan Regulus menawarkan Kreacher. Sebuah
kehormatan, kata Tuan Regulus, sebuah kehormatan untuk beliau, dan untuk Kreacher,
yang harus melakukan semua yang Pangeran Kegelapan perintahkan… lalu k-kembali ke
rumah.”
Gerakan Kreacher semakin keras, begitu pula isakannya.
“Lalu Kreacher menemui Pangeran Kegelapan. Pangeran Kegelapan tidak memberitahu
apa yang akan dilakukan, hanya membawa Kreacher ke sebuah gua di pinggir laut. Dan
di dalam gua terdapat sebuah gua yang lebih besar, dan di dalamnya terdapat sebuah
danau hitam…”
Rambut yang ada di leher Harry merinding. Suara Kreacher membentuk sebuah
gambaran jelas tentang air yang gelap itu. Harry bahkan dapat membayangkan begitu
jelas dalam pikirannya apa yang terjadi, seakan ia melihatnya sendiri.
“… ada sebuah perahu…”
Tentu ada sebuah perahu. Harry ingat perahu itu, kecil, berwarna hijau pudar, dan telah
disihir agar hanya dapat membawa seorang penyihir dan seorang korban menuju pulau
kecil tepat di tengahnya. Jadi begini, bagaimana Voldemort menguji pertahanan untuk
Horcrux miliknya. Dengan meminjam makhluk yang tidak berharga, peri rumah.
“Sebuah b-baskom terisi penuh oleh cairan, yang ada di pulau. P-Pangeran Kegelapan
menyuruh Kreacher untuk meminumnya…”
Tubuh peri rumah itu bergetar hebat.
“Kreacher meminumnya. Dan saat meminumnya, Kreacher melihat hal-hal buruk… perut
Kreacher terasa terbakar… Kreacher menangis pada Tuan Regulus untuk
menyelamatkannya, Kreacher pada Nyonya Black, tapi Pangeran Kegelapan hanya
tertawa… dia menyuruh Kreacher meminum semuanya… lalu dia meletakkan liontin
dalam baskom… memenuhinya lagi dengan cairan itu.
“Lalu Pangeran Kegelapan berlayar kembali, meninggalkan Kreacher di pulau…”
Harry masih dapat melihat bayangan bagaimana hal itu terjadi. Ia dapat melihat wajah
pucat yang seperti ular milik Voldemort menghilang di kegelapan, mata merahnya
melihat tanpa ampun, meninggalkan si peri rumah dengan mayat yang akan muncul, saat
si peri rumah merasa begitu kehausan karena cairan yang membakar yang
meminumnya… tapi, imajinasi Harry tidak dapat melanjutkan, karena ia tidak tahu
bagaimana Kreacher bisa lolos.
“Kreacher butuh air. Kreacher merangkak ke pinggir pulau dan minum dari danau
hitam… dan tangan, tangan mayat, keluar dari air dan menarik Kreacher ke dalam
danau…”
“Bagaimana kau bisa melarikan diri?” tanya Harry, ia tidak kaget mendengar dirinya
sendiri berbisik.
Kreacher mengangkat wajah jeleknya dan melihat Harry dengan mata besarnya yang
memerah.
“Tuan Regulus menyuruh Kreacher pulang,” kata Kreacher.
“Aku tahu – tapi bagaimana kau bisa lolos dari Inferi?”
Kreacher tidak mengerti.
“Tuan Regulus menyuruh Kreacher pulang,” ulang Kreacher.
“Aku tahu, tapi…”
“Jelas sekali, kan, Harry?” kata Ron. “Dia ber-Disapparate!”
“Tapi kau tidak bisa ber-Apparate keluar masuk gua itu,” kata Harry, “karena
Dumbledore…”
“Sihir peri tidak seperti sihir para penyihir, kan?” kata Ron.
“Maksudku, mereka bisa ber-Apparate dan ber-Disapparate keluar masuk Hogwarts
sementara kita tidak.”
Ada kebungkaman saat Harry mencerna kata-kata Ron. Bagaimana mungkin Voldemort
membuat kesalahan? Tapi saat Harry memikirkannya, Hermione berkata, dan suaranya
begitu dingin.
“Tentu, Voldemort tentu telah mempertimbangkan pemakaian peri rumah, seperti semua
darah murni lain yang memperlakukan mereka seperti binatang… tapi dia tidak tahu
kalau peri rumah punya sihir yang tidak dia miliki.”
“Hukum tertinggi peri rumah adalah perintah majikan,” tekan Kreacher. “Kreacher
dipanggil pulang, jadi Kreacher pulang.”
“Kalau begitu kau melakukan apa yang diperintahkan, kan?” kata Hermione berbaik hati.
“Kau tidak melanggar perintah sama sekali!”
Kreacher menggelengkan kepalanya dan bergerak lebih cepat lagi.
“Lalu apa yang terjadi setelah kau kembali?” tanya Harry. “Apa yang Regulus katakan
setelah kau menceritakan apa yang terjadi?”
“Tuan Regulus menjadi cemas, sangat cemas,” kata Kreacher. “Tuan Regulus menyuruh
Kreacher untuk bersembunyi dan tidak meninggalkan rumah. Lalu... suatu malam… Tuan
Regulus datang untuk menemui Kreacher dalam lemari, dan tuan Regulus tampak aneh,
tidak seperti biasanya, menurut Kreacher pikirannya terganggu… dan beliau meminta
Kreacher mengantarnya ke gua, gua di mana Kreacher pergi bersama Pangeran
Kegelapan…”
Harry dapat membayangkan dengan jelas, rasa ketakutan si peri rumah tua dan seorang
Seeker kurus berambut gelap yang begitu mirip dengan Sirius… Kreacher tahu
bagaimana membuka pintu masuk yang tersembunyi menuju gua yang lebih besar, tahu
bagaimana menggunakan perahu kecil itu, lalu berlayar bersama master Regulus yang
disayanginya menuju pulau dan baskom berisi racun itu…
“Dan Regulus menyuruh untuk meminum cairan itu?” kata Harry muak.
Kreacher menggelengkan kepalanya dan menangis. Tangan Hermione naik menutupi
mulutnya, sepertinya ia memahami sesuatu.
“T-Tuan Regulus mengeluarkan liotin dari kantungnya, liontin yang mirip seperti liontin
milik Pangeran Kegelapan,” air mata Kreacher mengalir di kedua sisi hidungnya. “Dan
beliau menyuruh Kreacher untuk mengambil liontin. Begitu baskom itu kosong, Kreacher
harus menukarnya.”
Isakan Kreacher semakin menjadi. Harry harus berkonsentrasi tinggi untuk mengerti.
“Dan beliau menyuruh – Kreacher pergi – meninggalkan beliau. Beliau menyuruh
Kreacher pulang – dan tidak boleh bilang pada Nyonya – apa yang beliau lakukan – dan
harus menghancurkan – liontin asli. Dan beliau minum – semua cairan itu – dan Kreacher
menukar liontin itu – dan melihat… saat Tuan Regulus… ditarik ke dalam danau…
dan…”
“Oh, Kreacher!” ratap Hermione yang juga menangis. Hermione berlutut di sebelah si
peri rumah dan berusaha untuk memeluknya. Tiba-tiba Kreacher berdiri, menjauh dari
Hermione, jelas menolak untuk dipeluk.
“Si Darah Lumpur menyentuh Kreacher, tidak boleh, apa kata nyonya?”
“Sudah kubilang kau tidak boleh menyebut Hermione “Darah Lumpur”!” geram Harry,
tapi si peri rumah sudah menghukum dirinya sendiri. ia menghantamkan dahinya ke
lantai.
“Suruh dia berhenti – suruh dia berhenti!” teriak Hermione. “Oh, tidak bisakah kau
melihat betapa dia harus menurut padamu?”
“Kreacher – berhenti, berhenti!” teriak Harry.
Si peri rumah terbaring di lantai, terengah-engah, dan gemetaran. Lendir hijau keluar dari
hidungnya, memar muncul di mana ia menghantamnya tadi, dan matanya bengkak,
merah, dan dipenuhi air mata. Harry tidak pernah melihat seuatu yang semenyedihkan
ini.
“Jadi kau membawa liontin itu ke rumah,” kata Harry tetap ingin mengetahui keseluruhan
cerita. “Dan kau berusaha untuk menghancurkannya?”
“Kreacher bahkan tidak dapat menggoresnya,” erang si peri rumah. “Kreacher mencoba
semua, semuanya yang ia tahu, tapi tidak berhasil, tidak ada yang berhasil… begitu
banyak sihir yang melindungi. Kreacher yakin untuk menghancurkannya, liontin itu harus
dibuka, tapi tidak bisa terbuka… Kreacher menghukum dirinya sendiri, lalu mencoba
lagi, menghukum dirinya sendiri, lalu mencoba lagi. Kreacher gagal memenuhi perintah,
Kreacher tidak dapat menghancurkan liontin itu! Dan Nyonya begitu marah dan bersedih
karena Tuan Regulus menghilang, dan Kreacher tidak dapat bercerita apa yang terjadi,
tidak, karena Tuan Regulus telah m-melarang Kreacher memberitahu k-keluarga apa
yang terjadi di g-gua…”
Isakan Kreacher semakin keras sehingga kata-kata yang keluar tidak lagi jelas. Air mata
Hermione mengalir di pipinya saat ia melihat Kreacher, tapi Hermione tidak berani untuk
menyentuhnya lagi. Bahkan Ron yang tidak menyukai Kreacher, terlihat kasihan. Harry
duduk di atas tumitnya dan menggelengkasn kepala, mencoba menarik kesimpulan.
“Aku tidak mengerti, Kreacher,” kata Harry. “Voldemort mencoba membunuhmu,
Regulus mati karena ingin menjatuhkan Voldemort, tapi kau masih dengan senang hati
mengkhianati Sirius demi Voldemort? Dengan senang hati kau mendatangi Narcissa dan
Bellatrix dan memberikan informasi pada Voldemort melalui mereka…”
“Harry, Kreacher tidak berpikir seperti itu,” kata Hermione yang sedang menghapus air
mata dengan punggung tangannya. “Dia itu budak, peri rumah terbiasa diperlakukan
buruk, bahkan kejam. Dan yang Voldemort lakukan padanya hanyalah suatu hal yang
biasa. Apa artinya perang antarpenyihir untuk peri rumah seperti Kreacher? Dia setia
pada orang yang baik padanya, dan nyonya Black pasti baik padanya, begitu pula
Regulus. Jadi Kreacher melayani mereka dengan tulus dan meniru apa yang mereka
percaya. Aku tahu apa yang akan kau katakan,” lanjut Hermione saat Harry akan
memprotes, “kalau regulus berubah pikiran… tapi sepertinya dia tidak menjelaskannya
pada Kreacher. Dan aku pikir aku tahu mengapa. Kreacher dan keluarga Black akan lebih
aman dalam garis kedarah-murnian mereka. Regulus hanya berusaha untuk
menyelamatkan mereka semua.”
“Sirius…”
“Sirius tidak suka pada Kreacher, Harry, dan kau tahu itu. Kreacher sudah sendirian
dalam waktu yang lama saat Sirius kembali untuk tinggal di rumah ini, dan mungkin
Kreacher haus akan kasih sayang. Aku yakin 'Nona Cissy' dan 'Nona Bella' cukup
menyenangkan bagi Kreacher, jadi ia mencoba menyenangkan hati mereka dan
memberitahu apa yang mereka inginkan. Sudah kukatakan bahwa para penyihir akan
membayar apa yang mereka lakukan pada peri rumah. Voldemort… dan juga Sirius…”
Harry tidak membalas. Saat Harry melihat Kreacher yang terisak di lantai, ia ingat apa
yang Dumbledore katakan padanya, beberapa jam setelah kematian Sirius, kurasa Sirius
tidak menganggap Kreacher sebagai makhluk yang punya perasaan seperti manusia…
“Kreacher,” kata Harry, setelah beberapa saat, “saat kau sudah lebih baik, er…
duduklah.”
Beberapa menit kemudian Kreacher berhenti dari isakannya dan terdiam. Lalu memaksa
dirinya untuk kembali ke posisi duduk sambil menggosok-gosok jarinya ke matanya
seperti anak kecil.
“Kreacher, aku ingin kau, kalau kau mau, pergi dan mencari Mundungus Fletcher. Kami
harus tahu di mana liontin itu – liontin Tuan Regulus. Ini penting. Kami ingin
menyelesaikan apa yang Tuan Regulus lakukan, kami ingin – er – memastikan bahwa ia
tidak mati sia-sia.”
Kreacher menjatuhkan kepalan tangannya dan menatap Harry.
“Menemukan Mundungus Fletcher?” kata Kreacher.
“Dan membawanya kemari, ke Grimmauld Place,” kata Harry. “Apakah kau bisa
melakukannya untuk kami?”
Kreacher mengangguk dan berdiri, tiba-tiba Harry mendapat sebuah ide. Ia mengeluarkan
kantung pemberian Hagrid dan mengambil Horcrux palsu, liontin pengganti dengan
catatan dari Regulus untuk Voldemort di dalamnya.
“Kreacher, aku, er, ingin kau memiliki ini,” kata Harry sambil menyodorkan liontin itu
pada tangan si peri rumah. “Liontin ini milik Regulus dan aku yakin ia ingin kau
memilikinya sebagai tanda terima kasih karena kau sudah…”
“Jangan berlebihan, sobat,” kata Ron. Lalu si peri rumah menatapi liontin itu dan darinya
keluar suara lolongan keterkejutan dan kesedihan, dan kembali melemparkan dirinya ke
lantai.
Butuh tiga puluh menit untuk menenangkan Kreacher, yang begitu senang karena telah
dihadiahi dengan peninggalan keluarga Black, dan ia mencoba berdiri dengan lutut
lemahnya. Setelah akhirnya Kreacher mampu melangkah, mereka membantu Kreacher
untuk kembali ke lemarinya, melihatnya meletakkan liontin itu di atas selimut kotornya,
dan meyakinkan bahwa mereka akan melindungi liontin itu selama Kreacher pergi. Lalu
Kreacher membungkuk rendah pada Harry dan Ron, dan bahkan mengejang aneh ke arah
Hermione sebagai bentuk penghormatan, sebelum akhirnya ia ber-Disapparate dengan
suara crack keras seperti biasa.
Chapter 11
The Bribe
Uang Sogokan*
Jika Kreacher bisa kabur dari danau penuh Inferi, Harry yakin bahwa penangkapan
Mundungus hanya memakan sedikit waktu, dan pagi ini ia berkeliling rumah sebagai
bentuk antisipasi. Bagaimanapun, Kreacher tidak kembali pagi itu atau bahkan pada
waktu sore. Saat malam tiba, Harry merasa putus asa dan cemas, dan makan malam
dengan roti berjamur, yang sudah Hermione coba siapkan dengan berbagai mantra
transfigurasi yang gagal, juga tidak membantu.
Kreacher tidak kembali hari itu, juga tidak keesokan harinya. Namun, dua laki-laki
berjubah muncul di depan rumah nomor dua belas itu, dan mereka tinggal disana sampai
malam, memandang ke arah rumah yang tidak bisa mereka lihat.
“Aku yakin mereka adalah Pelahap Maut,” kata Ron, saat ia, Harry, dan Hermione
memandang dari jendela. “Apa mereka tahu bahwa kita disini?”
“Kupikir tidak,” kata Hermione, walaupun ia terlihat ketakutan, ”atau mereka akan
mengirim Snape untuk mengejar kita?”
“Kau pikir Snape akan kemari dan lidahnya terikat dengan kutukan Moody?” tanya Ron.
“Ya,” kata Hermione, “Snape bisa memberitau banyak cara bagaimana mereka bisa
masuk, ya kan? Tapi sepertinya mereka menunggu apakah kita akan muncul. Mereka
tentu tahu kalau Harry pemilik rumah ini sekarang.”
“Bagaimana mereka - ”
“Wasiat para penyihir diperiksa Kementrian, ingat? Mereka akan tahu bahwa Sirius
mewariskan tempat ini padamu.”
Kehadiran Pelahap Maut di luar meningkatkan perasaan tidak menyenangkan di dalam
rumah nomor dua belas. Mereka tidak mendengar kabar dari siapapun di sekitar
Grimmauld Place sejak Patronus Mr. Weasley, dan ketegangan mulai bertambah. Gelisah
dan sensitif, Ron melakukan kebiasaan yang menjengkelkan dengan bermain-main
dengan Deluminator; Ini membuat Hermione sangat marah, karena sambil menunggu
Kreacher, ia mempelajari buku The Tales of Beedle the Bard dan merasa kesal karena
lampu yang terus-terusan berkelip nyala mati.
“Bisakah kau berhenti?” teriak Hermione pada hari ketiga sejak kepergian Kreacher, saat
cahaya mati-menyala lagi.
“Maaf, maaf!” kata Ron sambil mengembalikan cahaya itu dengan Deluminator. “Aku
tidak sadar telah melakukannya!”
“Bisakah kau melakukan sesuatu yang berguna untuk dirimu?”
“Apa, seperti membaca cerita anak-anak?”
“Dumbledore meninggalkanku buku ini, Ron - ”
“- dan ia meninggalkanku Deluminator ini, mungkin aku harus melakukan sesuatu
dengan ini!”
Tidak tahan mendengar pertengkaran itu, Harry keluar dari ruangan secara diam-diam. Ia
melihat ke bawah, ke arah dapur, karena itu adalah tempat Kreacher muncul. Di tengah
jalan menuju ke aula, Harry mendengar langkah kaki di pintu depan, dan terdengar suara
dentingan logam dan rantai.
Seluruh sarafnya menjadi tegang: Harry mengeluarkan tongkatnya, lalu bersembunyi
dalam bayangan potongan kepala peri rumah dan menunggu. Pintu terbuka: Harry
melihat kilauan cahaya dari lampu jalan, dan seseorang berjubah masuk ke aula dan
menutup pintu di belakangnya. Orang itu berjalan maju selangkah, dan suara Moody
bertanya, “Severus Snape?”. Lalu sosok berdebu muncul dan menuju ke arah orang asing
itu dengan tangan terangkat.
“Bukan aku yang membunuhmu, Albus,” katanya dengan suara yang pelan.
Sosok berdebu itu meletup, dan tidak mungkin dapat melihat orang asing itu karena kabut
debu yang baru saja muncul. Harry menunjuk tongkatnya ke tengah-tengah awan itu.
“Jangan bergerak!”
Ia lupa akan lukisan Mrs. Black: Saat Harry berteriak, tirai yang menutupi lukisan itu
terbuka dan Mrs. Black mulai berteriak, ”Darah Lumpur dan sampah mengotori
rumahku…”
Ron dan Hermione bergegas turun ke bawah dan berhenti di belakang Harry, tongkat
mereka terarah ke orang asing yang sekarang berdiri di ruang tengah dengan tangan
terangkat.
“Tahan dulu, ini aku, Remus!”
“Oh, untunglah,” kata Hermione lemas yang tongkatnya langsung terarah ke lukisan Mrs.
Black dan tirai itu menutup kembali dan suasana kembali hening. Ron menurunkan
tongkatnya, tetapi Harry tidak.
“Buktikan!”
Lupin berjalan maju ke arah cahaya, dan tangannya masih terangkat, seperti orang
menyerahkan diri.
“Aku Remus John Lupin, seorang manusia serigala, terkadang dikenal sebagai Moony,
salah satu dari empat orang pembuat Peta Perampok, menikah dengan Nymphadora,
biasanya dikenal dengan Tonks, dan aku mengajarkanmu bagaimana cara menghasilkan
Patronus, Harry, yang berupa rusa jantan.”
“Oh, baiklah,” kata Harry, menurunkan tongkatnya, “tetapi aku harus memastikannya,
kan?”
“Sebagai mantan guru Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam-mu, aku setuju bahwa kau harus
memastikannya. Ron, Hermione, kalian seharusnya tidak terlalu cepat menurunkan
pertahanan kalian.”
Mereka berita berjalan mendekati ke Lupin. Terbungkus dengan jubah berpergian yang
tebal, ia terlihat lemah, tetapi senang bertemu dengan mereka.
“Tidak ada tanda dari Severus?” ia bertanya.
“Tidak,” kata Harry. “Apa yang terjadi? Apakah semuanya baik-baik saja?”
“Ya,” kata Lupin, “tetapi kita semua diawasi. Ada sepasang Pelahap Maut di luar - ”
“- Kami tahu - ”
“- aku harus ber-Apparate langsung ke pintu agar mereka tidak akan melihatku. Mereka
tidak tahu apakah kau ada di sini karena kalau mereka tahu, mereka pasti akan
mengerahkan lebih banyak orang. Mereka memata-matai setiap tempat yang
berhubungan denganmu, Harry. Ayo turun ke bawah, banyak hal yang harus kuceritakan
kepadamu, dan aku ingin tahu apa yang terjadi pada kalian setelah kalian meninggalkan
The Burrow.”
Mereka turun ke dapur, di mana Hermione mengarahkan tongkatnya ke perapian. Api
menyala: Api itu memberi ilusi kenyamanan dalam ruangan berdinding batu dengan meja
kayu panjang di tengahnya. Lupin mengeluarkan beberapa butterbeer dari jubahnya dan
mereka duduk.
“Aku sudah di sini tiga hari yang lalu tetapi aku harus mengecoh Pelahap Maut yang
menguntitku,” kata Lupin. “Jadi kalian datang kesini setelah pernikahan itu?”
“Tidak,” kata Harry, “sebelumnya kami berhasil melarikan diri dari sepasang Pelahap
Maut yang berada di kafe Jalan Tottenham Court.”
Lupin menumpahkan butterbeer-nya.
“Apa?”
Mereka menjelaskan apa yang telah terjadi; ketika mereka selesai, Lupin tampak terkejut.
“Tetapi bagaimana mereka menemukan kalian secepat itu? Tidak mungkin melacak
seseorang yang ber-Apparate kecuali kau memeganginya saat mereka melakukannya!”
“Dan mereka tidak mungkin hanya berjalan-jalan saja di Jalan Tottenham Court saat itu,
kan?” kata Harry.
“Kami menduga,” kata Hermione, “mungkinkah Harry masih meninggalkan pelacak?”
“Tidak mungkin,” kata Lupin. Ron kelihatan puas, dan Harry merasa lega. “Lagipula
mereka pasti tau Harry ada di sini jika ia masih memiliki pelacak, kan? Tetapi aku tidak
tau bagaimana mereka bisa melacakmu sampai ke Tottenham Court. Mencemaskan,
sungguh mencemaskan..”
Lupin terlihat aneh, tapi selama Harry berkonsentrasi, pertanyaan itu dapat menunggu.
“Ceritakan pada kami apa yang terjadi setelah kami pergi, kami tidak mendapat kabar
apapun sejak ayah Ron memberitau bahwa keluarganya aman.”
“Baiklah, Kingsley menyelamatkan kami,” kata Lupin.”‘Untung saja dia mengirim
Patronus sehingga para tamu dapat ber-Disapparate sebelum mereka datang.”
“Mereka yang kau maksud Pelahap Maut atau orang Kementrian?” tanya Hermione.
“Keduanya; tetapi tujuan mereka semua sama,” kata Lupin. “Ada sekitar selusin dari
mereka, tetapi mereka tidak tahu bahwa kau disana, Harry. Arthur mendengar rumor
bahwa mereka mencoba menanyakan keberadaanmu pada Scrimgeour sambil
menyiksanya, sebelum mereka membunuhnya; jika itu benar, artinya Scrimgeour tidak
memberitahukan apapun tentangmu.”
Harry menatap Ron dan Hermione; mereka kelihatan terkejut dan bersyukur. Harry tidak
pernah menyukai Scrimgeour, tetapi bila yang Lupin katakan itu benar, yang dilakukan
Scrimgeour untuk terakhir kalinya itu bertujuan untuk melindunginya.
“Para Pelahap Maut menggeledah The Burrow dari atas hingga bawah,” Lupin
melanjutkan. “Mereka menemukan Ghoul itu, tetapi mereka tidak ingin dekat-dekat
dengan ghoul itu – dan mereka menginterogasi kami selama beberapa jam. Mereka
mencoba untuk mendapatkan informasi tentangmu, Harry, tapi tentu tidak ada yang tahu
mengenai keberadaanmu selain anggota Orde.
“Di waktu yang bersamaan, Pelahap Maut juga menerobos rumah-rumah anggota Orde di
negeri ini. Tidak ada yang meninggal,” tambah Lupin dengan cepat, “tetapi mereka
kejam. Mereka membakar rumah Dedalus Diggle, tetapi kalian tahu ia tidak disana, dan
mereka menggunakan kutukan Cruciatus kepada keluarga Tonks. Seperti yang sudah
kukatakan tadi, untuk mencari tahu ke mana kau pergi setelah mengunjungi mereka.
Mereka baik-baik saja – terguncang, tetapi yang lain baik-baik saja.”
“Para Pelahap Maut berhasil menerobos Mantra Pelindung itu?” Harry bertanya,
mengingat bagaimana efektifnya mantra itu pada malam ia sampai di halaman rumah
keluarga Tonks.
“Yang harus kau tahu, Harry, Pelahap Maut mendapat dukungan dari Kementrian
sekarang,” kata Lupin. “Mereka dapat menggunakan mantra yang brutal, tanpa takut akan
diidentifikasi atau ditahan. Mereka dapat menembus setiap perlindungan yang kami buat,
dan saat mereka berhasil masuk, mereka dapat masuk ke tempat yang lain juga.”
“Dan apakah mereka akan menganiaya orang-orang agar mengetahui dimana Harry
berada?” tanya Hermione dengan nada tinggi.
”Ya,” Lupin kelihatan ragu-ragu, lalu menarik sebuah Daily Prophet.
“Ini,” katanya, memberikannya pada Harry, “cepat atau lambat kau akan tahu. Itu yang
mereka gunakan untuk mencarimu.”
Harry meluruskan gulungan koran itu. Sebuah foto besar wajahnya mengisi halaman
pertama dengan tajuk utama:
DICARI ORANG YANG BERKAITAN DENGAN KEMATIAN
ALBUS DUMBLEDORE
[/b]
Ron dan Hermione mengerang marah, tetapi Harry tidak mengatakan sepatah kata pun. Ia
mendorong jauh koran itu; ia tidak ingin membacanya lagi: Ia tahu apa yang akan mereka
katakan. Tidak seorang pun tahu siapa yang membunuh Dumbledore kecuali mereka
yang ada di atas menara saat Dumbledore meninggal. Dan Rita Skeeter telah berkata pada
dunia sihir bahwa ada seseorang yang melihat Harry berlari dari menara sesaat setelah
Dumbledore jatuh.
“Maaf, Harry,” kata Lupin.
“Jadi para Pelahap Maut sudah menguasai Daily Prophet juga?” tanya Hermione, nada
suaranya marah.
Lupin mengangguk.
“Tetapi apakah masyarakat menyadari apa yang sedang terjadi?”
”Pengambil-alihan itu dilakukan dengan licin dan hati-hati,” kata Lupin. ”Versi resmi
tentang pembunuhan Scrimgeour adalah pengunduran diri, dan dia digantikan oleh Pius
Thicknesse yang berada di bawah Mantra Imperius.”
“Mengapa Voldemort tidak menyatakan dirinya sebagai Menteri Sihir?” tanya Ron.
Lupin tertawa.
”Dia tidak perlu melakukannya Ron. Karena memang dialah Menteri Sihir, tapi mengapa
harus berada di belakang meja Kementrian? Bonekanya, Thicknesse, yang akan
melakukan semua kegiatan Menteri. Sementara dia dapat mengembangkan pengaruhnya
dalam Kementrian.
“Sebenarnya, banyak orang yang sudah menyimpulkan apa yang telah terjadi. Sudah
terjadi perubahan yang dramatis di Kementrian pada beberapa hari terakhir, dan banyak
yang berbisik bahwa Voldemort pastilah berada di baliknya. Bagaimanapun, itu
kesimpulannya: Mereka saling berbisik. Mereka tidak percaya satu sama lain, tidak tahu
siapa yang harus dipercaya; mereka takut untuk berbicara, bila kesimpulan mereka benar,
keluarga mereka akan menjadi target Voldemort. Ya, Ya, Voldemort memainkan
kartunya dengan baik. Menyatakan diri sebagai Menteri malah akan memicu
pemberontakan. Jadi dia tetap di belakang topengnya, menciptakan keragu-raguan,
ketidapastian, dan rasa takut”
“Dan perubahan dramatis dalam Kementrian,” kata Harry, “membuat dunia sihir
melawanku daripada Voldemort?”
“Itu salah satunya,” kata Lupin, “dan ini adalah tujuan utamanya. Sejak kematian
Dumbledore, kau, Anak-yang-Bertahan-Hidup, adalah simbol dan harapan untuk
melawan Voldemort. Tapi membuat anggapan bahwa kau ada sangkut pautnya dengan
kematian sang pahlawan, Voldemort tidak hanya meletakkan sekantung emas di atas
kepalamu, tapi juga memberi rasa takut bagi siapa pun yang membantumu.”
“Sementara itu, Kementrian sudah mulai melakukan tindakan pada penyihir kelahiran
Muggle.”
Lupin menunjuk Daily Prophet.
“Lihat halaman dua.”
Hermione membalik halaman Daily Prophet dengan ekspresi yang sama saat ia
memegang buku Secrets of The Dark Arts.
“Registrasi penyihir kelahiran Muggle!” Hermione membacanya dengan suara keras,
“’Kementrian Sihir sedang melakukan survey ‘Penyihir Kelahiran Muggle’ untuk
mengetahui lebih lanjut bagaimana mereka memiliki kemampuan sihir.”
“Riset yang dilakukan Departemen Misteri baru-baru ini menyatakan bahwa sihir hanya
bisa diberikan dari satu orang ke orang lainnya ketika penyihir dilahirkan. Karena tidak
terbukti tidak memiliki keturunan penyihir, kelahiran Muggle diduga dapat memiliki
kemampuan sihir dengan mencurinya.”
“Kementrian membuat ketetapan untuk mengambil kembali kemampuan sihir mereka,
dan sudah mengirimkan undangan kepada setiap penyihir kelahiran Muggle untuk
datang menghadiri wawancara dengan Komisi Registrasi Kelahiran Muggle yang baru.”
“Orang-orang tidak akan membiarkan ini terjadi,” kata Ron.
“Ini sedang terjadi Ron,” kata Lupin. “Penyihir kelahiran Muggle sedang dikumpulkan
saat ini.”
“Tetapi bagaimana mereka bisa berpikiran tentang ’mencuri’ kemampuan sihir?” kata
Ron. “Jika kau bisa mencuri sihir, maka tidak akan ada Squib, kan?”
“Aku tahu,” kata Lupin. “Namun, jika kau tidak dapat membuktikan bahwa kau memiliki
setidaknya satu hubungan dengan penyihir, sekarang kau dianggap memiliki kekuatan
sihir secara ilegal dan harus menerima hukumannya.”
Ron memandang Hermione, lalu berkata, “Bagaimana jika penyihir berdarah-murni dan
berdarah campuran bersumpah bahwa penyihir keturunan Muggle adalah bagian dari
keluarga mereka? Aku akan bercerita kepada semua orang bahwa Hermione adalah
sepupuku - ”
Hermione merangkul tangan Ron dan meremasnya.
“Terima kasih Ron, tetapi aku tidak akan membiarkanmu - ”
“Kau tidak akan punya pilihan,” tegas Ron, memegang tangan Hermione. “Aku akan
menceritakan silsilah keluargaku padamu sehingga kau bisa menjawab pertanyaan
tentang mereka.”
Hermione tertawa.
“Ron, saat ini kita sedang bersama dengan Harry Potter, orang yang paling dicari di
negara ini, aku rasa itu tidak masalah. Jika aku kembali ke sekolah, itu akan berbeda. Apa
rencana Voldemort pada Hogwarts?” tanya Hermione ke Lupin.
“Setiap siswa dan siswi diwajibkan untuk hadir,” jawab Lupin. “Baru diumumkan
kemarin. Sebuah perubahan, karena sebelumnya hal itu bukanlah sebuah kewajiban.
Tentu, hampir setiap penyihir di Inggris bersekolah di Hogwarts, tapi orang tua mereka
juga punya hak untuk memilih apakah mereka ingin mengajar anak mereka sendiri di
rumah atau mengirim mereka ke luar negeri. Dengan cara ini, Voldemort dapat
menguasai seluruh populasi dunia sihir melalui anak mereka. Dan juga cara lain untuk
menyiangi para kelahiran Muggle, karena para siswa diberi Status Darah – sebagai bukti
pada Kementrian bahwa mereka keturunan penyihir – sebelum mereka diizinkan untuk
bersekolah.”
Harry merasa muak dan marah. Saat ini mungkin saja ada seorang anak berusia sebelas
tahun, dengan penuh semangat menata setumpuk buku-buku mantera baru, tanpa
menyadari bahwa ia tidak akan pernah melihat Hogwarts, atau tidak akan pernah melihat
keluarganya lagi.
“Ini… ini…” gumam Harry, berusaha mencari kata yang sepadan dengan rasa marah
yang ada dalam dirinya, tapi Lupin mengatakan, “Aku tahu.”
Lupin terlihat ragu.
“Aku mengerti kalau kau tidak akan menjelaskannya Harry, tapi sepertinya para anggota
Orde mengira bahwa Dumbledore memberimu sebuah misi.”
“Memang,” jawab Harry, “Ron dan Hermione terlibat dan mereka ikut denganku.”
“Bisakah kamu menceritakan padaku misi apa itu?”
Harry menatap wajah tirus itu, dengan rambut tebal berwarna abu-abu, dan berharap ia
bisa mengatakan jawaban yang berbeda.
“Maaf, aku tak bisa, Remus. Jika Dumbledore tidak menceritakannya kepadamu, kupikir
aku juga tak bisa.”
“Aku berpikir kau akan mengatakan hal itu,” kata Lupin, terlihat kecewa. “Tetapi
mungkin aku masih berguna untukmu. Kau tahu siapa aku dan apa yang dapat aku
lakukan. Aku bisa ikut dengan kalian untuk melindungi kalian. Tidak perlu menceritakan
padaku apa yang kalian lakukan.”
Harry terlihat ragu. Itu adalah penawaran yang sangat menggoda, walau pun entah
bagaimana caranya untuk menjaga rahasia misi mereka bila Lupin bersama mereka
sepanjang waktu.
Hermione terkejut.
“Tetapi bagaimana dengan Tonks?” tanya Hermione.
“Memang ada apa dengannya?” jawab Lupin.
“Yah,” kata Hermione memasang muka masam, “kau sudah menikah! Bagaimana
perasaannya bila kau ikut dengan kami?”
“Tonks akan baik-baik saja,” kata Lupin, “Ia akan tinggal di rumah orangtuanya.”
Ada yang aneh dari nada bicara Lupin, nada bicaranya dingin. Juga ada salah dengan
gagasan bahwa Tonks akan aman bersembunyi di rumah orang tuanya, karena Tonks
adalah anggota Orde, dan setahu Harry, Tonks adalah orang yang tidak bisa diam dan
selalu ingin ikut beraksi.
“Remus,” kata Hermione, “apakah semuanya baik-baik saja... kau tahu… antara dirimu
dan - ”
“Semuanya baik-baik saja, terima kasih,” kata Lupin cepat.
Wajah Hermione memerah. Mereka semua diam, lalu dengan nada aneh dan sedikit malu,
Lupin berkata, seakan ia mengatakan sesuatu yang tidak menyenangkan, “Tonks akan
memiliki seorang bayi.”
“Oh bagus sekali!” seru Hermione.
“Luar biasa!” kata Ron gembira.
“Selamat,” kata Harry.
Lupin tersenyum, tapi senyumnya terkesan dibuat-buat, yang membuatnya terlihat seperti
menyeringai, lalu berkata, “Jadi… apakah kalian setuju dengan penawaranku? Akankah
tiga menjadi empat? Aku tidak yakin Dumbledore akan menolaknya, ia memberikanku
jabatan sebagai guru Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam kalian. Dan aku harus
menceritakan padamu bahwa aku percaya kita akan menghadapi sihir-sihir yang tidak
pernah kita bayangkan.”
Hermione dan Ron menatap Harry.
“Hanya – hanya untuk memperjelas,” kata Harry, “Kau ingin meninggalkan Tonks di
rumah orang tuanya dan ikut dengan kami?”
“Ia akan baik-baik saja disana, mereka akan menjaganya,” kata Lupin. Ia bicara dengan
nada yang berbeda, “Harry, aku yakin James menginginkanku untuk ikut denganmu.”
“Yah,” kata Harry pelan. “Tapi menurutku tidak begitu. Aku yakin ayahku ingin tahu
mengapa kau tidak bersama anakmu sendiri.”
Wajah Lupin memucat. Suhu di dapur seakan-akan turun sepuluh derajat. Ron
memandang ruangan itu seakan ingin mengingat semua kejadian yang terjadi. Sementara
mata Hermione bergerak cepat antara Harry dan Lupin.
“Kau tidak mengerti,” kata Lupin.
“Jelaskan, kalau begitu,” kata Harry.
Lupin menelan ludah.
“Aku – aku membuat kesalahan yang parah dengan menikahi Tonks. Aku kira aku telah
melakukan hal yang benar tapi ternyata malah menjadi hal yang paling kusesali.”
“Oh, aku tahu,” kata Harry, “jadi sekarang kau mencampakkan ia dan anaknya dengan
lari bersama kami?”
Lupin tersentak berdiri, kursinya bergerak ke belakang, dan ia menatap tajam pada Harry.
Dan untuk pertama kalinya Harry melihat bayangan serigala pada wajah manusia.
“Apakah kau tidak mengerti apa yang sudah kulakukan pada istriku dan anakku yang
belum lahir? Aku seharusnya tidak menikahinya, aku membuatnya menjadi sampah
masyarakat.”
Lupin menendang kursi itu.
“Kau hanya mengenalku sebagai anggota Orde dan dalam perlindungan Dumbledore di
Hogwarts! Kau tidak pernah tahu bagaimana dunia sihir melihat makhluk sepertiku! Saat
mereka tahu penderitaanku, mereka bahkan tidak mau bicara denganku! Tidakkah kau
tahu apa yang telah kuperbuat? Bahkan keluarganya jijik dengan pernikahan kami. Orang
tua mana yang ingin anak mereka menikah dengan manusia serigala? Dan anakku –
anakku…”
Lupin mencengkram rambutnya sendiri; ia kelihatan sedikit kacau.
“Makhluk sepertiku tidak seharusnya kawin! Anakku akan menjadi seperti aku, aku yakin
– bagaimana aku bisa memaafkan diriku sendiri, saat aku tahu aku akan menurunkan
keadaanku pada anak yang tidak bersalah? Dan bila ia, dengan sebuah keajaiban, tidak
seperti aku, dan akan lebih baik, beratus-ratus kali lebih baik, tanpa ayah yang akan
membuatnya malu”
“Remus!” bisik Hermione, matanya berkaca-kaca. “Jangan berkata seperti itu itu –
bagaimana bisa seorang anak akan malu memiliki ayah sepertimu?”
“Oh, entahlah, Hermione,” kata Harry. “Aku akan malu padanya.”
Harry tidak tahu darimana kemarahan itu datang, tetapi itu mendorongnya untuk berdiri
juga. Lupin terlihat seakan Harry baru saja memukulnya.
“Jika pemerintahan yang baru menganggap kelahiran Muggle sudah cukup buruk,” kata
Harry, “apa kata mereka dengan seorang anak setengah manusia serigala dan orang tua
mereka adalah anggota Orde? Ayahku meninggal karena melindungi ibuku dan aku, dan
kau kira dia akan berharap kau akan meninggalkan anakmu untuk pergi bersama kami?”
“Berani-beraninya kau!” kata Lupin. “Ini bukan tentang keinginan akan – akan bahaya
atau kemuliaan – beraninya kau menyarankan seperti – ”
“Aku rasa kau memang suka menantang bahaya,” kata Harry, “ Kau ingin tahu
bagaimana rasanya berada dalam sepatu Sirius…”
“Harry, jangan!” Hermione memohon padanya, tetapi Harry tetap memandang marah
pada wajah Lupin yang pucat pasi.
“Aku tidak pernah percaya ini,” kata Harry. “Orang yang mengajarkanku cara melawan
Dementor – ternyata seorang pengecut.”
Lupin menarik tongkatnya begitu cepat bahkan sebelum Harry sempat menyentuh
tongkatnya. Terdengar suara ledakan keras dan Harry merasakan dirinya terpelanting
mundur dan menghantam dinding dapur dan meluncur turun ke lantai. Harry masih
sempat melihat sekilas ujung jubah Lupin melambai menghilang ke arah pintu.
“Remus, Remus, kembali!” Hermione menangis, tetapi Lupin tidak menggubrisnya.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara pintu dibanting.
“Harry!” ratap Hermione. “Bisa-bisanya kau -”
“Itu mudah,” kata Harry. Ia berdiri dan dapat merasakan memar yang muncul di kepala
yang menghantam dinding. Harry masih bergetar penuh rasa marah.
“Jangan menatapku seperti itu!” bentak Harry ke Hermione.
“Jangan mulai dengannya!” geram Ron.
“Tidak – tidak – kita tidak harus bertengkar!” kata Hermione, berdiri di antara mereka.
“Kau seharusnya tidak mengatakan hal itu pada Lupin,” kata Ron kepada Harry.
“Ia pantas mendapatkannya,” kata Harry. Bayangan bermunculan dalam benak Harry.
Sirius jatuh menembus selubung. Dumbledore melayang jatuh. Kilatan cahaya hijau, dan
suara ibunya, memohon belas kasihan…
“Orang tua,” kata Harry, “seharusnya tidak meninggalkan anak mereka bahkan – bahkan
saat mereka harus meninggalkannya.”
“Harry, – ” kata Hermione, menghibur Harry, tetapi Harry menghindari Hermione dan
pergi, mata Harry menatap api yang Hermione buat. Harry baru sekali berbicara pada
Lupin dari perapian itu, saat mencari keterangan mengenai James, dan Lupin
menghiburnya. Sekarang Lupin tersiksa, wajah pucatnya masih teringat jelas. Tiba-tiba
Harry merasa muak dan menyesal. Ron dan Hermione tidak berani berbicara. Tapi Harry
yakin mereka saling pandang di belakangnya, berkomunikasi dalam diam. Harry berbalik
dan menangkap mereka berbalik dengan cepat satu sama lain.
“Aku tahu seharusnya aku tidak menyebutnya pengecut.”
“Tidak, seharusnya tidak,” kata Ron.
“Tetapi ia memang seperti itu.”
“Sama saja…” kata Hermione.
“Aku tahu,” kata Harry. “Tetapi jika hal itu membuatnya kembali pada Tonks, ia akan
menghargainya, kan?”
Harry tidak dapat tahan untuk beralasan. Hermione tampak bersimpati sedangkan Ron
tidak yakin. Harry menatapi kakinya berpikir tentang ayahnya. Apakah James akan
mendukung Harry atas apa yang ia katakan pada Lupin? Atau ia akan marah saat tahu
bagaimana anaknya memperlakukan teman lamanya?
Keheningan dalam dapur mendengungkan keterkejutan akan apa yang baru saja terjadi
dan ditambah dengan celaan Ron dan Hermione dalam diam. Daily Prophet yang Lupin
bawa masih tergeletak di atas meja, Harry menatap halaman pertama koran itu. Ia
berjalan mendekat dan duduk, membuka-buka lembar-lembar halaman, berpura-pura
membaca. Ia tidak dapat mengerti kata-kata yang tertulis di sana, pikirannya penuh
dengan Lupin. Harry yakin Ron dan Hermione sudah menyelesaikan komunikasi dalam
diam mereka. Harry membalik halaman koran dengan suara yang keras, dan nama
Dumbledore tertangkap oleh matanya. Butuh beberapa saat sebelum Harry menyadari
foto yang terpampang, yang merupakan foto sebuah keluarga. Di bawah foto tertulis:
Keluarga Dumbledore: dari kiri ke kanan, Albus, Percival, menggendong bayi Ariana,
Kendra, dan Aberforth.
Harry tertarik, lalu menatap foto itu dengan seksama. Ayah Dumbledore, Percival, adalah
pria tampan yang matanya bersinar bahkan di foto tua itu. Bayi itu, Ariana, hanya sedikit
lebih panjang dari sepotong roti dan tidak terlihat begitu jelas. Sang ibu, Kendra,
memiliki rambut hitam yang diikat dalam gulungan sanggul tinggi, dengan wajah yang
cantik. Dalam gaun sutra berkerah tinggi, Harry bisa melihat seorang penduduk asli
Amerika dengan mata gelap, tulang pipi yang tinggi, dan hidung yang lurus. Albus dan
Aberforth menggunakan jaket berkerah yang serupa dan memiliki potongan rambut
sebahu yang serupa pula. Albus terlihat beberapa tahun lebih tua, tapi tetap saja kedua
bocah itu terlihat serupa, dan ini sebelum hidung Albus patah dan sebelum ia
mengenakan kacamata.
Keluarga itu tampak bahagia dan normal, tersenyum dalam koran. Tangan Ariana
menggapai-gapai keluar dari gendongannya. Harry melihat bagian atas foto dan tertulis
sebuah tajuk:
BIOGRAFI ALBUS DUMBLEDORE
Oleh: Rita Skeeter
Memikirkannya saja hanya akan membuat perasaan Harry menjadi semakin buruk. Harry
melanjutkan membaca.
Bangga dan angkuh, tidak lagi dapat Kendra Dumbledore lakukan setelah berita
penangkapan dan penahanan suaminya, Percival, ke Azkaban. Dia tidak lagi bisa tinggal
di Mould-on-the-Wold dan akhirnya memindahkan keluarganya ke Godric Hollow,
sebuah desa yang nantinya terkenal sebagai tempat di mana Harry Potter berhasil lolos
secara misterius dari Kau-Tahu-Siapa.
Seperti Mould-on-the-Wold, Godric Hollow merupakan rumah bagi beberapa keluarga
penyihir, tapi karena tidak ada yang mengenal Kendra, ia beranggapan tidak ada yang
tahu tentang kejahatan yang suaminya lakukan di desa sebelumnya. Dengan menolak
semua kunjungan dari tetangga baru mereka yang ramah, ia yakin bahwa keluarganya
akan hidup aman.
”Dia membanting pintu tepat di depan mukaku saat aku ingin menyambutnya dengan
memberinya semangkuk kue ketel,” kata Bathilda Bagshot. ”Tahun pertama mereka di
sini aku hanya melihat dua bocah itu. Aku tidak tahu kalau mereka memiliki seorang
putri kalau aku tidak sedang memetik Plangentine di malam hari di musim dingin
pertama kedatangan mereka, dan aku melihat Kendra menuntun Ariana ke halaman
belakang. Menuntunnya berjalan memutari kebun, memeganginya dengan erat, lalu
kembali ke dalam. Aku tidak tahu mengapa mereka bertingkah seperti itu.”
Mungkin menurut Kendra, kepindahannya ke Godric Hollow adalah kesempatan yang
baik untuk menyembunyikan Ariana, yang mungkin sudah ia rencanakan sejak lama.
Waktunya pun sangat tepat. Ariana hampir berusia tujuh tahun saat ia menghilang, dan
tujuh merupakan usia yang penting. Karena beberapa ahli menyatakan bahwa seorang
penyihir akan menunjukkan kemampuan sihirnya di usia ini, bila memang ada. Tidak
seorang pun yang hidup dapat mengingat apakah Ariana pernah menunjukkan
kemampuan sihir sekecil apa pun. Dan jelas Kendra telah mengambil keputusan untuk
menyembunyikan keberadaan putrinya daripada harus malu karena telah melahirkan
seorang Squib. Menjauh dari teman dan tetangga yang mengenal Ariana akan
membuatnya lebih mudah untuk menyembunyikan Ariana. Sedikit orang yang mengetahui
keberadaan Ariana pun menjaga rahasia mereka, termasuk kedua saudaranya yang
selalu menjawab pertanyaan tentang adik mereka dengan jawaban yang sudah diajarkan
oleh ibu mereka,”‘Saudariku terlalu rapuh untuk bisa pergi ke sekolah.”
Minggu depan: Albus Dumbledore selama di Hogwarts – Penghargaan dan Kepurapuraan.
Harry salah, apa yang ia baca malah membuat perasaannya semakin kacau. Ia kembali
melihat foto sebuah keluarga bahagia. Benarkah? Bagaimana ia tahu? Harry ingin pergi
ke Godric Hollow walaupun Bathilda tidak dapat berbicara padanya. Ia ingin pergi ke
tempat dimana ia dan Dumbledore kehilangan orang terkasih mereka. Harry sedang
menurunkan koran untuk menanyakan pendapat Ron dan Hermione, tapi suara crack
yang memekakkan telinga bergema di seluruh dapur.
Untuk pertama kali dalam tiga hari, Harry telah melupakan Kreacher. Ia pikir Lupin telah
kembali dan tidak memerhatikan seseorang yang berusaha melepaskan diri yang muncul
tiba-tiba di sebelah kanan kursinya. Orang itu segera berdiri saat Kreacher melepaskan
pegangannya dan membungkuk rendah pada Harry dan berkata, ”Kreacher telah kembali
dengan Mundungus Fletcher si pencuri, Tuan.”
Mundungus beringsut dan menarik tongkatnya, tapi Hermione lebih cepat.
”Expelliarmus!”
Tongkat Mundungus terpelanting ke udara dan Hermione menangkapnya. Dengan rasa
bingung, Mundungus berlari ke arah tangga tapi Ron meringkusnya, dan Mundungus
terjatuh diiringi suara sesuatu yang patah.
”Apa?” teriak Mundungus, berusaha melepaskan diri dari pegangan Ron. ”Aku kenapa?
Ngirim peri rumah ke aku, apa maumu, aku salah apa, lepasin, lepasin, atau…”
”Kau tidak berada dalam posisi yang bagus untuk mengancam, Mundungus,” kata Harry.
Ia melempar korannya, menyebrangi dapur dalam beberapa langkah dan berlutut di
sebelah Mundungus yang berhenti memberontak dan tampak ketakutan. Ron berdiri dan
melihat Harry mengacungkan tongkatnya tepat di depan hidung Mundungus. Mundungus
berbau busuk seperti asap tembakau yang basi dan basah, rambutnya kusam, dan
jubahnya penuh noda.
”Kreacher meminta maaf atas lamanya waktu membawa si pencuri, Tuan,” kata si peri
rumah. ”Fletcher tahu bagaimana menghindari penangkapan, punya banyak tempat
bersembunyi dan kaki tangan. Tapi Kreacher akhirnya berhasil mendapatkannya.”
”Kau telah melakukannya dengan baik, Kreacher,” kata Harry dan si peri rumah
membungkuk rendah.
”Kami punya beberapa pertanyaan untukmu,” kata Harry pada Mundungus yang
langsung berteriak, ”Aku panik, oke? Aku enggak pernah mau ikutan, enggak bermaksud
menyinggung, sobat, tapi aku enggak mau mati muda buat kamu. Dan Kau-Tahu-Siapa
langsung terbang ke aku, kalian semua pasti kabur, aku kan sudah bilang aku enggak mau
ikutan…”
”Agar kau tahu, kami semua tidak ber-Dissaparate,” kata Hermione.
”Yah, kalian kan emang pahlawan. Tapi aku enggak pernah mau pura-pura siap buat
bunuh diri…”
”Kami tidak tertarik mengapa kau kabur dari Mad-Eye,” kata Harry, yang sekarang
mengarahkan tongkatnya ke mata berkantung Mundungus yang merah. ”Kami sudah tahu
bahwa kau hanya sampah yang tidak dapat diandalkan.”
”Kalau gitu, kenapa aku dikejar sama peri rumah? Atau masalah piala itu lagi? Sudah
enggak ada, sudah habis, atau kau…”
“Juga bukan masalah piala, walau kau hampir mendekati masalahnya” kata Harry.
”Sekarang diam dan dengarkan.”
Rasanya menyenangkan saat harus melakukan sesuatu, menemukan orang yang bisa
memberi sedikit kebenaran. Tongkat Harry kini begitu dekat dengan hidung Mundungus
yang menjadi sedikit juling agar tetap bisa melihat ujung tongkat Harry.
”Saat kau membersihkan rumah ini dari benda-benda berharga,” kata Harry memulai, tapi
Mundungus memotongnya lagi.
”Sirius enggak peduli sama sampah…”
Terdengar derap langkah dan terlihat kilatan tembaga, lalu terdengar suara logam dan
jeritan kesakitan. Kreacher telah berlari ke arah Mundungus dan memukul kepalanya
dengan panci.
”Ber’enti, ber’enti, dia harus diikat!” teriak Mundungus ketakutan saat Kreacher
mengangkat panci yang berat itu lagi.
”Kreacher, jangan!” teriak Harry.
Tangan kecil Kreacher gemetar karena berat panci masih terangkat tinggi.
”Mungkin sekali lagi, Tuan Harry, untuk keberuntungan?”
Ron tertawa.
“Kami membutuhkannya dalam keadaan sadar, Kreacher, tapi bila dibutuhkan sedikit
paksaan, kau dapat kehormatan untuk melakukannya,” kata Harry.
”Terima kasih banyak, Tuan,” kata Kreacher sambil membungkuk. Lalu ia mundur
beberapa langkah. Mata besarnya tetap menatap Mundungus jijik.
“Saat kau membongkar rumah ini dan mengambil barang-barang berharga,” Harry
memulai lagi, “kau mengambil setumpuk barang dari lemari dapur. Salah satunya adalah
sebuah liontin.” Mulut Harry tiba-tiba kering dan ia bisa merasakan ketegangan Ron dan
Hermione. “Apa yang kau lakukan dengan liontin itu?”
”Kenapa?” tanya Mundungus. “Emangnya penting?”
“Kau masih menyimpannya!” teriak Hermione.
”Tidak,” kata Ron. ”Dia hanya ingin meminta uang lebih untuk liontin itu.”
”Uang lebih?” kata Mundungus. ”pasti susah… aku kasih gratis, tahu! Enggak ada pili’an
lain.”
”Apa maksudmu?”
”Aku lagi jualan di Diagon Alley, terus dia datang dan tanya apa aku punya izin jualan
artifak sihir. Wanita sialan. Dia suka sama liontin itu. Dia bilang mau ngelepasin aku
kalau aku ngasih liontin itu dan aku kira aku lagi beruntung.”
”Siapa wanita ini?” tanya Harry.
”Enggak tau, nenek sihir dari Kementrian kaya’nya.”
Mundungus mencoba mengingatnya, alisnya bertaut.
”Wanita pendek, pake pita di kepala.”
Mundungus terdiam lalu menambahkan, ”Kaya’ kodok.”
Harry menjatuhkan tongkatnya dan mengenai hidung Mundungus yang menembakkan
bunga api merah, mengenai alis Mundungus dan mulai menyala.
”Aguamenti!” teriak Hermione, dan air memancar keluar dari ujung tongkatnya,
menyemprot dan membuat Mundungus tersedak.
Harry menatap Ron dan Hermione yang sama terkejutnya. Bekas luka di punggung
tangan kanannya terasa gatal.
____________
*Thanks Myu untuk koreksinya.
Chapter 12
Magic is Might
Sihir adalah Kekuatan*
Di bulan Agustus, petak rumput yang tidak terawat di depan Grimmauld Place mulai layu
di bawah sinar matahari hingga menjadi rapuh dan kecokelatan. Penghuni rumah nomor
dua belas tidak pernah dilihat oleh siapapun di rumah-rumah sekitarnya, tidak juga nomor
dua belas itu sendiri. Muggle yang tinggal di Grimmauld Place sendiri sudah lama
terbiasa dengan kesalahan penomoran memalukan yang menyebabkan rumah nomor
sebelas bersebelahan dengan rumah nomor tiga belas.
Deretan rumah itu telah menarik beberapa pengunjung karena keanehan yang ada.
Bahkan selama beberapa hari para pengunjung itu datang ke Grimmauld Place tanpa
alasan lain, atau kelihatannya begitu, selain bersandar ke susuran tangga yang berhadapan
dengan rumah nomor sebelas dan tiga belas, mengamati dinding penghubung antara
kedua rumah itu. Para pengintai itu berganti tiap dua hari, meskipun mereka semua
berbagi ketidaksenangan pada pakaian normal. Orang-orang London yang melewati
mereka mengira mereka hanya suka berpakaian aneh dan hanya melihat sekilas, walau
pun ada juga yang menatap mereka lekat-lekat, penasaran mengapa ada orang yang mau
memakai jubah di suhu sepanas ini.
Para pengamat itu terlihat tidak begitu puas dengan penjagaan mereka. Awalnya mereka
memulai dengan penuh semangat, seakan-akan mereka telah melihat sesuatu yang
menarik pada akhirnya, hanya untuk mundur dengan wajah kecewa.
Pada satu September, datang lebih banyak orang lagi yang memata-matai deretan rumah
itu. Setengah lusin pria dengan jubah panjang berdiri dalam diam dan waspada,
memandangi rumah nomor sebelas dan tiga belas, tapi sepertinya yang mereka tunggu
tidak juga muncul. Ketika malam tiba membawa hujan deras dan hawa dingin yang tidak
terduga untuk pertama kalinya dalam berminggu-minggu, muncullah momen yang tak
dapat dijelaskan ketika mereka nampaknya telah melihat sesuatu yang menarik. Seorang
pria dengan wajah kebingungan menunjuk dan temannya, seorang pria gemuk dan pucat,
mulai maju, namun beberapa saat kemudian mereka kembali ke posisi semula, diam,
terlihat frustasi dan kecewa.
Sementara itu, di dalam rumah nomor dua belas, Harry baru saja masuk ke aula. Ia
hampir saja kehilangan keseimbangan saat ber-Apparate di anak tangga teratas, tepat di
depan pintu, dan berpikir bahwa salah seorang Pelahap Maut mungkin melihat sekilas
saat sikutnya terlihat. Harry menutup pintu dengan hati-hati, lalu membuka Jubah Gaibnya,
dan bergegas melintasi lorong yang suram yang menuju ke ruang bawah tanah,
sebuah gulungan Daily Prophet curian ada di genggaman tangannya.
Bisikan rendah “Severus Snape” yang biasa menyambutnya, sapuan angin dingin
menerpanya, dan untuk sesaat lidahnya menggulung.
“Aku tidak membunuhmu,” kata Harry begitu lidahnya tidak lagi terikat, lalu menahan
nafas sejenak saat sosok debu itu meletup. Ia menunggu hingga ia setengah jalan
menuruni tangga yang menuju dapur, di luar jangkauan telinga Mrs. Black, menepis
kabut debu yang tersisa, sebelum berkata, “Aku dapat berita, dan kalian tidak akan suka.”
Dapur hampir tidak dapat dikenali lagi. Setiap senti kini berkilau; panci dan wajan
tembaga berkilau kemerahan; meja kayu tampak mengkilap; gelas piala dan piring yang
sudah disiapkan untuk makan malam memantulkan cahaya dari perapian yang di
dalamnya terdapat kuali yang mendidih. Bagaimanapun, tak ada sesuatu di ruangan itu
yang berbeda lebih dramatis daripada seorang peri rumah yang kini datang terburu-buru
pada Harry, memakai handuk putih bersih, rambut telinganya pun sebersih dan sehalus
kapas, liontin Regulus menggantung di dadanya yang kurus.
“Tolong lepaskan sepatu Anda, Master Harry, dan cucilah tangan sebelum makan
malam,” kata Kreacher sambil menerima Jubah Gaib Harry dan menggantungnya di kait
yang ada di dinding, di sebelah sejumlah jubah tua yang baru saja dicuci.
“Apa yang terjadi?” tanya Ron cemas. Ia dan Hermione sedang membaca sekumpulan
peta dan catatan tulisan tangan yang terkumpul di ujung meja dapur yang panjang, tapi
sekarang mereka menatap Harry selagi ia melangkah ke arah mereka dan menjatuhkan
koran di atas tumpukan perkamen.
Sebuah foto dengan wajah pria berhidung bengkok, berambut hitam, menatap pada
mereka semua, di bawah tajuk yang berbunyi:
SEVERUS SNAPE DIANGKAT SEBAGAI KEPALA SEKOLAH HOGWARTS.
“Tidak!” jerit Ron dan Hermione.
Hermione lebih cepat, ia merenggut koran itu dan mulai membaca cerita yang mengiringi
dengan nyaring.
“Severus Snape, yang telah lama bekerja sebagai guru Ramuan di Sekolah Sihir
Hogwarts, hari ini ditunjuk sebagai Kepala Sekolah dan menjabat sebagai staf tertinggi di
sekolah itu. Dengan adanya pengunduran diri guru Telaah Muggle sebelumnya, Alecto
Carrow akan mengisi posisi tersebut. Dan saudaranya, Amycus, mengisi posisi guru
Pertahanan Ilmu Hitam.“
“’Aku menerima kesempatan untuk menegakkan tradisi dan adat para penyihir – ‘ Seperti
melakukan pembunuhan dan memotong telinga orang, kukira! Snape, kepala sekolah!
Snape di ruang kerja Dumbledore – demi celana Merlin!” pekik Hermione, membuat
Harry dan Ron melompat. Ia berdiri dan bergegas keluar ruangan, sambil berteriak, “Aku
akan kembali sebentar lagi!”
“’Demi celana Merlin?’” ulang Ron yang terpesona. “Dia pasti kecewa.” Ia menarik
koran ke hadapannya dan membaca dengan teliti artikel tentang Snape.
“Guru-guru lain tidak akan tinggal diam, McGonagall, Flitwick, dan Sprout tahu kejadian
sebenarnya, mereka tahu bagaimana Dumbledore meninggal. Mereka tidak akan
menerima Snape menjadi sebagai sekolah. Dan siapa para Carrows ini?”
“Pelahap Maut,” jawab Harry. “Ada foto mereka di dalam. Mereka juga ada di puncak
menara saat Snape membunuh Dumbledore, jadi seperti reuni. Dan,” lanjut Harry dengan
sengit sambil menarik sebuah kursi, “sepertinya guru-guru lain tak punya pilihan lain
selain tinggal dan bertahan. Kalau Kementrian dan Voldemort mendukung Snape, pilihan
mereka hanya tinggal dan mengajar, atau menghabiskan beberapa tahun di Azkaban –
dan itu pun kalau mereka beruntung. Aku rasa mereka akan tetap tinggal dan berusaha
untuk melindungi para siswa.”
Kreacher datang terburu-buru ke meja dengan sebuah mangkuk besar di tangannya, lalu
menyendokkan sup ke dalam mangkuk saji sambil bersiul.
“Terima kasih, Kreacher,” kata Harry sambil membalik koran agar tidak perlu melihat
wajah Snape. “Yah, setidaknya kita tahu dengan pasti di mana Snape berada sekarang.”
Harry mulai menyendokkan sup ke dalam mulutnya. Kualitas masakan Kreacher
meningkat dramatis sejak ia diberi liontin Regulus. Bahkan bawang gorengnya terasa
enak.
“Masih banyak Pelahap Maut yang mengawasi rumah ini,” kata Harry sambil
melanjutkan makannya, “lebih banyak dari biasanya. Sepertinya mereka mengharapkan
kita berbaris dengan membawa koper sekolah kita dan menuju Hogwarts Express.”
Ron melirik jamnya.
“Aku telah memikirkannya seharian. Sudah enam jam lalu kereta itu berangkat. Aneh
rasanya, kita tidak di kereta saat ini.”
Harry seakan dapat melihat mesin uap berwarna merah bergerak di antara bukit dan
pertanian, bergerak seperti ulat berwarna merah. Ia yakin saat ini Ginny, Neville, dan
Luna duduk dalam satu kompartemen, mungkin sedang menduga-duga di mana ia, Ron,
dan Hermione berada, atau sedang berdebat apa cara terbaik untuk meruntuhkan rezim
Snape.
“Mereka hampir melihatku kembali tadi,” kata Harry. “Aku mendarat begitu buruk di
anak tangga teratas, dan Jubahku tersingkap.”
“Aku selalu melakukannya. Oh, itu dia,” tambah Ron membenahi posisi duduknya agar
bisa melihat Hermione yang memasuki dapur. “Dan demi celana kolor Merlin, apa itu?”
“Kebetulan aku ingat ini,” kata Hermione terengah-engah.
Ia membawa sebuah lukisan berbingkai besar, yang kini diletakkannya di lantai sebelum
mengambil tas manik kecilnya dari laci dapur. Hermione membuka tasnya dan memaksa
lukisan itu masuk, dan terlepas dari fakta bahwa benda itu jelas terlalu besar untuk bisa
masuk ke dalam tas sekecil itu, dalam beberapa detik ia menghilang, seakan begitu
mudahnya, ke kedalaman tas yang tak terduga.
“Phineas Nigellus,” Hermione menerangkan setelah ia meletakkan tas di atas meja diiring
suara dentaman yang cukup keras.
“Maaf?” kata Ron, tapi Harry mengerti. Lukisan diri Phineas Nigellus Black dapat
berpindah antara potretnya di Grimmauld Place dan satunya yang tergantung di ruang
kepala sekolah di Hogwarts: ruangan bundar di puncak menara di mana Snape tanpa
diragukan lagi sedang berada sekarang, dalam kemenangannya atas koleksi Dumbledore,
barang-barang perak magis, Pensieve, Topi Seleksi, dan, kecuali benda itu sudah
dipindahkan, pedang Godric Gryffindor.
“Snape bisa saja mengirim Phineas Nigellus untuk melihat keadaan rumah ini untuknya,”
Hermione menjelaskan pada Ron setelah ia duduk kembali. “Tapi coba saja, yang bisa
Phineas Nigellus lihat sekarang hanyalah isi tasku.”
“Pemikiran bagus!” kata Ron, tampak terkesan.
“Terima kasih,” Hermione tersenyum dan mulai memakan supnya. “Jadi, Harry, apa lagi
yang terjadi hari ini?”
“Tidak ada,” kata Harry. “Tujuh jam aku berdiri mengintai pintu masuk Kementrian,
tidak ada tanda-tanda dari wanita itu. Tapi tadi aku melihat ayahmu, Ron. Dia kelihatan
baik-baik saja.”
Ron mengangguk, memperlihatkan apresiasinya atas berita itu. Mereka setuju bahwa
terlalu berbahaya untuk berkomunikasi dengan Mr Weasley selama ia keluar masuk
Kementrian, karena ia selalu dikelilingi oleh pekerja-pekerja Kementrian lain. Tapi tetap
saja melegakan untuk melihatnya, walau ia selalu tampak tegang dan gelisah.
“Dad bilang kebanyakan pegawai Kementrian menggunakan Jaringan Floo untuk datang
bekerja,” kata Ron. “Itu sebabnya kita tidak pernah melihat Umbridge, dia tidak pernah
lewat pintu masuk, dia pikir dirinya terlalu penting.”
“Dan bagaimana dengan penyihir tua aneh dan penyihir kecil yang mengenakan jubah
biru laut itu?” tanya Hermione.
“Oh ya, orang dari Pemeliharaan Sihir,” jawab Ron.
“Bagaimana kau tahu kalau ia bekerja untuk Pemeliharaan Sihir?” tanya Hermione,
sendoknya tetap terangkat.
“Dad bilang semua orang dari Pemeliharaan Sihir memakai jubah biru laut.”
“Kau tidak pernah bilang pada kami!”
Hermione menjatuhkan sendoknya, lalu menarik berkas catatan dan peta yang sedang ia
dan Ron periksa saat Harry baru memasuki dapur.
“Tidak ada satu pun catatan tentang jubah biru laut di sini, tidak ada!” kata Hermione
sambil membolak-balik halaman demi halaman dengan tergesa-gesa.
“Well, memangnya penting?”
“Ron, semuanya penting! Kalau kita ingin masuk ke Kementrian dan tidak ingin
menyerahkan diri di saat mereka selalu berjaga-jaga kalau ada penyusup, setiap detil
kecil menjadi penting! Sudah kukatakan berkali-kali, maksudku, tidak ada gunanya kita
mengintai terus-terusan kalau – “
“Blimey, Hermione, aku melupakan satu hal kecil – “
“Kau menyadarinya, kan, bahwa tidak ada tempat yang lebih berbahaya di seluruh dunia
untuk kita saat ini daripada Kementrian... “
“Kita bergerak besok,” kata Harry.
Hermione terdiam, rahangnya membuka dengan kaku. Ron tersedak supnya.
“Besok?” ulang Hermione. “Kau tidak serius, kan, Harry?”
“Aku serius,” kata Harry. “Tidak ada bedanya persiapan kita saat ini atau setelah kita
mengintai Kementrian sampai bulan depan. Semakin lama kita menunda, bisa jadi liontin
itu semakin jauh. Ada kemungkinan Umbridge membuangnya. Karena ia tidak bisa
membuka liontin itu.”
“Kecuali,” kata Ron, “dia telah menemukan satu cara untuk membukanya dan dia sedang
di bawah pengaruh liontin itu.”
“Tidak ada bedanya, dari awal dia memang sudah jahat,” ujar Harry seraya mengangkat
bahu.
Hermione menggigiti bibirnya, sibuk berpikir.
“Kita tahu semuanya penting,” lanjut Harry pada Hermione. “Kita tahu mereka tidak lagi
ber-Apparate keluar masuk Kementrian. Sekarang kita tahu hanya pegawai senior yang
bisa menyambungkan Jaringan Floo ke rumah mereka, karena Ron mendengar dua orang
Unspeakable itu mengeluh tentangnya. Dan kurang lebih kita tahu di mana kantor
Umbridge, karena apa yang kalian pernah dengar seorang pria berjanggut berkata pada
temannya –
“’Aku harus ke tingkat satu, Dolores ingin menemuiku,’“ kata Hermione tiba-tiba.
“Tepat,” kata Harry. “Dan kita tahu kita masuk menggunakan koin aneh, tanda, atau
apalah namanya itu, karena aku melihat penyihir itu meminjam satu dari temannya –“
“Tapi kita tidak punya satupun!”
“Kalau rencana kita berjalan lancar, kita akan punya,” lanjut Harry dengan tenang.
“Entahlah, Harry, entah… Mungkin saja terjadi kesalahan, kita terlalu bergantung pada
keberuntungan…”
“Sama saja walau kita menghabiskan tiga bulan lagi untuk bersiap-siap,” kata Harry. “Ini
saatnya untuk bergerak.”
Dari wajah Ron dan Hermione, Harry tahu kalau mereka ketakutan. Ia sendiri tidak
percaya diri, namun ia yakin bahwa memang sudah waktunya untuk menjalankan rencana
mereka.
Mereka sudah menghabiskan empat minggu bergantian bersembunyi di bawah Jubah
Gaib dan memata-matai pintu masuk utama Kementrian yang sudah diketahui Ron,
terima kasih pada Mr Weasley, sejak kecil. Mereka mengekor pegawai Kementrian,
menguping obrolan mereka, dan mempelajari di mana mereka muncul di satu tempat di
satu waktu yang sama. Terkadang mereka bisa mengambil Daily Prophet dari tas salah
satu pegawai. Perlahan, mereka bisa menggambarkan sebuah peta dan catatan penting
yang sekarang tergeletak di depan Hermione.
“Baiklah,” kata Ron perlahan, “kalau kita memang pergi besok… aku rasa lebih baik
hanya aku dan Harry yang pergi.”
“Oh, jangan mulai lagi!” desah Hermione. “Kukira kita sudah selesai membahasnya.”
“Kita tidak hanya akan melewati pintu masuk di bawah Jubah, ini berbeda, Hermione.”
Ron menunjuk-nunjuk ke atas Daily Prophet sepuluh hari lalu. “Kau ada dalam daftar
kelahiran Muggle yang tidak hadir untuk wawancara!”
“Dan kau seharusnya sedang sekarat karena spattergroit di the Burrow! Kalau ada orang
yang seharusnya tidak pergi, orang itu adalah Harry. Dia punya harga sepuluh ribu
Galleon di kepalanya –”
“Baik, aku akan tinggal di sini,” kata Harry. “Jangan lupa beritahu aku kalau kalian sudah
berhasil mengalahkan Voldemort, oke?”
Saat Ron dan Hermione tertawa, bekas luka di dahi Harry terasa sakit. Tangannya
spontan memegangnya, tapi Harry melihat Hermione memerhatikan dan Harry
melanjutkan gerakan tangannya berpura-pura menyapu rambut yang menutupi matanya.
“Kalau kita bertiga pergi, kita harus ber-Disapparate sendiri-sendiri,” kata Ron. “Sudah
tidak cukup lagi bila kita semua ingin bersembunyi di bawah Jubah Gaib.”
Bekas luka Harry semakin terasa sakit. Ia berdiri. Kreacher langsung mendatanginya.
“Master belum menghabiskan supnya, apakah Master lebih suka sup kental yang enak,
atau Master lebih suka tart karamel kesukaan Master?”
“Terima kasih, Kreacher, tapi aku akan kembali sebentar lagi – er – kamar mandi.”
Tahu bahwa Hermione menatap curiga padanya, Harry bergegas menaiki tangga menuju
aula dan kemudian ke lantai satu, di mana ia masuk ke kamar mandi dan mengunci pintu.
Sambil menahan rasa sakitnya, Harry bersandar pada wastafel hitam dengan kran
berbentuk ular yang membuka mulutnya, lalu ia memejamkan mata.
Ia sedang berjalan di jalanan yang temaram. Bangunan di kedua sisi jalan memiliki atap
kayu yang tinggi, dan terlihat seperti rumah kue jahe. Ia menuju salah satunya, lalu
melihat tangannya yang berjari panjang dan pucat mengetuk pintu. Ia merasakan
semangat yang semakin menggebu.
Pintu terbuka: seorang wanita yang sedang tertawa muncul. Raut wajahnya berubah
begitu ia melihat wajah Harry: kesenangan hilang, ketakutan menggantikannya...
“Gregorovitch?” ujar sebuah suara yang tinggi dan dingin.
Wanita itu menggelengkan kepalanya, lalu ia berusaha untuk menutup pintu. Tangan
putih itu menahan pintu, mencegah wanita itu untuk menutupnya.
“Er wohnt hier nicht mehr!” teriak wanita itu sambil menggelengkan kepalanya. “Dia
tidak tinggal di sini! Dia tidak tinggal di sini! Aku tak tahu dia!”
Menyerah untuk berusaha menutup pintu, wanita itu mundur ke ruang tengah yang gelap.
Harry mengikutinya, mendekati wanita itu, dan tangannya yang berjari panjang menarik
sebuah tongkat.
“Di mana dia?”
“Das weiß ich nicht! Dia pindah! Aku tak tahu, aku tak tahu!”
Tangan putih itu mengacungkan tongkatnya. Wanita itu berteriak. Dua anak kecil berlari
masuk ke ruang tengah. Wanita itu berusaha untuk melindungi mereka dengan
tangannya. Lalu terlihat kilatan cahaya berwarna hijau.
“Harry! HARRY!”
Harry membuka matanya; ia telah terbaring di lantai. Hermione sedang menggedor-gedor
pintu.
“Harry, buka!”
Ia pasti berteriak-teriak tadi, Harry tahu itu. Ia berdiri dan membuka pintu. Hermione
hampir saja terjatuh, dan begitu ia mendapat kembali keseimbangannya, Hermione
menatap curiga. Ron berada tepat di belakangnya, tampak waspada dengan
mengacungkan tongkatnya ke sudut-sudut kamar mandi yang dingin.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Hermione tegas.
“Kau pikir apa yang aku lakukan?” tanya Harry sedikit menantang.
“Kau berteriak-teriak kesetanan!” kata Ron.
“Oh, ya... aku pasti tertidur atau... “”
“Harry, tolong jangan anggap kami bodoh,” kata Hermione sambil menarik nafas dalamdalam.
“Kami tahu kalau bekas lukamu terasa sakit di bawah tadi, dan kau sangat pucat.”
Harry duduk di pinggiran bak mandi.
“Baiklah. Aku baru saja melihat Voldemort membunuh seorang wanita. Mungkin
sekarang ia sedang membunuh seluruh keluarga wanita itu. Padahal ia tidak harus
melakukannya. Seperti Cedric, mereka hanya ada di sana...”
“Harry, kau seharusnya tidak membiarkan hal ini terjadi lagi!” raung Hermione, suaranya
bergema di dalam kamar mandi. “Dumbledore ingin kau menggunakan Occlumency! Dia
memberitahu bahwa koneksi itu berbahaya – Voldemort dapat menyalahgunakannya,
Harry! Apa bagusnya melihat dia membunuh dan menyiksa orang? Bagaimana hal itu
bisa membantu kita?”
“Karena itu artinya aku tahu apa yang sedang dia lakukan,” kata Harry.
“Jadi kau tidak akan berusaha menutup pikiranmu?”
“Hermione, aku tidak bisa. Kau tahu aku payah dengan Occlumency, aku tidak pernah
bisa menguasainya.”
“Kau tidak pernah benar-benar berusaha!” balas Hermione panas. “Aku tidak mengerti,
Harry – apa kau suka dengan koneksi atau hubungan atau apa namanya – terserah
kaulah...”
Hermione tampak bimbang saat Harry kembali berdiri.
“Suka?” kata Harry dingin. “Apa kau akan suka?”
“Aku – tidak – maafkan aku, Harry, aku tidak bermaksud…”
“Aku membencinya, aku benci kenyataan bahwa dia bisa masuk ke dalam pikiranku, dan
aku harus melihat betapa berbahayanya dia. Tapi aku akan menggunakannya.”
“Dumbledore…”
“Lupakan Dumbledore. Ini pilihanku, bukan orang lain. Aku ingin tahu mengapa ia
mengejar Gregorovitch.”
“Siapa?”
“Dia seorang pembuat tongkat dari luar negeri,” kata Harry. “Dia yang membuat tongkat
Krum dan Krum menganggap orang itu brilian.”
“Tapi kau bilang,” kata Ron, “Voldemort sudah menahan Ollivander entah di mana.
Kalau dia sudah mendapatkan seorang pembuat tongkat, mengapa dia harus mencari satu
lagi?”
“Mungkin dia sependapat dengan Krum, mungkin dia pikir Gregorovitch lebih baik…
atau Gregorovitch dapat menjelaskan apa yang tongkatku lakukan saat dia mengejarku,
karena Ollivander tidak tahu.”
Harry menatap ke arah cermin retak yang berdebu. Ia dapat melihat Ron dan Hermione
saling bertukar pandang meragukannya.
“Harry, kau terus-terusan berbicara tentang apa yang tongkatmu lakukan,” kata
Hermione, “Kaulah yang melakukannya! Mengapa kau tidak mau mengakui kekuatanmu
sendiri?”
“Karena aku tahu itu bukan aku! Dan Voldemort juga tahu, Hermione! Kami berdualah
yang tahu apa yang terjadi!”
Mereka saling bertukar pandang. Harry tahu ia tidak bisa meyakinkan Hermione karena
ia terus memberondong Harry dengan argumen melawan teori tentang tongkatnya dan
kenyataan bahwa Harry membiarkan dirinya melihat pikiran Voldemort. Untungnya, Ron
menengahi.
“Cukup,” Ron menasehati Hermione. “Terserah dia. Dan bila kita ingin pergi ke
Kementrian besok, bukankah lebih baik kita merencanakan sesuatu?”
Dengan enggan, seperti yang dapat dilihat oleh dua orang lainnya, Hermione tidak
melanjutkan perdebatan ini, walau Harry yakin kalau ia akan menyerangnya lagi begitu
ada kesempatan. Pada saat bersamaan, mereka kembali ke dapur, di mana Kreacher telah
menyiapkan sup kental dan tart karamel untuk mereka semua.
Mereka tidak tidur hingga larut malam, berjam-jam menyusun rencana hingga semua
memiliki pemahaman yang sama. Harry, yang kini tidur di kamar tidur Sirius, berbaring
di atas tempat tidur dengan cahaya dari ujung lampunya menerangi foto ayahnya, Sirius,
Lupin, dan Pettigrew, serta menggumamkan keseluruhan rencana yang telah disusun
selama sepuluh menit. Saat ia memadamkan tongkatnya, ia berpikir. Bukannya berpikir
tentang Ramuan Polijus, Pastiles Pemuntah, atau jubah biru laut pegawai Pemeliharaan
Sihir; Harry malah memikirkan Gregorovitch dan bisa berapa lama ia bersembunyi
sementara Voldemort sangat menginginkannya.
Rasanya pagi datang terlalu cepat.
“Kau kelihatan kacau,” sambut Ron begitu ia masuk ke kamar untuk membangunkan
Harry.
“Tidak untuk waktu lama,” kata Harry sambil menguap.
Mereka menemui Hermione di dapur. Kreacher sedang menyiapkan kopi dan roti panas
untuk Hermione. Ia terlihat sibuk dan serius, dan Harry menganggap bahwa ia sedang
melakukan persiapan ujian akhir.
“Jubah,” kata Hermione pelan, dilanjutkan dengan anggukan tegang, lalu melanjutkan
memasukkan barang-barang ke dalam tasnya, “Ramuan Polijus… Jubah Gaib… Peledak
Pengalih Perhatian… kalian juga harus membawanya untuk berjaga-jaga nanti… Pastilles
Muntah, Gula-Gula Mimisan, Telinga Terjulur…”
Mereka menghabiskan sarapan mereka dan bersiap berangkat. Kreacher membungkuk
pada mereka dan menjanjikan pai daging saat mereka kembali.
“Terberkatilah dia,” kata Ron tulus, “dan dulu aku sering membayangkan bagaimana aku
akan memenggal kepalanya dan menjadikannya pajangan dinding.”
Perlahan mereka keluar dan berdiri di depan pintu penuh waspada. Mereka dapat melihat
beberapa Pelahap Maut yang bermata menonjol sedang mengawasi rumah dari seberang
halaman yang berkabut.
Hermione ber-Dissaparate dengan Ron dulu, baru kembali untuk menjemput Harry.
Setelah kegelapan sesaat dan sedikit tercekik, Harry menemukan dirinya berada di sebuah
gang kecil di mana rencana awal mereka dijalankan. Tempat itu kosong, hanya ada dua
tempat sampah besar. Biasanya para pegawai Kementrian datang di atas jam delapan.
“Baiklah,” kata Hermione sambil melihat jam tangannya. “Wanita itu seharusnya datang
lima menit lagi. Saat aku membuatnya pingsan…”
“Hermione, kami sudah tahu,” potong Ron tajam. “Dan bukannya kita akan membuka
pintu itu sebelum wanita itu datang?”
Hermione terpekik.
“Aku hampir lupa! Mundur.”
Hermione mengarahkan tongkatnya ke pintu berat yang digambari grafiti api dan
tergembok di samping mereka, yang kemudian terbuka diiringi suara bantingan. Koridor
gelap di dalamnya mengarah, menurut pengamatan mereka, ke sebuah gedung teater
kosong. Lalu Hermione menutup pintu.
“Sekarang,” kata Hermione seraya berbalik pada Harry dan Ron, “kita pakai Jubah lagi
dan…”
“… menunggu,” kata Ron menyelesaikan sambil melemparkan Jubah Gaib ke atas kepala
Hermione seperti menyelimuti sebuah sangkar burung dan memutar matanya pada Harry.
Beberapa menit kemudian, terdengar suara pop kecil dan seorang pegawai wanita
Kementrian yang kecil dengan rambut kelabu ringan ber-Apparate di depan mereka,
wanita itu berkedip menyesuaikan diri dengan cahaya matahari yang baru keluar dari
awan. Wanita itu bahkan tidak sempat merasakan hangatnya matahari, karena Mantra
Pemingsan non-verbal Hermione mengenai dadanya dan ia tumbang.
“Kerja bagus, Hermione,” kata Ron, yang muncul di belakang tempat sampah di samping
pintu teater saat Harry melepas Jubah Gaib. Mereka mengangkat wanita kecil itu ke
dalam koridor gelap yang mengarah ke belakang panggung. Hermione mengambil
beberapa helai rambut wanita itu dan menambahkannya ke botol yang berisi Ramuan
Polijus yang baru saja ia keluarkan dari tas manik. Ron menggeledah tas wanita kecil itu.
“Dia Mafalda Hopkirk,” kata Ron sambil membaca sebuah kartu identitas kecil milik
korban mereka yang bekerja di Kantor Penggunaan Sihir Yang Tidak Perlu. “Kau
sebaiknya membawanya Hermione, dan ini koinnya.”
Ron memberi Hermione beberapa koin emas kecil dengan tulisan M.O.M. yang baru saja
Ron ambil dari tas wanita itu.
Hermione meminum Ramuan Polijus yang sekarang berwarna seperti bunga heliotrope,
lalu beberapa detik kemudian berdirilah tiruan Mafalda Hopkirk. Saat Hermione
mengambil kacamata Mafalda dan memakainya, Harry sedang melihat jamnya.
“Kita bergerak lambat, tuan Pemeliharaan Sihir akan datang beberapa detik lagi.”
Mereka bergegas menutup pintu, Ron dan Harry memakai Jubah Gaib, sementara
Hermione tetap berdiri dan menunggu. Beberapa detik kemudian terdengat suara pop
lain, dan di depan mereka muncul seorang pria kecil yang tampak seperti musang**.
“Oh, hallo, Mafalda,”
“Hallo!” kata Hermione, suaranya gemetar. “Apa kabar?”
“Tidak begitu baik, sebenarnya,” jawab pria kecil itu. Ia terlihat putus asa.
Saat Hermione dan pria itu berjalan ke jalan besar, Harry dan Ron mengikuti mereka.
“Aku turut sedih mendengarnya,” kata Hermione saat pria itu akan menceritakan
masalahnya. Sangat penting untuk mencegahnya mencapai jalanan. “Ini, makanlah
permen.”
“Eh? Oh, tidak, terima kasih.”
“Aku memaksa,” kata Hermione dengan agresif sambil menyorongkan sekantung permen
ke wajah pria itu. Merasa tersudut, pria itu mengambil satu.
Efeknya terjadi begitu cepat. Sesaat setelah pastiles menyentuh lidahnya, pria itu
langsung muntah-muntah, sampai-sampai ia tidak sadar bahwa Hermione telah mencabut
beberapa helai rambutnya.
“Ya ampun!” kata Hermione saat pria itu memenuhi gang dengan muntahannya.
“Mungkin kau sebaiknya mengambil cuti!”
“Tidak – tidak!” pria itu tersedak dan muntah lagi. Ia berusaha untuk berjalan tapi tidak
bisa. “Aku harus – hari ini – harus pergi…”
“Tapi itu konyol!” kata Hermione gusar. “Kau tidak bisa bekerja dengan keadaan seperti
ini – kurasa lebih baik kau ke St Mungo agar bisa disembuhkan.”
Pria itu terjatuh, tapi tetap merangkak, berusaha keluar ke jalan.
“Kau tidak bisa pergi bekerja kalau begini!” teriak Hermione.
Akhirnya pria itu menerima pernyataan Hermione. Dibantu Hermione, pria itu kembali
mencoba berdiri mencari tempat lalu menghilang, tidak meninggalkan apapun selain
tasnya yang diambil Ron, dan genangan muntah.
“Urgh,” kata Hermione sambil mengangkat ujung jubahnya menghindari muntahan itu.
“Tidak akan berantakan seperti ini kalau kita membuatnya pingsan.”
“Ya,” kata Ron yang muncul dari bawah Jubah sambil memegangi tas pria tadi, “tapi
kupikir setumpuk orang tidak sadar akan lebih menarik perhatian. Dia giat sekali bekerja,
ya? Berikan rambut dan Ramuannya.”
Dalam dua menit, Ron sudah berdiri sebagai seorang pria kecil berwajah seperti musang
dan menggunakan jubah biru laut yang terlipat dalam tas pria itu.
“Aneh, mengapa dia tidak pakai seragam, padahal tadi dia sangat ingin pergi kerja, kan?
Aku Reg Cattermole, menurut label di belakang jubah ini.”
“Sekarang tunggu di sini,” kata Hermione pada Harry yang masih di bawah Jubah Gaib,
“dan kami akan membawakan rambut untukmu.”
Harry menunggu sepuluh menit, tapi rasanya lebih lama dari itu, berdiri sendirian di
dalam gang yang penuh muntahan, di sebelah pintu yang menyembunyikan Mafalda yang
pingsan. Akhirnya, Ron dan Hermione muncul.
“Kami tidak tahu siapa dia,” kata Hermione, memberikan beberapa helai rambut keriting
hitam, “tapi dia harus pulang karena mimisan parah! Ini, orang itu cukup tinggi, kau akan
butuh jubah yang lebih besar.”
Hermione mengeluarkan jubah tua yang baru dicuci Kreacher. Harry mengganti jubahnya
dan meminum Ramuannya.
Setelah transformasi yang menyakitkan, tinggi Harry mencapai dua meter, lengannya
berotot, dan berjanggut. Setelah menyimpan Jubah Gaib dan kacamata dalam jubahnya
yang baru, ia bergabung bersama Ron dan Hermione.
“Blimey, itu menakutkan,” kata Ron, menatap Harry yang kini jauh lebih tinggi dari pada
dirinya.
“Ambil satu koin Mafalda,” kata Hermione pada Harry, “ayo, sudah hampir jam
sembilan.”
Mereka keluar dari gang itu bersama-sama, setelah berjalan lima ratus meter di jalanan
yang ramai, terdapat dua baris pegangan berwarna hitam yang mengapit dua tangga, satu
bertuliskan PRIA dan satu lagi WANITA.
“Sampai jumpa,” kata Hermione gugup. Ia menuruni tangga mengikuti pegangan untuk
WANITA. Harry dan Ron bergabung dengan segerombolan pria berpakaian aneh yang
ternyata mereka mengarah ke toilet umum bawah tanah, yang diberi keramik hitam putih.
“Pagi, Reg!” kata seorang pria dengan jubah biru laut, lalu ia masuk ke dalam salah satu
[color = orange]petak[/color] dengan memasukkan koin emas ke dalam lubang di pintu.
“Bikin susah, ya? Memaksa kita berangkat kerja seperti ini! Mereka pikir siapa yang akan
datang, Harry Potter?”
Pria itu menertawakan leluconnya sendiri. Ron tertawa terpaksa.
“Ya,” kata Ron. “Bodoh sekali, ya?”
Ron dan Harry masuk ke petak masing-masing.
Lalu Harry mendengar suara siraman. Harry membungkuk, menoleh ke kanan dan
mengintip dari celah di bawah petak, ia melihat sepasang kaki naik ke atas toilet. Ia
menoleh ke kiri dan melihat Ron sedang berkedip padanya.
“Apa kita harus menyiram diri kita sendiri?” bisik Ron.
“Sepertinya,” balas Harry dalam suara bisikan yang berat dan dalam.
Mereka berdua berdiri. Merasa begitu bodoh, Harry naik ke atas toilet.
Harry tahu seketika kalau ia sudah melakukan hal yang benar, karena walau ia berdiri di
dalam air, sepatu, kaki, dan ujung jubahnya tetap kering. Harry meraih rantai,
menariknya, dan beberapa saat kemudian ia merosot turun dan muncul di salah satu
perapian Kementrian Sihir.
Harry begitu canggung dengan tubuhnya, ia tidak terbiasa mengendalikan tubuh sebesar
itu. Atrium Kementrian terlihat lebih gelap daripada yang Harry ingat. Sebelumnya, di
tengah atrium terdapat air mancur emas, memancarkan cahaya berkilauan di atas lantai
dan dinding kayu yang mengkilap. Sekarang, sebuah patung hitam besar dari batu
menggantikannya. Patung itu cukup menakutkan, merupakan pahatan seorang penyihir
pria dan wanita yang duduk di atas singgasana yang penuh ukiran, melihat ke bawah, ke
arah pegawai Kementrian yang bermunculan dari perapian. Di dasar patung itu terukir
tulisan sebesar setengah meter dengan ucapan: SIHIR ADALAH KEKUATAN.
Harry merasa ada dorongan dari belakang, seorang pria baru saja muncul di perapian
yang sama.
“Minggir, tak dapatkah kau – oh, maaf, Runcorn!”
Ketakutan, pria botak itu bergegas pergi. Rupanya orang yang sedang Harry tirukan,
Runcorn, adalah orang yang suka mengintimidasi.
“Psst!” terdengar suara dan Harry melihat seorang wanita berambut ikal dan pria seperti
musang dari Pemeliharaan Sihir memanggilnya dari sebelah patung. Harry segera
mendekati mereka.
“Kau bisa masuk dengan lancar, kan?” bisik Hermione pada Harry.
“Tidak, dia tersangkut di rawa-rawa itu tadi,” kata Ron.
“Oh, lucu sekali… mengerikan, ya?” kata Hermione pada Harry yang sedang
memandangi patung. “Kau tahu mereka duduk di atas apa?”
Harry memerhatikan ukiran patung itu dan yang ia kira hanya ukiran singgasana ternyata
pahatan tumpukan manusia. Beratus-ratus manusia telanjang, pria, wanita, dan anakanak.
Semua dalam wajah jelek, sedikit bodoh, dan kebingungan. Mereka terhimpit
menjadi satu, menahan berat penyihir berjubah yang tampan.
“Muggle,” bisik Hermione. “Dalam posisi yang tepat. Ayo, pergi.”
Mereka bertiga mengikuti arus para penyihir yang berjalan menuju gerbang emas di
ujung atrium, dan diam-diam mencari sosok Dolores Umbrige yang tidak juga mereka
temukan. Mereka melewati gerbang, masuk ke dalam aula yang lebih kecil di mana
terdapat barisan-barisan di depan dua puluh lift dengan pintu teralis emas. Mereka ikut
mengantri, lalu terdengar suara memanggil, “Cattermole!”
Ketiganya menoleh. Perut Harry terasa jungkir balik. Seorang Pelahap Maut yang telah
menyaksikan kematian Dumbledore sedang berjalan ke arah mereka. Pegawai
Kementrian di sekitar mereka langsung terdiam, mata mereka menunjukkan rasa putus
asa, Harry dapat merasakan ketakutan menjalari mereka. Pria itu terlihat marah dan
sedikit kejam, terlihat begitu aneh dalam jubah hitamnya yang penuh dengan sulaman
benang emas. Seseorang dalam kerumunan memanggil, “Pagi, Yaxley!” tapi Yaxley
tidak peduli.
“Aku meminta seseorang dari Pemeliharaan Sihir untuk membetulkan kantorku,
Cattermole. Kantorku kehujanan.”
Ron diam saja berharap kalau yang dimaksud bukan dirinya, tapi tidak seorang pun
menyahut.
“Hujan… di kantormu? Itu – itu tidak baik, kan?”
Ron tertawa gugup. Mata Yaxley melebar.
“Kau pikir itu lucu, Cattermole?”
Beberapa orang keluar dari barisan dan bergegas pergi.
“Tidak,” kata Ron, “Tentu saja tidak.”
“Kau tahu, kan, kalau aku akan turun untuk menginterogasi istrimu, Cattermole? Aku
malah terkejut tidak melihatmu sedang menggenggam tangan istrimu saat ia menunggu di
bawah sana. Sudah menganggapnya sebagai pilihan yang salah? Cukup bijaksana.
Pastikan kau menikahi seorang darah murni lain waktu.”
Hermione mendesah ketakutan. Yaxley menatapnya. Hermione terbatuk pelan dan
menoleh ke arah lain.
“Aku – aku,” kata Ron tergagap.
“Kalau istriku disangka seorang Darah Lumpur,” kata Yaxley, “– wanita sampah seperti
itu tidak akan pernah aku nikahi – dan Kepala Departemen Pelaksanaan Hukum Sihir
harus bekerja, dan pekerjaanku sangat penting, Cattermole. Kau mengerti?”
“Ya,” bisik Ron.
“Kalau begitu bekerjalah, Cattermole. Dan bila kantorku belum kering dalam satu jam,
Status Darah istrimu akan jauh lebih buruk daripada sekarang.”
Teralis emas di belakang mereka terbuka. Dengan anggukan dan senyum kaku pada
Harry, yang diharapkan senang dengan perlakuan terhadap Cattermole, Yaxley masuk ke
lift. Harry, Ron, dan Hermione masuk ke lift lain dan tidak ada yang masuk bersama
mereka, seakan mereka menular. Teralis itu tertutup dan mulai bergerak naik.
“Apa yang harus kulakukan?” tanya Ron seketika pada Harry dan Hermione. Ia terlihat
tegang. “Kalau aku tidak datang, istriku... maksudku, istri Cattermole…”
“Kami akan ikut denganmu, kita harus tetap bersama,” kata Harry, tapi Ron
menggelengkan kepalanya dengan keras.
“Tidak mungkin, kita tidak punya cukup waktu. Kalian berdua pergi ke kantor Umbridge,
aku akan membetulkan kantor Yaxley – tapi bagaimana aku menghentikan hujan?”
“Coba Finite Incantatem,” kata Hermione, “akan berhasil kalau disebabkan oleh kutukan.
Kalau tidak, berarti ada yang salah dengan Mantera Atmosfernya. Dan itu akan susah
untuk diperbaiki, jadi untuk sementara lebih baik gunakan Impervius untuk menjaga
barang-barangnya tetap kering.”
“Ulangi lagi, tapi pelan-pelan,” kata Ron yang putus asa, sambil mencoba mencari pena
bulu di kantungnya, tapi lift tiba-tiba berhenti. Terdengar suara wanita, “Lantai Empat,
Departemen Regulasi dan Kontrol Makhluk Gaib, termasuk Divisi Hewan, Makhluk, dan
Hantu, Kantor Hubungan Goblin, dan Biro Pengendali Hama,” dan teralis pun terbuka
lagi. Seorang pria masuk dan pesawat kertas ungu beterbangan masuk berputar di sekitar
lampu lift.
“Pagi, Albert,” kata seorang pria berkumis yang tersenyum pada Harry. Harry melirik ke
arah Ron dan Hermione saat lift bergerak naik. Ia melihat Hermione sedang membisikkan
instruksi pada Ron. Pria tadi mendekati Harry, meliriknya, dan berbisik, “Dirk Cresswell,
kan? Dari Kantor Hubungan Goblin? Bagus sekali, Albert. Aku yakin aku akan
mendapatkan pekerjaannya sekarang!”
Pria itu mengedip. Harry tersenyum, berharap agar hal ini segera berakhir. Lift berhenti
dan teralis membuka kembali.
“Lantai Dua, Departemen Pelaksanaan Hukum Sihir, termasuk Kantor Penggunaan Sihir
Yang Tidak Perlu, Markas Auror, dan Dinas Administrasi Wizengamot.”
Harry melihat Hermione mendorong Ron dan ia bergegas keluar lift, diikuti oleh pria
tadi, meninggalkan Harry dan Hermione berdua. Saat teralis tertutup, Hermione langsung
berkata, “Lebih baik aku ikut Ron, Harry. Aku tidak yakin Ron bisa melakukannya, dan
bila dia ketahuan…”
“Lantai Satu, Kementrian Sihir dan Staf Pendukung.”
Teralis emas terbuka lagi dan Hermione terdiam.
Empat orang berdiri di depan mereka. Dua di antaranya sedang sibuk berbicara. Seorang
pria berambut panjang dalam jubah hitam dan emas. Dan seorang wanita seperti kodok
dengan pita merah menghiasi rambut pendeknya, sedang menggamit papan di dadanya.
________________________
Catatan Miyu:
*: Judul aslinya Magic is Might, kan? Kalau iya, berarti seharusnya judul terjemahannya Sihir adalah Kekuatan. Bukan Pentingnya
Sihir. Might itu artinya sama dengan strength atau power.
**: Ferret adalah sejenis musang (bukan rubah!) yang sudah dijinakkan dan biasa dipakai berburu tikus. Masih sekeluarga sama
Weasel juga..
O ya, bab ini di-edit oleh Rhysanne Hess dengan bantuan Oloth Velven..
Tambahan lagi, teks-teks yang berwarna orange itu tidak terlalu meyakinkan bagi kami berdua. Tapi, tetap kami pikir, itulah yang
terbaik.
Chapter 13
The Muggle-Born
Registration Commission
Komisi Pendaftaran Kelahiran Muggle
“Ah, Mafalda!” kata Umbridge, melihat pada Hermione. ”Travers mengirimmu, benar
kan?”
“Y-ya.” cicit Hermione.
“Bagus, yang kau kerjakan sangat bagus.” Umbridge bicara pada penyihir laki-laki dalam
pakaian hitam dan emas. ”Dengan demikian masalah selesai. Pak Menteri, jika Mafalda
dapat menjaga catatannya kita segera siap untuk memulai.” dia memeriksa clipboardnya.
”Sepuluh orang hari ini dan salah satunya istri dari pekerja Kementrian! Tut, tut... bahkan
di sini, di jantung Kementrian!” dia melangkahkan kakinya di samping Hermione, dua
orang penyihir pria yang telah mendengarkan pecakapan antara Umbridge dengan
Menteri. ”Kita akan turun kebawah, Mafalda, kau akan menemukan semua yang kau
perlukan di ruang sidang. Selamat pagi Albert, kau akan keluar?”
“Ya, tentu saja,” kata Harry dengan suara berat Runcorn.
Harry keluar dari lift. Terali emas begemerincing menutup di belakangnya. Menengok
melewati bahunya, Harry melihat Hermione, kekhawatiran terpampang di wajahnya,
seorang penyihir pria tinggi di sampingnya, pengikat rambut beludru Umbridge sejajar
dengan bahunya.
“Apa yang membawamu kesini, Runcorn?” tanya menteri sihir yang baru. Dia tinggi,
berambut gelap dan janggutnya bersinar keperakan, dan di bawah dahinya bayangan
matanya mengilat, yang dalam bayangan Harry seperti kepiting yang keluar dari balik
batu.
“Perlu bicara secepatnya dengan,” Harry ragu-ragu beberapa saat, ”Arthur Weasley.
Seseorang berkata ia berada di tingkat satu.”
“Ah,” kata Plum Thicknesse. ”Apakah ia sudah terbukti punya hubungan dengan pihak
tak diinginkan?”
“Tidak.” kata Harry, tenggorokannya serasa kering. ”Tidak, tidak seperti itu.”
“Ah, well. Itu hanya soal waktu,” kata Thicknesse. ”Jika kau bertanya padaku, darah
pengkhianat sama buruknya dengan darah lumpur. Selamat siang, Runcorn.”
“Selamat siang, Pak Menteri.”
Harry melihat Thicknesse berjalan ke arah koridor berkarpet. Saat Menteri telah hilang
dari pandangan, Harry menarik keluar Jubah Gaib dari dalam kantung jubah hitamnya,
mengenakannya dan mulai ke arah koridor yang berlawanan. Runcorn sangat tinggi
sehingga Harry harus berdiri maju mundur untuk memastikan kaki besarnya telah
tersembunyi.
Kepanikan bergetar pada perut Harry, selama dia melewati pintu demi pintu kayu yang
berkilat, masing-masing mempunyai plat dengan masing-masing nama dan pekerjaan,
kekuatan kementrian, kerumitannya, sulitnya dimasuki, tampaknya berusaha melawannya
sehingga rencana yang telah mereka susun dengan hati hati bersama Ron dan Hermione
selama empat minggu menjadi tampak kekanak-kanakan. Mereka telah memikirkan
segala usaha untuk memasuki Kementrian tanpa terdeteksi: Mereka tidak menyempatkan
diri untuk memikirkan apa yang akan mereka lakukan apabila mereka terpencar.
Hermione sekarang tertahan di proses pengadilan yang tak diragukan lagi memakan
waktu berjam-jam; Ron sedang berjuang melakukan sihir yang Harry yakin diluar
kemampuannya, kebebasan seorang wanita kemungkinan bergantung pada hasilnya, dan
dia, Harry, berkeliling di lantai atas saat dia tahu pasti target pencariannya telah turun di
dalam lift.
Dia berhenti berjalan, bersandar di dinding dan berusaha memutuskan apa yang harus
dilakukan. Keheningan terasa menekannya: Tidak ada kesibukan atau percakapan atau
suara tapakan kaki di koridor berkarpet ungu ini sesepi seakan-akan mantra Muffliato
telah digunakan disekeliling tempat ini
Kantornya pasti disini, Harry mengira-ngira.
Rasanya tidak mungkin Umbridge akan menyimpan perhiasannya di kantor, tapi disisi
lain kelihatan bodoh bila tidak mencari untuk memastikannya. Karena itu dia mulai
menyusuri koridor lagi, tidak melewati seorangpun kecuali seorang penyihir yang
merengut menggumamkan instruksi kepada pena-bulu yang mengapung di depannya,
menulis dengan tergesa-gesa pada selembar perkamen.
Sekarang sambil memperhatikan nama-nama di pintu-pintu, Harry berbelok di sudut.
Setengah jalan ke koridor berikutnya, dia tiba di tempat yang luas, tempat terbuka
dimana selusin penyihir pria maupun wanita duduk pada barisan meja tulis yang tidak
seperti meja sekolah, seakan-akan lebih sering dipoles dan bebas coretan. Harry berhenti
untuk mengamati mereka, efeknya sangat memesonakan. Mereka semua menggoyang
dan memutar tongkat mereka pada saat yang bersamaan, dan berlembar-lembar kertas
warna berbentuk persegi terbang ke masing-masing tujuan seperti layang-layang merah
muda kecil. Setelah beberapa saat Harry sadar bahwa proses tersebut berirama, bahwa
semua kertas mempunyai bentuk pola yang sama dan setelah beberapa saat dia sadar
bahwa ia sedang menonton proses pembuatan pamflet -- kertas persegi yang berhalaman,
yang, ketika sudah disusun, dilipat dan ditempatkan secara sihir, jatuh di tumpukan
disamping masing-masing penyihir pria dan wanita.
Harry merangkak mendekat, melewati para pekerja yang sangat berkonsentrasi pada
pekerjaannya, Harry ragu mereka akan menyadari jejak kaki di karpet berbulu, dan dia
berhasil menyelipkan pamflet lengkap dari tumpukan disebelah penyihir perempuan
muda. Dia membacanya di balik Jubah Gaib-nya. Covernya berwarna merah muda
dengan dihiasi judul berwarna emas.
Darah lumpur
dan bahayanya sikap mereka terhadap ketenangan komunitas darah murni.
Dibawah judul dihiasi dengan gambar mawar merah, dengan wajah bodoh tersenyum
ditengah dedaunan, seakan tercekok oleh rumput liar dengan gigi taring dan pandangan
marah. Tidak ada nama pengarang dalam pamflet, tetapi bekas luka di punggung tangan
kanannya menggelenyar saat dia memeriksa itu. Lalu penyihir perempuan muda
disampingnya menegaskan kecurigaannya dengan berkata, “Apakah semua tahu wanita
tua jelek mengintrogasi darah lumpur sepanjang hari?”
“Hati-hati.” kata penyihir pria disampingnya, melihat sekeliling tegang; salah satu
halamannya tergelincir dan jatuh kelantai.
“Apa dia punya telinga ajaib, seperti mata yang ia punya sekarang?”
Penyihir perempuan mengerling ke arah pintu kayu mahogani yang mengilap, di
sekeliling tempat itu penuh dengan pembuat pamflet: Harry menengok ke arah itu dan
kemarahan timbul dari dalam dirinya seperti ular. Disana terdapat lubang pengintip pada
pintu depan Muggle, besar, disekeliling mata bersinar dengan selaput iris yang biru
ditempatkan ditengah-tengah kayu — mata itu terlihat tak asing bagi orang yang
mengenal Alastor Moody.
Untuk beberapa detik Harry lupa dimana ia berada dan apa yang ia lakukan disana: Ia
bahkan lupa bahwa ia sedang tak terlihat. Ia langsung berjalan ke balik pintu untuk
mempelajari mata itu. Mata itu tidak bergerak, mata itu menatap dengan buta ke arah
atas, membeku. Plat dibawahnya berbunyi:
Dolores Umbridge
Asisten Senior Menteri
Dibawahnya lagi, sebuah plat baru yang bersinar berbunyi:
Kepala Komisi Pendaftaran Kelahiran Muggle
Harry melihat kembali ke arah selusin pembuat pamflet: Seakan-akan mereka
bersungguh-sungguh dengan pekerjaannya, ia dapat memastikan bahwa mereka tidak
sadar jika pintu kantor itu kosong dan terbuka di depan mereka. Oleh karena itu ia
mengambil dari dalam kantongnya benda aneh dengan sedikit kaki berombak, dan tubuh
dari tanduk karet berumbi. Menunduk di bawah jubahnya, ia menaruh detonator
jebakan** di lantai.
Detonator itu langsung berlari cepat melalui kaki-kaki para penyihir di depan Harry.
Beberapa saat kemudian selama Harry menunggu dengan tangan di kenop pintu, lalu
ledakan besar disusul bau tajam menyengat, asap hitam membumbung dari sudut:
Penyihir perempuan muda di depan berteriak. Lembaran merah muda berterbangan
kemana-mana saat ia dan beberapa penyihir wanita melompat, mencari sumber keributan.
Harry memutar kenop pintu, melangkah ke dalam kantor Umbridge dan menutup pintu di
belakangnya.
Ia teringat kembali ke masa lalu, ruangan itu persis seperti kantor Umbridge di Hogwarts:
Gorden berenda, serbet, dan bunga kering. di setiap bagian tertutup bunga. Dindingnya
sama membosankan dengan permukaan piring hiasan yang sama dengan berbagai macam
warna, hiasan berpita pajangan anak kucing yang berlompatan dan cekatan dengan
menjijikan. Mejanya ditutupi dengan kalepak, taplak berbunga. Dibalik mata Mad-Eye,
teleskop pelengkap disiapkan oleh Umbridge untuk memata-matai para pekerja di salah
satu sisi pintu. Harry mengangkat dan melihat melewatinya, melihat mereka masih
berkumpul di sekeliling jebakan peledak. Dia memutar teleskop ke arah luar,
meninggalkan lubang di belakangnya, menarik bola mata ajaib keluar dan menaruhnya di
kantungnya. Lalu ia bebalik ke arah ruangan lagi, mengangkat tangannya dan
bergumam,”Accio kalung.”
Tak ada yang terjadi, tapi ia tak menyangkanya, tidak ada keraguan Umbridge tahu
semua mantra dan sihir perlindungan. Oleh karena itu ia langsung ke balik meja dan
membuka laci-laci, ia melihat pena bulu dan buku catatan dan spellotape: Penjepit kertas
yang memikat dengan ular yang melingkar, seperti dari meja dan akan menggigit
kembali: Kotak kecil penuh renda penuh dengan penjepit rambut beludru dan penjepit,
tapi tidak ada tanda keberadaan kalung.
Disamping meja terdapat lemari arsip: Harry mencari disana, seperti lemari arsip
kepunyaan Filch di Hogwarts, itu sangat penuh dengan folder yang dilabeli dengan nama.
Belum selesai Harry mencari, dibawah laci ia melihat seseatu.yang mengalihkan
perhatianya dari pencarian: File Mr.Weasley.
Ia menariknya dan membukanya.
Arthur Weasley
Status Darah : Darah murni, tetapi dikecualikan karena kecenderungan sebagai
pendukung muggle. Diketahui sebagai anggota Orde Phoenix.
Keluarga : Istri (Darah Murni), tujuh anak, dua yang termuda di Hogwarts. PS: anak
laki-laki termuda, terakhir diketahui berada dirumah, dikatakan sakit serius. Kementrian
telah mengkonfirmasi.
Status perlindungan : DIAWASI. Segala pergerakan akan dipantau. Kemungkinan
besar berhubungan dengan tak diinginkan no. 1 (telah tinggal dengan keluarga weasley
sebelumnya)
“Tidak diharapkan no. 1.” Harry bergumam dalam desahan. Lalu ia menaruh kembali
folder Mr.Weasley dan menutup laci. Ia pikir ia tahu siapa dan cukup yakin, ia
menegakan diri dan memandang berkeliling untuk tempat mencari penyembunyian baru,
ia melihat poster dirinya dengan kata TAK DIINGINKAN NO. 1 menghiasi di bawah
dadanya. Notes kecil merah muda tertempel disana dengan gambar kucing kecil
tertempel di pinggirnya. Harry bergerak mendekat untuk membacanya dan melihat
tulisan Umbridge, “Untuk di hukum.“
Lebih marah dibanding sebelumnya, ia mulai mencari di bawah vas dan keranjang bunga
yang basah, tapi tidak begitu mengagetkan, kalungnya tidak berada disana. Ia meyapukan
pandangan terakhir di kantor itu, dan hatinya melonjak. Dumbledore memandang ke
arahnya dari cermin kecil berbentuk persegi, yang bersandar di lemari buku di samping
meja.
Harry berlari menyebrangi ruangan dan memegangnya, tapi kenyataannya saat itu yang
dia pegang bahkan bukan cermin sama sekali. Dumbledore tersenyum dengan prihatin
dalam cover buku yang bekilau itu. Harry tidak segera menyadari tulisan hijau melingkar
yang tertulis di samping topinya — Kehidupan dan Kebohongan Albus Dumbledore —
dibagian lain lebih kecil tertulis di bawah dadanya: “oleh Rita Skeeter, pengarang
terkenal dari Armando Dippet: Jenius atau Orang Bodoh
Harry membuka buku bertahap dan melihat halaman penuh foto dua anak lelaki remaja,
keduanya tersenyum luar biasa dengan tangan saling tersandar di bahu yang lain.
Dumbledore, dengan rambut panjang sesiku, telah tumbuh sedikit jenggot tipis yang
mebuat salah satu ingatan Harry ke dagu Krum yang sangat membuat Ron kesal. Anak
kecil yang menjerit kegirangan dalam diam disamping Dumbledore kelihatan senang,
dia kelihatan liar. Rambut ikal emasnya jatuh ke bahunya. Harry membayangkan apakah
itu Doge muda, tapi sebelum dia dapat memastikan tulisan di bawah gambar itu, pintu
kantor terbuka.
Jika Thicknesse tidak melihat ke balik bahunya saat dia masuk, Harry tidak akan sempat
memakai Jubah Gaib-nya. Setelah itu, ia mengira Thicknesse mungkin menangkap
sekilas gerakan, karena untuk beberapa saat dia tetap diam memandangi dengan ingin
tahu ketempat dimana Harry baru saja hilang. Mungkin memutuskan bahwa dia baru saja
melihat hidung Dumbledore bergerak di depan buku. Pada Harry yang tergesa-gesa
menempatkan itu di depan dirinya, Thicknesse akhirnya berjalan kearah meja dan
menunjuk tongkatnya pada pena yang berdiri tegak di wadah tinta. Itu terbuka dan mulai
menulis dengan tergesa-gesa menulis catatan untuk Umbridge. Sangat pelan, dengan
napas tertahan. Harry kembali keluar kantor melewati area terbuka.
Pembuat pamflet masih berkelompok mengelilingi perangkap peledak, yang dilanjutkan
dengan teriakan lemah kearah asap. Harry segera mematikan di koridor saat penyihir
perempuan berkata, ”Aku bertaruh pencuri itu disini dari eksperimental, mereka sangat
tidak peduli, ingat saat bebek beracun?”
Cepat-cepat kembali kearah lift, Harry memeriksa pilihan. Kalung itu sepertinya tidak
pernah ada di Kementrian dan tidak ada harapan yang menyenangkan dimana Umbridge
berada walaupun dia sedang duduk dalam ruang sidang yang padat. Prioritas mereka
sekarang adalah meninggalkan Kementrian sebelum mereka ketahuan, dan mencoba lagi
di lain hari. Pikiran utama yang harus di lakukan adalah menemui Ron lalu mereka dapat
bekerja sama mengeluarkan Hermione dari ruang sidang.
Lift sedang kosong saat dia tiba. Harry melompat kedalam dan menarik Jubah Gaib-nya
setelah itu dia mulai turun. Keberuntungan menyelamatkannya, saat itu berderak berhenti
pada tingkat dua, basah kuyup dan mata terbelalak. Ron masuk.
“P-pagi,” dia berbicara gagap kepada Harry saat lift bergerak kembali.
“Ron, ini aku, Harry!”
“Harry! Untunglah, aku lupa seperti apa kau terlihat — kenapa Hermione tidak
bersamamu?”
“Dia pergi kebawah ke ruang sidang dengan Umbridge, dia tidak dapat menolak, dan—“
Tapi sebelum Harry selesai, lift berhenti kembali: Pintu terbuka lagi dan Mr. Weasley
berjalan kedalam, berbicara kepada penyihir perempuan tua berambut pirang kaku dan
sangat tinggi sehingga menyerupai sarang semut.
“...aku benar-benar mengerti apa yang kau katakan, Wakanda, tapi aku takut tidak dapat
bergabung ke—“
Mr. Weasley memutuskan diam; dia telah menyadari Harry. Itu sangat aneh, menyadari
Mr. Weasley memandangnya dengan sangat tidak suka. Pintu lift tertutup dan
keempatnya terdorong ke bawah sekali lagi.
“Oh hello, Reg,” kata Mr. Weasley, melihat sekeliling saat suara tetesan air terus
menerus menetes dari jubah Ron. ”Benarkah istrimu di introgasi hari ini? Er — yang
terjadi padamu? Kenapa kau basah kuyup?”
“Hujan di kantor Yaxley.” Kata Ron. Dia berbicara ke bahu Mr. Weasley, dan Harry
yakin dia takut ayahnya akan mengenalinya jika mereka saling berkontak mata. ”Aku
tidak dapat menghentikannya, jadi mereka mengirimku untuk menemui Bernie —
Pillswort, aku pikir mereka berkata—“
“Ya, banyak kantor yang sering hujan akhir-akhir ini,” kata Mr.Weasley. “Apakah kau
mencoba Meteolojink Recanto? Itu ampuh pada Bletchley.”
“Meteolojink Recanto?” gumam Ron. ”Tidak. Terimakasih, D — maksudku terimakasih,
Arthur.”
Pintu lift terbuka: Penyihir perempuan tua yang rambutnya mirip sarang semut keluar dan
Ron dibelakangnya dan menghilang dari pandangan. Harry bermaksud untuk
mengikutinya, tapi jalannya tertahan oleh Percy Weasley yang berdiri di dalam lift,
hidungnya tertutup dalam koran yang sedang dibacanya.
Tidak sampai pintu lift tertutup, Percy telah menyadari dia berada dalam satu lift yang
sama dengan ayahnya. Dia mengangkat wajahnya, melihat Mr. Weasley, berubah
semerah lobak, dan meninggalkan lift beberapa saat setelah pintu terbuka lagi. Untuk
beberapa saat, Harry mencoba keluar, tapi kali ini ia menyadari dirinya tertahan oleh
lengan Mr. Weasley.
“Sebentar, Runcorn.”
Pintu lift tertutup kembali dan saat mereka turun kembali, Mr.Weasley berkata,
”Kudengar kau memberikan informasi tentang Dirk Cresswell.”
Harry mempunyai kesan bahwa kemarahan Mr. Weasley tidak dikarenakan
pertemuannya dengan Percy. Dia memutuskan kesempatan terbaiknya yaitu berpura pura
bodoh.
“Maaf.” katanya.
“Jangan mengelak, Runcorn.” kata Mr. Weasley dengan sengit. ”Kau mengawasi para
penyihir yang mempunyai silsilah keluarga palsu, benar?”
“Aku — jadi memangnya kenapa jika aku melakukan ini?”
“Jadi, Dirk Cresswell sepuluh kali benar-benar penyihir dibandingkan kau.” kata Mr.
Weasley sungguh-sungguh, saat lift sampai di tingkat terakhir. “Dan jika dia bertahan di
Azkaban, kau harus bertanggung jawab kepadanya, tidak termasuk anak, istrinya, dan
temannya—“
“Arthur,” Harry memotong, “apakah kau tahu bahwa kau diawasi?”
“Itu adalah perlindungan, Runcorn?” kata Mr.Weasley dengan keras.
“Tidak,” kata Harry, “itu kenyataan! Mereka memata-mataimu setiap gerakan—“
Pintu lift terbuka kembali.dan mereka tiba di Atrium. Mr. Weasley memberi Harry
pandangan tajam. Harry berdiri disana, terguncang. Ia harap ia dapat menjadi orang lain
selain Runcorn... pintu lift kembali tertutup.
Harry menarik kembali Jubah Gaib-nya dan memakainya kembali. Ia akan mencoba
membebaskan Hermione sementara Ron menangani hujan di dalam kantor. Saat pintu
terbuka, ia melangkah keluar ke arah jalan dengan obor batu yang benar-benar berbeda
dari panel kayu dan koridor berkarpet sebelumnya. Saat lift berjalan lagi, Harry bergidik
sedikit, melihat di kejauhan pintu hitam dengan tanda ke arah Departemen Misteri.
Ia mulai berjalan, tujuannya tidak pada pintu hitam tapi ke arah pintu satunya yang ia
ingat berada di sisi kiri, yang terbuka ke bawah ke kamar pengadilan. Pikirannya
bergulat dengan segala kemungkinan saat ia turun kebawah: Ia masih punya sepasang
jebakan peledak, tapi mungkin lebih mudah dengan ketukan pelan memasuki ruang
sidang, sebagai Runcorn dan berbicara dengan cepat kepada Mafalda? Tentu saja, ia tidak
tahu apakah Runcorn cukup penting untuk kabur dengan ini, dan bahkan jika dia
mengatur itu ketidak munculan Hermione mungkin akan segera dicari sebelum mereka
selesai di Kementrian...
Seakan-akan menghilang, ia tidak segera sadar perasaan dingin yang tidak biasa yang
merayap maju kearahnya. Jika saja ia tidak turun ke bawah ke arah kabut.itu menjadi
dingin dan semakin dingin setiap ia melangkah: Perasaan dingin sampai pada
tenggorokannya dan mengoyak paru-parunya lalu ia merasakan kehilangan semua
kegembiraan, tanpa harapan, mengisinya, semakin besar di dalam dirinya...
Dementor, dia kira.
Ia berlari ke tangga dan berbelok ke kanan, ia baru saja melihat kilasan yang
menyeraman. Benda hitam di luar ruang sidang, tinggi, sosok hitam berkerudung, muka
mereka benar-benar tersembunyi, mereka bernafas kasar pada tempatnya. Para kelahiran
Muggle yang amat ketakutan dibawa masuk untuk diinterogasi duduk berkerumun dan
gemetar dalam bangku kayu mereka yang keras. Kebanyakan dari mereka
menyembunyikan wajah mereka dalam tangan mereka, mungkin insting untuk mencoba
melindungi diri mereka dari mulut rakus dementor. Beberapa duduk berkumpul dengan
keluarga mereka, yang lain duduk sendirian. Para dementor melayang naik dan turun di
depan mereka, dan udara dingin, dan tanpa harapan dan kehilangan kegembiraan terasa
disekeliling Harry seperti kutukan...
Lawan itu, dia berbicara pada dirinya sendiri, tapi dia tahu dia tidak dapat membuat
Patronus disini tanpa mendadak menunjukan dirinya. Jadi dia bergerak maju, sediam
yang dia bisa, dan setiap dia melangkah dia merasa mati rasa seakan ada sesuatu yang
dicuri dari otaknya, tapi kekuatan dirinya untuk memikirkan Hermione dan Ron, yang
memerlukannya.
Bergerak seakan-akan naik, sosok hitam menakutkan: Wajah tanpa mata tersembunyi
dibawah kerudung saat dia melewatinya, dan dia merasakan mereka, merasakan,
mungkin, kehadiran seseorang yang masih mempunyai harapan, seseorang yang tabah...
Dan lalu, dengan tiba-tiba dan mengagetkan ditengah-tengah keheningan membeku, salah
satu pintu ruang bawah tanah terbuka dan jeritan bergaung disekelilingnya.
“Tidak, tidak, aku darah campuran, aku darah ampuran, aku beritahu kau! Ayahku
seorang penyihir, dia benar-benar, cari dia, Arkie Alderton, dia pembuat sapu terbang
yang sangat hebat, cari dia, aku beri tahu kau — lepaskan tanganmu padaku, jauhkan
tangan mu dari—“
“Ini peringatan terakhirmu.” kata Umbridge dengan suara lembut, yang dibesarkan
dengan sihir sehingga itu terdengar jelas diantara jeritan putus asa. ”Jika kau melawan,
kau akan di jadikan subjek kecupan dementor.”
Teriakan lelaki itu mereda, tapi isak tertahan tetap bergaung melewati koridor.
“Bawa dia pergi,” kata Umbridge.
Dua dementor muncul di pintu keluar ruang sidang, mereka busuk, tangan berkeropeng
menggenggam tinggi lengan si penyihir pria yang akan telah di pingsankan. Mereka
melayang turun melewati koridor dengannya dan kegelapan mengikuti di belakang
mereka menelan mereka dari pandangan.
“Selanjutnya — Mary Cattermole.” panggil Umbridge.
Wanita kecil berdiri; dia gemetar dari kepala hingga kaki. Rambut gelapnya yang licin
tergelung dengan rapi dan dia mengenakan jubah sederhana. Wajahnya benar benar
pucat. Saat dia melewati dementor, Harry melihatnya terguncang.
Dia melakukannya menurut instingnya, tanpa sedikitpun rencana, karena dia benci di
pandangi saat berjalan sendirian memasuki ruang bawah tanah: Saat pintu terayun
menutup, dia menyelinap kedalam ruang sidang dibelakang wanita itu.
Itu ruangan yang berbeda saat dia diinterogasi karena ia tidak dibenarkan menggunakan
sihir. Ruangan ini lebih kecil, melihat langit-langit yang benar-benar tinggi, membuat
claustrophobic* merasa terkurung di dasar.
Lebih banyak dementor disini, menyebarkan aura dingin di sekeliling tempat ini: Mereka
berdiri tanpa muka berjaga disudut dengan jarak yang cukup aman dari ketinggian,
podium yang ditinggikan.disini, dibalik birai, duduk Umbridge, dengan Yaxley di sisinya
dan Hermione, wajahnya seputih wajah Mrs. Cattermole, di sisi lainnya.di kaki podium
bersinar perak, kucing berambut panjang berkeliling naik dan turun, dan Harry sadar
bahwa itu perlindungan penuntut dari perasaan tanpa harapan yang dipancarkan oleh
dementor: hanya terdakwa yang merasakan, tidak untuk pendakwa.
“Duduk.” kata Umbridge dalam suara pelan dan halusnya.
Mrs. Cattermole tersandung pada kursi tunggal di tengah tengah lantai dibawah podium
yang tinggi. Beberapa saat setelah dia duduk, rantai bergemerincing mengikat tangannya
dan melambungkannya di kursi .
“Kau adalah Mary Elizabeth Cattermole?” tanya Umbridge.
Mrs. Cattermole memberi sebuah anggukan
“Menikah dengan Reginald Cattermole dari Departemen Pemeliharaan Sihir?”
Mrs. Cattermole menitikan airmata.
“Aku tidak tahu diamana dia, dia bermaksud menemuiku disini!”
Umbridge mengabaikannya.
“Ibu dari Maisie, Ellie dan Alfred Cattermole?”
Mrs. Cattermole semain terisak dibanding sebelumnya.
“Mereka ketakutan, mereka pikir aku mungkin tidak akan kembali ke rumah—“
“Kecuali bagian dari kita.” Yaxley meludah. ”Anak kecil sombong dari darah lumpur
tidak dapat mendapatkan simpati kita.”
Isakan Mrs. Cattermole membuat langkah Harry tidak terdengar saat dia berjalan
berhati-hati ke arah podium yang tinggi. Sesaat ia melewati tempat dimana Patronus
kucing berpatroli, dia merasakan perbedaan temperatur: Terasa hangat dan nyaman disini.
Patronusnya, dan sangat yakin kenapa Umbridge dan yang lainnya ceria karena mereka
sangat bahagia disini, di bagiannya membenarkan hukum yang membelit yang dia bantu
tulis, ia menepi ke arah podium di samping Umbridge, Yaxley dan Hermione, duduk di
belakangnya. Dia sangat khawatir membuat Hermione
terlonjak. Dia bermaksud melepaskan mantra Muffliato pada Umbridge dan Yaxley,
tetapi bahkan gumaman kata dapat membuat Hermione tahu. Lalu Umbridge
meninggikan suaranya kepada Mrs.Cattermole dan Harry mengambil kesempatan.
“Aku di belakangmu,” dia bergumam di telinga Hermione seperti yang Harry kira, dia
melompat dengan hebat, dia hampir menjatuhkan botol tinta yang dia gunakan untuk
menulis interogasi, tapi Umbridge dan Yaxley masih berkonsentrasi pada Mrs.
Cattermole, dan mereka tidak menyadarinya.
“Tongkat yang di ambil darimu telah tiba di Kementrian hari ini, Mrs. Cattermole.” kata
umbbridge “delapan tiga per empat inchi, kayu cherry, dengan inti rambut unicorn. Kau
mengakui
deskripsinya?”
Mrs. Cattermole mengangguk, mengelap matanya pada lengan baju.
“Dapatkah kau memberi tahu kita dari penyihir mana perempuan atau lelaki kau
mengambil tongkat ini?”
“M-mengambil?” isak Mrs. Cattermole. “Aku tidak m-mengambil itu dari seseorang.
Aku membelinya saat aku berumur sebelas tahun. Tongkat itu — itu — itu memilihku.”
Dia menangis lebih keras dari sebelumnya.
Umbridge tertawa pelan, tawa genit membuat Harry ingin menyerangnya. Dia bersandar
pada palang, agar lebih baik mengobservasi korbannya, dan sesuatu yang keemasan
berayun kedepan, dan terjuntai ke udara kosong : kalungnya.
Hermione melihatnya, dia menjerit kecil, tapi Umbridge dan Yaxley, masih bersungguhsungguh
pada mangsanya, tidak peduli pada apa yang terjadi.
“Tidak,” kata Umbridge, “tidak, aku pikir tidak begitu, Mrs. Cattermole. Tongkat hanya
memilih penyihir perempuan atau lelaki. Kau bukan seorang penyihir. Aku harus
mengetahui pendapatmu tentang pertanyaan ini karena itu kau dikirim ke sini —
Mafalda, lewatkan mereka untukku.”
Umbridge mengulurkan tangannya yang kecil : Dia benar-benar terlihat seperti kodok
untuk beberapa saat yang Harry benar-benar kaget dia tidak punya selaput di antara jarijarinya
yang pendek. Tangan Hermione bergetar kaget. Dia meraba-raba tumpukan
dokumen yang seimbang pada kursi disebelahnya. Akhirnya dia berhasil mengambil
lembaran perkamen dengan nama Mrs. Cattermole di atasnya.
“Itu — itu sangat indah, Dolores,” dia berkata, menunjuk pada perhiasan bersinar yang
tergantung di lipatan blus Umbridge.
“Apa?” bentak Umbridge, mengerling kebawah. ”Oh ya — peninggalan keluarga turun
temurun,” katanya, menepuk kalung yang menempel didadanya yang besar. ”'S' yang
berarti Selwyn... aku mempunyai hubungan dengan para Selwyn... pastinya, ada
beberapa keluarga darah murni yang mana aku tidak berhubungan... sayangnya,” dia
melanjutkan, dalam suara yang lebih pelan, menjentik melewati pertannyaan Mrs.
Cattermole, ”itu tidak bisa disamakan katakanlah untukmu. ‘Profesi orang tua: pedagang
sayur’.”
Yaxley bersorak kegirangan, dibawah kucing perak dengan bulu lembut berpatroli turun
naik, dan para dementor berdiri menunggu disudut.
Kebohongan Umbridge telah membuat darah naik ke otak Harry dan hilang akal karena
— kalung yang dipakainya adalah curian dari pencuri licik yang digunakannya untuk
mendukung argumennya bahwa ia berdarah murni..ia mengangkat tongkatnya, tidak
peduli dirinya tersembunyi di balik Jubah Gaib, dan berkata, ”Stupefy!”
Terdapat kilatan cahaya merah; Umbridge runtuh dan dahinya membentur sisi birai:
Kertas Mrs. Cattermole meluncur dari pangkuannya ke lantai dan, jatuh ke bawah, kucing
perak yang berkeliling menghilang. Udara dingin menghantam mereka seperti angin yang
mendekat: Yaxley, kebingungan, melihat sekeliling mencari sumber kekacauan dan
melihat tangan tanpa tubuh milik Harry dan tongkat itu menunjuk padanya.dia mencoba
menarik tongkatnya, tapi terlambat: ”Stupefy!”
Yaxley jatuh ke bawah dan terbaring melingkar dilantai.
“Harry!”
“Hermione, jika kau pikir aku akan duduk di sini dan berpura pura-”
“Harry, Mrs. Cattermole!”
Harry berbalik, melepas jubah gaib; turun kebawah, dementor telah bergerak dari sudut;
mereka melayang kearah wanita yang terantai di kursi: Apakah karena patronus yang
menghilang atau karena tuannya telah kehilangan kontrol, mereka kelihatan tak
terkendali. Mrs. Cattermole mengeluarkan jerit ketakutan.tangan busuk mencengkram
dagunya dan menunduk pada wajahnya.
“EXPECTO PATRONUM!”
Rusa jantan perak membumbung tinggi dari ujung tongkatnya dan melompat kearah
dementor, yang terjatuh kebelakang dan melebur dalam kegelapan lagi. Cahaya rusa dari
jantan, lebih kuat dan lebih hangat dibanding perlindungan dari si kucing, mengisi
keseluruhan ruang bawah tanah, dan berderap keliling ruangan.
“Ambil horcruxnya!” Harry memberi tau Hermione.
Ia kembali berlari kebawah tangga, menjejalkan Jubah Gaib-nya ke dalam tas dan
mendekati Mrs. Cattermole.
“Kau?” dia berbisik, melihat ke wajahnya. ”Tapi — tapi Reg bilang, kau salah satu yang
mengajukan namaku untuk diinterogasi!”
“Benarkah?” gumam Harry, menyentak rantai yang mengikat tangan Mrs. Cattermole,
”Well, aku telah merubah keputusan. Diffindo!” Tidak ada yang terjadi. ”Hermione,
bagaimana aku dapat memecahkan rantai ini?”
“Tunggu, aku sedang mencoba seseatu di atas sini—“
“Hermione, kita dikelilingi oleh dementor?”
“Aku tahu itu, Harry, tapi jika dia bangun dan kalungnya telah hilang — aku perlu
membuat duplikatnya — Geminio! Ini... itu dapat mengecohnya...”
Hermione berlari menuruni tangga.
“Coba lihat... Relashio!”
Rantainya terbuka dan terjatuh ke samping lengan kursi. Mrs. Cattermole terlihat lebih
ketakutan dibanding sebelumnya.
“Kau pergi dari sini dengan kami,” kata Harry melepaskan kaki wanita itu.
“Pulanglah ke rumah, ambil anak-anakmu dan pergi, pergilah ke negara lain jika kau
bisa. Sembunyikan dirimu dan lari. Kau lihat bagaimana itu, kau tidak ingin mereka
mendengar kejadian ini.”
“Harry,” kata Hermione, ”Bagaimana kita dapat keluar jika dementor di luar pintu?”
“Patronus,” kata Harry menunjuk tongkat.
Rusa jantan berjalan perlahan, tetap bersinar, berjalan ke arah pintu, ”Sebanyak yang
dapat di ciptakan; lakukan Hermione,”
“Expec — expecto patronum,” kata Hermione, tidak ada yang terjadi.
“Itu, satu-satunya mantra yang bermasalah dengannya.” Harry memberi tahu Mrs.
Cattermole yang benar-benar terkejut,” sedikit ketidakberuntungan, sungguh... Ayo
Hermione...”
“Expecto patronum!”
Berang-berang perak keluar dari ujung tongkat Hermione dan berenang dengan anggun di
udara, bergabung dengan rusa jantan.
“Ayo,” kata Harry, dan dia memimpin Hermione dan Mrs. Cattermole ke arah pintu.
Saat Patronus melayang keluar dari ruang bawah tanah, terdapat teriakan kekagetan dari
beberapa orang yang menunggu diluar, Harry melihat sekeliling; dementor kembali
terjatuh kebelakang dan melebur dalam kegelapan lagi, sebelum hewan perak tiba.
“Itu telah diputuskan, kalian semua akan pulang kerumah dan pergi menyembunyikan
keluargamu,”
Harry memberi tahu para kelahiran Muggle yang menunggu diluar, yang terpesona oleh
cahaya Patronus, dan tetap gemetar ketakutan. ”Pergi keluar negeri jika kau bisa, sejauh
mungkin dari Kementrian, itu — er — posisi resmi yang baru. Sekarang jika kalian
mengikuti Patronus, kalian akan dapat meninggalkan Atrium,”
Mereka menaiki tangga batu tanpa ditangkap; tapi saat mereka menuju lift, Harry mulai
merasa khawatir. Jika mereka muncul di Atrium dengan rusa jantan dan berang-berang
yang meluncur di sampingnya dan dua puluh atau lebih, setengah dari mereka dituduh
sebagai kelahiran Muggle, ia tidak dapat menahan pikiran bahwa mereka akan menarik
perhatian yang tak diinginkan. Ia baru sampai pada kesimpulan yang tak dapat diterima
saat lift berdencing terbuka di depan mereka.
“Reg!” jerit Mrs. Cattermole, dan dia melempar dirinya kepelukan Ron. ”Runcorn
membebaskanku, dia menyerang Umbridge dan Yaxley. Dan memberi tahu semua untuk
meninggalkan negara ini, aku pikir kita sebaiknya melakukannya, Reg, aku sangat yakin.
Ayo cepat pulang dan mengambil anak-anak dan — kenapa kau sangat basah?”
“Air,” gumam Ron, melepaskan dirinya. ”Harry, mereka tahu ada penyusup di dalam
Kementrian, seseatu tentang lubang di pintu kantor Umbridge, aku kira kita punya lima
menit jika—“
Patronus Hermione menghilang dengan bunyi pop wajahnya berubah ketakutan saat dia
menghadap harry.
“Harry, jika kita terjebak disini — !“
“Itu tidak akan jika kita tidak bergerak cepat,” kata Harry. Ia mengarah ke grup yang
diam dibelakang mereka, yang mana mereka sedang melongo padanya.
“Siapa yang punya tongkat?”
Sekitar setengah dari mereka mengangkat tangannya.
“Ok, semua yang tidak memiliki tongkat perlu menyelamatkan dirimu pada seseorang
yang punya. Kita harus cepat — sebelum mereka menghentikan kita, ayo,”
Mereka memecah dirinya menjadi dua lift. Patronus Harry berdiri mengawal mereka
hinga jeruji emas tertutup dan lift mulai bergerak.
“Tingkat delapan,” kata suara dingin penyihir perempuan, ”Atrium.”
Harry tahu dengan pasti bahwa mereka dalam masalah. Atrium telah penuh dengan orang
yang keluar masuk perapian, menahan mereka semua.
“Harry!” cicit Hermione. ”Kemana kita akan pergi — ?“
“STOP!” Harry menggelegar, dan kekuatan suara Runcorn bergaung melewati atrium:
Penyihir pria menutup perapian yang beku. ”Ikut aku,” dia berbisik pada kelompok
kelahiran Muggle yang ketakutan, yang bergerak bergerombol, dituntun oleh Ron dan
Hermione.
“Ada apa, Albert?” kata penyihir botak yang sama saat dia keluar dari perapian lebih
dulu. dia terlihat gugup.
“Gerombolan ini perlu pergi sebelum kau menutup jalan keluar,” kata Harry dengan
wibawa yang semestinya.
Kelompok penyihir di depannya melihat ke satu sama lain.
“Kita semua sudah diberitahu untuk menutup semua jalan keluar dan jangan biarkan
seorangpun—“
“Apakah kau menentangku?” Harry membentak dengan keras. “Apakah kau ingin aku
mempelajari silsilah keluargamu, seperi yang aku lakukan pada Dirk Cresswell?”
“Maaf!” kata si penyihir botak sambil menghembuskan nafas, mundur. “Aku tidak
bermaksud, Albert, tetapi aku kira ....... mereka semua di interogasi dan.......”
“Darah mereka murni,” kata Harry, dan suara dalamnya menggaung impresif melewati
aula. “Lebih murni dibandingkan kalian semua aku berani bertaruh, kalian pergilah,” ia
manganjurkan para kelahiran Muggle, yang bergegas menuju ke perapian dan mulai
menghilang secara berpasangan. Kementrian Sihir mundur kembali, beberapa terlihat
bingung, yang lainnya ketakutan dan marah. Lalu:
“Mary!”
Mrs.Cattermole malihat ke balik bahunya. Reg Cattermole yang sesugguhnya tanpa
muntahan tapi pucat dan lesu, baru saja keluar dari lift.
“R-Reg?”
Dia melihat dari suaminya ke Ron, bersumpah dengan keras.
Penyihir botak ternganga, kepalanya berputar dengan menggelikan dari Reg Cattermole
ke yang lain.
“Hey — apa yang terjadi? Ada apa ini?”
“Tutup jalan keluarnya! TUTUP ITU!”
Yaxley telah menerobos keluar dari lift dan yang lainnya berlari ke arah kelompok
disamping perapian yang semuanya adalah kelahiran Muggle tapi Mrs. Cattermole
sekarang telah menghilang. Saat penyihir botak mengangkat tongkatnya, Harry
mengangkat tinjunya yang sangat besar dan menghantamnya, membuat lelaki itu
melayang melewati udara.
“Dia telah menolong para kelahiran muggle kabur, Yaxley!” Harry menjerit.
Teman sekerja penyihir botak berdiri dan jerjadi hiruk pikuk, dibaliknya Ron menggapai
Mrs. Cattermole, menariknya ke perapian yang terbuka dan menghilang. Merasa bingung,
Yaxley melihat dari Harry ke penyihir lelaki yang dipukulnya, saat Reg Cattermole yang
sesngguhnya menjerit, “Istriku! Siapa yang bersama dengan istriku? Apa yang terjadi?”
Harry melihat kepala Yaxley berputar terlihat menuduh melihat kebenaran di wajah
kasarnya.
“Ayo!” Harry menjerit pada Hermione; dia menggenggam tangannya dan mereka
melompat ke dalam perapian bersama pada saat Yaxley telah meluncurkan kutukan
melewati atas kepala Harry. Mereka berputar beberapa saat sebelum muncul di dalam
ruangan toilet yang kecil. Harry membuka pintu; Ron telah berdiri di sana di samping
tempat cuci tangan, masih bertengkar dengan Mrs. Cattermole.
“Reg, aku tidak mengerti—“
“Ayo pergi, aku bukan suamimu, kau harus pulang ke rumah!”
Terdapat kegaduhan di ruang toilet yang kecil di belakang mereka; harry melihat
sekeliling; Yaxley baru saja muncul.
“AYO PERGI!” Harry berteriak. Dia menggenggam tangan Hermione dan lengan Ron
dan berbalik dengan segera.
Kegelapan meyelubungi mereka dengan sensasi yang menekan, tetapi ada sesuatu yang
salah..... Tangan hermione terasa mulai terlepas dari genggamannya.......
Dia mengira dia akan mati lemas, dia tidak dapat bernafas atau melihat dan dia hanya
dapat merasakan di sekelilingnya, lengan Ron dan jari Hermione yang semakin lama
tergelincir.....
Dan lalu dia melihat pintu Grimmauld Place nomor dua belas, dengan pengetuk pintu
bergambar ular, tapi sebelum dia dapat bernafas tedapat jeritan dan kilatan cahaya ungu;
tangan Hermione segera menggapainya dan semua kembali gelap.
================
*claustrophobic = orang yang takut akan ruang sempit.
** Decoy Detonator = Detonator Jebakan (tanpa menggunakan format inisial)
Thanks to Kid, yang udah mengoreksi beberapa hal.
Chapter 14
The Thief
Si Pencuri
Harry membuka matanya, silau antara hijau dan emas. Dia tidak tahu apa yang telah
terjadi, hanya tahu dia terbaring di antara sesuatu yang tampaknya seperti dedaunan dan
ranting. Berusaha untuk mengalirkan udara ke kerongkongan yang terasa sesak, ia
mengerjap dan menyadari bahwa cahaya menyilaukan tersebut adalah sinar matahari
yang masuk melalui kanopi dedaunan jauh diatasnya. Kemudian sesuatu yang bergerakgerak
mendekati wajahnya. Ia mengangkat tubuhnya beralaskan tangan dan lutut, bersiap
menghadapi sesuatu yang kecil, makhluk yang galak, tetapi melihat bahwa itu ternyata
hanyalah kaki Ron. Mengamati sekeliling, Harry menyadari bahwa mereka berdua dan
Hermione terbaring di hutan, tampaknya mereka hanya sendirian.
Pikiran pertama yang terlintas di benak Harry adalah Hutan Terlarang, dan untuk sekejap,
walaupun ia tahu betapa bodoh dan berbahaya bagi mereka untuk muncul di tanah
Hogwarts, hatinya bergejolak ketika terpikir bahwa mereka mengendap-endap diantara
pepohonan di pondok Hagrid. Bagaimanapun, dalam sekejap waktu yang digunakan Ron
untuk merintih perlahan dan Harry mulai merangkak mendekatinya, ia menyadari bahwa
itu bukan Hutan Terlarang. Pohon-pohonnya kelihatan lebih muda, lebih renggang dan
tanahnya lebih bersih.
Dia melihat Hermione, yang juga ditopang tangan dan lututnya, di kepala Ron. Saat
matanya memandang Ron, berbagai pikiran berkecamuk di kepala Harry, melihat basah
kuyup darah di seluruh sisi kiri tubuh Ron, dan wajahnya menonjol, putih keabuan,
berlawanan dengan bumi yang bertaburkan daun. Ramuan Polijus mulai luntur, Ron
tampak menjadi setengah Cattermole dan dirinya sendiri. Rambutnya berubah merah dan
semakin merah, ketika wajahnya mengalirkan warna yang tertinggal.
“Ada apa dengannya?”
“Splinching, tubuhnya terpisah,” kata Hermione, tangannya masih sibuk di lengan Ron,
dimana darahnya paling basah dan paling gelap.
Harry melihat, terkejut, ketika Hermione merobek celana Ron. Selama ini Harry selalu
berpikir bahwa Splinching adalah sesuatu yang menggelikan, tapi ini…. Bagian dalam
tubuhnya menggeliat tidak nyaman ketika Hermione meletakkan lengan atas Ron yang
telanjang, dimana sepotong besar daging telah hilang, seperti terpotong pisau dengan
bersih.
“Harry, cepat, di tasku, ada botol kecil berlabel ‘Sari Dittany’-“
“Tas – benar-“
Harry bergerak cepat ke tempat Hermione berada, mencengkeram tas manik-manik kecil,
dan menjulurkan tangan ke dalamnya. Barang demi barang tersentuh olehnya sekaligus.
Dia merasakan punggung buku-buku kulit, lengan wol baju hangat, tumit sepatu –
”Cepat!“
Dia mengambil tongkatnya dari tanah, dan mengarahkannya ke kedalaman tas ajaib
tersebut.
“Accio Ditanny!”
Botol kecil coklat melompat keluar dari tas; dia menangkapnya dan segera kembali pada
Hermione dan Ron, yang matanya sekarang setengah tertutup, hanya terlihat garis putih
bola mata diantara pelupuknya.
“Dia pingsan,” kata Hermione, yang juga pucat. Dia tidak lagi terlihat seperti Mafalda,
walaupun rambutnya masih abu-abu di beberapa tempat. “Lepaskan tutupnya, Harry,
tanganku gemetar.”
Harry memutar tutup botol kecil itu hingga terbuka, Hermione mengambilnya dan
menuangkan 3 tetes ramuan kedalam luka yang berdarah. Asap kehijauan membumbung
keatas, dan ketika asapnya menghilang, Harry melihat darahnya sudah berhenti. Lukanya
sekarang terlihat seperti luka lama, kulit baru tumbuh di tempat yang sebelumnya
terdapat daging terbuka.
“Wow,” ucap Harry.
“Ini yang kurasa aman untuk dilakukan,” kata Hermione yang masih terguncang. “Ada
mantra yang bisa mengembalikannya dengan benar, tapi aku tidak berani mencoba karena
kuatir salah dan menyebabkan kerusakan yang lebih parah… Dia sudah kehilangan
terlalu banyak darah….
“Bagaimana ia bisa terluka? Maksudku-“ Harry menggoyangkan kepalanya, mencoba
memperjelas, untuk memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi- “Kenapa kita disini?
Kukira kita kembali ke Grimmauld Place?”
Hermione mengambil nafas panjang. Dia kelihatannya hampir menangis.
“Harry, kukira kita tidak akan bisa kembali kesana.”
“Apa yang kau – “
“Ketika kita ber-Disapparate, Yaxley menangkapku dan aku tidak bisa melepaskan diri
darinya. Dia terlalu kuat, dan dia masih memegangku ketika kita sampai di Grimmauld
Place, dan kemudian – well, kukira dia pasti sudah melihat pintunya, dan berpikir kita
berhenti disana, dia mengendurkan pegangannya dan aku berusaha melepasnya,
kemudian aku membawa kita kemari sesegera mungkin!”
“Lalu, dimana dia? Sebentar… Maksudmu dia tidak di Grimmauld Place kan? Dia kan
tidak bisa masuk kedalam?”
Mata Hermione berkilau oleh airmata yang tertahan ketika dia mengangguk.
“Harry, kurasa dia bisa. Kupaksa ia untuk melepas dengan mantra perubahan, tapi aku
terlanjur membawanya kedalam perlindungan mantra Fidelius. Sejak Dumbledore
meninggal, kitalah pemegang rahasia, jadi aku telah menunjukkan rahasianya, ya kan?”
Tanpa berpura-pura, Harry yakin Hermione benar. Itu suatu serangan yang serius. Jika
Yaxley sekarang bisa masuk ke dalam rumah, jelas tidak mungkin mereka bisa kembali.
Bahkan sekarang, ia bisa saja membawa Pelahap Maut lain kesana dengan ber-Apparate.
Walaupun terasa suram dan menyesakkan dada sebelumnya, tempat itu telah menjadi
tempat mengungsi mereka yang aman; sekarang dengan Kreacher yang lebih bahagia dan
ramah, lebih terasa sebagai rumah. Dengan tusukan penyesalan yang tidak ada
hubungannya dengan makanan, Harry membayangkan peri rumah itu menyibukkan diri
dengan stik dan pai oval yang tidak pernah dinikmati Harry, Ron dan Hermione.
“Harry, maafkan aku, aku sangat menyesal.”
“Jangan bodoh, itu bukan kesalahanmu! Jika sesuatu terjadi, itu adalah salahku…”
Harry memasukkan tangan ke sakunya, dan mengeluarkan mata gaib Mad-Eye. Hermione
mundur, tampak terkejut.
“Umbridge memasang di pintu kantornya, untuk memata-matai orang. Aku tak bisa
meninggalkannya disana, tapi dengan begitu mereka tau ada penyusup."
Sebelum Hermione bisa menjawab, Ron mengerang dan membuka matanya. Ia masih
terlihat keabuan dan mukanya bersimbah peluh.
“Bagaimana perasaanmu?” Hermione berbisik.
“Parah,” jawab Ron parau, mengernyit merasakan lengannya yang terluka. “Dimana
kita?”
“Di hutan dimana mereka menyelenggarakan Piala Dunia Quidditch,” ujar Hermione.
“Aku menginginkan suatu tempat yang tertutup, tersembunyi, dan ini yang – “
“- tempat pertama yang terpikir olehmu,” Harry menyelesaikan ucapan Hermione,
memandang sekilas sekeliling pada sesuatu yang tampaknya lapangan di tengah rimba
yang sunyi. Ia tak tahan mengingat terakhir kali mereka ber-Apparate ke tempat yang
pertama terlintas di benak Hermione – bagaimana Pelahap Maut menemukan mereka
dalam hitungan menit. Apakah itu Legilimens? Apakah Voldemort atau kroninya tahu,
kemana Hermione membawa mereka?
“Apakah kau mempertimbangkan kita seharusnya pindah?” Ron bertanya kepada Harry,
dan Harry bisa mengatakan dari cara Ron memandang bahwa ia berpikir hal yang sama.
“Aku tak tahu.”
Ron masih kelihatan pucat dan berkeringat. Ia bahkan tidak berusaha untuk duduk dan
tampaknya memang ia terlalu lemah untuk melakukannya. Kemungkinan untuk
memindahkannya tampaknya kecil.
“Kita tinggal disini dulu,“ kata Harry.
Terlihat pulih, Hermione melompat berdiri.
“Kemana kamu?“ Tanya Ron.
“Jika kita tinggal, kita harus memberi peningkatan perlindungan di sekitar tempat ini,“ ia
menjawab, dan mengangkat tongkatnya, dia mulai berjalan membentuk lingkaran besar di
sekitar Harry dan Ron, menggumamkan mantra-mantra selagi ia bergerak. Harry melihat
gangguan kecil di udara sekeliling; itu menunjukkan bahwa Hermione telah membuat
udara panas diatas tanah terbuka mereka.
”Salvio Hexia....Protego Totalum....Repello Muggletum.... Muffliato….Kau bisa
mengeluarkan tendanya, Harry....”
“Tenda?“
“DI dalam tas!“
“Di dalam....tentu saja,“ ujar Harry.
Ia tidak bersusah payah untuk memasukkan tangannya ke dalam kali ini, tapi langsung
memakai mantra pemanggil.
Tenda itu muncul, dalam bentuk kanvas, tali-tali dan tiang-tiang yang banyak dan tidak
halus. Harry mengenalinya, sebagian karena bau kucing, yaitu tenda yang sama yang
mereka gunakan tidur di malam Piala Dunia Quidditch.
“Kupikir ini milik Perkins si orang Kementrian?“ Dia bertanya, mulai menguraikan
pasak-pasak.
“Tampaknya dia tidak menginginkannya lagi, lumbagonya sangat parah,“ ujar Hermione,
sekarang menampilkan bentuk-delapan gerakan yang rumit dengan tongkatnya, “jadi
ayah Ron bilang aku boleh meminjamnya. Erecto!“ Dia menambahkan, mengarahkan
tongkatnya pada kanvas yang kurang serasi, dalam satu aliran gerakan naik ke udara dan
terselesaikan, penuh gagasan, menuju ke tanah didekat Harry, terlepas dari siapa yang
mendaratkan dari ketinggian, ke daerah dimana akhir dari talinya.
“Cave Inimicum,” Hermione mengakhiri dengan lambaian ke angkasa. “Itu yang bisa
kulakukan. Paling tidak, kita seharusnya tahu jika mereka datang. Aku bisa menjamin
ini akan menjaga kita dari Vol-“
“Jangan sebut namanya!“ Ron memotong ucapannya, suaranya parau.
Harry dan Hermione saling pandang.
“Maafkan aku,” ucap Ron, sedikit merintih ketika ia mengangkat dirinya dan memandang
mereka. “tapi ini terasa seperti – nasib sial atau semacamnya. Bisakah kita memanggilnya
Kau-Tahu-Siapa –kumohon?”
“Dumbledore bilang takut akan nama-“ Harry mulai.
“Jika kau tidak menyadari, teman, memanggil Kau-Tahu-Siapa dengan namanya tidak
memberi Dumbledore akhir hidup yang baik,” Ron membalas. “Hanya – hanya agar
sedikit menghargai Kau-Tahu-Siapa, mau kan?”
“Menghargai?” Harry mengulangi. Hermione memberinya pandangan memperingatkan,
tampaknya dia tidak ingin berdebat dengan Ron sementara kondisinya sangat lemah.
Harry dan Hermione setengah membawa, setengah menyeret Ron melewati pintu masuk
tenda. Interiornya sama persis seperti yang diingat Harry; flat kecil, lengkap dengan
kamar mandi dan dapur kecil. Ia mendorong ke samping kursi berlengan tua dan
meletakkan Ron dengan hati-hati di bagian bawah tempat tidur susun. Bahkan perjalanan
yang sangat singkat ini masih juga membuat Ron memucat, dan ketika mereka
meletakkannya diatas matras dia menutup matanya lagi dan sementara tidak berbicara.
“Aku akan membuat teh,” kata Hermione menahan napas, mengambil ketel dan cangkir
dari dalam tasnya dan menghadap dapur.
Harry merasa minuman panas membuka dirinya seperti firewhiskey di malam Mad-Eye
meninggal; tampaknya telah mengurangi sedikit rasa takut di dalam dadanya. Setelah
semenit atau dua menit, Ron memecah kesunyian.
“Apa yang menurutmu terjadi pada keluarga Cattermole?”
“Dengan sedikit keberuntungan, mereka mungkin telah pergi,” ujar Hermione,
mengenggam cangkirnya untuk kenyamanan. “Sepanjang Mr. Cattermole mengikuti akal
sehatnya, ia pasti telah memindahkan Mrs. Cattermole dengan ber-Apparate bersamasama
dan mereka pasti sedang terbang melewati negara ini bersama anak-anaknya. Itu
yang Harry sarankan padanya untuk dilakukan.”
“Ya ampun, kuharap mereka berhasil melarikan diri,” ujar Ron, bersandar kembali di
bantalnya. Tampaknya teh telah membuatnya lebih baik; sebagian kecil warna kulitnya
telah kembali. “Aku tidak merasa bahwa Reg Cattermole adalah orang yang bisa berpikir
cepat, melihat bagaimana orang berbicara kepadaku ketika aku menjadi dia. Tuhan,
kuharap mereka berhasil…. Jika mereka berakhir di Azkaban karena kita…”
Harry memandang Hermione, dan sesuatu yang ingin ia tanyakan – tentang apakah
ketiadaan tongkat Mrs. Cattermole dapat melindunginya ketika ber-Apparate bersama
suaminya- terhenti di tenggorokannya. Hermione memandangi Ron yang resah akan apa
yang mungkin terjadi pada Keluarga Cattermole, dan terlihat ekspresi kelembutan yang
Harry rasakan sepertinya ia akan mengagetkan Ron dengan tiba-tiba menciumnya.
“Jadi, apa kau mendapatkannya?” Harry bertanya pada Hermione, setengah
mengingatkan bahwa ia ada disana.
“Dapat – dapat apa?” Tanya Hermione dengan sedikit lambat.
“Apa tujuan kita masuk kesana? Liontin! Dimana liontinnya?”
“Kau mendapatkannya?” teriak Ron, mengangkat dirinya sedikit lebih tinggi diatas
bantalnya. “Tak ada yang memberitahuku! Ya ampun, kau bisa mengakatannya!”
“Well, bukankah kita sedang menyelamatkan diri dari Pelahap Maut?” Kata Hermione.
“Ini dia.”
Dan dia mengeluarkan liontin dari saku jubahnya dan memberikannya pada Ron. Liontin
itu hanya sebesar telur ayam. Sebuah hiasan berbentuk huruf S, bertatahkan banyak batubatu
kecil, berkilat pudar dalam sinar cahaya yang menyebar melalui atap tenda kanvas.
“Tidak adakah kemungkinan seseorang merusaknya sejak Kreacher mendapatkannya?”
tanya Ron berharap. “Maksudku, apakah kita yakin ini masih Horcrux?”
“Kurasa masih,” ucap Hermione, mengambilnya kembali dari tangan Ron dan mengamati
dari dekat. “Pasti ada tanda-tanda kerusakan jika ini telah dirusak dengan sihir.”
Dia memberikannya lepada Harry, yang memutarnya dengan jari-jari. Benda itu kelihatan
sempurna, asli. Ia ingat mengoyak-oyak diary, dan bagaimana batu di cincin Horcrux
telah terbelah membuka ketika Dumbledore merusaknya.
“Kurasa Kreacher benar,” kata Harry. “Kita harus berusaha untuk menemukan cara
bagaimana membukanya, sebelum memusnahkannya.“
Tiba-tiba waspada akan apa yang dipegangnya, akan apa yang hidup didalam pintu emas
kecil itu, menyadarkan Harry akan ucapannya. Bahkan setelah segala upaya mereka
untuk mendapatkannya, ia merasakan dorongan kuat untuk membuangnya. Berhasil
menguasai diri lagi, dia berusaha membuka liontin dengan jari-jarinya, kemudian
mencoba mantra yang Hermione gunakan untuk membuka kamar Regulus. Tak ada yang
berhasil. Ia memberikan liontin itu kembali kepada Ron dan Hermione, yang masingmasing
melakukan usaha terbaik, tapi tidak lebih berhasil daripada dirinya.
“Dapatkah kau merasakannya?“ tanya Ron dengan suara parau, sambil menggenggam
erat dalam kepalan tangannya.
“Apa maksudmu?“
Ron memindahkan Horcrux kepada Harry. Setelah semenit atau dua menit, Harry merasa
ia mengerti apa maksud Ron. Apakah itu darahnya sendiri yang berdenyut dalam
pembuluh yang ia rasakan, ataukah itu sesuatu yang berdenyut di dalam liontin, seperti
jantung metal kecil?
“Apa yang akan kita lakukan?” tanya Hermione.
“Simpan dengan aman sampai kita menemukan cara bagaimana memusnahkannya,”
jawab Harry, dan, dia mengalungkan rantai ke lehernya sendiri, memasukkan liontin ke
dalam jubahnya, aman disamping kantong yang Hagrid berikan padanya.
“Kupikir kita harus membawanya untuk berjaga-jaga dan waspada diluar tenda,” dia
menambahkan kepada Hermione, berdiri dan meregangkan badan. “Dan kita juga harus
memikirkan makanan juga. Kau tinggal disini,” dia menambahkan tajam, ketika Ron
berusaha untuk duduk dan berubah hijau.
Dengan Teropong-Pengintai hadiah ulang tahun dari Hermione yang sudah diatur dengan
hati-hati diatas meja dalam tenda, Harry dan Hermione menghabiskan waktu berbagi
tugas mengintai. Bagaimanapun, Teropong-Pengintai tetap tenang, sepanjang hari
mengarah ke sasaran, dan entah apakah karena peningkatan perlindungan dan mantra
penolak Muggle Hermione yang tersebar disekitar mereka, ataukah karena orang jarang
melewati jalan ini, bidang tanah mereka tetaplah sunyi, bahkan terpisah dari burungburung
dan tupai yang lewat sesekali. Sore hari tak ada bedanya, Harry menyalakan
tongkatnya ketika bertukar tempat dengan Hermione pada jam 10, dan mengawasi
pemandangan yang sunyi, memperhatikan kelelawar mengepak-ngepak sayap jauh tinggi
diatasnya, melewati sebidang langit berbintang terlihat dari tanah mereka yang
terlindung.
Ia merasa lapar sekarang, dan sedikit pening. Hermione tidak mengemas makanan
apapun di dalam tas ajaibnya, karena ia mengasumsikan mereka akan kembali ke
Grimmauld Place malam itu, jadi mereka tidak punya apapun untuk dimakan kecuali
beberapa jamur liar yang Hermione kumpulkan dari pohon-pohon terdekat dan dikukus
dalam Billycan, setelah beberapa suap Ron menyingkirkan porsinya menjauh, terlihat
mual. Harry hanya menahan diri untuk tidak menyakiti hati Hermione.
Kesunyian yang melingkupi dipecahkan oleh gemerisik yang ganjil dan sesuatu yang
terdengar seperti ranting patah; Harry berpikir mungkin itu disebabkan lebih karena
binatang daripada karena manusia, tapi ia tetap menggenggam erat tongkatnya dengan
siap. Dalam tubuhnya, terlanjur merasa tak nyaman terkait bantuan tidak mencukupi dari
jamur karet, terasa gatal dengan kegelisahan.
Ia menyangka akan gembira setelah mereka berhasil mengambil kembali Horcrux itu,
tapi entah mengapa ia tak merasakan kegembiraan, yang ia rasakan saat ia duduk
mengawasi kegelapan, dimana tongkatnya hanya menyala dengan cahaya kecil, ádalah
perasaan kuatir tentang apa yang akan terjadi. Rasanya meskipun dia sudah megalami
proses ini berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan mungkin bertahun-tahun, tapi
bagaimana dia sampai tiba-tiba berhenti, diluar pikirannya.
Masih banyak Horcrux diluar sana, tapi dia tidak dapat membayangkan dimana saja
mereka mungkin berada. Dia bahkan tidak tahu apa saja bentuknya. Sementara ia tidak
tahu bagaimana menghancurkan satu-satunya yang telah mereka temukan, Horcrux yang
sekarang berada di dadanya. Mengherankan, Horcrux itu tidak mengambil panas
tubuhnya, tap tergeletak dingin berlawanan dengan kulitnya, yang mungkin hanya timbul
dalam air es.
Dari waktu ke waktu Harry berpikir, atau mungkin membayangkan, bahwa dia bisa
merasakan detak jantung kecil yang tidak menentu bersama detak jantungnya sendiri.
Perasaan tanpa nama yang bergerak bersama dirinya saat dia duduk dalam kegelapan. Ia
berusaha melawan, menyingkirkannya, tapi mereka tetap mendatanginya tanpa belas
kasihan. Yang satu tak bisa hidup sementara yang lain selamat. Ron dan Hermione,
sekarang berbicara di belakangnya dalam tenda, bisa saja mundur jika mereka
menginginkannya: tapi dia tidak. Dan ini tampaknya bagi Harry ketika dia duduk
mencoba mengatasi ketakutan dan kelelahannya sendiri; bahwa Horcrux di dadanya
berdetak menjauhi masa yang ia lewati…Pikiran bodoh, ia berkata pada diri sendiri,
jangan memikirkannya….
Lukanya terasa sakit lagi. Ia kuatir bahwa ia membiarkannya terjadi karena pikiranpikiran
itu, dan mencoba menghubungkan mereka kedalam saluran lain. Ia memikirkan
Kreacher yang malang, yang mengharapkan mereka pulang dan ternyata Yaxley yang
muncul. Apakah peri rumah itu akan tetap diam ataukah akan mengatakan apa yang ia
tahu kepada Pelahap Maut? Harry ingin mempercayai bahwa Kreacher telah berubah
sikap kepadanya sebulan terakhir, bahwa dia akan setia sekarang, tapi siapa yang tahu
apa yang bisa terjadi? Bagaimana jika Pelahap Maut menyiksanya? Gambaran tidak
menyenangkan memenuhi kepala Harry dan dia berusaha untuk menyingkirkannya juga,
karena tak ada yang bisa dilakukannya untuk menolong Kreacher: Dia dan Hermione
telah memutuskan untuk tidak berusaha mengambilnya; bagaimana jika seseorang dari
Kementrian ikut bersamanya? Mereka tidak yakin apparition peri rumah akan bebas dari
kekacauan yang sama yang membawa Yaxley ke Grimmauld Place bersama lengan
Hermione.
Luka Harry terasa terbakar sekarang. Ia berpikir begitu banyak hal yang ia tidak tahu:
Lupin benar tentang sihir yang belum pernah mereka hadapi atau bayangkan. Mengapa
Dumbledore tidak menjelaskan lebih banyak? Apakah ia berpikir bahwa ia akan punya
cukup waktu, bahwa ia masih akan hidup selama bertahun-tahun, abad mungkin, seperti
rekannya Nicholas Flamel? Jika ya, ia salah….Snape mengetahuinya….Snape, Si Ular
Tidur, yang menyerang di puncak menara….
Dan Dumbledore jatuh…..jatuh…..
“Berikan padaku, Gregorovitch…..”
Suara Harry tinggi, jelas dan dingin, tongkatnya tergenggam di depannya oleh tangan
putih panjang. Laki-laki yang ia tunjuk menggantung terbalik di udara, walaupun tak ada
tali yang mengikatnya; ia berayun; tak terlihat dan hanya melambung, lengannya terikat,
wajahnya yang ketakutan, sama seperti Harry yang darahnya mulai naik ke kepala.
Rambutnya putih bersih, janggutnya lebat; tipe bapak natal.
“Aku tidak punya, aku tidak lagi memilikinya! Dicuri bertahun-tahun yang lalu!“
“Jangan berbohong kepada Lord Voldemort, Gregorovitch. Dia tahu....dia selalu tahu.“
Bola mata orang yang tergantung itu melebar, diliputi ketakutan, dan tampaknya mereka
membesar, besar dan semakin besar, hingga kegelapan menelan Harry -.
Dan sekarang Harry bergegas melewati koridor gelap di tempat Gregorovitch yang kecil
dan kokoh, terjaga sambil memegang lentera tinggi-tinggi: Gregorovitch menghambur ke
ruangan di ujung gang dan lenteranya menerangi sesuatu yang tampak seperti ruang
kerja; irisan kayu dan emas bersinar di sekelompok lampu gantung, dan disana di birai
jendela bertengger, seperti burung raksasa, anak muda dengan rambut emas. Ketika
cahaya lentera meneranginya, Harry melihat kegembiraan terpancar di wajah tampannya,
kemudian si penyusup menembakkan mantra pemingsan dari tongkatnya dan melompat
perlahan ke belakang keluar dari jendela dengan tawa yan seperti burung gagak.
Harry meluncur menjauh dari bola mata lebar yang seperti terowongan, dan wajah
Gregorovitch dilanda teror.
”Siapa pencurinya, Gregorovitch?“ kata suatu suara tinggi dan dingin.
“Aku tidak tahu, aku tidak pernah tahu, seorang anak muda, jangan –- kumohon –
KUMOHON!”
Jeritan terdengar tinggi dan meninggi dan kemudian kilatan cahaya hijau –
“Harry!”
Dia membuka matanya, terengah-engah, dahinya berdenyut-denyut. Dia pingsan
menghadap sisi tenda, meluncur miring di kanvas dan terlentang di tanah. Dia menatap
Hermione, yang rambut lebatnya mengaburkan pemandangan langit yang terlihat melalui
ranting gelap diatas mereka.
“Mimpi,” katanya, segera setelah duduk dan berusaha memandang tatapan tajam
Hermione dengan wajah tak berdosa. “Pasti tertidur sebentar, maaf.”
“Aku tahu itu karena lukamu! Aku tahu dari wajahmu! Kau melihat ke dalam pikiran
Vol-“
“Jangan katakan namanya!” Ron berujar dengan nada marah dari dalam tenda.
“Baiklah!” Jawab Hermione pedas, “pikiran Kau-Tahu-Siapa, kalau begitu!”
“Aku tidak bermaksud begitu!” Kata Harry, “Itu mimpi! Bisakah kau mengendalikan
mimpimu, Hermione?”
“Jika kau mau belajar untuk mempraktekkan Occlumency-“
Tapi Harry tidak tertarik diceramahi, ia ingin berdiskusi tentang apa yang baru saja ia
lihat.
“Dia menemukan Gregorovitch, Hermione, dan kurasa ia membunuhnya, tapi sebelum
membunuhnya, ia membaca pikiran Gregorovitch dan aku melihat-“
“Kurasa lebih baik aku ganti mengawasi jika kau tertidur karena lelah,” kata Hermione
lebih tenang.
“Aku bisa menyelesaikan pengawasan!”
“Tidak, kau jelas lelah. Pergi dan berbaringlah!”
Dia menjatuhkan diri di mulut tenda, terlihat keras kepala. Marah, tetapi ingin
menghindari keributan, Harry masuk kembali kedalam.
Wajah masih-pucat Ron menjulur dari tempat tidur bawah; Harry naik menuju tempat
tidur diatasnya, berbaring dan memandang langit-langit kanvas yang gelap. Setelah
beberapa waktu, Ron berbicara denga suara pelan yang tidak akan terdenger oleh
Hermione, yang menempel di pintu masuk.
“Apa yang dilakukan Kau-Tahu-Siapa?”
Harry memutar matanya untuk mengingat setiap detil kejadian, lalu berbisik dalam
kegelapan.
“Dia menemukan Gregorovitch. Dia mengikatnya. Dia menyiksanya.”
“Bagaimana Gregorovitch bisa membuat tongkat baru jika dia terikat?”
“Entahlah…aneh sekali, kan?”
Harry menutup matanya, memkirkan apa yang ia lihat dan dengar. Semakin berusaha dia
mengingat, semakin sedikit yang ia pahami…
Voldemort tidak mengatakan apa-apa tentang tongkat Harry, tidak juga tentang inti
kembar, sama sekali tidak tentang Gregorovitch membuat tongkat baru yang lebih kuat
untuk mengalahkan Harry…..
“Dia menginginkan sesuatu dari Gregorovitch,” Harry berujar dengan mata masih
tertutup rapat.
“Dia meminta agar Gregorovitch menyerahkannya, tapi Gregorovitch bilang bahwa itu
telah dicuri darinya, dan kemudian….kemudian….”
Ia ingat bagaimana ia, sebagai Voldemort, tampaknya meluncur melalui mata
Gregorovitch, memasuki ingatannya….
“Dia membaca pikiran Gregorovitch, dan aku melihat seorang anak muda sedang
bertengger di birai jendela, dan dia menembakkan kutukan kepada Gregorovitch dan
melompat menghilang dari pandangan. Dia mencurinya, dia mencuri apapun itu yang
dicari Kau-Tahu-Siapa. Dan aku…kupikir aku pernah melihatnya di suatu tempat.”
Harry berharap dia bisa melihat lagi wajah anak lelaki yang tertawa itu. Pencurian itu
terjadi bertahun-tahun yang lalu, menurut Gregorovitch. Kenapa pencuri muda itu tampak
tidak asing?
Suara ribut kayu-kayu di sekitar tenda terdengar sampai ke dalam; tetapi yang didengar
Harry hanyalah desah nafas Ron. Setelah beberapa waktu, Ron berbisik, ”bisakah kau
melihat apa yang dipegang si Pencuri?”
“Tidak….itu pasti sesuatu yang kecil.”
“Harry?”
Kayu rangka tempat tidur Ron berderik ketika ia mengubah posisi tubuhnya.
“Harry, kau tidak berpendapat Kau-Tahu-Siapa mengejar sesuatu untuk dirubah menjadi
Horcrux?”
“Aku tidak tahu,” kata Harry pelan. “Mungkin. Tapi tidakkah berbahaya baginya
membuat lagi? Bukankah Hermione berkata dia telah mendorong jiwanya hingga pada
batasnya?”
“Ya, tapi mungkin dia tidak tahu itu.”
“Ya…mungkin saja,” ucap Harry.
Selama ini ia yakin Voldemort mencari jawaban seputar persoalan inti kembar tongkat
mereka,yakin bahwa Voldemort mencari solusi dari pembuat tongkat tua…dan dia sudah
membunuhnya, tampaknya tanpa menanyainya satu pertanyaanpun tentang ilmu tongkat.
Apa yang sedang Vodemort cari? Mengapa, dengan Kementrian Sihir dan dunia sihir
dibawah kakinya, malah dia jauhi, justru bersungguh-sungguh dalam pencarian sesuatu
yang dulu dimiliki Gregorovitch, yang telah diambil oleh pencuri tak dikenal?
Harry masih bisa melihat wajah muda si rambut pirang; ia riang, liar; ada semacam lagak
kejayaan tipu daya ala Fred dan George pada dirinya. Dia membumbung tinggi dari birai
jendela seperti seekor burung, dan Harry pernah melihatnya, tapi ia tidak dapat
mengingat dimana….
Dengan kematian Gregorovitch, si wajah-piranglah yang ada dalam bahaya sekarang, dan
pada dirinyalah pikiran Harry sekarang berada, ketika dengkur Ron mulai bergemuruh
dari tempat tidur bawah dan dia sendiri perlahan melayang kedalam lelap sekali lagi.
==========================
Thanks for Yoga Lestrange, yang udah ngebantu menyelesaikan bab 14.
Chapter 15
The Goblin’s Revenge
Pembalasan Goblin
Pagi keesokan harinya, sebelum yang lain bangun, Harry pergi untuk mencari pohon
tertua, terbesar, dan terkokoh yang ada di sekitar tenda. Di sanalah Harry menguburkan
mata Mad-Eye dan menandainya dengan menorehkan tanda salib di kulit kayu pohon itu
dengan tongkatnya. Tidak terlalu bagus, tapi Harry merasa bahwa Mad-Eye akan lebih
memilih ini daripada harus dipajang di pintu kantor Umbridge. Lalu Harry kembali ke
tenda dan menunggu yang lain bangun untuk membicarakan apa yang akan mereka
lakukan selanjutnya.
Harrry dan Hermione merasa bahwa jalan terbaik adalah tidak tinggal di satu tempat
dalam waktu yang lama, dan Ron setuju, dengan syarat bahwa tujuan selanjutnya
berhubungan dengan roti isi daging asap. Hermione melepaskan sihir perlindungan yang
telah ia pasang, sementara Harry dan Ron menghilangkan semua tanda yang
menunjukkan bahwa mereka pernah berkemah di sini. Lalu mereka ber-Disapparate ke
daerah pinggiran kota.
Begitu mereka mendirikan tenda di bawah naungan pohon-pohon dan memasang sihir
perlindungan baru, Harry berkeliling mencari makanan di bawah Jubah Gaib. Namun
semuanya tidak berjalan sesuai rencana. Harry baru saja memasuki kota saat ia
merasakan rasa dingin yang tidak normal, kabut tipis, dan kegelapan yang tiba-tiba
menutup langit, membuat Harry berdiri terdiam.
“Tapi kau hebat dalam menciptakan Patronus!” protes Ron, saat Harry kembali ke tenda
tanpa membawa apa-apa, kehabisan nafas, dan mengucapkan satu kata “Dementor.”
”Aku… tidak bisa,” engah Harry sambil memegangi sisi tubuhnya. “Tidak… berhasil.”
Melihat ekspresi khawatir dan kecewa di wajah sahabatnya, Harry merasa malu. Itu
adalah mimpi buruk, melihat Dementor melucur dalam kabut dan menyadari, saat udara
dingin mencekik paru-parunya dan teriakan memenuhi telinganya, bahwa Harry tidak
dapat melindungi dirinya sendiri. Bahkan butuh semua kekuatan agar Harry bisa lari dan
meninggalkan Dementor tanpa mata bergerak di antara Muggle yang tidak bisa melihat
mereka, tapi bisa merasakan keputusasaan yang Dementor tebarkan.
”Jadi kita tidak punya makanan.”
”Diam, Ron,” hardik Hermione. ”Harry, apa yang terjadi? Mengapa kau tidak bisa
membuat Patronus? Kau melakukannya dengan baik kemarin!”
”Aku tidak tahu.”
Harry duduk di salah satu kursi tangan tua, dan makin merasa malu. Ia takut terjadi
sesuatu yang salah dengan dirinya. Kemarin rasanya masa lalu, hari ini ia merasa seperti
saat ia berusia tiga belas tahun, saat ia satu-satunya anak yang pingsan di Hogwarts
Express.
Ron menendang kursi.
”Apa?” Ron menggeram pada Hermione. ”Aku kelaparan! Yang aku makan sejak aku
hampir mati kehabisan darah hanya kotoran kodok!”
”Pergi dan lawan Dementor-Dementor itu, kalau begitu,” sengat Harry.
”Tentu, tapi tanganku terbebat, bila kau tak melihatnya!”
”Kebetulan sekali.”
”Apa maksudmu berkata…”
”Tentu saja,” teriak Hermione sambil memukulkan tangan ke dahinya dan mengejutkan
Harry dan Ron sehingga mereka terdiam. ”Harry, berikan liontin itu! Ayo!” kata
Hermione tidak sabar, menjentikkan jarinya di depan Harry yang tidak bereaksi,
”Horcruxnya, Harry, kau masih mengenakannya!”
Hermione menjulurkan tangannya dan Harry melepaskan kalung emas melalui kepalanya.
Saat liontin dan kalung itu tidak lagi menyentuh kulit Harry, ia merasa bebas dan ringan.
Harry tidak menyadari bahwa dirinya tertekan atau ada beban berat yang yang
membebani perutnya, hingga sensasi itu terangkat.
”Lebih baik?” tanya Hermione.
”Sangat jauh lebih baik!”
”Harry,” kata Hermione, berjongkok di depan Harry dan menggunakan nada suara yang
Harry artikan sebagai nada yang digunakan saat berbicara pada orang yang sedang sakit,
”kau tidak mengira kau telah dirasuki, kan?”
”Apa? Tidak!” kata Harry mempertahankan diri. ”Aku ingat semua yang aku lakukan
saat memakainya. Aku tidak tahu yang aku lakukan bila aku sedang dirasuki, kan? Ginny
memberitahuku bahwa ada banyak waktu di mana ia tidak bisa mengingat apa pun.”
”Hm,” kata Hermione yang menatap ke arah liontin itu. ”Kalau begitu, tidak seharusnya
kita memakainya. Kita akan menyimpannya di tenda saja.”
”Kita tidak akan membiarkan Horcrux itu tergeletak begitu saja,” kata Harry berkeras.
”Kalau kita kehilangannya, kalau ada yang mencurinya…”
”Oh, baik, baik,” kata Hermione dan mengalungkan liontin itu di lehernya dan
memasukkannya ke dalam kaus. ”Tapi kita harus bergiliran memakainya, jadi tidak ada
yang memakainya terlalu lama.”
”Bagus,” kata Ron marah, ”karena kita sudah menemukan masalahnya, bisakah kita pergi
mencari makanan?”
”Baiklah, tapi kita harus mencarinya ke tempat lain,” kata Hermione. ”Tidak ada gunanya
tinggal kalau kita tahu banyak Dementor berkeliaran.”
Akhirnya mereka bermalam di tanah lapang di sebuah peternakan terpencil, di mana
mereka berhasil mendapatkan telur dan roti.
”Ini tidak bisa dibilang mencuri, kan?” tanya Hermione ragu, saat mereka menghabiskan
telus dadar dan roti panggang. ”Bukan mencuri kalau aku meninggalkan uang di kandang
ayam, kan?”
Ron memutar matanya dan berkata, dengan pipi menggembung, ”Er-my-knee, hangang
helawu hemaf. Henangwah!”
Dan, ternyata, memang lebih mudah untuk bersikap tenang dengan perut kenyang.
Perdebatan tentang Dementor terlupakan dengan tawa di malam hari, bahkan Harry
merasa ceria dan penuh pengharapan saat ia mendapat giliran pertama berjaga.
Untuk pertama kalinya mereka menyadari bahwa perut penuh berarti semangat baru, dan
perut kosong berarti kemurungan dan pertengkaran. Harrylah yang peling terkejut dengan
kenyataan ini, karena ia pernah merasakan masa-masa hampir kelaparan saat tinggal
bersama keluarga Dursley. Sementara Hermione mampu melewati malam-malam dengan
buah beri atau biskuit basi, walau sedikit mudah tersinggung dan sering terdiam.
Sedangkan Ron, yang terbiasa tiga kali makan enak sehari, oleh masakan ibunya ata peri
rumah Hogwarts, rasa lapar membuatnya tidak bisa berpikir dan cepat naik darah. Saat
masa makanan menipis bertemu dengan saat Ron memakai liontin, ia berubah menjadi
begitu menyebalkan.
”Jadi ke mana selanjutnya?” adalah kalimat favorit Ron. Ia sepertinya tidak memiliki
pemikiran sendiri, dan berharap Harry dan Hermione telah siap dengan rencana
sementara ia duduk dan berkomentar tentang sedikitnya jumlah makanan. Sementara,
Harry dan Hermione menghabiskan waktu menduga di mana kemungkinan Horcrux lain
berada dan bagaimana cara menghancurkan Horcrux yang sudah ada di tangan mereka.
Dan mereka terus mengulang percakapan yang sama karena mereka tidak mendapatkan
berita baru.
Saat Dumbledore memberitahu Harry bahwa ia percaya bahwa Voldemort
menyembunyikan Horcrux di tempat yang penting baginya. Dan mereka terus mengulang
pembicaraan itu, tempat-tempat di mana Voldemort pernah tinggal atau kunjungi. Panti
asuhan, di mana ia dilahirkan dan dibesarkan. Hogwarts, di mana ia belajar. Borgin and
Burke, tempat ia bekerja untuk pertama kali. Lalu, Albania, di mana ia mengasingkan diri
selama bertahun-tahun, dan di sinilah mereka terus berspekulasi.
”Ya, ayo ke Albania. Tidak akan sampai sore untuk mencari ke seluruh negeri,” kata Ron
kasar.
”Tidak mungkin ada sesuatu di sana. Dia sudah membuat lima Horcrux sebelum ia pergi
mengasingkan diri, dan Dumbledore yakin bahwa ular itu adalah yang keenam,” kata
Hermione. ”Kita tahu bahwa ular itu tidak di Albania dan tidak pernah jauh dari Vol…”
”Bukankah sudah kuminta untuk tidak menyebut namanya?”
”Baik! Ular itu berada dekat dengan Kau-Tahu-Siapa¬ – senang?”
”Tidak juga.”
”Aku rasa dia juga tidak menyembunyikan sesuatu di Borgin and Burke,” kata Harry,
yang pernah mencapai titik ini sebelumnya, dan tetap mengulang kata-katanya, ”Borgin
dan Burke adalah ahli barang Hitam, mereka pasti langsung mengenali sebuah Horcrux.”
Ron menguap bosan. Menahan diri untuk tidak melempar sesuatu ke arahnya, Harry
melanjutkan, ”Aku masih merasa ia menyembunyikan sesuatu di Hogwarts.”
Hermione mengehela nafas.
”Tapi Dumbledore pasti sudah menemukannya, Harry!”
Harry mengulang alasan yang sama tentang teorinya.
”Dumbledore berkata padaku bahwa ia tidak mengetahui semua rahasia Hogwarts. Dan
aku beritahu, bila ada tempat yang menurut Vol…”
”Oi!”
”KAU-TAU-SIAPA!” teriak Harry, di ujung kesabarannya. ”Bila ada tempat menurut
Kau-Tahu-Siapa penting, tempat itu adalah Hogwarts!”
”Oh, ayolah,” kata Ron meremehkan, ”sekolahnya?”
”Ya, sekolahnya! Tempat pertama yang ia anggap sebagai rumah, tempat yang ia anggap
spesial, tempat yang berarti segalanya baginya, bahkan setelah ia meninggalkannya.”
”Kau sedang membicarakan Kau-Tahu-Siapa, kan? Bukan dirimu sendiri?” tanya Ron,
yang sedang menarik-narik kalung liontin di lehernya. Harry merasa ingin menarik
kalung itu dan mencekikkannya pada Ron.
”Kau bilang Kau-Tahu-Siapa meminta pekerjaan pada Dumbledore setelah dia lulus dari
sekolah,” kata Hermione.
”Benar,” kata Harry.
”Dan Dumbledore pikir itu hanya alasan untuk kembali dan mencari pusaka dari pendiri
Hogwarts dan menjadikannya sebagai Horcrux?”
”Ya,” kata Harry.
”Tapi dia tidak mendapat pekerjaannya, kan?” kata Hermione. ”Jadi dia tidak punya
kesempatan untuk mencari pusaka itu dan menyembunyikannya di Hogwarts!”
”Baiklah,” kata Harry menyerah. ”Lupakan Hogwarts.”
Tanpa petunjuk lain, mereka pergi ke London, dan di bawah Jubah Gaib, mereka mencari
panti asuhan di mana Voldemort dibesarkan. Hermione menyelinap ke perpustakaan dan
mengetahui dari berkas-berkas di sana bahwa tempat itu telah dihancurkan bertahuntahun
yang lalu. Dan saat mereka mendatangi daerah itu, yang mereka temukan hanyalah
deretan gedung perkantoran.
”Bisa saja kita menggali pondasinya,” kata Hermione setengah hati.
”Dia tidak akan menyembunyikan Horcrux di sini,” kata Harry. Ia sudah tahu bahwa
tempat itu adalah tempat yang ingin Voldemort tinggalkan, dan ia tidak akan
menyembunyikan potongan jiwanya di sana. Dumbledore telah menunjukkan pada Harry
kemegahan dan keajaiban tempat persembunyian Horcrux Voldemort. Dan bangunan
suram di ujung London tidak sebanding dengan Hogwarts, atau Kementrian, atau
bangunan lain seperti Gringotts, bank para penyihir dengan pintu emas dan lantai
marmer.
Bahkan tanpa ada gagasan baru, mereka melanjutkan bergerak di pinggiran kota,
berkemah di tempat berbeda tiap malam demi keamanan. Tiap pagi mereka memastikan
bahwa mereka telah menghapus semua petunjuk keberadaan mereka. Lalu pergi ke
tempat sepi dan terpencil yang lain. Bepergian dengan Apparition ke hutan lain, ke celah
tebing lain, ke pegunungan lain, dan sekali ke pantai berkoral. Setiap dua belas jam,
mereka bergantian memakai liontin itu seperti bermain permainan pass the parcel* dalam
gerak lambat yang mengerikan, karena begitu musik berhenti mereka akan menerima
hadiah dua belas jam tambahan rasa takut dan cemas.
Bekas luka Harry terasa sakit. Dan hal itu terjadi lebih sering saat ia sedang mengenakan
Horcrux itu. Terkadang ia tidak dapat menahan rasa sakitnya.
”Apa? Apa yang kau lihat?” paksa Ron, setiap ia melihat Harry merasa kesakitan.
”Wajah,” gumam Harry, setiap waktu. ”Wajah yang sama. Pencuri yang mencuri dari
Gregorovitch.”
Dan Ron beralih ke hal lain, tidak bersusah payah menyembunyikan kekecewaannya.
Harry tahu bahwa Ron ingin mendengar berita tentang keluarganya, atau anggota Orde
Phoenix, tapi tetap saja, Harry, tidak seperti televisi. Yang bisa ia lihat hanyalah apa yang
sedang Voldemort pikirkan, dan tidak bisa dengan mudah mengubah saluran yang ia
inginkan. Saat ini Voldemort berkutat dengan seorang pemuda dengan wajah senang,
yang Harry yakin, telah Voldemort ketahui nama dan tempat tinggalnya. Saat bekas luka
Harry terus terasa membakar dan wajah pemuda berambut keemasan berenang di dalam
pikirannya, ia belajar untuk menyembunyikan rasa sakit atau tidak nyamannya, karena
dua sahabatnya menunjukkan rasa tidak sabar dengan berita baru tentang pencuri itu.
Harry tidak dapat menyalahkan mereka, karena saat ini mereka sedang menanti petunjuk
baru tentang Horcrux lain.
Hari berubah menjadi minggu, Harry mulai curiga bahwa Ron dan Hermione sedang
membicarakan tanpa, dan tentang, dirinya. Beberapa kali Harry memergoki mereka yang
tiba-tiba terdiam saat Harry memasuki tenda. Dan dua kali Harry memergoki mereka
tiba-tiba mengambil jarak setelah saling mendekatkan kepala dan berbicara berbisikbisik,
sebelum mereka sadar bahwa Harry datang mendekat, dan mereka berpura-pura
sibuk mencari kayu atau mengambil air.
Harry tidak dapat berhenti memikirkan apakah mereka benar-benar tahu bahwa mereka
akan bepergian dalam perjalanan tanpa tujuan, karena mereka pikir akan ada rencana
rahasia yang akan mereka ketahui. Ron tidak berusaha menyembunyikan rasa
perasaannya buruknya, dan Harry mulai takut kalau Hermione mulai merasa kecewa
dengan kemampuan memimpin Harry. Dalam keputsasaannya, Harry mencoba menduga
tempat persembunyian Horcrux lain, tapi lagi-lagi yang muncul di kepalanya adalah
Hogwarts. Dan karena yang lain tidak berpikir hal yang sama, Harry berhenti untuk
mengatakannya.
Musim gugur tiba, kini mereka mendirikan tenda di atas daun-daun yang berguguran.
Kabut alami menambah tebal kabut yang diciptakan oleh Dementor. Angin dan hujan
menambah masalah mereka. Kenyataan bahwa Hermione semakin ahli membedakan
jamur yang dapat dimakan tidak sebanding dengan keadaan terisolasi, kurangnya
bersosialisasi, dan ketidakpedulian mereka terhadap perang melawan Voldemort.
“Ibuku,” kata Ron suatu malam, saat mereka berkemah di pinggiran sungai di Wales,
“bisa memunculkan makanan enak dari udara.”
Ia menyodok, potongan ikan hangus di piringnya. Harry langsung menatap leher Ron dan
seperti yang ia duga, rantai kalung emas sedang melingkar di sana. Harry berhasil
melawan dorongan untuk menyumpahi Ron, yang kelakuannya akan berubah, Harry tahu,
saat liontin itu dilepas.
”Ibumu tidak bisa membuat makan dari udara,” kata Hermione. ”Tidak seorang pun bisa.
Makanan adalah hal pertama yang ada dalam lima Elemen Dasar dalam Hukum
Transfigurasi Gamp…”
”Oh, tidak bisakah kau berbicara dengan bahasa manusia?” kata Ron sambil menarik
tulang ikan dari giginya.
”Tidak mungkin kau bisa membuat makanan dari ketidakadaan! Kau bisa Memanggilnya
kalau kau tahu di mana tempatnya berada, kau bisa mengubahnya, kau bisa menambah
jumlahnya kalau kau punya…”
”… aku tidak ingin menambah ini, ini menjijikkan,” kata Ron.
”Harry yang menangkap ikan dan aku melakukan yang terbaik yang bisa aku lakukan!
Aku merasa aku yang selalu mengurusi makanan. Karena aku seorang wanita, kurasa!”
”Bukan, karena kau seharusnya yang lebih baik dalam melakukan sihir!” bentak Ron.
Hermione meloncat berdiri dan makanan dalam piringnya jatuh ke lantai.
”Kau boleh memasak besok, Ron. Kau boleh mencari bahan makanan dan mencoba
menyihirnya menjadi sesuatu yang lebih layak untuk dimakan. Dan aku akan duduk diam
di sini, memasang muka sebal dan mengeluh, agar kau tahu bagaimana rasanya…”
”Diam!” kata Harry yang kini berdiri dan mengangkat kedua tangannya. ”Diam!
Sekarang!”
Hermione terihat marah.
”Harry, bisa-bisanya kau membelanya, dia bahkan tidak pernah…”
”Hermione, tenanglah, aku mendengar sesuatu!”
Harry berusaha mendengarkan, tangannya masih terangkat, memperingatkan yang lain
agar tetap diam. Lalu terdengar suara ribut dari arah sungai, dan Harry mendengar suara
lagi. ia melihat Sneakoscope. Benda itu tidak bergerak.
”Kau memasang Muffliato, kan?” bisik Harry pada Hermione.
”Aku pasang semua,” jawab Hermione dalam bisikan, ”Muffliato, Mantra Penolak
Muggle, Mantra Dissilusionment, semuanya. Tidak ada yang bisa mendengar atau
melihat kita, siapa pun mereka.”
Terdengar suara terseret, dan suara batu dan patahan ranting. Dan membuat mereka tahu
ada beberapa orang sedang menuruni turunan curam dari hutan di lereng bukit ke daerah
pinggiran sungai, di mana mereka mendirikan tenda. Mereka mengeluarkan tongkat, dan
menunggu. Perlindungan di sekitar mereka rasanya cukup untuk melindungi mereka dari
Muggle dan penyihir. Bila yang datang adalah Pelahap Maut, sepertinya perlindungan
mereka akan diuji oleh Sihir Hitam untuk pertama kalinya.
Suara itu semakin keras tapi tetap terdengar tidak jelas saat sekelompok orang itu
mencapai pinggiran sungai. Harry memperkirakan bahwa mereka berjarak kurang dari
enam meter dari mereka, tapi suara riak sungai membuat mereka tidak dapat
memastikannya. Hermione mengambil tas maniknya dan mulai mengaduk-aduk bagian
dalamnya. Setelah beberapa saat, mereka mengeluarkan tiga Telinga Terjulur dan
memberikannya pada Harry dan Ron, yang langsung memasukkan ujung benang
berwarna kulit itu ke telinga mereka dan melemparkan ujung yang lain ke luar tenda.
Dalam hitungan detik, Harry dapat mendengar suara pria yang kelelahan.
‘Seharusnya ada salmon sekarang, atau masih terlalu dini untuk musimnya? Accio
salmon!”
Terdengar bunyi cipratan air dan hentakan ikan yang meloncat keluar dari air. Lalu
terdengar suara orang menggumam senang. Harry menekankan Telinga Terjulur lebih
dalam. Berusaha menangkap suara di atas suara riak sungai, tapi mereka tidak berbicara
dalam bahasa manusia, bahkan yang belum Harry dengar. Suara mereka kasar dan tidak
berirama, seperti suara gumaman bergeretak dan parau, dan sepertinya ada dua orang
yang sedang berbicara, salah satu di antaranya bersuara lebih pelan daripada yang lain.
Api berderak di luar tenda mereka. Tercium bau sedap dari salmon bakar yang tertiup ke
arah mereka. Lalu terdengar suara denting pisau dan garpu, lalu seseorang berkata lagi.
“Ini, Griphook, Gornuk.”
“Goblins!” Hermione membisikkannya dan Harry mengangguk.
“Terima kasih,” kata dua Goblin lain.
“Jadi, kalian juga sedang melarikan diri? Sudah berapa lama?” kata suara baru yang
lembut dan menyenangkan, dan terdengar tidak asing bagi Harry, seorang pria bertubuh
tambun dengan wajah ceria.
”Enam minggu… tujuh… aku lupa,” kata sura yang terdengar kelelahan. ”Bertemu
dengan Griphook setelah beberapa hari, lalu bergabung dengan Gornuk tak berapa lama
kemudian. Cukup menyenangkan kalau ada teman seperjalanan.” Lalu mereka berhenti,
sementara terdengar suara pisau ditaruh di atas piring dan gelas diangkat dan diletakkan
kembali di atas tanah. ”Apa yang membuatmu kabur, Ted?” lanjut pria tadi.
”Aku tahu mereka sedang mencariku,” jawab suara lembut itu, dan Harry tahu siapa
orang itu. Ayah Tonks. ”Ku dengar Pelahap Maut ada di sekitar rumahku dan aku
memutuskan untuk melarikan diri. Aku menolak untuk mendaftarkan diri sebagai
kelahiran Muggle, tahulah, jadi ini hanya masalah waktu untuk melarikan diri. Istriku
akan baik-baik saja, dia darah murni. Lalu aku bertemu Dean, kapan, beberapa hari yang
lalu, kan, nak?”
”Ya,” kata suara lain, dan Harry, Ron, dan Hermione saling bertukar pandang, senang
dalam kebungkaman mereka, karena mengenali suara teman Gryffindor mereka, Dean
Thomas.
”Kelahiran Muggle, eh?” tanya pria pertama.
”Aku tidak yakin,” kata Dean. ”Ayahku meninggalkan ibu waktu aku masih kecil. Dan
aku tidak punya bukti kalau dia seorang penyihir.”
Tidak terdengar suara apa pun selain suara mengunyah, lalu Ted berbicara lagi.
”Harus kukatakan, Dirk, aku terkejut bisa bertemu denganmu. Senang, tapi terkejut.
Banyak yang bilang mereka menangkapmu.”
”Memang,” kata Dirk. ”Aku sedang dalam perjalanan menuju Azkaban saat aku berhasil
melarikan diri, memingsankan Dawlish dan mengambil sapunya. Ternyata lebih mudah
daripada yang kau bayangkan. Aku rasa dia memang sedang tidak dalam keadaan baik.
Di bawah sihir Confundus mungkin. Kalau memang benar, aku ingin menjabat tangan
penyihir yang telah melakukannya, karena telah membuatku dapat meloloskan diri.”
Lalu yang terdengar hanya suara derak api dan riak sungai. Lalu Ted berkata, ”Lalu apa
yang kalian berdua lakukan di sini? Aku pikir – er – kalian semua memihak Kau-Tahu-
Siapa.”
”Kau salah,” kata goblin yang bersuara lebih tinggi. ”Kami tidak memihak. Ini adalah
perang para penyihir.”
”Kalau begitu mengapa kalian bersembunyi?”
”Aku rasa ini adalah tindakan yang bijaksana,” kata goblin yang bersuara rendah. ”Aku
menolak apa yang aku anggap sebagai peemintaan kurang ajar, dan aku tahu bahwa
hidupku dalam masalah.”
”Apa yang mereka minta padamu?” tanya Ted.
”Pekerjaan yang tidak sesuai dengan martabat ras kami,” jawab si goblin, suaranya
terdengar kasar. ”Kami bukan peri rumah.”
”Bagaimana denganmu, Griphook?”
”Alasan serupa,” kata goblin bersuara tinggi. ”Gringotts tidak lagi dipimpin oleh ras
kami. Dan aku tidak mengenal kepemimpinan lain.”
Lalu ia menambahkan dengan bahasa Gobbledegook dan Gornuk tertawa.
”Apa leluconnya?” tanya Dean.
”Dia bilang,” jawab Dirk, ”penyihir juga tidak banyak mengenali hal lain.”
Tidak ada yang bersuara.
”Aku tidak mengerti,” kata Dean.
”Aku punya sedikit dendam saat aku pergi,” kata Griphook.
”Goblin baik,” kata Ted. ”Tidak berhasil mengunci salah satu Pelahap Maut dalam
ruangan penyimpanan tua berkeamanan tinggi, rupanya?”
”Kalau pun aku bisa, bahkan pedang itu tidak bisa membantunya keluar dari sana,” jawab
Griphook. Gornuk tertawa dan bahkan Dirk tertawa kecil.
”Dean dan aku sepertinya masih ketinggalan berita,” kata Ted.
”Severus Snape, sepertinya dia tidak mengenalinya juga,” kata Griphook, dan kedua
goblin itu tertawa menggila.
Di dalam tenda, Harry bernafas penuh ketertarikan. Ia dan Hermione bertukar pandang,
lalu mencoba mendengarkan lagi.
”Apa kau tidak tahu, Ted?” tanya Dirk. ”Tentang anak-anak yang mencoba mencuri
pedang Gryffindor dari kantor Snape di Hogwarts?”
Rasanya Harry tersengat listrik, setiap syaraf dan otot Harry terbangun.
”Tidak sama sekali,” kata Ted. ”Tidak dimuat dalam Prophet, ya?”
"Tentu saja,“ kekeh Dirk. "Griphook yang memberitahu aku, dia tahu dari Bill Weasley
yang bekerja untuk bank. Salah satu dari anak-anak itu adalah adik perempuannya.“
Harry menatap ke arah Ron dan Hermione yang memegang erat-erat Telinga Terjulur
mereka.
”Dia dan beberapa temannya masuk ke kantor Snape dan memecahkan kaca tempat
penyimpanan pedang itu. Snape menangkap mereka saat mereka mencoba
menyelundupkan pedang itu.“
"Ah, Tuhan memberkati mereka,” kata Ted. "Apa yang mereka pikirkan? bahwa mereka
bisa menggunakannya melawan Kau-Tahu-Siapa? Atau untuk melawan Snape?“
"Apa pun pemikiran mereka, Snape menganggap bahwa pedang itu tidak lagi aman,“ kata
Dirk. "Beberapa hari kemudian, setelah diperintahkan Kau-Tahu-Siapa, sepertinya, dia
mengirimkannya ke London untuk disimpan di Gringotts.“
Lalu kedua goblin itu tertawa lagi.
”Aku masih belum mengerti lelucon kalian,” kata Ted.
”Pedang itu palsu!” kata Griphook.
”Pedang Gryffindor!”
”
Oh, ya. Sebuah tiruan – tiruan yang sangat bagus, memang – tapi itu buatan penyihir.
Yang asli telah dibuat berabad-abad lalu oleh goblin dan menjadi properti alat tempur
buatan goblin. Di mana pun pedang Gryffindor yang asli itu berada, yang pasti bukan di
Gringotts.”
”Aku mengerti,” kata Ted. ”Dan kalian tidak perlu mengatakan hal itu pada Pelahap
Maut, kan?”
”Aku tidak punya alasan untuk menambah masalah mereka dengan memberitahu
mereka,’ kata Griphook berpuas diri, dan sekarang Ted dan Dean ikut tertawa bersama
Gornuk dan Dirk.
Di dalam tenda, Harry menutup matanya, berharap ada orang yang menanyakan yang
ingin Harry tahu jawabannya. Dan kurang lebih sepuluh menit kemudian, Dean
mengingatkan Harry bahwa ia (Harry mengingatnya dengan rasa tersentak) juga mantan
pacar Ginny.
“Apa yang terjadi pada Ginny dan yang lain? Yang mencoba mencuri pedang itu?”
“Oh, mereka dihukum dengan kejam,” kata Griphook.
”Tapi mereka baik-baik saja, kan?” tanya Ted cepat. ”Maksudku, keluarga Weasley tidak
berharap anak mereka terluka lagi, kan?”
”Mereka tidak terluka serius, setahuku,” kata Griphook.
”Untunglah,” kata Ted. ”Dengan catatan Snape di masa lalu, aku rasa kita harus
bersyukur kalau mereka masih hidup.”
“Kau percaya cerita itu, Ted?” tanya Dirk. “Kau percaya Snape membunuh
Dumbledore?”
”Tentu saja,” kata Ted. ”Kau tidak akan berpikiran bahwa Harry Potter ada sangkut
pautnya, kan?”
“Sulit untuk bisa mempercayai sesuatu akhir-akhir ini,” gumam Dirk.
“Aku kenal Harry Potter,” kata Dean. “Dan aku rasa dia memang – Yang Terpilih, atau
apa saja sebutan lainnya itu.”
”Ya, banyak yang mempercayainya, nak,” kata Dirk, ”termasuk aku. Tapi di mana dia?
Pergi mencari sesuatu. Menurutmu, bila dia tahu sesuatu yang tidak kita tahu, atau
memang punya sesuatu yang spesial, bukankah lebih baik dia memberikan perlawanan
daripada bersembunyi. Dan tahukah kau bahwa Prophet membuatnya terlihat…”
”Prophet?” potong Ted. ”Kau dibohongi kalau tetap membaca sampah itu, Dirk. Bila
inginkan hal nyata, baca Quibbler.”
Tiba-tiba terdengar suara tersedak dan terbatuk, juga terdengar suara tepukan yang cukup
keras. Sepertinya Dirk telah menelan tulang ikan. Akhirnya ia berkata, ‘Quibbler?
Majalah gila milik Xeno Lovegood itu?
”Tidak begitu gila akhir-akhir ini,” kata Ted. ”Kau harus membacanya. Xeno menulis
segala hal yang tidak ditulis di Prophet, dan tidak menyinggung sama sekali tentang
Snorkack Tanduk Kisut. Sampai kapan ia akan dibiarkan seperti itu. Tapi di setiap edisi
dia menyatakan bahwa setiap penyihir yang ingin melawan Kau-Tahu-Siapa harus
membantu Harry Potter.’
”Tapi susah untuk membantu seorang bocah yang sedang menghilang dari permukaan
bumi ini,” kata Dirk.
”Dengar, kenyataan bahwa mereka belum bisa menangkapnya saja, adalah suatu hal luar
biasa,” kata Ted. ”Dan aku sependapat dengan Potter. Apa yang kita lakukan selama ini,
untuk tetap bebas, kan?”
”Ya, ada benarnya juga,” kata Dirk berberat hati. ”Dengan seluruh Kementrian dan
informan mereka mencari-carinya, aku akan mengira kalau ia sudah ditangkap sekarang.
Dan tidak mungkin bila mereka telah menangkap dan membunuhnya tanpa harus
memberitakannya, kan?”
”Jangan berbicara seperti itu, Dirk,” gumam Ted.
Lalu kebungkaman diiringi oleh dentingan pisau dan garpu. Dan saat mereka berbicara
lagi, mereka sedang menentukan apakah mereka akan tidur di pinggiran sungai atau
kembali ke hutan di lereng bukit. Setelah memutuskan bahwa pepohonan akan
memberikan perlindungan yang lebih baik, mereka memadamkan api lalu kembali ke
lereng, dan suara mereka mulai menghilang.
Harry, Ron, dan Hermione menggulung kembali Telinga Terjulur mereka. Harry yang
sudah tahu tidak perlu lagi berdiam diri, kini tidak bisa berkata apa pun selain, ”Ginny –
pedang.”
”Aku tahu!” kata Hermione.
Hermione memasukkan tangannya ke dalam tas manik, dan kali ini ia bahkan
menenggelamkan seluruh lengannya hingga batas ketiak.
”Ini… dia…” kata Hermione dengan gigi terkatup, saat ia mencoba menarik sesuatu dari
kedalaman tas. Perlahan, ujung dari pigura berornamen mulai terlihat. Harry bergegas
membantunya. Setelah mereka berhasil mengeluarkan potret kosong milik Phineas
Nigellus, Hermione menacungkan tongkatnya ke arah potret itu, bersiap-siap untuk
melepaskan mantera.
”Kalau ada yang menukar pedang saat yang asli masih berada di kantor Dumbledore,”
kata Hermione sambil menyandarkan potret itu ke tenda, ”Phineas Niggellus pasti
melihatnya, dia digantung tepat di samping pedang itu!”
”Kecuali dia sedang tidur,” kata Harry yang menahan nafas saat Hermione berlutut di
depan potret kosong itu. Tongkat Hermione mengarah ke tengah potret, ia berdeham, lalu
berkata, ”Er – Phineas? Phineas Nigellus?”
Tidak ada yang terjadi.
”Phineas Nigellus?“ kata Hermione lagi. ”Profesor Black? Bisakah kami berbicara pada
Anda? Tolong?”
”’Tolong’ selalu membantu,” kata suara dingin dengan nada menghina, dan Phineas
Nigellus masuk ke dalam potretnya. Seketika Hermione berteriak, ”Obscuro!"
Sebuah penutup mata hitam muncul menutupi mata pintar dan gelap milik Phineas
Nigellus, dan membuatnya terjatuh menghantam pinggiran pigura dan mengerang
kesakitan.
”Apa – beraninya kau – apa yang kau lakukan?”
”Maaf, sungguh, Profesor Black,” kata Hermione, ”tapi ini tindak pencegahan yang
penting!”
”Buang benda konyol ini! Hilangkan! Kau merusak sebuah mahakarya seni! Di mana
aku? Apa yang terjadi?”
”Tidak penting di mana kau sekarang,” kata Harry, dan Phineas Nigellus membeku,
melupakan keinginannya untuk melepaskan penutup matanya.
”Mungkinkah ini adalah suara dari Harry Potter lihai itu?”
”Mungkin saja,” kata Harry yang tahu bagaimana menjaga ketertarikan Phineas Nigellus.
”Kami punya beberapa pertanyaan untukmu – tentang pedang Gryffindor.”
”Ah,” kata Phineas Nigellus, yang mencoba menelengkan kepalanya untuk dapat melihat
Harry, ”ya, gadis bodoh itu bersikap tidak bijaksana…”
”Jangan komentari adikku!” kata Ron kasar. Phineas Nigellus mengangkat alisnya
dengan congkak.
”Siapa lagi itu?” tanya Phineas Nigellus, terus menelengkan kepalanya. ”Nada bicaramu
membuatku tidak senang! Gadis itu dan teman-temannya benar-benar gila-gilaan.
Mencuri dari kepala sekolah!”
”Mereka tidak mencuri,” kata Harry. ”Pedang itu bukan milik Snape.”
”Pedang itu milik sekolah Profesor Snape,” kata Phineas Nigellus. ”Memang apa yang
gadis itu inginkan dari pedang itu? Dia telah menerima hukumannya, begitu pula si idiot
Longbottom dan si aneh Lovegood!”
”Neville bukan idiot dan Luna tidak aneh!” kata Hermione.
”Di mana aku?” ulang Phineas Nigellus, mulai bergulat dengan penutup mata itu lagi.
”Ke mana kalian membawaku? Mengapa kau melepaskanku dari rumah nenek
moyangku?”
”Lupakan itu! Bagaimana Snape menghukum Ginny, Neville, dan Luna?” tanya Harry
cemas.
”Profesor Snape mengirim mereka ke Hutan Terlarang, melakukan sesuatu bersama si
udik, Hagrid.”
”Hagrid bukan udik!” lengking Hermione.
”Dan Snape menganggapnya sebagai hukuman,” kata Harry, ”tapi Ginny, Neville, dan
Luna mungkin menghabiskan waktu dengan tertawa bersama Hagrid. Hutan Terlarang…
mereka bisa saja menghadapi yang jauh lebih buruk!”
Harry merasa lega, karena ia telah membayangkan hal-hal yang mengerikan seperti
Kutukan Cruciatus, paling tidak.
”Yang kami ingin tahu, profesor Black, apakah ada orang lain yang, um, pernah
mengambil pedang itu? Untuk dibersihkan, mungkin?”
Phineas Nigellus berhenti sejenak dari usaha melepas pentup matanya dan terkikik.
”Dasar kelahiran Muggle,” katanya. ”Alat tempur buatan goblin tidak perlu dibersihkan,
gadis murahan. Perak goblin menolak semua kotoran, dan menyerap semua yang
memperkuatnya.”
”Jangan sebut Hermione murahan!” kata Harry.
”Aku mulai bosan dengan bantahan kalian,” kata Phineas Nigellus. ”Apa ini mungkin
waktuku untuk kembali ke kantor kepala sekolah?”
Dengan mata tertutup, Phineas Nigellus meraba-raba sisi pigura, mencoba merasakan
jalan keluar dan kembali ke Hogwarts. Harry tiba-tiba mendapatkan inspirasi.
”Dumbledore! Bisakah kau membawa Dumbledore kemari?”
“Maaf?” tanya Phineas Nigellus.
“Potret Profesor Dumbledore – tak bisakah kau membawanya kemari, ke dalam
potretmu?”
Phineas Nigellus menolehkan wajahnya ke arah suara Harry.
”Sepertinya bukan hanya kelahiran Muggle yang bodoh, Potter. Potret di Hogwarts
mungkin saja dapat saling berkunjung tapi mereka tidak dapat berkunjung keluar kastil
kecuali mereka berkunjung ke potret mereka sendiri. Dumbledore tidak dapat kemari
denganku, dan setelah perlakuan kalian, aku dapat memastikan bahwa aku tidak akan
kembali!”
Harry perlahan menundukkan kepalanya, melihat Phineas berusaha untuk keluar dari
piguranya.
”Profesor Black,” kata Hermione, ”tidak bisakah kau mengatakan pada kami, tolong,
kapan terakhir kali pedang itu keluar dari tempatnya? Sebelum Ginny mengambilnya,
maksudku.”
Phineas mendengus tidak sabar.
”Aku percaya bahwa terakhir kali aku melihat pedang Gryffindor keluar dari tempatnya
adalah saat Profesor Dumbledore menggunakannya untuk membuka sebuah cincin.”
Hermione menoleh untuk menatap Harry. Tidak ada di antara mereka yang berani
berbicara apa pun di depan Phineas Nigellus, yang akhirnya menemukan jalan keluar.
”Baiklah, selamat malam,” kata Phineas Nigellus dan mulai pergi menghilang. Hanya
ujung dari tepi topinya yang terlihat saat tiba-tiba Harry berteriak.
”Tunggu! Apakah kau pernah mengatakan hal ini pada Snape?”
Kepala Phineas Nigellus kembali ke potret berpenutup mata.
“Profesor Snape punya urusan yang lebih penting daripada memikirkan keeksentrikan
Albus Dumbledore. Sampai jumpa, Potter!“
Dan akhirnya Phineas Nigellus benar-benar pergi, menghilang, meninggalkan latar
belakang yang suram.
“Harry!“ kata Hermione.
“Aku tahu!“ teriak Harry. Tidak mampu menguasai dirinya sendiri, Harry memukul
udara. Ia telah mendapatkan sesuatu lebih dari yang ia harapkan. Ia berjalan berputarputar
dalam tenda, merasa dapat berlari berkilo-kilometer jauhnya, ia bahkan tidak
merasa lapar lagi. Hermione sedang memasukkan pigura Phineas Nigellus ke dalam tas
maniknya, saat ia telah menutupnya, ia meleparkan tas itu, dan menoleh ke arah Harry.
”Pedang itu bisa menghancurkan Horcrux! Pedang buatan goblin menyerap semua yang
dapat menambah kekuatannya – Harry, pedang itu telah menyerap racun Basilisk!”
”Dan Dumbledore tidak memberikannya padaku karena dia masih membutuhkannya, ia
ingin menggunakannya untuk menghancurkan liontin…”
”… dan dia pasti telah tahu bahwa mereka tidak akan memberikannya padamu melalui
wasiatnya…”
“… jadi dia membuat tiruannya…”
“… dan menyimpan yang palsu di tempatnya…”
“… dan meninggalkan yang asli… di mana?”
Mereka bertukar pandang, Harry merasa bahwa jawabannya mengapung di atas mereka,
begitu dekat. Mengapa Dumbledore tidak memberitahu? Atau, ia telah memberitahu
Harry, tapi Harry tidak menyadarinya saat itu?
“Pikir!“ bisik Hermione. “Pikir! Di mana dia akan menyimpannya?“
“Tidak di Hogwarts,” kata Harry melanjutkan berjalan berputar-putar.
“Di suatu tempat di Hogsmeade?” usul Hermione.
“Gubuk Menjerit?’ kata Harry. ”Tidak ada yang pernah ke sana.”
”Tapi Snape tahu bagaimana cara masuk ke sana, apa tidak terlalu beresiko?”
“Dumbledore mempercayai Snape,” Harry mengingatkan.
“Tidak terlalu percaya hingga dia tidak mengatakan bahwa dia telah menukar pedang
itu,” kata Hermione.
“Ya, kau benar!” kata Harry, yang merasa lebih gembira karena berpikir bahwa
Dumbledore juga sedikit ragu pada kesetiaan Snape. “Jadi, apa dia akan menyimpan
pedang itu di Hogsmeade? Apa pendapatmu, Ron? Ron?”
Harry melihat sekeliling. Sesaat ia berpikir bahwa Ron telah meninggalkan tenda, lalu
tersadar bahwa Ron sedang berbaring dalam bayangan di ranjang bawah, terdiam
membatu.
”Oh, kau masih ingat aku?” kata Ron.
”Apa?”
Ron mendengus dan terus menatap ke bagian bawah ranjang atas.
”Kalian berdua lanjutkan saja. Jangan biarkan aku mengganggu kalian.”
Kebingungan, Harry melihat Hermione meminta pertolongan, tapi Hermione
menggelengkan kepalanya, sama bingungnya dengan Harry.
”Ada masalah apa?” tanya Harry.
”Masalah? Tidak ada masalah,” kata Ron yang masih menolak untuk melihat Harry.
”Tidak menurut kalian.”
Terdengar beberapa suara tes di kanvas di atas mereka. Hujan turun.
”Jelas kau sedang ada masalah,” kata Harry. ”Katakan saja.”
Ron mengayunkan kaki panjangnya turun dari ranjang dan duduk. Ia terlihat kejam, tidak
seperti dirinya sendiri.
”Baik, akan kukatakan. Jangan harap aku akan melompat kesenangan karena ada barang
lain lagi yang harus kita temukan. Tambahkan saja pada daftar hal-hal yang tidak kau
tahu.”
”Yang tidak aku tahu?” ulang Harry. "Yang tidak aku tahu?"
Tes, tes, tes. Hujan turun lebih deras dan berat. Memaksa daun-daun yang berguguran di
sekitar tenda mengalir ke sungai dalam kegelapan. Rasa takut mengaliri Harry, karena
Ron telah mengatakan hal yang ia takutkan.
”Aku tidak merasa aku bisa hidup di sini,” kata Ron, ”kau tahu, dengan tangan terbebat,
tidak ada yang bisa dimakan, dan kedinginan tiap malam. Aku berharap, setelah
berminggu-minggu kita melarikan diri, kita akan mendapatkan sesuatu.”
”Ron,” kata Hermione dengan suara begitu pelan, sehingga bisa saja Ron berpura-pura
tidak mendengar karena kerasnya suara hujan yang menjatuhi tenda.
”Aku kira kau tahu apa yang akan kau lakukan,” kata Harry.
”Ya, aku pikir begitu.”
”Jadi, hidup seperti ini tidak seperti harapanmu?” tanya Harry. Amarah memenuhi
dirinya sekarang. ”Kau pikir kita akan tinggal di hotel bintang lima? Kau pikir kita akan
menemukan satu Horcrux setiap harinya? Kau pikir kau akan kembali pada Mommy saat
Natal?”
”Kami pikir kau tahu apa yang akan kau lakukan!” teriak Ron yang sekarang berdiri.
Kata-katanya menusuk Harry seperti pisau panas. ”Kami pikir Dumbledore telah
memberitahumu semua yang harus kau lakukan, kami pikir kau punya rencana yang
sebenarnya!”
”Ron!” kata Hermione kali ini suara jelas terdengar walau di bawah deras hujan dan suara
kilat, tapi sekali lagi, Ron mengacuhkannya.
”Maaf sudah mengecewakan kalian,” kata Harry, suaranya tenang walau ia merasa
hampa. ”Aku sudah berusaha jujur pada kalian sejak awal, aku sudah katakan semua
yang Dumbledore katakan padaku. Dan kalau kau tidak memerhatikan, kita telah
menemukan satu Horcrux…”
”Ya, kita akan menghancurkannya sementara kita sedang mencari Horcrux yang lain –
menghancurkannya di dunia lain, mungkin!”
”Lepaskan liontin itu, Ron!” kata Hermione dalam nada tinggi yang tidak biasa. ”Tolong
lepaska liontin itu. Kau tak akan berbicara seperti ini bila kau tidak memakainya
seharian.”
”Tetap saja,” kata Harry, yang sedang tidak ingin menerima alasan apa pun tentang Ron.
”Kalian pikir aku tidak tahu kalau kalian berdua berbisk-bisik di belakangku? Kalian
pikir aku tidak akan menduga kalian akan membicarakan hal ini?”
”Harry, kami tidak…”
”Jangan bohong!” potong Ron. ”Kau juga bilang begitu, Hermione. Kau bilang kau
kecewa, kau bilang kau pikir Harry memiliki…”
”Aku tidak berkata seperti itu, Harry!“ teriak Hermione.
Hujan terus mengguyur tenda, air mata mengaliri wajah Hermione, dan kegembiraan
yang muncul beberapa menit yang lalu, hilang begitu saja. Seperti pertunjukan kembang
api yang meriah, lalu selesai, dan hanya menyisakan rasa gelap, basah, dan dingin.
Pedang Gryffindor yang entah disembunyikan di mana, dan tiga remaja tanggung yang
berada di dalam tenda merasa tidak akan menerima hadiah apa pun selain kematian.
“Jadi mengapa kau masih di sini?“ tanya Harry pada Ron.
”Berani kau menantangku,” kata Ron.
”Pulang sana!” kata Harry.
”Baik, aku akan pulang!” teriak Ron lalu maju beberapa langkah menuju Harry, yang
tidak mengambil langkah mundur. ”Apa kau tidak dengar yang mereka katakan tentang
adikku? Sedikit pun kau tidak cemas. Hanya Hutan Terlarang. Harry aku-pernahmengalami-
yang-lebih-buruk Potter tidak peduli dengan apa yang terjadi pada adikku.
Aku peduli! Di dalam sana ada laba-laba raksasa dan hal-hal gila lain…”
”Maksudku – dia bersama yang lain, mereka bersama Hagrid…”
”… ya, aku mengerti, kau tidak peduli! Dan bagaimana dengan keluargaku yang lain,
’keluarga Weasley tidak berharap anak mereka terluka lagi’, kau dengar itu?”
”Ya, aku…”
”Kau tidak cemas dengan maksud kata-kata itu, kan?”
”Ron!” kata Hermione yang mencoba menengahi, ”aku rasa maksud kata-kata itu bukan
berarti ada sesuatu hal baru yang terjadi. Coba pikir, Ron, Bill yang penuh dengan luka,
dan orang-orang pasti sudah melihat telinga George sekarang, ditambah lagi kau yang
seharusnya sekarat karena spattergoit di ranjangmu, aku yakin itulah maksud kalimat…”
”Oh, yakin sekali. Baik, aku tidak perlu memikirkannya. Karena kalian berdua pun tidak
khawatir, dengan orang tua kalian aman di luar…”
”Orang tuaku meninggal!” teriak Harry.
”Dan kita juga akan mengalami hal yang sama!” teriak Ron.
”Kalau begitu PERGI!” teriak Harry, marah. ”Pulang dan berpura-puralah kalau kau
sudah sembuh dari spattergoitmu itu, dan Mommy akan menyuapimu, dan…”
Tiba-tiba Ron bergerak, dan Harry bereaksi, tapi sebelum tongkat kedua pemuda itu
keluar dari kantung mereka, Hermione sudah mengangkat tongkatnya.
”Protego!’ teriak Hermione, dan sebuah selubung tak terlihat memisahkan mereka. Harry
dan Hermione di satu sisi, dan Ron di sisi lain. Ketiganya seakan dipaksa mundur
beberapa langkah karena kekuatan mantera itu. Harry dan Ron saling tatap melalui
penghalang transparan itu, seakan mereka bisa melihat lebih jelas daripada sebelumnya.
Harry merasa begitu benci pada Ron, dan tiba-tiba ikatan persahabatan mereka terputus
begitu saja.
”Tinggalkan Horcruxnya!” kata Harry.
Ron menarik rantai kalung dari kepalanya dan melemparkan liontin itu ke kursi terdekat.
Lalu ia menoleh pada Hermione.
”Apa yang kau lakukan?”
”Apa maksudmu?”
”Apa kau akan tinggal atau apa?”
”Aku…” Hermione terlihat menderita. ”Ya – ya, aku akan tinggal, Ron, kita sudah bilang
kalau kita akan pergi bersama Harry, kita bilang kalau kita akan membantunya.”
”Aku mengerti. Kau memilih dia.”
”Ron, jangan – kumohon – kembali, kembali!”
Hermione dihalangi oleh Mantra Pelindungnya sendiri. Saat Hermione telah
melepaskannya, Ron telah pergi bersama malam. Harry tetap berdiri dalam diam,
mendengarkan Hermione terisak dan memanggil nama Ron di antara pepohonan.
Setelah beberapa menit, Hermione kembali. Rambutnya yang basah menutupi wajahnya.
”Dia p-p-pergi! Ber-Disapparate!”
Hermione duduk di atas kursi, meringkuk, dan mulai menangis.
Harry merasa linglung. Ia mengambil Horcrux itu dan memakainya di leher. Ia
mengambil selimut Ron dan memakaikannya pada Hermione. Lalu ia naik ke ranjangnya
sendiri, berbaring, dan menatap ke kanvas di atasnya, mendengarkan derasnya hujan.
______________________________________
*pass the parcel (berikan bingkisannya) adalah permainan dalam suatu lingkaran di mana
setiap orang membawa bingkisan, dan saat musik berbunyi mereka memberikan
bingkisan tersebut ke orang yang ada di sebelahnya hingga musik berhenti dan mereka
menerima bingkisan tersebut sebagai hadiah mereka.
Thx to You-Know Hulk yang udah ngasih tau tulisan typo.
Chapter 16
Godric’s Hollow
Saat Harry bangun keesokan harinya, ada beberapa saat sebelum ia ingat apa yang telah
terjadi. Lalu ia berharap, layaknya anak kecil, bahwa itu hanyalah mimpi, bahwa Ron
masih ada di sini dan tidak pergi. Tapi saat ia menoleh ke bawah, yang ia lihat hanyalah
ranjang Ron yang kosong. Ia mengalihkan pandangan matanya ke arah lain. Harry
melompat turun dari ranjangnya dan berusaha untuk tidak melihat ranjang Ron.
Hermione, yang sudah sibuk di dapur, tidak menyapa Harry, malah membuang muka saat
Harry melewatinya.
Dia sudah pergi, kata Harry pada dirinya sendiri. Dia sudah pergi. Harry terus saja
memikirkannya selama ia mandi dan berpakaian, dan terus mengulang-ulangnya seakan
ia masih terkejut dengan kejadian semalam. Dia sudah pergi dan tidak akan kembali lagi.
Dan itulah kenyataan yang Harry tahu, karena dengan adanya sihir perlindungan, tidak
mungkin kau bisa kembali, begitu kau meninggalkannya.
Harry dan Hermione sarapan dalam diam. Mata Hermione bengkak dan merah,
sepertinya ia tidak tidur semalam. Mereka berkemas, Hermione mengulur-ulur waktu.
Harry tahu mengapa Hermione ingin berlama-lama di pinggiran sungai ini. Beberapa kali
Harry melihat Hermione yang sedang mencari-cari saat ia merasa mendengar suara
langkah kaki, tapi tidak ada sosok berambut merah yang muncul dari pepohonan. Setiap
kali Harry meniru Hermione, mencari-cari dan melihat sekeliling (walau tidak terlalu
berharap), yang ia lihat hanyalah hujan yang menyapu pepohonan. Tiba-tiba Harry
merasa marah, dan mendengar Ron berkata "Kami pikir kau tahu apa yang akan kau
lakukan!”, dan Harry melanjutkan berkemas dengan rasa terpilin di perutnya.
Air di sungai berlumpur di sebelah mereka meninggi dan sebentar lagi pasti akan
menggenangi tempat berkemah mereka. Mereka membuang-buang waktu dengan tetap
berada di sana. Akhirnya, setelah tiga kali memastikan isi tas manik, Hermione tidak
punya alasan lagi untuk berlama-lama. Harry dan Hermione bergandengan tangan dan
ber-Disapparate, muncul di lereng bukit berangin yang dipenuhi oleh bunga heather.
Saat mereka tiba, Hermione langsung melepaskan tangan Harry dan menjauh darinya.
Hermione duduk di sebuah batu besar, menatap lututnya sendiri, dan mulai menangis.
Harry menatapnya, seharusnya ia datang dan menenangkan Hermione, tapi ada sesuatu
yang mencegah Harry dan membuatnya tetap terdiam di tempatnya. Tubuhnya dingin dan
tegang saat ia mengingat ekspresi wajah Ron yang merendahkannya. Harry berjalan
melangkahi bunga-bunga heather, berjalan dalam sebuah lingkaran besar dengan
Hermione sebagai titik pusatnya, mengucapkan mantera yang biasa Hermione ucapkan
untuk memasang perlindungan.
Mereka tidak membicarakan Ron dalam beberapa hari ke depan. Harry memutuskan
untuk tidak menyebutkan nama itu lagi, dan Hermione tahu bahwa tidak ada gunanya
untuk membicarakan hal itu. Terkadang di malam-malam saat Hermione mengira Harry
sudah pergi tidur, Harry dapat mendengarnya menangis. Sementara Harry memeriksa
Peta Perompak di bawah cahaya tongkatnya. Menanti saat muncul satu titik berlabel Ron
akan muncul di salah satu koridor di Hogwarts, yang membuktikan bahwa Ron telah
kembali ke kastil yang nyaman, dan dilindungi oleh status darah murninya. Tapi tetap
saja nama Ron tidak muncul di peta, dan Harry malah terus-terusan mengikuti nama
Ginny yang kini berada di asrama putri. Berharap bahwa tatapannya ke titik itu dapat
memasuki mimpi Ginny, membuatnya tahu bahwa ia sedang memikirkannya, berharap
bahwa Ginny baik-baik saja.
Di siang hari, Harry dan Hermione terus saja menebak-nebak lokasi yang mungkin
menjadi tempat persembunyian pedang Gryffindor. Tapi semakin sering mereka
membicarakan tempat di mana Dumbledore munkin menyembunyikannya, semakin putus
asa mereka. Memaksa otaknya untuk bekerja, Harry tetap tidak dapat mengingat apakah
Dumbledore pernah menyebutkan suatu tempat di mana ia bisa menyembunyikan
sesuatu. Dan ada beberapa saat di mana Harry merasa begitu marah, entah pada Ron atau
Dumbledore. Kami pikir kau tahu apa yang akan kau lakukan… kami pikir Dumbledore
telah memberitahumu semua yang harus kau lakukan… kami pikir kau punya rencana
yang sebenarnya!
Harry tidak bisa berpura-pura lagi. Ron benar, bisa dibilang Dumbledore tidak
meninggalkannya apa pun. Mereka berhasil menemukan satu Horcrux, tapi tidak bisa
menghancurkannya. Sedangkan Horcrux lain entah ada di mana. Rasa putus asa
membawa Harry jatuh ke jurang yang dalam. Sekarang, Harry merasa goyah saat
memikirkan keputusannya untuk menerima tawaran sahabatnya untuk ikut bersamanya
ke dalam perjalanan tanpa tujuan ini. Ia tidak tahu apa-apa, ia tidak punya ide, dan ia
terus-terusan merasa bahwa Hermione juga akan meninggalkannya.
Mereka menghabiskan hampir tiap malam dalam kesunyian. Hermione mengeluarkan
potret Phineas Nigellus dan menyandarkannya pada kursi, berpikir dapat mengisi
kekosongan yang Ron tinggalkan. Dan tidak sesuai dengan kata-katanya, Phineas
Nigellus tidak dapat menahan diri untuk datang dan mencari tahu apa yang Harry
lakukan, dengan penutup mata, setiap beberapa hari sekali. Bahkan Harry senang saat
Phineas Nigellus berkunjung, karena ada seorang teman bicara, walau ia congkak dan
sering mengejek. Mereka menerima semua berita terbaru dari Hogwarts, walau
sebenarnya Phineas Nigellus bukan informan yang baik, karena ia memuja Snape, kepala
sekolah Slytherin pertama sejak dirinya. Harry dan Hermione belajar untuk berhati-hati,
tidak mengomentari, dan tidak berkata tidak sopan terhadap Snape, atau Phineas akan
pergi dari potretnya.
Tapi tetap saja Phineas memberikan potongan-potongan berita penting. Snape sepertinya
terus-terusan menerima aksi pemberontakan kecil-kecilan dari para murid. Ginny bahkan
tidak mendapat izin untuk kunjungan ke Hogsmeade. Dan Snape telah meniru dekrit lama
Umbridge, yaitu melarang pertemuan lebih dari tiga siswa, atau perkumpulan siswa yang
tidak resmi.
Dari semua berita ini, Harry menyimpulkan bahwa Ginny, Neville, dan Luna berusaha
sebisa mungkin untuk melanjutkan kegiatan Laskar Dumbledore. Potongan-potongan
berita ini membuat Harry ingin bertemu Ginny hingga perutnya terasa sakit, tapi hal itu
juga membuatnya teringat tentang Ron, Dumbledore, dan Hogwarts, yang begitu ia
rindukan seperti mantan pacarnya. Saat Phineas Nigellus bercerita tentang tindakan keras
yang diambil oleh Snape, Harry merasakan sebuah kegilaan sesaat tentang bagaimana ia
kembali ke sekolah dan berada di bawah kekuasaan Snape yang tidak stabil, dengan
makanan lezat dan ranjang hangat, sepertinya hal itu adalah hal terbaik di dunia. Tapi ia
ingat bahwa ia adalah Yang Paling Tidak Diinginkan dengan sepuluh ribu Galleon di atas
kepalanya, dan berada di Hogwarts sama berbahayanya dengan saat ia menoerobos
masuk ke Kementrian Sihir. Terkadang Phineas mencoba bertanya tentang di mana Harry
dan Hermione berada, dan Hermione langsung memasukkan potret itu ke dalam tas
maniknya setiap Phineas bertanya. Lalu Phineas tidak akan berkunjung selama beberapa
hari karena merasa tersinggung dengan perpisahan tidak sopan itu.
Suhu mulai bertambah dingin. Membuat Harry dan Hermione tidak berani tinggal di satu
tempat dalam waktu yang lama. Dan membuat mereka menghindari bagian selatan
Inggris, karena tanah di sana membeku. Mereka melanjutkan perjalanan mereka
berkeliling negeri. Ke lereng gunung, di mana salju menghujani tenda. Ke daerah rawarawa
yang luas, di mana air rawa yang dingin membanjiri tenda. Dan, ke sebuah pulau
kecil di tengah danau di Skotlandia, di mana tenda mereka terkubur salju.
Mereka dapat melihat pohon Natal yang berkelip-kelip dari jendela di beberapa rumah,
sebelum akhirnya menghabiskan malam di jalan yang sudah tidak digunakan di suatu
kota dan makan enak. Hermione pergi ke supermarket dengan Jubah Gaib (dan
meninggalkan uang di kasir saat ia keluar) dan Harry berpikir akan lebih mudah
mempengaruhinya dalam keadaan perut penuh dengan spaghetti Bolognaise dan buah pir
kalengan. Harry bahkan belajar dari masa lalu dan membuat mereka untuk beberapa jam
tidak memakai Horcrux yang sekarang berada di ujung ranjangnya.
“Hermione?”
“Hm?” Hermione sedang meringkuk di salah satu kursi malas dengan Dongeng Beedle si
Penyair. Harry tidak tahu apa yang bisa Hermione dapat dari buku itu, karena buku itu
tidak terlalu tebal. Tapi sepertinya Hermione sedang menguraikan sesuatu, karena Kamus
Spellman terbuka di sebelahnya.
Harry berdeham. Harry merasa sedang melakukan hal yang sama seperti beberapa tahun
yang lalu, saat ia mencoba untuk meminta izin dari profesor McGonagall untuk bisa pergi
ke Hogsmeade karena paman Vernon tidak menandatangani surat izinnya.
“Hermione, aku sedang berpikir, dan…”
“Harry, bisakah kau bantu aku?”
Sepertinya Hermione tidak sedang mendengarkan Harry. Hermione maju dan
menyorongkan Dongeng Beedle si Penyair ke arah Harry.
“Lihat simbol ini,” kata Hermione sambil menunjuk bagian atas halaman. Di mana
terdapat, yang Harry anggap sebagai, judul cerita (karena Harry tidak dapat membaca
huruf rune). Terdapat sebuah simbol segitiga dengan lingkaran di dalamnya, yang
terbelah oleh sebuah garis lurus.
“Aku tidak pernah belajar Rune Kuno, Hermione.”
“Aku tahu, tapi ini bukan huruf rune dan juga tidak ada di kamus. Selama ini aku
menganggapnya sebagai gambar mata, tapi sepertinya bukan! Ada yang menuliskannya
di sini, lihat, seseorang telah menggambarnya, simbol ini bukan bagian dari buku. Apa
kau pernah melihatnya?”
“Tidak… tunggu.” Harry melihatnya lebih dekat. “Bukankah ini simbol yang sama
dengan simbol yang dipakai ayah Luna?”
“Aku juga memikirkan hal yang sama!”
“Kalau begitu, itu lambang Grindelwald.”
Hermione menatap Harry, terperangah.
“Apa?”
“Krum menceritakan padaku…”
Harry mengulang cerita yang Viktor Krum katakan padanya saat di persata pernikahan.
Hermione keheranan.
“Lambang Grindelwald?”
Hermione menatap Harry dan lambang itu bergantian. “Aku tidak pernah dengar kalau
Grindelwald punya lambang. Tidak pernah disebutkan dalam semua buku yang bercerita
tentang dirinya.”
“Sudah kukatakan, Krum bilang bahwa lambang itu terukir di dinding Durmstrang, dan
Grindelwald-lah yang melakukannya.”
Hermione bersandar di sandaran kursi, dahinya berkerut.
“Aneh. Kalau itu memang lambang Ilmu Hitam, mengapa ada di buku cerita anak-anak?”
“Ya, aneh,” kata Harry. “Dan Scrimgeour tidak menyadarinya. Dia, kan, Menteri,
seharusnya dia tahu hal-hal seperti itu.”
“Aku tahu… mungkin dia juga berpikir bahwa ini adalah gambar mata. Ada gambar ini
di setiap judul cerita.”
Hermione terdiam dan terus menatap ke lambang aneh itu. Dan Harry mencoba lagi.
“Hermione?”
“Hm?”
“Aku pikir, aku – aku ingin pergi ke Godric’s Hollow.”
Hermione mengangkat kepalanya tapi matanya tidak terfokus dan Harry yakin ia masih
memikirkan lambang misterius itu.
“Ya,” kata Hermione. “Ya, aku juga berpikir hal yang sama. Aku pikir kita harus ke
sana.”
“Apa kau benar-benar mendengarkan aku?” tanya Harry.
“Tentu saja. Kau ingin pergi ke Godric’s Hollow. Aku setuju, aku rasa kita harus ke sana.
Maksudku, aku tidak tahu lagi harus pergi ke mana lagi. Berbahaya, memang, tapi
semakin aku memikirkannya, semakin mungkin benda itu ada di sana.”
“Er – apa yang ada di sana?” tanya Harry.
Hermione terlihat sama bingungnya dengan Harry.
“Pedangnya, Harry! Dumbledore pasti tahu kau ingin pergi ke sana. Lagipula Godric’s
Hollow adalah tempat kelahiran Godric Gryffindor…”
“Benarkah? Gryffindor berasal dari Godric’s Hollow?”
“Harry, apa kau tidak pernah membuka Sejarah Sihir?”
“Erm,” kata Harry, tersenyum untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan. Otot-otot di
wajahnya terasa kaku. “Aku pernah membukanya, kau tahu, saat membelinya… hanya
sekali…”
“Desa itu diberi nama dengan namanya, aku pikir kau bisa melihat hubungannya,” kata
Hermione. Ia terdengar seperti Hermione yang lama daripada Hermione yang akhir-akhir
ini. Bahkan Harry setengah berharap bahwa ia akan berkata bahwa ia harus pergi ke
perpustakaan. “Ada sedikit tentang desa itu di Sejarah Sihir, tunggu…”
Hermione membuka tas manik dan mengaduk-aduknya, dan akhirnya mengeluarkan buku
pelajaran mereka, Sejarah Sihir oleh Bathilda Bagshot, yang Hermione buka ke halaman
yang ia maksudkan.
“’Setelah dikeluarkannya Undang-Undang Kerahasiaan Internasional pada tahun 1689,
para penyihir mulai bersembunyi. Biasanya, mereka membuat komunitas kecil dalam
masyarakat. Banyak desa-desa kecil yang dihuni oleh para keluarga penyihir, yang
tinggal bersama untuk saling mendukung dan melindungi. Desa-desa seperti Tinworth di
Cornwall, Upper Flagey di Yorkshire, dan Ottery St Catchpole di pantai selatan Inggris,
di mana mereka hidup bersama dengan tenang, terkadang bersama Muggle yang ter-
Confundus. Daerah paling terkenal sebagai tempat permukiman penyihir, mungkin,
Godric’s Hollow, sebuah desa di West Country di mana penyihir besar Godric
Gryffindor dilahirkan, dan di mana Bowman Wright, seorang penyihir pandai besi,
menempa Golden Snitch pertama. Pemakaman di sana dipenuhi oleh nama-nama
keluarga penyihir kuno, termasuk cerita-cerita yang menyatakan bahwa pemakaman dan
gereja kecil di sana telah dihantui selama berabad-abad.’”
“Kau dan orang tuamu tidak disebut,” kata Hermione sambil menutup buku, “karena
profesor Bagshot tidak menuliskan apa pun setelah akhir abad sembilan belasan. Apa kau
tidak mengerti Harry? Godric’s Hollow, Godric Gryffindor, pedang Gryffindor,
bukankah menurutmu Dumbledore akan berharap kau akan menyadari hubungannya?”
“Oh, ya…”
Harry tidak ingin mengakui bahwa ia sama sekali tidak teringat dengan pedang saat
mereka berbicara tentang Godric’s Hollow. Baginya, perjalanan ke desa itu hanyalah
untuk mengunjungi makam orang tuanya, mengunjungi rumah di mana ia lolos dari maut,
dan untuk menemui Bathilda Bagshot.
“Ingat kata Muriel?” kata Harry melanjutkan.
“Siapa?”
“Tahulah,” kata Harry ragu, ia tidak ingin menyebutkan nama Ron. “Bibi buyut Ginny, di
pesta pernikahan, yang bilang kalau kakimu terlalu kurus.”
“Oh,” kata Hermione.
Itu adalah satu saat yang tidak mengenakkan, karena Harry tahu bahwa Hermione merasa
bahwa dirinya menghindari menggunakan nama Ron. Harry segera melanjutkan, “Dia
bilang Bathilda Bagshot masih tinggal di Godrc’s Hollow.”
“Bathilda Bagshot,” gumam Hermione sambil mengusapkan jari telunjuknya di atas
nama Bathilda yang tertulis di sampul Sejarah Sihir. “Ya, kurasa…”
Hermione tiba-tiba menahan nafasnya dan membuat Harry terkejut. Harry menarik
tongkatnya, melihat ke arah pintu masuk, mengira akan ada orang yang akan menyibak
pintu tenda. Tapi tidak ada apa-apa.
“Apa?” kata Harry, setengah kesal, setengah lega. “Mengapa kau bertingkah seperti itu?
Aku kira kau melihat Pelahap Maut sedang memasuki tenda atau apa…”
“Harry, bagaimana kalau pedang itu ada pada Bathilda? Bagaimana kalau Dumbledore
menitipkannya pada Bathilda?”
Harry menyadari kemungkinan itu. Bathilda pasti seorang wanita yang sangat tua
sekarang, dan menurut Muriel, ia sedikit sinting. Apakah Dumbledore menitipkan pedang
itu pada wanita itu? Kalau memang benar, Harry merasa kalau Dumbledore harus
berkorban banyak hal. Ia tidak bisa memberitahu siapa pun bahwa ia telah menukar
pedang itu. Ia juga tidak bisa menyinggung pertemanannya dengan Bathilda. Namun,
sekarang bukanlah saat yang tepat untuk memperdebatkan teori Hermione. Tidak saat
Hermione memenuhi keinginan terdalam Harry.
“Ya, bisa saja! Jadi, kita akan pergi ke Godric’s Hollow?”
“Ya, tapi kita harus memikirkannya dengan hati-hati, Harry.” Hermione duduk dengan
tegap sekarang. Harry tahu bahwa menyusun rencana baru telah membangkitkan
semangatnya, layaknya Harry. “Pertama, kita harus berlatih untuk ber-Disapparate
bersama di bawah Jubah Gaib, dan mungkin juga dengan Mantra Disillusionment, lalu
kita juga akan menggunakan Ramuan Polyjuice. Kalau begitu, kita perlu beberapa helai
rambut milik orang lain. Aku rasa lebih baik begitu, Harry, semakin tebal penyamaran
kita, makin aman.”
Harry membiarkan Hermione mengoceh, ia terus mengangguk dan menyetujui setiap
Hermione berhenti. Tapi ia sendiri tidak memerhatikan percakapan itu. Untuk pertama
kalinya ia merasa senang karena pedang yang ada di Gringotts adalah tiruan.
Harry akan pulang, kembali ke tempat di mana ia pernah tinggal bersama keluarganya. Di
Godric’s Hollow, dan bila Voldemort tidak pernah ada, ia akan tumbuh dan
menghabiskan liburannya di sana. Mungkin ia akan bisa mengundang teman-temannya
untuk menginap… mungkin ia akan memiliki adik… dan mungkin ibunya yang akan
membuatkan kue ulang tahun ke tujuh belasnya. Bayangan kehidupan yang telah
dirampas darinya tidak pernah tampak begitu nyata sebelumnya, hingga saat ini, saat ia
akan mengunjungi tempat di mana segalanya telah dirampas darinya. Setelah Hermione
pergi tidur malam itu, diam-diam Harry mengeluarkan ranselnya dari tas manik
Hermione. Dan dari dalam ransel, Harry mengeluarkan album foto yang diberikan oleh
Hagrid bertahun-tahun yang lalu. Untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan, ia
kembali memandangi potret tua orang tuanya yang sedang tersenyum dan melambaikan
tangan dari dalam potret.
Harry merasa sangat senang karena akan pergi ke Godric’s Hollow keesokan harinya,
tapi Hermione berpikiran lain. Hermione yakin bahwa Voldemort mengharapkan Harry
akan kembali ke tempat di mana orang tuanya meninggal, dan Hermione tidak ingin pergi
ke sana hingga mereka telah mempersiapkan penyamaran terbaik yang bisa mereka
lakukan. Baru seminggu kemudian – setelah mereka berhasil mengambil beberapa helai
rambut sepasang Muggle yang sedang berbelanja untuk Natal, dan berlatih ber-Apparate
dan ber-Disapparate bersama di bawah Jubah Gaib – Hermione setuju untuk berangkat.
Mereka ber-Apparate saat hari sudah gelap, sehingga mereka meminum Ramuan
Polyjuice saat senja. Harry berubah menjadi Muggle berusia baya yang botak, dan
Hermione berubah menjadi istrinya yang kecil dan tampak seperti tikus. Tas manik yang
berisi semua bawaan mereka (tidak termasuk Horcrux yang sedang menggantung di dada
Harry) berada dalam kantung mantel Hermione. Harry memakaikan Jubah Gaib pada
mereka berdua, dan sekali lagi mereka berada dalam kegelapan yang mencekik.
Harry membuka mata, jantungnya terasa meloncat ke tenggorokannya. Mereka berdiri di
jalan bersalju di bawah langit biru gelap yang dihiasi oleh bintang yang berkelap-kelip
lemah. Pondok-pondok berdiri berjajar di samping jalanan yang tidak terlalu panjang itu,
hiasan Natal menghiasi jendela. Tak jauh di depan mereka, berdiri lampu jalan yang
bercahaya keemasan sebagai titik tengah desa itu.
“Salju!” bisik Hermione di bawah Jubah. “Mengapa kita bisa lupa dengan salju? Dengan
semua penyamaran ini, kita tetap meninggalkan jejak! Kita harus menghapusnya – kau
berjalan di depan, dan aku yang akan…”
Harry tidak ingin masuk ke desa itu dengan kuda Troya. Bersembunyi di bawah semua
penyamaran ini dan menghapusi jejak.
“Lepaskan saja Jubahnya,” kata Harry dan saat melihat Hermione yang cemas, “ayolah,
kita tidak tampak seperti kita, dan tidak ada orang di jalanan.”
Harry menyimpan Jubah Gaib di dalam jaketnya dan berjalan tanpa hambatan. Angin
dingin menerpa wajah mereka saat mereka berjalan melewati pondok-pondok itu, pondok
di mana mungkin Lily dan James pernah tinggal, atau tempat Bathilda tinggal. Harry
memperhatikan setiap pintu, atap yang tertutup salju, dan beranda depan pondok-pondok
itu, berharap akan mengenali salah satunya, walau ia tahu kalau hal itu hampir tidak
mungkin. Karena ia baru berumur satu tahun saat ia meninggalkan tempat ini. Harry
bahkan tidak yakin kalau ia akan bisa melihat pondok tempat tinggalnya dulu, karena ia
tidak tahu apa yang terjadi pada Mantra Fidelius bila subyek yang dimantrai meninggal.
Lalu saat mereka berjalan di jalanan yang berbelok ke kiri menuju jantung desa, terlihat
sederetan bangunan.
Dihiasi dengan lampu berwarna-warni, di tengah-tengahnya tampak sesuatu seperti
monumen perang, berbentuk seperti pohon Natal yang tertiup angin. Di sekitarnya
terdapat beberapa toko, kantor pos, sebuah café, dan gereja di mana cahaya dari jendela
mereka menerangi bangunan itu.
Salju di jalanan itu berbeda dengan salju di sepanjang jalan tadi. Salju di sana keras dan
licin karena telah diinjak-injak banyak orang. Para penghuni desa berlalu lalang diterangi
oleh lampu jalan. Harry dan Hermione dapat mendengar orang-orang tertawa dan musik
pop saat pintu café dibuka tutup, dan mereka juga mendengar lagu pujian dari gereja.
“Harry, aku rasa sekarang Malam Natal!” kata Hermione.
“Benarkah?”
Harry sudah tidak lagi memerhatikan tanggal, mereka juga sudah berminggu-minggu
tidak membaca koran.
“Iya,” kata Hermione sambil menatap gereja. “Mereka… mereka pasti ada di sana, kan?
Ayah dan ibumu? Aku bisa melihat pemakaman di belakang sana.”
Harry merasakan sesuatu yang lebih besar dari rasa senangnya, seperti rasa takut.
Sekarang setelah begitu dekat, Harry ragu apakah ia akan pergi. Mungkin Hermione tahu
perasaannya, karena Hermione meraih tangan Harry dan mengajaknya. Di tengah jalan,
Hermione tiba-tiba berhenti.
“Harry, lihat!”
Hermione menunjuk monumen perang itu. Saat mereka melewatinya, mereka dapat
melihat bentuknya. Bukannya tugu yang dipenuhi nama-nama, monumen itu berupa
patung tiga manusia. Seorang pria berkaca mata dengan rambut berantakan. Seorang
wanita berambut panjang dengan wajah cantik dan ramah. Dan, seorang bayi yang berada
dalam gendongan ibunya. Salju menghiasi kepala mereka layaknya topi putih.
Harry berjalan mendekat, memandangi wajah orang tuanya. Ia tidak pernah
membayangkan bahwa mereka dijadikan patung… rasanya aneh melihat dirinya sebagai
batu berbentuk bayi tanpa bekas luka di dahinya…
“Ayo,” kata Harry setelah puas memandanginya. Dan mereka berjalan menuju gereja.
Saat mereka menyebrangi jalan, Harry menoleh dan melihat bahwa patung itu telah
berubah menjadi monumen perang lagi.
Lagu-lagu pujian semakin keras terdengar saat mereka mendekati gereja, dan membuat
tenggorokan Harry tercekat. Membuatnya teringat akan Hogwarts. Teringat akan Peeves
yang menyanyikan lagu pujian kasar karangannya sendiri dari dalam baju besi. Teringat
akan Great Hall dengan dua belas pohon Natal. Teringat akan Dumbledore yang
memakai pita yang ia dapat dari petasan. Teringat akan Ron memakai sweater rajutan…
Terdapat sebuah pintu gerbang yang tertutup di pintu masuk pemakaman. Hermione
mendorongnya sepelan mungkin agar tidak bersuara dan mereka berjalan masuk. Di tiap
sisi jalan setapak licin menuju gereja, terdapat tumpukan salju tebal yang tidak tersentuh.
Mereka keluar dari jalan setapak dan berjalan di atas salju. Meninggalkan parit yang
cukup dalam saat mereka mengitari gereja, berjalan di bawah bayangan jendela.
Di belakang gereja, berbaris-baris nisan yang dihiasi salju dengan pantulan warna biru
gelap dan pantulan cahaya berwarna merah, emas, hijau, atau warna apa pun yang
terpantul dari jendela ke atas salju. Menjaga tangannya sedekat mungkin dengan
tongkatnya, Harry berjalan menuju nisan terdekat.
“Lihat! Abbot! Bisa jadi keluarga jauh Hannah!”
“Rendahkan suaramu,” pinta Hermione.
Mereka menjelajahi semakin dalam di pemakaman itu, ditemani bayangan gelap mereka
yang jatuh di atas salju, berhenti di setiap nisan untuk melihat tulisan di atasnya, lalu
berkedip dalam kegelapan memastikan tidak ada yang mengikuti.
“Harry, kemari!”
Hermione berada dua baris jauhnya. Jantung Harry berdegup kencang.
“Apakah itu…”
“Bukan, tapi coba lihat!”
Hermione menunjuk ke sebuah nisan. Harry menatap sebuah nisan granit yang ditumbuhi
lumut yang membeku, dengan tulisan Kendra Dumbledore dan di bawahnya ada tanggal
lahir dan tanggal kematiannya, tulisan dan putrinya, Ariana. Dan sebuah kutipan:
Di mana harta karunmu berada, di sanalah hatimu berada.
Jadi, Rita Skeeter dan Muriel ada benarnya juga. Keluarga Dumbledore pernah tinggal di
sini, dan meninggal di sini.
Melihat langsung sebuah makam lebih buruk daripada hanya mendengarnya. Harry tidak
dapat berhenti berpikir bahwa ia dan Dumbledore terikat dengan pemakaman ini, dan
seharusnya Dumbledore memberitahukannya, walau Harry tidak tahu mengapa. Harry
dan Dumbledore bisa saja mengunjungi tempat ini bersama-sama. Untuk sesaat Harry
membayangkan bagaimana ia pergi kemari bersama Dumbledore, merasakan ikatan di
antara mereka, dan betapa berartinya hal itu baginya. Tapi, menurut Dumbledore, fakta
bahwa keluarga mereka terbaring di pemakaman yang sama bukanlah hal yang penting,
dan mungkin, tidak ada hubungannya dengan misi yang harus Harry selesaikan.
Hermione melihat Harry, dan Harry senang bahwa wajahnya tersembunyi dalam gelap.
Harry membaca kutipan itu lagi. Di mana harta karunmu berada, di sanalah hatimu
berada. Ia tidak mengerti maksud kalimat itu. Jelas Dumbledore yang telah memilihnya,
sebagai anggota keluarga tertua setelah ibunya meninggal.
“Kau yakin Dumbledore tidak pernah…” mulai Hermione.
“Tidak,” potong Harry. “Ayo kita teruskan mencari,” dan Harry berpaling, berharap ia
tidak pernah melihat batu nisan itu. Tidak ingin campur aduk rasa senang, takut, dan
keragu-raguannya dinodai dengan kemarahan.
“Ini!” teriak Hermione beberapa saat kemudian dari dalam gelap. “Oh, bukan, maaf! Aku
kira Potter.”
Hermione menggosok batu nisan kotor yang sudah hampir hancur, menatapnya, dan
terlihat terkejut.
“Harry, kembalilah kemari.”
Harry tidak ingin menyimpang dari tujuannya lagi, dan dengan kesal ia berjalan kembali
mendekati Hermione.
“Apa?”
“Lihat ini!”
Batu nisan itu begitu tua, membuat Harry kesulitan untuk melihat nama di atasnya.
Hermione menunjukkan sebuah lambang di sana.
“Harry, ini lambang yang ada di buku!”
Harry menatap ke arah yang Hermione tunjuk. Batu itu begitu usang dan membuat Harry
susah untuk melihat apa yang terukir di atasnya, tapi ia bisa melihat lambang segitiga di
dekat nama yang tidak terbaca.
“Bisa jadi…”
Hermione menyalakan tongkatnya dan mengarahkannya ke nama di batu nisan itu.
“Tertulis, Ig-Ignotus, sepertinya…”
“Aku akan mencari nisan orang tuaku,” kata Harry pada Hermione, dan Harry pergi
melanjutkan pencariannya, meninggalkan Hermione sendiri bersama nisan tua itu.
Selanjutnya Harry terus menemukan nama keluarga, seperti Abbott, yang juga ia
temukan di Hogwarts. Terkadang ada juga beberapa generasi keluarga penyihir yang
dimakamkan di pemakaman itu, Harry dapat melihatnya dari tanggal kematian yang
tertulis di sana. Tapi mungkin ada juga anggota keluarga yang tidak lagi tinggal di
Godric’s Hollow. Harry berjalan semakin dalam di pemakaman, dan setiap ia melihat
batu nisan baru, ia berjalan lebih lambat dan sedikit berharap.
Kegelapan dan keheningan tiba-tiba semakin pekat. Harry memerhatikan sekitar, merasa
cemas, takut akan adanya Dementor. Lalu ia sadar bahwa lagu-lagu pujian telah berhenti
dinyanyikan, dan obrolan para jemaat gereja perlahan menghilang saat mereka kembali
ke jalanan, dan seseorang yang berada di dalam gereja telah mematikan lampu.
Lalu suara Hermione memanggil lagi untuk yang ketiga kalinya dari dalam kegelapan.
“Harry, di sini… mereka di sini.”
Dan Harry tahu bahwa Hermione telah menemukan makam ayah dan ibu Harry kali ini.
Harry berjalan dengan dipenuhi perasaan berat yang membebani dadanya. Perasaan yang
sama saat Dumbledore meninggal, rasa sedih yang membebani jantung dan paru-parunya.
Makam itu hanya berjarak dua baris dari nisan milik Kendra dan Ariana. Nisannya
terbuat dari marmer putih, sama seperti nisan Dumbledore, dan membuatnya lebih mudah
untuk dibaca, karena terlihat terang dalam gelap. Harry bahkan tidak butuh berlutut dan
mendekat untuk membaca tulisan yang terukir di atasnya.
James Potter, lahir 27 Maret 1960, meninggal 31 Oktober 1981
Lily Potter, lahir 30 Januari 1960, meninggal 31 Oktober 1981
Musuh yang terakhir yang akan dihadapi adalah kematian.
Harry membaca kutipan itu perlahan, seakan ia hanya punya satu kesempatan untuk
memahami kalimat itu, lalu ia mengulanginya dengan suara keras.
“’Musuh yang terakhir yang akan dihadapi adalah kematian’…” Sebuah pemikiran
mengerikan muncul dan membuatnya sedikit ketakutan. “Bukankah terdengar seperti
pemikiran para Pelahap Maut? Mengapa mereka menggunakan kutipan itu?”
“Artinya bukan menghadapi kematian seperti para Pelahap Maut, Harry,” kata Hermione,
suaranya begitu lembut. “Artinya adalah… hidup setelah mati. Kehidupan setelah
kematian.”
Tapi mereka tidak hidup, pikir Harry, mereka sudah pergi. Kata-kata itu tidak menutupi
kenyataan bahwa orang tuanya terbaring di dalam tanah, di bawah batu dan salju. Dan air
matanya menetes bahkan sebelum Harry menyadarinya, terasa hangat lalu berubah dingin
saat menyentuh wajahnya. Dan Harry tidak ingin menghapusnya dan berpura-pura. Ia
membiarkan air matanya menetes, bibirnya terkatup kuat, menatap ke arah salju yang
menutupi tempat di mana Lily dan James terbaring, sebagai tulang belulang, atau
mungkin debu. Tidak tahu bahwa putra mereka berdiri begitu dekat, dengan jantung yang
masih berdegup. Masih hidup karena pengorbanan mereka. Mereka juga tidak tahu kalau
putranya, untuk sesaat, juga ingin berbaring di bawah salju bersama mereka.
Hermione meraih tangan Harry lagi dan menggenggamnya erat. Harry tidak bisa
menatapnya, dan hanya balas menggenggam. Ia menghirup dalam-dalam udara malam
yang dingin, mencoba untuk menenangkan diri. Seharusnya Harry membawa sesuatu
untuk diletakkan di atas nisan mereka, tapi Harry lupa. Sedangkan setiap tanaman di
pemakaman itu tidak lagi berdaun dan telah membeku. Tapi Hermione mengangkat
tongkatnya, mengayunkannya, dan muncul seikat mawar mekar. Harry menangkapnya
dan meletakkannya di atas nisan orang tuanya.
Setelah Harry berdiri, ia merasa ingin cepat-cepat pergi. Harry merasa kalau ia tidak akan
tahan untuk berada di sana. Harry merangkul bahu Hermione, dan Hermione merangkul
pinggang Harry, dan mereka berjalan dalam diam, melewati makam ibu dan adik
Dumbledore, kembali ke gereja yang sudah gelap, menuju pintu gerbang yang tertutup.
Chapter 17
Bathilda's Secret
Rahasia Bathilda
“Harry, berhenti.”
“Ada apa?”
Mereka baru saja sampai di makam Abbot yang tidak dikenal.
“Ada seseorang di sana. Aku yakin seseorang sedang memperhatikan kita. Di sana. Di
belakang semak.”
Mereka berdiri diam, saling berpegangan tangan, sambil memandang ke kegelapan yang
pekat di sekitar pemakaman. Harry tidak dapat melihat apapun.
“Apa kau yakin?”
“Aku melihat sesuatu bergerak, aku bersumpah aku…”
Dia melepas tangan Harry dan segera menyiapkan tongkat di tangannya.
“Kita terlihat seperti muggle,” kata Harry.
“Muggle yang meletakkan bunga di atas makam ayahmu? Harry, aku yakin ada
seseorang di sana!”
Harry teringat Sejarah Sihir, makam yang angker, bagaimana jika -? Tapi kemudian dia
mendengar suara berkeresekan dan melihat salju berjatuhan dari semak yang ditunjuk
Hermione. Hantu takkan dapat menggerakan salju.
“Itu seekor kucing,” kata Harry, setelah beberapa saat, “Atau seekor burung. Jika itu
Pelahap Maut, kita sudah mati sekarang. Tapi, ayo pergi dari sini, dan pakai Jubah Gaib.”
Mereka kembali berjalan melalui jalan ke pemakaman. Harry, yang sekarang merasa
tidak seyakin ketika meyakinkan Hermione, merasa senang ketika sampai di pagar dan
jalan yang licin. Mereka menyelubungi diri mereka sendiri dengan Jubah Gaib. Rumah
minum terlihat lebih penuh daripada sebelumnya: terdengar suara-suara yang
menyanyikan pujian yang sama seperti yang mereka dengar saat mendekati gereja. Untuk
beberapa saat, Harry ingin menyarankan untuk masuk ke sana, tetapi sebelum dia dapat
mengatakan apapun, Hermione berbisik, “Ayo lewat sini!” sambil mendorong Harry
turun ke jalan gelap yang mengarah ke desa yang berlawanan dengan jalan dari tempat
mereka datang. Harry dapat menebak kemana pondok-pondok berakhir dan jalan itu
menuju ke daerah terbuka lagi.
Mereka berjalan secepat keberanian mereka, melewati jendela yang berkilau dengan
banyak warna, dan bayangan gelap pohon natal di belakang tira jendela.
“Bagaimana cara kita menemukan rumah Bathilda?” tanya Hermione, yang sedikit
gemetar dan tetap memandang berkeliling di atas bahunya.
“Harry? Apa yang kau pikirkan? Harry?”
Hermione memegang tangan Harry, tetapi Harry tidak memperhatikannya. Dia melihat
sosok gelap di deretan rumah paling akhir. Lalu dia mempercepat langkah. Menarik
Hermione bersamanya, Hermione terpeleset sedikit di atas es.
“Harry-”
“Lihat… lihat itu, Hermione…”
“Aku tidak… oh!”
Harry dapat melihatnya, mantra Fidelius pasti rusak bersama kematian James dan Lily.
Tanaman pagar telah tumbuh liar selama 16 tahun sejak Hagrid mengambil Harry dari
reruntuhan di antara rumput tinggi. Sebagian besar bagian rumah masih berdiri,
seluruhnya telah dilapisi oleh tumbuhan liar yang merambat dan salju, tapi bagian
samping di lantai atas telah hancur. Harry yakin, di situlah kutukan diluncurkan. Dia dan
Hermione berdiri di depan pagar, memandang reruntuhan yang dulunya merupakan
rumah utuh seperti yang lainnya.
“Aku penasaran kenapa tak ada yang memperbaikinya kembali?” bisik Hermione.
“Mungkin kau tidak dapat memperbaikinya kembali” Harry menjawab, “mungkin itu
seperti luka dari sihir hitam dan kau tidak dapat memperbaiki kerusakannya?”
Dia mengeluarkan tangannya dari dalam jubah gaib dan mencengkram pagar yang
bersalju dan berkarat, tidak berharap melepaskannya, hanya untuk memegang sebagian
dari rumahnya.
“Kau tidak bermaksud masuk ke dalam, kan? Kelihatannya tidak aman, mungkin
saja__oh, Harry, lihat!”
Sepertinya sentuhan Harry lah yang melakukannya. Sebuah tanda muncul dari dalam
tanah tepat di depan mereka, muncul di antara rumput liar yang tidak terawat, seperti
bunga aneh yang tumbuh dengan cepat. Dan di atas kayu tersebut terdapat kata-kata yang
ditulis dengan tinta emas:
Di tempat ini, pada malam tanggal 31 Oktober 1981, James dan Lily Potter kehilangan
nyawanya. Anak mereka, Harry, merupakan satu-satunya penyihir yang selamat dari
kutukan kematian. Rumah yang dalam kondisi runtuh dan tersembunyi dari muggle ini,
telah dijadikan monumen untuk keluarga Potter, dan pengingat bagi kekejaman yang
menyakitkan bagi keluarga mereka.
Di sekeliling tulisan yang rapi ini, telah ditambahkan coretan cakar ayam oleh para
penyihir yang datang untuk melihat tempat ‘Anak yang Bertahan Hidup’ berhasil lolos.
Beberapa penyihir hanya menulis nama mereka dengan Tinta Abadi. Yang lain mengukir
inisialnya pada kayu, dan yang lain telah meninggalkan pesan mereka. Sebagian pesanpesan
tersebut, bersinar terang lebih dari 16 tahun yang berharga dalam coretan sihir,
menyebutkan hal yang sama.
Semoga berhasil, Harry, di manapun kau berada.
Jika kau membaca ini, Harry, kami semua ada di sampingmu!
Semoga panjang umur, Harry Potter.
“Mereka seharusnya tidak mencoretnya di atas tanda.” Kata Hermione, naik darah.
Harry menatapnya
“Ini mengagumkan, aku senang mereka melakukannya. Aku…”
Dia terdiam, sebuah sosok berselendang berat telah muncul di depan mereka, dibayangi
dengan cahaya terang di perempatan yang jauh. Harry berpikir, merasa sulit untuk
memastikan, bahwa sosok itu adalah seorang wanita. Wanita itu bergerak perlahan-lahan,
mungkin karena takut terpeleset di atas tanah yang bersalju. Badannnya yang bungkuk,
lemah, cara berjalannya yang menyeret menyiratkan umurnya yang sudah sangat tua.
Mereka mengawasi dalam diam ketika wanita itu mendekat. Harry menunggu untuk
melihat apakah wanita itu akan berbalik ke pondok yang telah dilewatinya. Tapi
perasaannya tahu bahwa wanita itu tidak akan berbelok. Dan akhirnya wanita itu hanya
berjarak setengah yard kurang dari mereka dan berdiri biasa di tengah jalan yang beku,
sambil memandang mereka.
Harry tidak membutuhkan pukulan Hermione pada tangannya. Tak ada kemungkinan
wanita ini adalah seorang muggle: dia berdiri di sana sambil memandang rumah yang
seharusnya sangat tersembunyi darinya, karena dia bukan seorang penyihir. Bahkan jika
dia seorang penyihir, merupakan kebiasaan aneh untuk keluar di malam yang dingin
seperti ini, hanya untuk memandangi reruntuhan tua. Lagi pula, berdasarkan aturan sihir
normal, dia seharusnya tidak dapat melihat Harry dan Hermione sama sekali. Meskipun
begitu, Harry punya perasaan kuat bahwa wanita ini tahu mereka berdua ada di sana.
Baru saja Harry mendapat kesimpulan yang tidak biasa ini, wanita itu mengangkat tangan
dan memberikan isyarat.
Hermione merapat pada Harry di bawah Jubah, tangannya mencengkram tangan Harry.
“Bagaimana dia tahu?”
Harry menganggukkan kepalanya. Wanita itu memberi isyarat lagi, lebih bersemangat.
Harry tidak dapat memikirkan banyak alasan untuk tidak menerima panggilannya, dan
kecurigaannya tentang indentitas siapa wanita itu tumbuh semakin kuat sejalan dengan
waktu ketika mereka berdiri berhadapan di atas jalan kosong itu.
Apakah mungkin dia telah menunggu mereka bulan-bulan terakhir ini? Apakah
Dumbledore telah memintanya untuk menunggu bahwa Harry akan datang kemari?
Tampaknya bukan tidak mungkin bahwa wanita inilah yang bergerak dalam bayangan di
pemakaman dan mengikuti mereka ke tempat ini? Bahkan kemampuannya untuk melihat,
mereka anggap sebagai kekuatan Dumbledore yang belum tertandingi.
Akhirnya Harry berbicara, yang menyebabkan Hermione menarik napas dan meloncat.
“Apakah Anda Bathilda?
Sosok berkerudung itu mengangguk dan memberi isyarat lagi.
Di bawah jubah, Harry dan Hermione saling pandang.
Harry mengangkat alis, Hermione memberi anggukan gugup yang lemah
Mereka melangkah ke arahnya, dan pada saat bersamaan, wanita itu berputar dan kembali
berjalan ke jalan tempat mereka datang. Setelah memimpin mereka melewati beberapa
rumah, dia masuk ke sebuah pagar. Mereka mengikutinya hingga jalan depan sebuah
kebun yang hampir seliar kebun yang baru saja mereka tinggalkan. Dia mencoba
membuka pintu dengan kunci, lalu membukannya dan bergerak minggir untuk
membiarkan mereka lewat.
Wanita itu berbau busuk, atau rumahnya yang berbau busuk. Harry mengerutkan hidung
ketika mereka melewatinya dan melepaskan jubah. Sekarang wanita itu di belakang
meraka. Harry baru sadar betapa kurusnya dia, badannya bungkuk hingga dada Harry.
Wanita itu menutup pintu di belakang mereka, buku jarinya biru-biru dan dipenuhi bintik
di kulitnya. Kemudian dia berbalik dan menatap wajah Harry dengan teliti. Matanya
tertutup katarak tebal dan tenggelam dalam lipatan kulit yang transparan, seluruh
wajahnya dipenuhi bercak dengan pembuluh darah rusak dan bintik-bintik. Harry ingin
tahu apakah wanita ini dapat mengungkap siapa Harry sebenarnya, kalaupun dia mampu,
yang dia lihat adalah seorang muggle botak yang ia curi identitasnya.
Bau busuk dari debu, pakaian yang tidak dicuci dan makanan basi yang sudah lama
tercium tajam ketika dia membuka selendang bercadarnya, menunjukkan kepala dengan
rambut tipis beruban yang terlihat jelas.
“Bathilda ?” Harry mengulangi.
Wanita itu mengangguk lagi. Harry menjadi sadar akan kalung yang ada di kulitnya.
Sesuatu yang ada di dalamnya yang kadang-kadang berdetik dan berdetak telah bangun.
Dia dapat merasakan kalung itu berlapis emas yang dingin. Apakah kalung itu tahu,
dapatkah ia merasakan, bahwa sesuatu yang dapat menghancurkannya telah dekat?
Bathilda berjalan sambil menyeret melewati mereka, mendorong Hermione ke pinggir
seakan dia tidak pernah melihatnya, dan menghilang kedalam ruangan yang kelihatannya
seperti ruang duduk.
“Harry, aku tidak yakin tentang ini,” desah Hermione.
“Lihat keadaan wanita itu, kita dapat mengatasinya dengan mudah bila kita mau,” kata
Harry. “Dengar, aku seharusnya memberitahumu, aku tahu dia tidak ada di sana, Muriel
menyebutnya ‘lucu’”.
“Kemari!” panggil Bathilda dari ruang yang lain.
Hermione melompat dan menyambar tangan Harry.
“Tidak apa-apa,” kata Harry sambil menenangkan, dan dia berjalan ke arah ruang duduk.
Bathilda berjalan terhuyung-huyung dan berkeliling sambil meletakan lilin yang
bercahaya, tapi keadaan masih tetap sangat gelap, terlalu kotor untuk dikatakan. Debu
tipis bergesekan di bawah kaki mereka, dan hidung Harry mendekteksi, selain bau lumut
dan lembab, sesuatu yang busuk, seperti daging yang busuk. Harry ingin tahu kapan
terakhir kali seseorang masuk ke rumah Bathilda untuk memeriksa apakah dia pernah
melakukan bersih-bersih. Dia sepertinya juga telah lupa bahwa dia dapat melakukan sihir,
karena dia dengan canggung menyalakan lilin dengan tangan, kancing berendanya yang
kecil sangat berbahaya bila terkena api.
“Biar saya saja yang melakukannya,” Harry menawarkan dan dia mengambil korek api
dari Bathilda. Dia berdiri sambil memperhatikan Harry hingga dia selesai menyalakan
sepotong lilin, yang berdiri dalam cawan di sekeliling ruangan, menggantungnya dengan
kesulitan di atas tumpukan buku dan di samping meja yang dijejali dengan gelas-gelas
retak dan berjamur.
Permukaan terakhir tempat Harry meletakkan lilin adalah sebuah meja setinggi dada di
mana berdiri banyak foto. Ketika api lilin telah menyala terang, cahayanya jatuh di atas
benda perak dan kaca yang berdebu. Harry melihat gerakan kecil dalam foto-foto itu.
Ketika Bathilda meraba-raba dengan sebatang tongkat menuju api, Harry bergumam:
Targeo. Debu menghilang dari foto-foto itu dan Harry sadar seketika bahwa kurang dari
setengah bingkai yang terbesar dan berukir telah hilang.
Harry ingin tahu apakah Bathilda atau orang lain telah memindahkannya. Kemudian
gambar dari sebuah foto di belakang koleksi-koleksi itu menarik perhatiannya, dan dia
mengambilnya.
Itu adalah gambar seorang pemuda berambut keemasan, berwajah kurus yang telah Harry
lihat pada saat mendapatkan penglihatan tentang Gregorovitch, tersenyum malas-malasan
kepada Harry dari dalam bingkai perak. Dan Harry segera ingat kapan dia pernah melihat
peemuda itu sebelumnya: dalam buku ‘The Life and Lies of Albus Dumbledore’, saling
merangkul dengan Dombledore muda, dan foto-foto yang hilang pasti ada pada buku
Rita.
“Mrs… Miss Bagshot?” katanya, dan suaranya terasa kecil. “Siapa ini?”
Bathilda sedang berdiri di tengah ruangan sambil memperhatikan Hermione menyalakan
api untuknya.
“Miss Bagshot?” ulang Harry, dan dia mendekat dengan gambar di tangannya karena
nyala api telah menyala di perapian. Bathilda mencari suara Harry, dan Horcrux menjadi
lebih cepat panas di lehernya.
“Siapa orang ini?” Harry bertanya padanya, mendorong maju gambar itu.
Dia memandang gambar itu perlahan, kemudian memandang Harry.
“Apakah anda tahu siapa ini?” ulang Harry lebih lambat dan lebih keras dari biasanya.
“Laki-laki ini? Apakah anda mengenalnya? Siapa namanya?”
Bathilda menatap foto itu samar-samar. Harry merasa sedikit putus asa. Bagaimana Rita
Skeeter dapat mengorek keterangan dari Bathilda?
“Siapa laki-laki ini?” dia mengulangi lebih keras.
“Harry, apa yang kau lakukan?” tanya Hermione.
“Foto ini, Hermione, ini pencurinya, pencuri yang telah mencuri dari Gregorovitch! Saya
mohon!” dia berbicara pada Bathilda. “Siapa ini?”
Tapi Bathilda hanya memandang Harry.
“Mengapa anda mengajak kami kemari, Mrs… Miss Bathilda?” tanya Hermione,
meninggikan suaranya sendiri. “Apakah ada sesuatu yang ingin disampaikan kepada
kami?”
Dia tidak memberi tanda apakah dia mendengar Hermione, Bathilda sekarang bergeser
beberapa langkah mendekat ke Harry. Dengan sebuah sentakan kecil kepalanya, dia
melihat ke ruang depan.
“Anda ingin kami pergi?” tanya Harry.
Dia mengulangi gerak isyarat, kali ini menunjuk terlebih dahulu ke Harry, lalu ke ke
dirinya, kemudian pada langit-langit.
“Oh, begitu… Hermione, kurasa dia ingin aku pergi ke atas dengannya.”
“Baiklah,” kata Hermione, “Ayo.”
Tetapi ketika Hermione bergerak, Bathilda menggedikkan kepalanya dengan tegas dan
mengejutkan, sekali lagi menunjuk pertama kali pada Harry, lalu pada dirinya.
“Dia ingin aku pergi dengannya, sendirian.”
“Kenapa?” tanya Hermione, dan suaranya menjadi jelas dan tajam dalam ruangan
berpenerangan lilin itu. Wanita tua itu menggedikkan kepalanya kepada Hermione sedikit
ketika mendengar suara keras.
“Mungkin Dumbledore memberitahunya untuk memberikan pedang padaku, dan hanya
padaku?”
“Apakah kau benar-benar yakin dia tahu siapa kau?”
“Ya,” kata Harry, melihat melalui mata berwarna susu yang terpaku pada matanya,
“Kupikir dia sudah tahu.”
“Baiklah kalau begitu, tapi cepat, Harry.”
“Silakan tunjukkan jalannya!” Harry memberitahu Bathilda.
Dia tampak mengerti, karena dia bergeser memutarinya menuju pintu. Harry memandang
sekilas pada Hermione dengan senyuman yang menenangkan, tapi dia tidak yakin
Hermione melihatnya, Hermione berdiri memeluk dirinya sendiri di tengah ruangan
berpenerangan lilin, memandang ke arah rak buku. Ketika Harry berjalan keluar dari
ruangan, tidak terlihat oleh Hermione dan Bathilda, dia memasukkan foto berbingkai
perak dari pencuri tak dikenal itu ke dalam jaketnya.
Tangga itu curam dan sempit, Harry setengah tergoda untuk meletakkan tangannya di
punggung Bathilda untuk menguatkannya agar tidak terjatuh ke belakang dan
menimpanya, yang tampak sangat mungkin terjadi. Dengan perlahan, terhuyung sedikit,
Bathilda mendaki ke lantai atas, belok dengan segera ke kanan, dan memimpin Harry ke
kamar tidur dengan langit-langit rendah.
Ruangan itu adalah loteng yang gelap dan berbau mengerikan. Harry telah membuat
sebuah belangga yang menonjol keluar dari bawah tempat tidur sebelum Bathilda
menutup pintu dan kegelapan menelan dengan pasti.
“Lumos,” kata Harry, dan tongkat sihirnya menyala. Dia baru tahu; Bathilda telah
bergerak mendekat ketika kegelapan beberapa saat tadi, dan dia tidak mendengar
pergerakannya.
“Apakah kau Potter?” dia berbisik.
“Ya, benar.”
Dia mengangguk dengan perlahan, dengan khidmat. Harry merasa Horcrux berdetak
cepat, lebih cepat dari jantungnya. Rasanya menyenangkan, mengguncang perasaan.
“Apakah ada sesuatu yang ingin anda berikan untuk saya?” Harry bertanya, tapi perhatian
Bathilda teralihkan oleh ujung tongkat Harry yang bercahaya.
“Apakah ada sesuatu yang ingin anda berikan untuk saya?” Harry mengulangi.
Kemudian Bathilda menutup matanya dan beberapa kejadian terjadi pada saat bersamaan;
bekas luka Harry menusuk menyakitkan; Horcrux berkedut sehingga bagian depan
sweaternya bergerak; ruangan yang busuk dan gelap menghilang untuk sekejap. Harry
merasa sebuah lompatan gembira dan berbicara dengan nada tinggi dan dingin:
Tahan dia!
Harry terguncang di tempat dia berdiri: ruangan yang gelap dan berbau busuk itu terasa
menekannya lagi; dia tidak tahu apa yang sedang terjadi.
“Apakah ada sesuatu yang ingin anda berikan untuk saya?” Harry bertanya untuk ketiga
kalinya, lebih kuat.
“Di sini,” dia berbisik, menunjuk ke sudut. Harry mengangkat tongkatnya dan melihat
sebentuk meja tulis yang berantakan di bawah jendela bertirai.
Kali ini Bathilda tidak membimbingnya. Harry berjalan ke pinggir di antara Bathilda dan
tempat tidur yang berantakan, tongkatnya terangkat. Dia tidak mau jauh-jauh darinya.
“Apa itu?” dia bertanya ketika dia sampai di meja tulis, yang terlihat dan baunya seperti
tumpukan pakaian kotor.
“Di situ,” dia berkata, menunjuk ke suatu benda yang tidak berbentuk.
Dan segera setelah dia melihatnya, mata Harry mengerling sebuah pangkal pedang yang
berantakan, berbutir ruby, Bathilda bergerak aneh; dia melihatnya dari sudut matanya;
kepanikan membuatnya berbalik dan dia menyaksikan tubuh tua itu rebah dan seekor ular
besar keluar dari tempat di mana lehernya berada.
Ular itu menabraknya ketika dia mengangkat tongkatnya. Gigitan kuat pada tangan
kanannya membuat tongkatnya terpental ke langit-langit; cahayanya berputar
memusingkan di sekitar ruangan dan kemudian padam. Lalu sebuah pukulan yang kuat
dari ekor ular ke rongga dadanya telah membuatnya kehabisan napas. Dia merasa jatuh
ke belakang ke atas meja tulis, ke gundukan pakaian busuk-
Harry berguling ke samping, sedikit menghindar dari ekor ular yang memukul ke bawah
dari atas meja ke tempat di mana dia berada beberapa detik sebelumnya. Pecahan kaca
berjatuhan di atasnya ketika dia mengenai lantai. Dari bawah dia mendengar Hermione
memanggil, “Harry?”
Dia tidak mempunyai cukup napas di paru-parunya untuk menjawab. Kemudian suatu
benda yang berat memukulnya ke lantai dan dia merasakan ular itu melata di atasnya,
sangat kuat dan berotot.
“Tidak!” dia terengah-engah, tertahan di lantai.
“Ya,” bisik suara itu, “Yaaa… menahanmu… menahanmu…”
“Accio… Accio Tongkat…”
Tapi tidak ada yang terjadi dan dia membutuhkan tangannya untuk mencoba melepaskan
ular itu dari tubuhnya karena ular itu telah membelit sekeliling dadanya, mencengkram
udara darinya, menekan keras Horcrux ke dadanya, sebuah kalung sedingin es yang
berdenyut hidup, beberapa inchi dari jantungnya yang kalut, dan otaknya dibanjiri rasa
dingin, cahaya putih, semua pikiran lenyap, napasnya ditenggelamkan, langkah di
kejauhan, semuanya menjadi…
Sebuah jantung besi bersuara keras di luar dadanya, dan sekarang dia melayang,
melayang dengan kemenangan jantungnya, tanpa membutuhkan sapu atau thestral…
Harry terbangun dengan tiba-tiba dalam kegelapan yang berbau masam; Nagini telah
membebaskannya. Dia bangkit dengan ketakutan dan melihat sosok ular itu berlawanan
dengan cahaya di lantai. Ular itu menabrak dan Hermione melompat ke pinggir sambil
menjerit, kutukan yang dia lontarkan mengenai jendela bertirai, yang kemudian hancur.
Udara beku mengisi ruangan ketika Harry menunduk untuk menghindari hujan pecahan
kaca yang lain dan kakinya terpeleset sesuatu yang seperti pensil -- tongkatnya.
Dia membungkuk dan menyambarnya, tapi ruangan sekarang dipenuhi ular, ekornya
memukul; Hermione tidak terlihat di manapun dan untuk sesaat Harry memikirkan
sesuatu yang buruk, tetapi kemudian ada ledakan keras dan kilatan cahaya merah, dan
ular itu terpental ke udara, menabrak muka Harry, bergulung gulungan demi gulungan
naik hingga ke langit-langit. Harry mengangkat tongkatnya, tetapi ketika dia
melakukannya, bekas lukanya menjadi sangat sakit, lebih sakit dari pada tahun-tahun
sebelumnya.
“Dia datang! Hermione, dia datang!”
Ketika dia berteriak, ular tersebut mendesis liar. Sumuanya kacau balau; Harry menabrak
rak di dinding, dan serpihan keramik China berserakan ke mana-mana ketika Harry
meloncat melewati tempat tidur dan menabrak suatu sosok gelap yang dia tahu adalah
Hermione.
Hermione menjerit kesakitan ketika Harry menariknya melewati tempat tidur. Ular itu
membebatnya lagi, tapi Harry tahu bahwa sesuatu yang lebih buruk telah datang,
mungkin sudah sampai di gerbang, kepalanya serasa terbuka dengan rasa sakit di bekas
lukanya.
Ular itu menyerbu ketika dia mengambil langkah untuk berlari, menarik Hermione
bersamanya; ketika menabrak, Hermione menjerit, “Confringo!” dan mantranya terbang
di sekitar ruangan, meledakkan kaca hias, dan memantul ke arah mereka, melompat dari
lantai ke langit-langit; Harry merasakan rasa panas menghanguskan bagian belakang
tangannya. Kaca menggores lehernya, sambil menarik Hermione, dia meloncat dari
tempat tidur ke meja tulis dan langsung mendobrak jendela ke luar, teriakan Hermione
bergaung di udara malam ketika mereka berputar di tengah udara.
Dan kemudian bekas lukanya serasa meledak, dia menjadi Voldemort dan dia berlari
melintasi kamar tidur yang bau, jari panjangnya yang putih mencengkram kusen jendela
ketika dia melihat sekilas seorang pria botak dan perempuan kecil berputar dan
menghilang, dan dia menjerit dengan kemarahan, jeritan yang bercampur dengan jeritan
si perempuan, yang bergaung sepanjang kebun gelap diiringi dentang bel gereja di hari
natal.
Dan jeritannya adalah jeritan Harry… rasa sakitnya adalah rasa sakit Harry… yang bisa
terjadi di sini, di mana pernah terjadi sebelumnya… di sini, dalam pandangan rumah itu
di mana dia telah datang begitu dekat untuk mengetahui apakah dia telah mati…
mati…sakitnya sungguh mengerikan… merobek tubuhnya… tetapi jika dia tidak
mempunyai tubuh, mengapa kepalanya sangat sakit; jika dia telah mati, bagaimana bisa
dia merasa sangat sakit yang tak tertahankan, bukankah rasa sakit berhenti bila mati,
bukankah ia hilang.
Malam yang lembab dan berangin, dua orang anak berpakaian labu berjalan terhuyunghuyung
melintasi perempatan, dan jendela toko ditutupi oleh jaring laba-laba, semua
perangkap muggle semu tapi tidak berharga menjebak dunia yang tidak mereka
percayai… dan dia meluncur, suatu perasaan untuk tujuan dan kekuatan dan kebenaran
dalam dirinya yang selalu dia ketahui untuk urusan-urusan ini… bukan kemarahan…
yang hanya diperuntukkan untuk jiwa yang lebih lemah darinya… tapi kemenangan, ya…
dia telah menanti hal ini, dia telah mengharapkannya…
“Kostum keren, Tuan!”
Dia melihat laki-laki kecil tersenyum ragu ketika dia berlari cukup dekat untuk melihat
yang ada di bawah penutup kepala jubah, rasa takut terbayang di wajahnya. Kemudian
anak kecil itu berbalik dan lari… di bawah jubah, dia memegang tongkat sihirnya…
dengan gerakan yang sederhana dan anak itu tidak akan bertemu lagi dengan ibunya…
tapi tidak perlu, sangat tidak perlu…
Dan sepanjang jalan yang baru dan gelap, dia berjalan, dan akhirnya sampai ke tempat
tujuannya, Mantra Fidelius rusak, ia pikir mereka pasti belum tahu… dan dia membuat
sedikit suara yang melebih suara keresekan daun mati di sepanjang jalan aspal ketika
menaiki undakan pagar gelap dan menyingkirkannya…
Mereka belum menutup tirainya; dia melihat mereka cukup jelas di dalam ruang duduk
mereka yang kecil, pria tinggi berambut hitam dengan kacamata, membuat asap
berwarna keluar dari tongkat sihirnya untuk menghibur anak kecil berambut hitam yang
memakai piyama biru. Anak itu tertawa dan mencoba untuk menangkap asap itu,
menangkapnya dengan jemarinya yang kecil…
Sebuah pintu terbuka dan ibunya masuk, mengucapkan kata yang tidak dapat
didengarnya, rambutnya yang panjang jatuh di sekitar wajahnya. Sekarang ayahnya
menggendong anak itu dan memberikannya kepada sang ibu. Laki-laki itu melempar
tongkatnya ke atas sofa dan menguap…
Pagar berderit sedikit ketika dia mendorongnya terbuka, tapi James Potter tidak
mendengarnya. Tangan putihnya menarik tongkat sihir di bawah jubahnya dan menunjuk
ke pintu, yang meledak terbuka.
Dia berada di ambang pintu ketika James datang sambil berlari cepat ke ruang depan.
Ini mudah, sangat mudah, dia bahkan tidak perlu mengambil tongkatnya…
“Lily, ambil Harry dan pergi! Itu dia! Pergi! Lari! Aku akan menahannya!”
Menahannya, tanpa sebuahh tongkat sihir di tangannya?... Dia tertawa sebelum
mengucapkan kutukan…
“Avada Kedavra!”
Cahaya hijau memenuhi seluruh ruang depan, kutukan itu melempar kereta bayi ke
dinding, membuat sandaran tangga terbakar seperti cambuk yang menyala, dan James
Potter jatuh seperti boneka marionete yang dipotong talinya…
Dia dapat mendengar teriakan perempuan dari ruangan atas, terjebak, tapi dia berpikir,
dia, akhirnya, tidak merasakan ketakutan lagi… dia memanjat anak tangga,
mendengarkan hiburan jemu pada saat perempuan itu melindungi dirinya… perempuan
itu juga tidak memegang tongkat sihir… betapa bodohnya mereka, dan betapa mudah
percayanya, berpikir bahwa keselamatan mereka ada pada seorang teman, bahwa
senjata-senjata dapat disepelekan bahkan hanya untuk sementara…
Dia membuat pintu terbuka, menyingkirkan kursi dan kotak-kotak yang menghalanginya
ke samping dengan satu lambaian malas tongkat sihirnya… dan di sana perempuan itu
berdiri, anak itu ada di dekapannya. Akhirnya perempuan itu menatapnya, dia
meletakkan anaknya di meja di belakangnya dan merentangkan tangannya, berharap ini
bisa berguna, yang dia pilih dengan segera dan berharap dapat melindungi anak ini dari
pandangan…
“Jangan Harry, jangan Harry, kumohon jangan Harry!”
“Minggir kau perempuan bodoh… minggir sekarang.”
“Jangan Harry, kumohon jangan, bunuh aku sebagai gantinya.”
“Ini peringatanku yang terakhir.”
“Jangan Harry! Kumohon… jangan sakiti dia… kasihanilah dia… Jangan Harry!
Jangan Harry, kumohon… aku bersedia melakukan apapun.”
“Minggir. Minggir, perempuan.”
Dia tidak dapat membuat perempuan ini minggir dari depan meja, tapi kelihatannya
menyenangkan untuk menghabisi mereka semua…
Cahaya hijau berkilatan di sekitar ruangan dan perempuan itu terjatuh seperti suaminya.
Anak itu tidak menangis selama ini terjadi. Dia dapat berdiri, mencengkram pinggiran
mejanya dan melihat keatas ke wajah si penyusup dengan ketertarikan yang besar,
mungkin berpikir bahwa itu adalah ayahnya yang berada di bawah jubah, membuat
cahaya indah, dan ibunya akan meloncat sebentar lagi, tertawa.
Dia menunjukkan tongkatnya dengan hati-hati ke wajah anak itu. Dia ingin melihatnya
terjadi, penghancuran kali ini, bahaya yang tidak dapat dipahami. Anak itu mulai
menangis. Dia telah melihat bahwa si penyusup bukan James. Dia tidak senang anak itu
menangis, dia tidak pernah berselera mendengar rengekan anak yatim piatu.
“Avada Kedavra!”
Dan kemudian dia hancur; dia bukan apa-apa, tak ada yang lain selain rasa sakit dan
teror, dan dia harus menyembunyikan dirinya, bukan di sini di puing-puing rumah
runtuh, di mana anak itu terperangkap dan menjerit, tapi jauh… pergi sangat jauh…
“Tidak,” dia meratap
Sang ular berdesir di lantai yang kotor dan bau, dan dia telah membunuh anak itu, dan
kemudian dia adalah anak kecil itu…
“Tidak…”
Dan sekarang dia berdiri di jendela rumah Bathilda yang rusak, terbenam dalam
kenangan kegagalannya yang terbesar, dan di kakinya seekor ular besar berdesir di
antara kaca dan porselen yang rusak… dia melihat ke bawah dan melihat sesuatu…
sesuatu yang luar biasa…
“Tidak…”
“Harry, tidak apa-apa, kau baik-baik saja?”
Dia menjangkau kebawah, dan mengambil sebuah foto yang terlempar. Itu dia, pencuri
yang sedang dia cari…
“Tidak… aku menjatuhkannya…aku menjatuhkannya…”
“Harry, tidak apa-apa, bangun, bangun!”
Dia adalah Harry… Harry, bukan Voldemort… dan sesuatu yang berdesir itu bukan
seekor ular… dia membuka matanya.
“Harry,” Hermione berbisik. “Apa kau ba… baik-baik saja?”
“Ya,” katanya.
Dia di dalam tenda, berbaring di salah satu ranjang rendah di bawah timbunan selimut.
Dia menduga bahwa hari hampir fajar karena suasana senyap dan dingin, cahaya
datarpun terlihat dari celah tenda. Harry basah kuyup oleh keringat, dia dapat
merasakannya di atas seprai dan selimut.
“Kita berhasil lolos.”
“Ya,” kata Hermione, “aku telah menggunakan Mantra Melayang untuk mengangkatmu
ke atas ranjang, aku tak dapat mengangkatmu. Kau telah menjadi… well, kau tidak
lagi…”
Ada rona ungu dibawah mata coklatnya dan Harry menyadari sebuah busa di tangannya.
Hermione telah mengelap wajah Harry.
“Kau terluka,” dia melanjutkan, “cukup terluka.”
“Berapa lama kita meninggalkan tempat itu?
“Beberapa jam yang lalu, hari hampir fajar.”
“Dan aku telah… apa, pingsan?”
“Tidak juga” kata Hermione tidak nyaman, “ kau berteriak dan meratap dan…sesuatu,”
dia menambahkan dalam nada yang membuat Harry gelisah. Apa yang telah
dilakukannya? Meneriakkan kutukan seperti Voldemort, menangis seperti bayi dalam
ayunan?
“Aku tidak dapat melepaskan Horcrux darimu.” Hermione berkata, dan dia tahu dia ingin
mengalihkan perhatian. “Horcrux itu tersangkut, tersangkut di dadamu. Itu membuat
bekas di dadamu; aku menyesal, aku telah menggunakan mantra potong untuk
melepasnya. Ular itu menggigitmu juga, tapi aku telah membersihkan lukanya dan
memberikan sedikit dittany di atasnya.”
Harry melepaskan kaos berkeringat yang telah dipakainya dari tubuhnya dan melihat ke
bawah. Ada semacam bentuk lonjong merah padam diatas jantungnya di mana kalung itu
membakarnya. Dia juga dapat melihat tusukan setengah sembuh di tangan kanannya.
“Di mana kau meletakkan Horcrux-nya?”
“Dalam tasku. Aku pikir kita seharusnya menyimpannya untuk sementara.”
Dia berbaring lagi di bantalnya dan melihat ke wajah Hermione yang kelabu bekas
terjepit.
“Kita tidak seharusnya pergi ke Godric’s Hollow. Ini salahku, ini semua salahku,
Hermione, aku minta maaf.”
“Ini bukan salahmu, aku juga ingin pergi, aku sangat yakin Dumbledore mungkin
meninggalkan pedang itu di sana untukmu.”
“Yah, well… kita salah, kan?”
“Apa yang terjadi, Harry? Apa yang terjadi ketika dia membawamu ke atas? Apakah ular
itu bersembunyi di suatu tempat? Apakah ular itu datang dan membunuhnya dan
menyerangmu?”
“Tidak,” dia berkata, “dia adalah ularnya… atau ular itu adalah dia… begitulah.”
“Ap… Apa?”
Dia menutup matanya. Dia masih dapat mencium rumah Bathilda. Ini membuat semua
bayangan yang mengerikan menjadi hidup.
“Bathilda pasti sudah mati sebelumnya. Ular itu ada… ada di dalam tubuhnya. Kau-
Tahu-Siapa meletakkannya di Godric’s Hollow, untuk menunggu. Kau benar. Dia tau aku
kembali.”
“Ular itu di dalam tubuhnya?”
Harry membuka matanya lagi. Hermione kelihatannya jijik dan muak. “Lupin
mengatakan ada sihir yang tidak bisa kita bayangkan,” Harry berkata, “Bathilda tidak
mau berbicara di depanmu, karena bahasanya adalah Parseltongue, semuanya
Parseltongue, dan aku tidak menyadarinya, tapi tentu saja aku memahaminya. Ketika
kami berada di atas, ular itu mengirim berita pada Kau-Tahu-Siapa. Aku mendengar itu
terjadi di dalam kepalaku, aku merasa Voldemort menjadi tertarik, dia berkata untuk
menahanku di situ… dan kemudian…”
Dia ingat ular itu keluar dari leher Bathilda; Hermione tak perlu tahu rinciannya.
“…dia berubah, berubah menjadi ular, dan menyerang.”
Dia melihat ke bawah pada luka merah padam itu.
“Ular itu seharusnya tidak berusaha membunuhku, hanya untuk menahanku di sana
sampai Kau-Tahu-Siapa tiba.”
Jika dia dapat membunuh ular itu sebelumnya, keadaan tidak mungkin seburuk ini,
semuanya… merasa sakit pada jantungnya, dia duduk dan menggeser selimutnya.
“Harry, jangan, aku yakin kau harus istirahat!”
“Kau adalah orang yang lebih membutuhkan istirahat. Jangan membantah, kau terlihat
sangat lelah. Aku baik-baik saja. Aku akan berjaga-jaga sebentar. Di mana tongkatku?”
Hermione tidak menjawab, dia melihat Harry dengan bimbang.
“Di mana tongkatku, Hermione?”
Hermione menggigit bibirnya, dan air mata berlinang di matanya.
“Harry…”
“Di mana tongkatku?”
Dia menjangkau ke bawah di samping tempat tidur dan menyerahkannya.
Tongkat kayu holly dan bulu phoenix hampir terbelah dua. Sebuah inti bulu phoenix yang
rapuh menahan dua bilah itu tetap menyatu. Kayunya telah terpisah sama sekali. Harry
meletakkan di tangannya seolah tongkat itu suatu mahluk hidup yang menderita karena
luka yang menyakitkan. Harry tidak dapat berpikir dengan baik. Semuanya kabur dalam
kepanikan dan ketakutan. Kemudian dia menyodorkan tongkatnya kepada Hermione.
“Perbaikilah, kumohon!”
“Harry, aku rasa tak bisa. Jika rusaknya seperti ini.”
“Kumohon, Hermione, cobalah!”
“R-Reparo.”
Patahan di tengah tongkat menyatu sendiri. Harry mengambilnya.
“Lumos!”
Tongkat itu berkedip sekejap, lalu padam. Harry menunjuk pada Hermione.
“Expelliarmus!”
Tongkat Hermione bergerak sedikit, tetapi tidak terlepas dari tangannya. Menghasilkan
sihir ringan merupakan hal yang sulit bagi tongkat Harry, yang terbelah menjadi dua lagi.
Dia tertegun memandangnya, tidak percaya apa yang dilihatnya… tongkat yang telah
menyelamatkan nyawanya, sangat…
“Harry,” Hermione berbisik sangat pelan, Harry dapat mendengarnya dengan susah
payah. “Aku minta maaf sekali, kupikir itu kesalahanku. Ketika kita pergi, kau tahu, ular
itu mendatangi kita, dan karenanya aku mengucapkan Mantra Penghancur, dan mantra itu
menyebar kemana-mana, dan mantra itu pasti… mantra itu pasti mengenai…”
“Itu sebuah kecelakaan,” kata Harry dengan cepat. Dia merasa hampa, terdiam. “Kita
akan… kita akan mencari cara untuk memperbaikinya.”
“Harry, kurasa kita tidak mampu melakukannya.” Kata Hermione. Air mata mengalir di
wajahnya, “ingat… ingat Ron? Ketika dia merusak tongkatnya, waktu kecelakaan mobil?
Tongkatnya tidak pernah lagi sama seperti sebelumnya, dia akhirnya membeli tongkat
yang baru.”
Harry memikirkan Olivander, yang diculik dan ditawan Voldemort; memikirkan
Gregorovitch, yang sudah mati. Bagaimana bisa dia menemukan orang yang dapat
memberinya tongkat baru?
“Yah,” katanya, dalam nada itu-bukan-masalah, “yah, sepertinya aku akan meminjam
tongkatmu mulai sekarang, sementara aku berjaga.”
Wajah Hermione dipenuhi air mata, Hermione menyerahkan tongkatnya dan Harry
meninggalkannya duduk di tempat tidurnya, tidak ada yang dia inginkan selain pergi
darinya.
Chapter 18
Dunia dan Dusta Albus Dumbledore
The Life and Lies of Albus Dumbledore
Matahari mulai terbit: jernih, langit tanpa warna terbentang luas diatasnya, tidak peduli
padanya maupun pada penderitaannya. Harry duduk di pintu masuk tenda dan menghirup
udara bersih dalam-dalam. Masih bisa hidup untuk menyaksikan matahari terbit diatas
sisi bukit bersalju yang berkilau sebenarnya merupakan harta paling berharga di dunia; ia
belum bisa menghargainya: perasaannya telah terpaku oleh malapetaka kehilangan
tongkatnya. Ia memandang lembah yang diselimuti salju, lonceng gereja di kejauhan
berdentang melalui kesunyian yang gemerlap.
Tanpa sadar, ia meraba lengan dengan jari-jarinya seperti sedang mencoba melawan rasa
sakit. Dia telah menumpahkan darahnya sendiri lebih sering daripada yang bisa
dihitungnya; dia kehilangan semua tulang di lengan kanannya sekali; perjalanan ini telah
memberinya luka di dada dan lengan bawah untuk menambah luka sebelumnya di dahi
dan tangannya, tapi tak pernah, sampai saat ini, dia merasakan perasaan lemah, mudah
diserang, dan tanpa perlindungan yang parah, karena bagian terbaik dari kemampuan
sihirnya telah tercabik darinya. Ia tahu pasti apa yang akan dikatakan Hermione jika dia
mengatakan hal ini: bahwa tongkat sama baiknya dengan pemiliknya. Tapi Hermione
salah, kasusnya berbeda. Dia tidak merasakan tongkat berputar seperti jarum kompas dan
menembakkan api keemasan pada musuhnya. Ia kehilangan perlindungan dari inti
kembar dan sekarang saat sudah hilang barulah ia menyadari betapa ia tergantung pada
tongkatnya.
Ia menarik potongan tongkat yang patah dari sakunya dan, tanpa memandangnya,
memasukkannya ke dalam kantong Hagrid yang tergantung di lehernya. Kantong itu
sekarang penuh dengan barang-barang rusak dan tidak berguna. Tangan Harry menyikat
snitch tua pada mokeskin dan untuk sekejap dia harus menahan diri untuk tidak menarik
dan membuangnya jauh-jauh. Berat untuk dijalani, tanpa bantuan, tanpa guna seperti
segala yang Dumbledore tinggalkan –--
Dan kemarahannya kepada Dumbledore menghancurkannya seperti lahar, membakarnya
didalam, menyapu bersih perasaannya yang lain. Diluar, rasa putus asa atas keyakinan
mereka bahwa jawabannya ada di Godric’s Hollow, berusaha meyakinkan diri sendiri
bahwa mereka harus kembali kesana, bahwa itu adalah bagian dari beberapa jalan rahasia
yang disiapkan Dumbledore untuk mereka: tapi ternyata sama sekali tak ada petunjuk,
tak ada rencana. Dumbledore telah meninggalkan mereka untuk meraba-raba dalam
kegelapan, untuk bergulat dengan teror-teror tak dikenal dan tak terbayangkan, sendiri
dan tanpa bantuan: tak ada yang dijelaskan, tak ada yang diberikan dengan gratis, mereka
tidak punya pedang, dan sekarang, Harry tidak punya tongkat. Dan dia telah
menjatuhkan foto si Pencuri, dan pasti sangat mudah bagi Voldemort sekarang untuk
menemukannya….
Voldemort mempunyai semua informasi sekarang…..
“Harry?”
Hermione tampak ketakutan seolah Harry mungkin akan mengutuknya dengan
tongkatnya sendiri. Wajahnya penuh dengan air mata, dia meringkuk disamping Harry,
dua cangkir teh bergetar di tangannya dan ada sesuatu yang besar di bawah lengannya.
“Terima kasih,“ ata Harry, mengambil satu cangkir.
“Tidak keberatan aku bicara denganmu?“
“Tidak, “ dia mengatakannya agar tidak menyakiti perasaan Hermione.
“Harry, kau ingin tahu kan siapa orang di foto itu. Well...aku punya bukunya.“
Dengan takut-takut ia mendorong buku itu ke pangkuan Harry, cetakan asli Dunia dan
Dusta Albus Dumbledore.
”Dimana – bagaimana --?“
”Ada di ruang tamu Bathilda, tergeletak begitu saja...Catatan ini ada diatasnya.“
Hermione membaca dengan keras beberapa baris tulisan kehijauan, yang bentuknya
tajam-tajam seperti paku.
“’’Kepada Bally, terima kasih atas bantuanmu. Ini bukunya, semoga kau menyukainya.
Kau mengatakan segalanya, bahkan walaupun kau tidak mengingatnya. Rita.’ Kurasa ini
datang ketika Bathilda masih hidup, tapi apa mungkin ia tidak dalam keadaan sehat untuk
membacanya?”
“Mungkin begitu keadaannya.”
Harry memandang wajah Dumbledore dan merasakan gelombang kesenangan yang
mengganas: sekarang ia akan tahu semua yang Dumbledore pikir tak cukup berarti untuk
disampaikan padanya, terlepas Dumbledore menginginkannya atau tidak.
“Kau masih marah kepadaku, kan?“ ujar Hermione; Harry memandangnya, melihat
airmata segar keluar dari matanya, dan menyadari bahwa kemarahan pastilah terlihat di
wajahnya.
“Tidak,” katanya kalem. “Tidak, Hermione, aku tahu itu kecelakaan. Kau berusaha
membawa kita keluar hidup-hidup, dan kau luar biasa. Aku pasti sudah mati jika kau
tidak disana untuk menolongku.”
Dia mencoba membalas senyum Hermione yang basah, kemudian kembali
memperhatikan buku. Puggungnya kaku; jelas belum pernah dibuka sebelumnya. Dia
menjelajahi halaman, mencari foto-foto. Ia segera sampai pada salah satu foto,
Dumbledore muda dan rekannya yang tampan, tertawa terbahak-bahak oleh lelucon lama.
Mata Harry tertuju pada tulisan dibawahnya.
Albus Dumbledore, segera setelah kematian ibunya,
Bersama temannya Gellert Grindelwald.
Harry terpaku pada kalimat terakhir untuk beberapa waktu. Grindelwald. Temannya
Grindelwald. Dia melihat kesamping pada Hermione, yang masih merenungkan nama itu
seolah-olah tidak mempercayai penglihatannya. Perlahan dia menatap Harry.
“Grindelwald!“
Mengabaikan sisa foto yang lain, Harry mencari halaman sekitar untuk menemukan lagi
nama yang membawa bencana itu. Dia segera menemukannya dan membacanya dengan
rakus, tenggelam didalamnya: Sangat penting untuk kembali ke masa lalu demi
memahami ini semua dan akhirnya dia sampai pada permulaan bab berjudul “Manfaat
yang Lebih Besar.” Bersama-sama, dia dan Hermione mulai membaca:
Mendekati ulang tahun ke-18, Dumbledore meninggalkan Hogwarts dengan kejayaan
yang berkibar-kibar, Ketua Murid, Prefek, Pemenang Penghargaan Barnabus Finkley
untuk Pembuatan Mantra Luar Biasa, Perwakilan Pemuda Inggris untuk Wizengamot,
Pemenang Medali Emas untuk Kontribusi yang Luar Biasa pada Konferensi Alkemis
Internasional di Kairo. Dumbledore bermaksud, selanjutnya, untuk menjalani tour besar
bersama Elphias “Dogbreath” Doge, yang tidak terlalu pintar tetapi merupakan sahabat
karib yang setia yang ditemuinya di sekolah.
Kedua anak muda tinggal di Leaky Cauldron di London, mempersiapkan keberangkatan
ke Yunani keesokan paginya, ketika seekor burung hantu datang membawa berita
kematian ibu Dumbledore. “Dogbreath” Doge, yang menolak untuk diwawancarai
untuk buku ini, telah memberikan versi sentimentalnya sendiri kepada masyarakat
tentang apa yang terjadi selanjutnya. Dia menggambarkan kematian Kendra sebagai
peristiwa tragis, dan keputusan Dumbledore untuk tidak melanjutkan ekspedisinya
merupakan sebuah pengorbanan diri yang mulia.
Tentu saja Dumbledore segera kembali ke Godric’s Hollow, untuk ’merawat’ adikadiknya
menurut dugaan. Tapi apakah ia benar-benar merawat mereka?
“Dia menjadi kepala keluarga karena Aberforth,” kata Enid Smeek, yang keluarganya
tinggal di pinggiran Godric’s Hollow pada saat itu, “menjadi liar. Tentu saja kau akan
merasa menyesal karena ayah dan ibunya telah meninggal dunia, hanya saja ia selalu
membuatku kesal. Kurasa Albus tidak mau repot-repot dengannya. Lagipula aku tidak
pernah melihat mereka bersama-sama.”
Lalu apa yang dilakukan Albus, jika tidak menenangkan adik laki-lakinya yang liar?
Jawabannya, tampaknya, adalah memastikan kelanjutan hukuman penjara bagi adik
perempuannya. Walaupun orang yang memenjarakannya pertama telah meninggal, tak
ada perubahan terhadap kondisi mengenaskan Ariana Dumbledore. Keberadaannya
hanya diketahui oleh sedikit sekali orang luar yang, seperti “Dogbreath” Doge, bisa
diandalkan untuk mempercayai cerita “gangguan kesehatan”nya.
Ada lagi teman keluarga yang cukup meyakinkan yaitu Bathilda Bagshot, sejarawan sihir
ternama yang tinggal di Godric’s Hollow selama bertahun-tahun. Kendra, tentu saja,
telah menampik Bathilda ketika pertama kali mencoba untuk menyambut keluarga itu di
desanya. Beberapa tahun kemudian, ternyata sang penulis mengirimkan burung hantu
kepada Albus di Hogwarts, karena terkesan oleh tulisannya tentang transformasi antarspesies
di Transfiguration Today. Ikatan awal ini mengarahkannya untuk berkenalan
dengan seluruh anggota keluarga Dumbledore. Pada saat kematian Kendra, Bathildalah
satu-satunya orang di Godric’s Hollow yang dapat bercakap-cakap dengan ibu
Dumbledore tersebut.
Sayang sekali, kecemerlangan yang Bathilda tunjukkan di awal hidupnya kini telah
redup. “Apinya menyala, tapi kualinya kosong,” sebagaimana Ivor Dillonsby katakan
kepadaku, atau, dalam ungkapan yang lebih sederhana menurut Enid Smeek, “Dia
sinting seperti tupai.” Namun, kombinasi dari teknik laporan coba-dan-uji
memungkinkanku untuk menyaring bongkahan fakta yang cukup berat dan merangkai
semuanya menjadi kisah skandal yang utuh.
Seperti umumnya di dunia sihir, Bathilda menghubungkan kematian dini Kendra dengan
kesalahan mantra, suatu cerita yang diulang-ulang oleh Albus dan Aberforth di tahuntahun
selanjutnya. Bathilda juga mengikuti saja apa kata keluarga mereka tentang
Ariana, menyebutnya “lemah” dan “sulit”. Di satu sisi, bagaimanapun, Batildha cukup
berharga dalam usahaku memperoleh veritaserum, karena dia, dan hanya dia, yang
mengetahui kisah lengkap rahasia kehidupan Albus Dumbledore yang disimpan rapatrapat.
Kini terbuka untuk yang pertama kalinya, menjawab pertanyaan tentang hal-hal
yang dipercayai para pemuja Dumbledore: dugaan atas kebenciannya terhadap sihir
hitam, perlawanannya terhadap penindasan Muggle, bahkan pengabdiannya lepada
keluarganya.
Musim panas yang sama saat Dumbledore pulang ke Godric’s Hollow, sekarang sebagai
seorang yatim piatu dan kepala keluarga, Bathilda Bagshot menerima kedatangan
keponakan-jauhnya di rumahnya, yaitu Gellert Grindelwald.
Nama Gellert Grindelwald sangat tenar: Ada dalam daftar Penyihir Hitam Paling
Berbahaya, ia keluar dari daftar teratas hanya karena keberadaan Kau-Tahu-Siapa, satu
generasi sesudahya untuk mengambil alih mahkotanya. Karena Grindelwald tidak
pernah memperluas kampanye terornya sampai ke Inggris, sehingga, kebangkitan
kekuatannya tidak terlalu dikenal disini.
Dididik di Durmstrang, sebuah sekolah terkenal dengan toleransinya yang sangat
disayangkan terhadap sihir hitam, Grindelwald menunjukkan kecerdasan yang sama
seperti Dumbledore. Alih-alih menyalurkan kemampuannya untuk meraih penghargaan
dan hadiah, malahan, Gellert Grindelwald mengabdikan dirinya untuk pencarian lain.
Dalam usia 17 tahun, bahkan Durmstrang merasa bahwa mereka tidak lagi dapat
merubah mata gelap Gellert Grindelwald menuju percobaan sebaliknya, dan ia pun
dikeluarkan.
Sampai sekarang ini, pergerakan Grindelwald yang dikenal adalah “berkelana beberapa
bulan“. Kini terbuka kenyataan bahwa Grindelwald memilih untuk mengunjungi bibijauhnya
di Godric’s Hollow, dan bahwa disana, amat mengejutkan walaupun akan
banyak yang mendengarnya, dia memulai persahabatan tiada lain dengan Albus
Dumbledore.
“Bagiku ia anak yang menarik,“ celoteh Bathilda, “apapun yang terjadi padanya
kemudian. Tentu saja aku memperkenalkannya pada si malang Albus, yang kehilangan
teman-teman sebayanya. Dengan segera anak-anak itu saling memperhatikan satu sama
lain.“
Tentu saja demikian. Bathilda menunjukkan sebuah surat kepadaku, yang disimpannya
ketika Albus Dumbledore mengirimkannya kepada Gellert Grindelwald di akhir malam.
“Ya, meskipun setelah mereka berdiskusi seharian — keduanya anak muda yang brilian,
mereka seperti kuali diatas api — kadang-kadang aku mendengar burung hantu
mengetuk jendela kamar tidur Gellert, mengantarkan surat dari Albus! Satu ide muncul
di kepalanya dan ia segera memberitahu Gellert!”
Dan ide mereka luar biasa. Hal yang sangat mengejutkan akan ditemui para fans Albus
Dumbledore, ini dia pemikiran pahlawan tujuh-belas-tahun mereka, seperti yang
disampaikan kepada sahabat barunya. (salinan surat asli bisa dilihat di halaman 463)
Gellert —
Pendapatmu tentang dominasi penyihir UNTUK KEBAIKAN PARA MUGGLE SENDIRI
— ini, menurutku, adalah titik kritis. Ya, kita telah diberi kekuatan dan ya, kekuatan itu
memberikan kita hak untuk mengatur, tapi ini juga memberi kita tanggung jawab
terhadap peraturan. Kita harus menekankan hal ini, karena ini akan menjadi batu
pondasi bangunan kita. Dimana kita bertentangan, dan pasti kita akan begitu, ini akan
menjadi dasar dari pertentangan pendapat kita. Kita mengendalikan UNTUK MANFAAT
YANG LEBIH BESAR. Dan dari hal tersebut, jika kita menghadapi perlawanan, kita
menggunakan kekuatan hanya jika diperlukan, tidak lebih. (Ini kesalahanmu di
Durmstrang! Tapi aku tidak mengeluh, karena jika kau tidak dikeluarkan, kita tak akan
pernah bertemu)
Albus
Mungkin pemujanya akan heran dan terkejut, surat ini digunakan untuk menyusun
Undang-undang Kerahasiaan dan menghasilkan Penguasaan Penyihir terhadap Muggle.
Pukulan bagi mereka yang selalu menggambarkan Dumbledore sebagai pembela
kelahiran-Muggle sejati! Betapa tak berdayanya pidato mengenai pembelaan hak-hak
Muggle tersebut ketika bukti baru yang memberatkan ini mulai terbuka! Betapa tercela
tampaknya Albus Dumbledore, sibuk merencanakan kebangkitan kekuatannya ketika ia
seharusnya berduka cita atas kematian ibunya dan merawat adiknya!
Tak diragukan lagi mereka yang memutuskan untuk tetap membela Dumbledore diatas
tumpuannya yang hancur akan mengakui bahwa dia tidak, bagaimanapun juga,
merealisasikan rencananya, bahwa dia pasti mengalami perubahan perasaan, dan
kembali ke akal sehatnya. Bagaimanapun, kebenaran bisa lebih mengejutkan.
Baru saja dua bulan jalinan persahabatan mereka yang luar biasa, Dumbledore dan
Grindelwald terpisah, tak pernah bertemu lagi hingga pertarungan mereka yang
legendaris (selanjutnya, baca bab 22). Apa yang menyebabkan pertarungan ini pecah?
Apakah Dumbledore menjadi sadar? Apakah ia mengatakan pada Grindelwald bahwa
ia tidak lagi mengambil bagian dalam rencananya? Sayang sekali tidak.
“Kematian Ariana kecil yang malang, kurasa, yang menyebabkannya,” kata Bathilda.
“Hal itu merupakan goncangan berat. Gellert ada disana ketika itu terjadi, dan dia
kembali kerumahku dengan menggigil, mengatakan padaku kalau dia ingin pulang
keesokan harinya. Benar-benar keadaan yang sulit, kau tahu, jadi aku mengatur portkey
dan itulah terakhir kali aku melihatnya.”
“Albus ada disampingnya saat kematian Ariana. Benar-benar menyedihkan untuk kedua
bersaudara itu. Mereka telah kehilangan semuanya, tinggal diri mereka sendiri. Tak
heran suhu menjadi naik. Aberforth menyalahkan Albus, kau tahu, sebagaimana orang
yang berada dalam kondisi memprihatinkan seperti ini. Tapi Aberforth memang selalu
berbicara sedikit kacau, anak yang malang. Sama saja, mematahkan hidung Albus saat
pemakaman bukanlah tindakan memperbaiki tabiatnya. Akan menghancurkan hati
Kendra jika melihat putra-putranya berkelahi seperti itu, disisi mayat anak
permpuannya. Sayang sekali Gellert tidak dapat menghadiri pemakaman. Ia akan
membuat Albus merasa nyaman, paling tidak....
Percekcokan disamping-mayat yang memprihatinkan ini, hanya diketahui sedikit orang
yan g menghadiri pemakaman Ariana Dumbledore, menyisakan beberapa pertanyaan.
Mengapa Aberforth Dumbledore menyalahkan Albus Dumbledore atas kematian Ariana?
Apakah ini sebagaimana yang dianggap “Bally”, adalah ungkapan duka cita yang
emosional belaka? Ataukah ada alasan yang sebenarnya atas kemarahannya?
Grindelwald, dikeluarkan dari Durmstrang karena serangan yang hampir-fatal kepada
teman-teman sekolahnya, meninggalkan negara ini hanya beberapa jam setelah kematian
gadis itu, dan Albus (karena malu atau takut?) tidak pernah melihatnya lagi, tidak
hingga dipaksa untuk melakukannya karena kepentingan dunia sihir.
Tak satupun dari Dumledore atau Grindelwald yang tampaknya pernah mengungkitungkit
hubungan persahabatan masa muda itu.selanjutnya. Bagaimanapun, tak
diragukan lagi Dumbledore telah menunda, lima tahun akan kekacauan, kematian dan
kehilangan ataukah kekuatiran akan terbongkar fakta bahwa ia pernah menjadi
sahabatnya-lah yang membuat Dumbledore ragu-ragu? Ataukah hanya rasa enggan
Dumbledore untuk berangkat menangkap orang yang dulu dengan senang hati ia temui?
Dan bagaiman Ariana yang misterius meninggal? Apakah ia korban kecerobohan ritual
sihir hitam? Apakah dia secara kebetulan menemukan sesuatu yang tidak seharusnya,
saat kedua anak muda tersebut mempraktekkan sesuatu dalam usahanya mencapai
kejayaan dan dominasi? Apakah mungkin Ariana Dumbledore adalah orang pertama
yang mati “untuk manfaat yang lebih besar”?
Bab tersebut berakhir disini dan Harry mendongak. Hermione telah mencapai akhir
halaman sebelum dia. Hermione menyentakkan buku itu dari tangan Harry, terlihat
sedikit gelisah karena ekspresi Harry, menutupnya tanpa memandang buku itu, seperti
menyembunyikan sesuatu yang memalukan.
“Harry—“
Tapi Harry menggelengkan kepalanya. Suatu rasa yang dalam seperti menghancurkan
hatinya, sama pesis seperti yang ia rasakan setelah kepergian Ron. Dia telah
mempercayai Dumbledore, percaya bahwa ia merupakan perwujudan kebaikan dan
kebijaksanaan. Semuanya seperti debu; Berapa banyak lagi yang akan hilang? Ron ,
Dumbledore, tongkat phoenix....
“Harry.” Hermione tampaknya bisa mendengar pikiran Harry. “Dengarkan aku. Ini – ini
bukan bacaan yang baik—“
“Yah, kau bisa bilang –“
“—tapi jangan lupa, Harry, ini tulisan Rita Skeeter.”
“Kau membaca surat untuk Grindelwald, kan?”
“Ya, a—aku membacanya.” Ia ragu-ragu, tampak kecewa, menggerak-gerakkan teh di
tangannya yang dingin. “Kurasa itu yang membuatnya parah. Aku tahu Bathilda berpikir
itu hanya obrolan, tapi ‘Untuk manfaat yang lebih besar’ kemudian menjadi slogan
Grindelwald, pembenarannya atas kekejian yang ia lakukan selanjutnya. Dan...dari hal
itu...tampaknya Dumbledore memberinya ide itu. Mereka bilang ‘Untuk Manfaat yang
Lebih Besar’ bahkan diukir di pintu masuk Nurmengard.”
“Apa itu Nurmengard?”
“Penjara yang dibangun Grindelwald untuk menahan lawan-lawannya. Dia sendiri
berakhir disana, ketika Dumbledore menangkapnya. Bagaimanapun, meng -- mengerikan
rasanya ternyata ide Dumbledore membantu Grindelwald berkuasa. Tapi disisi lain,
bahkan Rita tidak mengelak bahwa mereka saling mengenal selama beberapa bulan di
suatu musim panas ketika mereka masih sangat muda, dan –“
“Kurasa kau mengatakannya,” ucap Harry. Ia tidak ingin kemarahannya tumpah kepada
Hermione, tapi sulit menjaga suaranya tetap stabil. “Kurasa kau berkata ‘mereka masih
muda’. Usia mereka sama dengan kita sekarang. Dan inilah kita, mempertuhkan nyawa
melawan sihir hitam, dan ia disana, berkumpul dengan karib barunya, merencanakan
kekuasaan mereka atas Muggle.”
Kemarahannya tak perlu diragukan lagi: ia berdiri dan berjalan, berusaha menghilangkan
ketegangan jiwanya.
“Aku tidak sedang mencoba membela apa yang ditulis Dumbledore,” kata Hermione.
“Semua sampah ‘hak untuk mengatur’, ‘sihir adalah kekuatan’ lagi-lagi. Tapi Harry,
ibunya baru saja meninggal dan ia terjebak sendiri dirumah itu—“
“Sendiri? Ia tidak sendiri! Ia punya adik-adik untuk menemaninya, adik perempuannya
yang Squib terkunci—“
“Aku tidak percaya,” ucap Hermione. Dia juga berdiri. “Apapun yang terjadi pada gadis
itu, kurasa ia bukan Squib. Dumbledore yang kita kenal tak akan pernah, tak akan
membiarkan –“
“Dumbledore yang kita rasa kita kenal tidak ingin menguasai Muggle dengan
kekerasan!” Harry berteriak, suaranya bergema di puncak bukit yang sepi, dan beberapa
burung hitam terbang mengangkasa, berkoak dan berputar di langit yang berkilau.
“Dia berubah, Harry, dia berubah! Semudah itu! Mungkin ia percaya hal-hal tersebut
ketika ia berusia 17, tapi sisa hidupnya diabdikan untuk melawan sihir hitam!
Dumbledore-lah orang yang menghentikan Grindelwald, orang yang membela
perlindungan Muggle dan hak-hak kelahiran Muggle, yang melawan Kau-Tahu-Siapa
dari awal, dan yang meninggal dalam usaha menjatuhkannya!”
Buku Rita tergeletak terbuka di lantai antara mereka, sehingga wajah Albus Dumbledore
tersenyum pada keduanya.
“Harry, maafkan aku, tapi kurasa alasan sebenarnya mengapa kau begitu marah adalah
karena Dumbledore tidak pernah menceritakan sendiri hal ini kepadamu.”
“Mungkin iya!” Harry berteriak, dan ia merentangkan lengannya diatas kepalanya, sulit
untuk mengetahui apakah ia mencoba menahan kemarahannya ataukah ia melindungi
dirinya sendiri dari beratnya kekecewaan. “Lihat apa yang ia minta dariku, Hermione!
Pertaruhkan nyawamu, Harry! Dan lagi! Dan lagi! Dan jangan harapkan aku
menjelaskan semuanya, percaya saja, percaya bahwa aku tahu yang kulakukan,
percayalah walaupun aku tidak mempercayaimu! Tidak pernah kebenaran yang utuh!
Tidak pernah!”
Suaranya pecah karena tegang, dan mereka berdiri saling memandang dalam keputihan
alam dan kehampaan, dan Harry merasa mereka sama tidak berartinya dengan serangga
di angkasa luas.
“Dia menyayangimu,” Hermione berbisik. “Aku tahu dia menyayangimu.”
Harry menurunkan lengannya.
“Aku tak tahu siapa yang ia sayangi, Hermione, tapi itu bukan aku. Itu bukan sayang,
kekacauan yang ia tinggalkan padaku. Ia lebih memilih berbagi pemikirannya dengan
Gellert Grindelwald daripada denganku.”
Harry mengambil tongkat Hermione, yang ia jatuhkan di salju, dan kembali duduk di
pintu masuk tenda.
“Terima kasih atas tehnya. Akan kuselesaikan pengawasan. Masuklah agar hangat.”
Hermione tampak ragu, tapi menyadari itu penolakan. Dia mengambil buku itu dan
berjalan kembali ke tenda melewati Harry, sambil mengelus kepala Harry dengan
tangannya. Harry menutup matanya saat Hermione menyentuhnya, dan membenci
dirinya sendiri karena berharap perkataan Hermione benar: bahwa Dumbledore benarbenar
menyayanginya.
Chapter 19
-THE SILVER DOERUSA
BETINA PERAK
Salju turun saat Hermione mengambil alih tugas untuk berjaga-jaga tengah malam.
Mimpi-mimpi Harry sangat mengganggu & membuatnya bingung: Nagini menyelinap di
antara mereka: awalnya melalui cincin raksasa yang sudah retak, lalu melalui karangan
bunga mawar untuk Natal. Ia terbangun berulang-ulang, panik, dan sangat yakin bahwa
seseorang berteriak memanggil namanya dari kejauhan, serta membayangkan angin yang
menderu di sekitar tenda sebagai langkah kaki, atau suara-suara.
Akhirnya ia terbangun dalam kegelapan dan bergabung dengan Hermione yang sedang
meringkuk di pintu tenda membaca Sejarah Sihir dengan bantuan cahaya dari
tongkatnya. Salju masih turun dengan lebat, dan Hermione menyambut dengan senang
hati usul Harry untuk berkemas dan pindah.
“Kita akan pindah ke tempat yang lebih terlindung,” Hermione setuju, menggigil saat ia
mengenakan sweater di atas piamanya. “Aku terus menerus berpikir bahwa aku bisa
mendengar ada orang bergerak di luar. Aku bahkan mengira telah melihat seseorang,
sekali atau dua kali.”
Harry berhenti sejenak saat mengenakan baju tebalnya sambil melempar pandangan
sekilas ke arah Sneakoscope yang hening dan tak bergerak di atas meja.
“Aku yakin aku cuma membayangkannya,” sahut Hermione, terlihat gugup, “salju dalam
kegelapan pasti menipu mataku … tapi mungkin kita harus ber-Disapparate di dalam
Jubah Gaib, untuk berjaga-jaga?”
Setengah jam kemudian, setelah tenda selesai dikemasi, Harry mengalungkan
Horcruxnya, Hermione mengepit tas manik-maniknya, mereka ber-Dissaparate. Perasaan
sesak, seperti biasa, meliputi mereka; kaki Harry berpisah dengan tanah yang bersalju,
lalu terhempas keras di suatu tempat yang rasanya seperti tanah beku tertutup dedaunan.
“Dimana kita sekarang?” tanya Harry, sambil mengamati pepohonan di sekelilingnya,
saat Hermione membuka tas manik-maniknya dan mengeluarkan tiang tenda.
”Hutan Dean,” sahut Hermione, ”aku pernah berkemah di sini sekali dengan Mum dan
Dad.”
Di sini salju juga menumpuk di mana-mana dengan dingin yang menusuk, tapi
setidaknya mereka terlindung dari angin. Mereka menghabiskan sebagian besar waktu
mereka hari itu di dalam tenda, bergelung agar hangat di sekeliling cahaya biru terang.
Hermione sangat ahli membuatnya, api itu bisa diambil dan dibawa ke mana-mana dalam
stoples. Harry merasa seperti dia baru saja sembuh dari penyakit berat dalam waktu yang
singkat, kesan tersebut dikarenakan oleh rasa cemas Hermione. Butiran-butiran salju sore
itu mulai berjatuhan ke arah mereka, bahkan tempat berlindung mereka yang baru saja
dibersihkan kini sudah ditutupi oleh salju.
Setelah dua malam kurang tidur, indera Harry menjadi lebih peka dari biasanya. Pelarian
mereka dari Godric’s Hollow sangat kritis sehingga membuat Voldemort rasanya lebih
dekat dengan mereka, lebih mengancam. Saat kegelapan mulai menyelimuti lagi, Harry
menolak tawaran Hermione untuk berganti giliran jaga dan menyuruhnya untuk tidur.
Harry memindahkan sebuah bantal tua ke mulut tenda dan duduk, mengenakan semua
sweater yang ia punya, tapi masih saja menggigil kedinginan. Kegelapan semakin terasa
seiring berjalannya waktu, hingga akhirnya benar-benar tidak terlihat apa-apa. Ia sudah
mau mengeluarkan Peta Perompak agar bisa melihat titik berlabel Ginny, sebelum
akhirnya ingat bahwa sekarang libur Natal, dan berpikir bahwa Ginny pasti sudah pulang
ke The Burrow.
Bahkan gerakan sekecil apapun nampak menjadi lebih besar oleh luasnya hutan tersebut.
Harry tahu bahwa hutan ini pasti dipenuhi oleh makhluk hidup lainnya, dan Ia sangat
berharap mereka tetap diam tak bersuara, agar ia bisa membedakan langkah mereka yang
merupakan makhluk hutan normal, dengan gerakan-gerakan makhluk-makhluk lain yang
mencurigakan dan terdengar berbahaya. Ia teringat suara jubah mendesir di atas dedaunan
gugur beberapa tahun yang lalu, dan sejenak ia mengira mendengarnya lagi saat ini,
sebelum batinnya mengguncang dirinya sendiri agar sadar. Mantra Perlindungan mereka
telah bekerja selama berminggu-minggu, bagaimana mungkin mereka dapat
menembusnya sekarang? Tapi Ia tetap tidak dapat melepaskan perasaan bahwa ada
sesuatu yang berbeda malam ini.
Beberapa kali ia tersentak, lehernya sakit karena jatuh terlelap pada posisi yang salah.
Malam sudah mencapai titik tergelapnya hingga ia merasa berada di antara Disapparate
dan Apparate. Ia sedang mengangkat tangan kedepan wajahnya untuk memastikan
apakah ia dapat menghitung jarinya sendiri, saat sesuatu terjadi.
Seberkas cahaya keperakan terang muncul tepat di depannya, bergerak di antara
pepohonan. Apapun sumbernya, cahaya itu bergerak tanpa suara. Cahaya itu terlihat
melayang dan mengarah tepat padanya.
Harry melompat berdiri, suaranya membeku di kerongkongan, dan mengangkat tongkat
Hermione. Ia menyipitkan matanya saat cahaya itu bertambah menyilaukan, pepohonan
di depannya menjadi gelap seperti siluet, dan cahaya itu masih saja terus mendekat…
Kemudian sumber cahaya itu keluar dari balik pohon oak. Seekor rusa betina putih
keperakan, terselimuti cahaya bulan, menyilaukan, memesona, melangkah hati-hati masih
tak bersuara, dan tanpa meninggalkan jejak di salju. Rusa betina itu melangkah ke arah
Harry, kepalanya yang indah, dengan bulu mata yang cantik, berdiri tegak.
Harry memandang makhluk itu dengan kagum, bukan pada keanehannya, tapi karena
Harry merasa seolah sudah lama mengenalnya, perasaan yang tidak dapat dijelaskan. Ia
merasa seperti sudah lama menanti kedatangannya, tapi ia sudah melupakannya, sampai
saat ini datang, saat yang sebenarnya sudah mereka atur untuk bertemu. Niatnya semula
untuk berteriak memanggil Hermione sudah terlupakan. Harry tahu, ia akan
mempertaruhkan nyawanya pada makhluk ini, bahwa makhluk ini datang hanya padanya,
pada Harry sendiri.
Mereka bertukar pandang cukup lama, kemudian rusa betina itu berbalik dan menjauh.
”Tidak,” sahut Harry, suaranya seperti tertahan, ”Kembali!”
Tapi rusa betina itu terus saja melangkah dengan mantap di antara pepohonan, segera saja
cahayanya menghilang tertutup bayangan dari pepohonan. Sejenak Harry ragu.berpikir
sejenak: mungkin saja ini jebakan, pemikat, perangkap. Tapi nalurinya, naluri yang
meluap-luap, mengatakan bahwa ini bukan Sihir Hitam. Harry pun segera mengejar.
Salju berderak di bawah kaki Harry, tapi rusa itu tidak menimbulkan bunyi saat melewati
pepohonan, itu karena ia tak lebih dari cahaya. Semakin jauh rusa itu menuntun Harry
kedalam hutan semakin cepat pula Harry berjalan, percaya kalau rusa itu berhenti, rusa
itu akan mengijinkannya untuk mendekatinya. Lalu rusa itu akan berbicara, mengatakan
apa yang perlu Harry ketahui.
Akhirnya rusa itu berhenti. Ia menolehkan kepalanya yang cantik pada Harry sekali lagi,
Harry berlari, sebuah pertanyaan muncul dalam benaknya, tapi saat Harry membuka
mulut untuk bertanya, rusa itu lenyap.
Walau kegelapan telah menelan rusa betina itu, bayang-bayang cahayanya masih jelas
tercetak di selaput mata Harry, pandangannya kabur, namun menjadi terang saat ia
merendahkan kelopak matanya, penglihatannya menjadi sedikit kacau. Saat ini ketakutan
muncul, kehadiran rusa betina tadi menjanjikan keselamatan.
”Lumos!” ia berbisik, dan ujung tongkatnya menyala.
Jejak bayang rusa betina itu manjadi samar-samar dan menghilang sejalan dengan tiap
kedipan matanya, saat Harry berdiri di sana, mencoba mendengarkan suara hutan,
gemeretak ranting di kejauhan, desir salju yang terdengar lembut. Apakah ia akan
diserang? Apakah rusa betina itu membawanya menuju perangkap? Ataukah hanya
bayangannya saja, bahwa di luar jangkauan cahaya tongkat ada seseorang yang sedang
mengawasinya?
Harry mengangkat tongkat lebih tinggi. Tak seorangpun menyerangnya, tak ada percikan
cahaya hijau dari balik pepohonan. Kalau begitu, mengapa rusa betina itu menuntunnya
ke tempat ini?
Sesuatu terlihat berkilauan di bawah cahaya tongkat. Harry berputar, yang dia lihat
adalah sebuah kolam kecil, beku, permukaannya retak dan gelap berkilat saat Harry
mengangkat tongkat lebih tinggi untuk memeriksanya.
Ia maju mendekat, lebih waspada, dan melihat ke bawah. Es memantulkan bayangan
yang tak sempurna dari Harry dan kilauan cahaya tongkatnya, tapi jauh di kedalaman
lapisan kerang yang tebal berwarna kelabu ada sesuatu yang lain. Berkilat, seperti salib
perak yang besar...
Jantungnya berdetak kencang. Harry berlutut di sisi kolam, mengarahkan tongkatnya
untuk menerangi kolam itu. Kilau merah tua ... sebuah pedang dengan batu rubi di
pangkalnya ... pedang Gryffindor tergeletak di dasar kolam hutan itu.
Nyaris tak bernapas, Harry mengamatinya. Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana
mungkin pedang itu bisa tergeletak di kolam hutan, sedekat ini ke tempat mereka
berkemah? Apakah ada sihir tertentu yang menarik Hermione ke tempat ini, apakah rusa
betina, yang ia anggap sebagai Patronus, adalah semacam penjaga kolam ini? Atau
apakah pedang itu diletakkan di kolam setelah mereka tiba, tepatnya karena mereka
berada di sini? Apapun alasannya, di manakah orang yang berniat memberikannya pada
Harry? Harry mengarahkan lagi tongkatnya ke pepohonan dan semak-semak, mencari
sosok manusia, kilatan mata, namun ia tak dapat menemukan seorangpun. Semuanya
terlihat sama, sedikit rasa takut bercampur dengan rasa girangnya saat ia kembali
menaruh perhatiannya pada pedang yang tergeletak di dasar kolam beku.
Harry mengacungkan tongkat pada benda keperakan itu dan bergumam, ”Accio pedang.”
Pedang itu tak bergeming. Seperti yang sudah diduganya. Kalau memang semudah itu,
pedang itu pasti sudah tergeletak di tanah menunggu untuk dipungut, bukan di kedalaman
kolam yang beku. Harry berjalan mengelilingi es, berpikir keras mengenai saat terakhir
pedang itu menyerahkan diri pada Harry. Harry saat itu berada dalam bahaya
mengerikan, dan memerlukan pertolongan.
”Tolong,” gumam Harry, tapi pedang itu tetap berada di dasar kolam, tak tergoyahkan,
tak bergerak.
Apa maksudnya, Harry bertanya pada dirinya sendiri (sambil berjalan lagi) , yang
dikatakan Dumbledore padanya saat terakhir kalinya ia memperoleh pedang itu? Hanya
seorang Gryffindor sejati yang dapat menarik pedang itu keluar dari Topi. Dan apa
kualitas yang menggambarkan seorang Gryffindor sejati? Sebuah suara kecil di kepala
Harry menjawabnya: keberanian, keteguhan hati, & sikap ksatria adalah hal yang
membedakan seorang Gryffindor dari yang lain.
Harry berhenti berjalan, menghembuskan nafas panjang, uap napasnya buyar dengan
cepat di udara beku. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Jujur saja, pikiran ini yang
muncul pertama kali saat melihat pedang itu di bawah es.
Ia mengamati berkeliling lagi, tapi ia yakin sekarang bahwa tidak akan ada yang
menyerangnya. Mereka punya kesempatan menyerang saat ia berjalan sendiri di hutan,
mereka punya banyak kesempatan saat ia memeriksa kolam. Satu-satunya alasan untuk
menunda hanyalah karena kesempatannya sama sekali tidak tepat.
Dengan tangan gemetar Harry melepas bajunya yang berlapis-lapis. Saat ini adalah saat
untuk menunjukkan sifat ‘kekesatriaan’, dan dengan menyesal ia pikirkan, walaupun
tidak terlalu yakin, bahwa ’kekesatriaan’ disini adalah termasuk tidak memanggil
Hermione untuk menggantikannya.
Seekor burung hantu entah di mana ber-uhu pelan saat Harry melepas pakaiannya,
membuatnya kembali memikirkan Hedwig dengan hati pedih. Dia gemetar kedinginan
sekarang, giginya gemeletuk, dan dia terus melepaskan pakaiannya hingga tinggal
pakaian dalamnya, kaki telanjang di tengah salju. Ia meletakkan kantong berisi
tongkatnya yang patah, surat ibunya, pecahan cermin Sirius, dan Snitch tua di atas
pakaiannya, lalu mengarahkan tongkat Hermione pada es.
“Diffindo.”
Es itu berderak dengan suara seperti peluru memecah keheningan; permukaan kolam
retak dan potongan es gelap mengguncang air hingga beriak. Dugaan Harry, kolam itu
tidak dalam, tapi untuk memperoleh pedang itu, ia harus menyelam.
Memikirkannya lama-lama tidak akan membuat hal tersebut makin mudah atau membuat
air menjadi hangat. Harry melangkah ke tepi kolam, meletakkan tongkat Hermione di
atas tanah, masih menyala. Lalu tanpa mencoba membayangkan rasa dingin seperti apa
yang akan Ia hadapi nanti atau seperti apa dia akan gemetar, dia melompat.
Tiap lobang pori-pori tubuhnya menjerit protes; udara di paru-parunya padat membeku
saat ia terbenam sampai bahu di dalam air beku. Sulit sekali bernapas; gemetar begitu
hebatnya hingga air menepuk-nepuk tepi kolam, ia merasa seperti ada mata pisau di
kakinya yang kebas. Ia hanya ingin menyelam sekali.
Harry menunda saat menyelam dari detik ke detik, terengah-engah dan gemetar, hingga ia
mengatakan pada diri sendiri bahwa ini harus dilakukan, mengumpulkan keberanian, dan
menyelam.
Rasa dingin itu seperti siksaan; menyerang Harry seperti api. Otaknya serasa membeku
saat ia menembus air yang gelap hingga ke dasar, meraba-raba dan menjangkau pedang.
Jemarinya menggenggam pedang; ia menariknya.
Kemudian sesuatu mencekik lehernya. Semula ia mengira itu ganggang, walau ia tak
merasa ada yang menyapunya saat ia menyelam. Ia mengangkat tangannya yang kosong
untuk membebaskan diri. Itu bukan ganggang, rantai Horcrux telah mengetat dan
perlahan menjerat saluran tenggorokannya.
Harry menendang kesana-kemari dengan liar, mencoba untuk kembali ke permukaan, tapi
justru mendorong dirinya ke bagian berbatu karang di kolam itu. Menggelepar,
kekurangan udara, ia berjuang melawan rantai yang mencekik, jemarinya yang membeku
tidak berhasil melonggarkannya, dan sekarang sedikit cahaya meletup dalam benaknya,
Ia akan tenggelam, tak akan ada lagi yang tersisa, tak ada yang bisa ia lakukan, dan
lengan yang melingkar di dadanya pastilah Kematian …
Tersedak dan muntah-muntah, basah kuyup dan rasa dingin yang belum pernah ia
rasakan sebelumnya, ia telah keluar dari air, menelungkup di salju. Dekat dengannya,
seseorang terengah-engah, batuk dan berjalan terhuyung-huyung. Hermione datang lagi,
seperti saat ia datang waktu ular menyerang … tapi suaranya tidak terdengar seperti
Hermione. Suara Hermione tidak berat seperti yang Harry dengar sekarang, juga ditilik
dari bobot langkahnya …
Harry tidak punya kekuatan untuk mengangkat kepalanya dan melihat siapa
penolongnya. Yang bisa dilakukannya hanya mengangkat tangannya yang gemetar ke
kerongkongannya, merasakan tempat dimana liontin itu terasa mengikat erat dagingnya.
Liontin itu tidak ada, seseorang sudah memotongnya. Sebuah suara terdengar terputusputus
dari atas kepalanya.
”Apa—kau—gila?”
Terkejut mendengar suara itu agaknya memberi Harry kekuatan untuk bangkit. Gemetar
hebat, ia sempoyongan berdiri. Berdiri di hadapannya Ron, berpakaian lengkap tapi basah
kuyup, rambutnya melekat rapat di wajahnya, pedang Gryffindor di satu tangan dan
Horcrux berjuntai dari rantainya di tangan yang satu.
“Kenapa juga,” Ron masih terengah, memegang Horcrux yang berayun di rantainya yang
sudah pendek, “kau tadi tidak melepas ini dulu sebelum menyelam?”
Harry tidak menjawab. Rusa betina perak itu sama sekali tidak ada artinya dibandingkan
dengan kemunculan Ron, ia tidak bisa percaya ini. Gemetar karena kedinginan, ia
mengambil tumpukan baju yang masih tergeletak di tepi air dan mulai memakainya. Saat
ia mengenakan sweater demi sweater dari kepalanya, Ia memandang Ron, setengah
mengharapkan ia lenyap tiap kali Ron tak terpandang olehnya, tapi Ron benar-benar ada,
ia baru saja menyelam ke dalam kolam, dia baru saja menyelamatkan hidup Harry.
“K-kau?” akhirnya Harry menyahut, giginya gemeletuk, suaranya lebih lemah
dibandingkan biasanya.
“Well, yeah,” sahut Ron, nampak canggung.
“K-kau yang merapal rusa betina itu?”
“Apa? Tidak, tentu saja bukan. Kukira itu kau!”
”Patronusku rusa jantan.”
”Oh ya. Sudah kukira berbeda. Tidak ada tanduknya.”
Harry menyimpan kantong Hagrid seperti semula melingkari lehernya, memakai sweater
terakhir, membungkuk untuk memungut tongkat Hermione, dan memandang Ron lagi.
”Bagaimana kau bisa ke sini?”
Jelas-jelas Ron berharap masalah ini akan ditanyakan lain waktu, atau tidak sama sekali
...
”Well, aku—kau tahu—aku kembali. Kalau—” Ron membersihkan tenggorokannya,
”Kau tahu. Kalau kau masih menginginkanku.”
Sunyi sejenak. Masalah tentang perginya Ron seperti menimbulkan kekakuan di antara
mereka. Tapi dia di sini. Dia sudah kembali. Dan dia sudah menyelamatkan hidup Harry.
Ron memandang tangannya. Sejenak dia terkejut melihat apa yang sedang dia pegang.
”Oh, yeah; aku mengeluarkannya,” sahutnya, percakapan yang tidak perlu sebenarnya,
mengangkat pedang itu agar bisa diamati Harry. ”Ini yang menyebabkan kau melompat
ke dalam kolam, kan?”
”Yeah,” sahut Harry. ”Tapi aku tidak paham. Bagaimana bisa kau sampai ke sini?
Bagaimana kau bisa menemukan kami?”
”Ceritanya panjang,” sahut Ron, ”Aku sudah mencarimu hingga berjam-jam, ini hutan
yang besar kan? Dan baru saja aku mengira aku harus menginap di bawah pohon dan
menunggu pagi, sampai aku lihat ada seekor rusa lewat, dan kau mengikutinya.”
”Kau tidak melihat orang lain?”
“Tidak,” sahut Ron, “Aku—“
Tapi dia ragu, memandang dua pohon yang tumbuh berdekatan, beberapa yard jauhnya.
“—Aku mengira aku melihat sesuatu yang bergerak disana, tetapi aku sedang berlari ke
kolam pada saat itu karena kau sudah masuk ke kolam,dan untuk beberapa saat kau tak
keluar-keluar, jadi aku tidak jadi, hey—“
Harry sudah bergegas ke tempat yang dimaksud Ron. Dua pohon oak itu tumbuh
berdekatan; ada celah beberapa inci setinggi mata, ideal untuk mengamati dan tidak
terlihat. Tanah di sekitar akar bebas dari salju dan Harry tidak melihat ada jejak kaki. Ia
kembali ke tempat di mana Ron menunggu, masih memegang pedang dan Horcrux.
“Ada sesuatu?” tanya Ron.
“Tidak,” ujar Harry.
“Jadi bagaimana pedang itu bisa ada di dalam kolam?”
“Siapapun yang merapal Patronus pastilah telah menaruhnya di sana.”
Mereka memandangi pedang perak berhias itu, gagangnya yang bertatahkan rubi berkilat
di bawah cahaya tongkat Hermione.
”Kau pikir ini asli?” tanya Ron.
”Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya kan?” sahut Harry.
Horcrux itu masih berayun di tangan Ron. Liontin itu berkedut sedikit. Harry tahu bahwa
sesuatu di dalamnya mulai gelisah lagi. Benda itu merasakan kehadiran pedang
Gryffindor dan sudah mencoba membunuh Harry agar Harry tidak bisa memiliki pedang
itu lagi. Sekarang bukan waktunya untuk diskusi panjang lebar; sekarang adalah waktu
yang tepat untuk menghancurkan liontin itu untuk selamanya. Harry melihat berkeliling,
memegang tongkat Hermione tinggi-tinggi, dan melihat suatu tempat: sebuah batu rata
terletak di bawah bayangan pohon sycamore.
”Di sini,” sahutnya dan berjalan mendahului, membersihkan salju dari permukaan batu
itu dan memegang Horcruxnya. Saat Ron menawarkan pedang, Harry malah
menggelengkan kepala.
”Kau yang melakukannya.”
”Aku?” Ron nampak terkejut, ”Kenapa?”
”Karena kau yang mengeluarkan pedang itu dari kolam. Kukira itu artinya kau yang
berhak.”
Harry tidak sedang mencoba bermurah hati. Sama yakinnya saat dia tahu bahwa rusa
betina itu tidak berbahaya, begitu pula dia yakin bahwa Ron-lah seorang yang akan
mengayunkan pedang tersebut. Paling tidak Dumbledore telah mengajarkan Harry
tentang jenis sihir tertentu, mengenai kekuatan yang tak terhingga untuk kondisi tertentu.
”Aku akan membukanya,” sahut Harry, ”dan kau akan menyabetnya saat itu juga, OK?
Karena apapun yang ada di dalamnya pasti akan melawan. Bagian dari diri Riddle di
dalam diary sudah pernah mencoba membunuhku.”
”Bagaimana kau membukanya?” tanya Ron, nampak ketakutan.
”Aku akan memintanya untuk membuka, menggunakan Parseltongue.” sahut Harry.
Jawabannya seperti sudah ada di bibir, seolah-olah dia memang sudah mengetahuinya,
mungkin pertemuannya dengan Nagini telah membuatnya menyadari hal tersebut. Ia
memandang huruf S yang meliuk-liuk seperti ular bertatahkan batu hijau gemerlap;
mudah sekali membayangkannya sebagai ular kecil melingkar di batu yang dingin.
”Jangan!” sahut Ron, ”Jangan buka! Aku serius!”
”Kenapa tidak!” tanya Harry. ”Mari kita singkirkan benda terkutuk ini, sudah berbulanbulan
—”
”Aku tak bisa, Harry, aku serius—kau saja—”
”Tapi kenapa?”
”Karena benda itu buruk akibatnya untukku!” sahut Ron, mundur dari liontin di atas batu.
”Aku tak dapat menguasainya! Aku bukannya sedang mengarang-ngarang alasan, Harry,
tapi benda itu mempengaruhiku lebih buruk daripada ia mempengaruhimu atau
Hermione, benda itu membuatku berpikir macam-macam, hal yang benar-benar sedang
kupikirkan, tapi benda itu membuatku menjadi berpikiran buruk, aku tak dapat
menerangkannya, jika aku melepaskannya aku akan dapat berpikir jernih lagi, aku—aku
tak bisa, Harry!”
Ia mundur, pedang terseret di sisinya, sambil menggelengkan kepalanya.
”Kau bisa,” sahut Harry, ”Kau bisa. Kau yang mendapat pedang itu, aku tahu kau yang
seharusnya menggunakannya. Kumohon, gunakan pedang itu dan singkirkan benda ini,
Ron.”
Mendengar namanya disebut, Ron seperti mendapat dorongan. Ia menelan ludah, menarik
napas panjang lewat hidungnya yang juga panjang, ia mendekati batu
”Beritahu aku saatnya,” sahut Ron parau.
”Pada hitungan ketiga,” sahut Harry, memandang kembali liontin itu, menyipitkan
matanya, berkonsentrasi pada huruf S, membayangkan seekor ular, sementara isi liontin
itu bergemeletuk seperti kecoa terperangkap. Akan sangat mudah untuk mengasihaninya,
kalau saja leher Harry tak hangus karena cekikannya tadi.
”Satu ... dua ... tiga ... buka.”
Kata terakhir keluar sebagai desisan dan geraman, jendela keemasan liontin keemasan itu
terbuka lebar dengan suara klik.
Di kedua jendela kaca masing-masing ada mata yang hidup, gelap dan tampan seperti
mata Tom Riddle sebelum mata itu berubah merah dan pupilnya terbelah.
”Tebas Sekarang,” sahut Harry, memegangi liontin dengan kuat di atas batu.
Ron mengangkat pedang dengan tangan gemetar, ujungnya yang tajam memantulkan
bayangan mata tersebut, dan Harry mencengkeram liontin itu kuat-kuat, menyiapkan diri
dan sudah membayangkan darah tertumpah dari jendela kaca yang kosong.
Tapi kemudian sebuah suara mendesis keluar dari Horcrux itu.
”Aku sudah melihat isi hatimu, dan itu milikku.”
”Jangan dengarkan!” kata Harry, keras, ”Sabet dia!”
“Aku telah melihat mimpi-mimpimu, Ronald Weasley, dan aku sudah melihat
ketakutanmu. Semua yang kau inginkan bisa terkabul, tapi rasa takutmu juga bisa
terkabul…”
”Sabet!” teriak Harry, suaranya bergaung di pepohonan sekeliling, mata pedang bergetar,
dan Ron memandang pada mata Riddle.
“Paling tidak dicintai, oleh ibu yang menginginkan anak perempuan … paling tidak
dicintai oleh gadis yang lebih memilih temanmu … selalu nomer dua, selalu berada
dibawah bayang-bayang …”
“Ron, sabet sekarang!” Harry berteriak; ia dapat merasakan liontin itu bergetar dalam
genggamannya, dan ia takut pada apa yang akan muncul dari dalamnya. Ron masih
mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, dan saat ia melakukan itu, mata Riddle berkilat
merah.
Dari dua sisi liontin yang terbuka, dari kedua mata, muncul dua gelembung aneh, kepala
Harry dan kepala Hermione, wajah mereka tak keruan.
Ron berteriak terkejut dan mundur saat sosok-sosok itu muncul dari liontin, mulanya
dada, pinggang, kaki, sampai sosok-sosok itu berdiri di atas liontin, berdampingan seperti
pohon dengan akar yang sama, bergoyang melampaui Ron, dan Harry yang asli sudah
melepas jemarinya dari liontin, sekarang memutih karena panasnya.
”Ron!” Harry berteriak, tapi Riddle-Harry sekarang berbicara dengan suara Voldemort,
dan Ron menatap, terpesona pada wajahnya.
“Kenapa kembali? Kami lebih baik tanpamu, lebih bahagia tanpamu, senang akan
ketidakhadiranmu … kami menertawakan kebodohanmu, kepengecutanmu,
kesombonganmu—“
“Kesombongan,” suara menggema dari Riddle-Hermione, jauh lebih cantik tapi lebih
mengerikan dari Hermione asli; ia bergoyang, berbicara dekat Ron, yang terlihat ngeri
dan terpaku, pedang terjuntai di sampingnya. “Siapa yang mau melihatmu,siapa yang
akan memperhatikanmu, di samping Harry Potter? Apa yang sudah pernah kamu
lakukan, dibanding dengan Yang Terpilih? Siapa kau, dibandingkan dengan Anak Yang
Bertahan Hidup?”
“Ron, sabet dia, SABET DIA!” Harry berteriak, tapi Ron tidak bergerak, matanya
melebar, Riddle-Harry dan Riddle-Hermione tercermin dari matanya, rambut mereka
berseliweran seperti nyala api, mata mereka memerah, suara mereka bersatu dalam duet
yang keji.
“Ibumu mengakui,” seringai Riddle-Harry sementara Riddle-Hermione mencemooh,
“Ibumu lebih suka memilihku sebagai anaknya daripada kau, akan sangat gembira
dengan pertukaran itu …”
“Siapa yang akan memilihmu? Wanita mana yang akan memilihmu? Kau sama sekali tak
ada apa-apanya dibandingkan dengan dia,” suara Riddle-Hermione merayu, dan dia
melilit seperti ular, merapat pada Riddle-Harry, memeluknya erat dan bibir mereka
bersatu.
Di depan mereka, wajah Ron penuh amarah, ia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi,
tangannya gemetar.
”Lakukan, Ron!” Harry berteriak.
Ron memandang Harry, matanya meninggalkan jejak memerah.
”Ron—”
Pedang itu berkelebat, terlempar; Harry melempar dirinya, suara logam berbenturan dan
jeritan panjang mengerikan. Harry berputar, terpeleset di salju, bersiaga dengan tongkat
untuk membela diri, tapi tak ada apapun.
Versi yang dahsyat dari dirinya dan Hermione sudah tak ada; hanya Ron, berdiri dengan
pedang terpegang kendur, melihat pada bekas-bekas liontin di atas batu.
Perlahan Harry berjalan mendekatinya, tak tahu harus berkata apa atau harus berbuat
bagaimana. Ron bernafas dengan berat, matanya tidak lagi berwarna merah sama sekali,
tapi mata biru normalnya terlihat basah.
Harry berhenti, bersikap seolah-olah Ia tidak ada, dan mengambil Horcrux yang rusak
tersebut. Ron telah menghancurkan kaca tersebut: mata Riddle telah hilang, dan noda di
liontin tersebut mengeluarkan asap tipis. Sesuatu yang hidup dalam Horcrux itu sudah
lenyap; menyiksa Ron adalah hal yang terakhir dilakukannya.
Pedang berkelontang saat Ron menjatuhkannya. Ron jatuh berlutut, tangannya di kepala.
Ia gemetar, tetapi Harry sadar, bukan karena kedinginan. Harry menjejalkan liontin rusak
itu ke dalam sakunya, berlutut di samping Ron, menempatkan sebelah tangan hati-hati di
bahu Ron. Ron tidak menepisnya.
”Setelah kau pergi,” Harry berkata dalam suara rendah, bersyukur bahwa wajah Ron
tersembunyi, ”Hermione menangis terus selama seminggu. Mungkin lebih, hanya dia tak
ingin aku tahu. Malam-malam di mana kami sama sekali tak berbicara. Karena
kepergianmu ...”
Harry tak dapat menyelesaikannya. Ron sudah ada di sini lagi, Harry menyadari bahwa
ketidakhadirannya berakibat banyak bagi mereka.
”Dia sudah seperti saudara,” Harry meneruskan, ”Aku menyayanginya seperti saudara
dan kuperhitungkan perasaannya sama padaku. Selalu begitu. Kukira kau juga tahu.”
Ron tidak menjawab tapi memalingkan muka dari Harry, dan membersit hidungnya
dengan lengan baju. Harry berdiri dan menuju tempat ransel Ron tergeletak, beberapa
yard jauhnya, terlempar saat Ron berlari ke kolam untuk menyelamatkan Harry agar tidak
tenggelam. Harry mengangkatnya di pundak dan kembali pada Ron. Ron berusaha
bangkit saat Harry mendekat, matanya merah karena lelah tetapi sekarang sudah kembali
tenang.
“Maafkan aku,” suaranya parau, “Aku menyesal sudah pergi. Aku tahu aku—aku—”
Ron melihat sekeliling di kegelapan, berharap muncul kata yang cukup mengerikan akan
menyambarnya.
”Kau sudah membayarnya malam ini,” sahut Harry, ”Mendapatkan pedang.
Menghancurkan Horcrux. Menyelamatkan hidupku.”
“Itu membuatku terdengar lebih ‘cool’ dari biasanya,” Ron berkomat-kamit.
”Hal-hal seperti itu kedengarannya selalu lebih keren dari kenyataan,” sahut Harry, ”Aku
sudah mencoba untuk mengatakannya padamu selama bertahun-tahun ini.”
Secara bersamaan mereka mendekat dan saling merangkul. Harry mencengkeram
punggung jaket Ron yang masih basah.
“Dan sekarang,” sahut Harry ketika mereka sudah melepaskan rangkulan, “yang harus
kita lakukan adalah menemukan tenda.”
Tapi itu tidak susah. Walau perjalanan menembus hutan yang gelap bersama rusa betina
nampak jauh, tapi dengan Ron di sisinya, perjalanan kembali secara mengejutkan, hanya
sebentar. Harry tidak bisa menunggu untuk membangunkan Hermione, dengan rasa
gembira ia memasuki tenda, Ron melambat di belakangnya.
Rasanya hangat setelah suasana di kolam, di hutan, penerangan di tenda hanya cahaya
bluebell masih bersinar di mangkuk di lantai. Hermione masih tertidur lelap, meringkuk
di bawah selimut dan tidak bergerak sampai Harry berulang kali menyebut namanya.
“Hermione.”
Ia bergerak, lalu secepat kilat duduk, merapikan rambut di wajahnya.
“Ada apa? Harry? Kau tak apa-apa?”
”Semua baik-baik saja. Lebih dari baik. Hebat malah. Ada seseorang di sini.”
”Apa yang kau maksud? Siapa—”
Ia melihat Ron, yang berdiri memegang pedang, air menetes di karpet usang. Harry
mundur ke sudut, menurunkan ransel Ron dan berusaha membuat dirinya nyaman di
dalam tenda.
Hermione meluncur turun dari tempat tidurnya dan bergerak seperti orang yang berjalan
dalam tidur menuju Ron, matanya menuju pada wajah pucat Ron. Ia berhenti tepat di
depan Ron, bibirnya sudah membuka, matanya melebar. Senyum Ron lemah, berharap,
dan tangannya sudah terangkat.
Hermione langsung maju dan memukuli setiap inci tubuh Ron yang mungkin ia raih.
“Ouch—ow—gerroff*! Apa—? Hermione—ow!”
Kau—benar-benar—menyebalkan—Ronald—Weasley!”
Ia menandai tiap kata dengan pukulan. Ron mundur, melindungi kepalanya saat
Hermione maju.
”Kau—merangkak—kembali—ke sini—setelah—berminggu-minggu—oh, mana
tongkatku?”
Hermione terlihat maju untuk merebut tongkatnya dari tangan Harry, dan Harry bertindak
naluriah.
“Protego!”
Pelindung kasat mata muncul di antara Ron dan Hermione; kekuatannya membuat
Hermione terpantul mundur hingga ke lantai. Sambil mengeluarkan rambut yang masuk
ke mulutnya, Hermione maju lagi.
”Hermione,” sahut Harry, ”Tenang—”
”Aku tidak akan tenang!” ia berteriak. Harry belum pernah melihatnya kehilangan
kendali seperti ini, seperti orang yang kesurupan.
”Kembalikan tongkatku! Kembalikan!”
”Hermione, tolong—”
”Jangan katakan padaku apa yang seharusnya kulakukan, Harry Potter!” Hermione
melengking, ”Jangan berani-berani! Kembalikan sekarang! Dan KAU!”
Ia menunjuk Ron, menuduh dengan mengerikan; suaranya seperti laki-laki, dan Harry
tidak bisa menyalahkan Ron karena mundur beberapa langkah.
”Aku mengejarmu! Aku memanggilmu! Aku memohon agar kau kembali!”
”Aku tahu,” sahut Ron, ”Hermione, aku menyesal. Aku sungguh—”
”Oh, kau menyesal!”
Hermione tertawa, nada suaranya tinggi, tidak terkendali. Ron melihat Harry minta
tolong, tapi Harry cuma nyengir tak berdaya.
“Kau kembali setelah berminggu-minggu—berminggu-minggu—dan kau pikir semua
akan beres hanya dengan kata-kata maaf darimu?”
“Apa lagi yang bisa kukatakan?” teriak Ron, dan Harry senang melihat Ron membalas.
”Oh, aku tak tahu!” pekik Hermione dengan kasar. “Gunakan otakmu, Ron, itu hanya
perlu waktu beberapa detik—”
”Hermione,” sela Harry, ”dia baru saja menyelamatkan—”
”Aku tak peduli,” teriak Hermione, ”aku tak peduli apa yang ia perbuat! Bermingguminggu,
kita bisa saja mati saat itu—”
”Aku tahu kalian tidak mati!” teriak Ron, menenggelamkan suara Hermione untuk
pertama kalinya, mendekat sebisanya dengan adanya Mantra Pelindung di antara mereka.
”Harry selalu ada di Prophet, di radio, mereka mencarimu di mana-mana, semua kabar
burung dan cerita gila, aku tahu aku akan dengar langsung kalau kau mati, kau tak tahu
seperti apa—”
”Memangnya seperti apa menurutmu?”
Suara Hermione sekarang sangat melengking sampai-sampai mungkin hanya kelelawar
yang bisa mendengarnya, tapi dia sudah mencapai batas kemarahan sehingga untuk
sementara tak bisa bicara apa-apa, Ron memanfaatkan kesempatan itu.
”Aku sudah akan kembali pada saat aku ber-Disapparate, tapi aku bersinggungan dengan
segerombolan Penjambret, Snatchers, Hermione, sehingga tidak bisa ke mana-mana.”
”Segerombolan apa?” tanya Harry, dan Hermione melempar diri ke kursi dengan tangan
dan kaki terlipat sangat rapat seperti tidak akan dibuka bertahun-tahun.
”Penjambret, Snatchers,” sahut Ron, ”Mereka ada di mana-mana, gerombolan yang
mencari emas dengan menyerahkan Muggle-Born atau Darah Pengkhianat, ada hadiah
dari Kementrian bila berhasil menangkap mereka. Aku sendirian, terlihat usia anak
sekolah, mereka kegirangan mengira aku Muggle-Born yang sedang sembunyi. Aku
harus bergerak cepat atau diseret ke Kementrian.”
”Apa yang kau bilang pada mereka?”
”Aku mengaku sebagai Stan Shunpike. Orang pertama yang kuingat.”
”Dan mereka percaya?”
”Mereka tidak terlalu pintar. Aku bahkan sangat yakin kalau salah satu dari mereka
merupakan setengah-Troll, Dari baunya...”
Ron melirik Hermione, sangat berharap kalau-kalau Hermione melunak dengan adanya
lelucon itu, tetapi ekspresi Hermione tetap terlihat mengerikan.
”Mereka kemudian meributkan apakah aku Stan atau bukan. Sangat menyedihkan
memang, tapi jujur saja, mereka berlima sedangkan aku sendiri, mereka merebut
tongkatku. Lalu dua di antara mereka berkelahi, dan saat perhatian teralih, aku memukul
salah seorang dari mereka yang memegangiku, merebut tongkatnya, Melucuti yang
memegang tongkatku, dan ber-Disapparate. Aku tidak melakukannya dengan baik,
Splinch lagi—” Ron mengangkat tangan kanannya, memperlihatkan dua kukunya yang
hilang; Hermione mengangkat alisnya dingin, ”—dan aku muncul bermil-mil jauhnya
dari tempat asal. Saat aku kembali ke tepian sungai itu ... kalian sudah pergi.”
”Cerita yang mengesankan,” sahut Hermione, dengan suara angkuh yang dipakainya
kalau dia bermaksud melukai perasaan seseorang, ”Kau pasti sangat ketakutan.
Sementara itu kami pergi ke Godric’s Hollow, dan sebentar, apa yang terjadi, Harry? Oh
ya, ularnya Kau-Tahu-Siapa muncul, hampir membunuh kami berdua, Kau-Tahu-Siapa
sendiri muncul dan nyaris menangkap kami, tapi luput hanya dalam hitungan detik.”
”Apa?” sahut Ron, melongo pada Hermione, lalu pada Harry, tapi Hermione
mengacuhkannya.
”Bayangkan, kehilangan kuku, Harry! Penderitaan kita tidak bisa dibandingkan
dengannya, kan?”
”Hermione,” sahut Harry pelan, ”Ron baru saja menyelamatkanku.”
Namun kelihatannya Hermione tidak mendengarkan.
”Satu hal yang ingin kuketahui,” sahut Hermione memusatkan mata pada satu kaki di atas
kepala Ron, ”Bagaimana bisa kau menemukan kami malam ini? Ini penting. Kalau kita
tahu penyebabnya, kita bisa memastikan agar kita tidak lagi dikunjungi oleh orang yang
tidak kita inginkan.”
Ron memandangi Hermione, menarik benda kecil perak dari saku jeansnya.
”Ini.”
Hermione terpaksa memandang Ron agar bisa melihat apa yang ditunjukkannya.
”Deluminator?” ia bertanya, sangat terkejut sehingga lupa bersikap dingin dan kejam.
”Benda itu bukan hanya untuk mematikan dan menyalakan lampu saja,” sahut Ron, ”aku
tidak tahu bagaimana cara kerjanya, atau mengapa berfungsi pada saat itu sedang pada
saat lain tidak, karena aku sudah ingin kembali dari saat aku pergi. Tapi aku sedang
mendengarkan radio Natal pagi sekali, dan aku dengar ... aku dengar kau.”
Ron memandang Hermione.
”Kau mendengarkan aku di radio?” Hermione meragukan.
”Tidak. Aku mendengar suaramu keluar dari saku. Suaramu,” ia mengangkat
Deluminator itu lagi, ”keluar dari sini.”
”Dan aku mengatakan apa?” tanya Hermione, suaranya setengah tak percaya setengah
ingin tahu.
”Namaku. ’Ron’. Dan kau mengatakan ... sesuatu tentang tongkat ...”
Wajah Hermione merah padam. Harry teringat: itu saat nama Ron pertama kali disebut
oleh mereka berdua sejak Ron pergi; Hermione menyebut namanya saat mereka
membicarakan tentang memperbaiki tongkat Harry.
”Jadi aku mengambilnya,” Ron meneruskan, memandang Deluminator itu, ” dan benda
itu tidak nampak berbeda, atau jadi apa ’gitu, tapi aku yakin aku mendengarnya. Jadi aku
menekannya. Dan ada cahaya keluar di kamarku, tapi ada cahaya lain muncul tepat di
luar jendela.”
Ron mengangkat tangannya yang kosong, menunjuk sesuatu di depannya, matanya
terfokus pada sesuatu yang baik Harry maupun Hermione tidak dapat melihatnya.
”Seperti bola cahaya, berdenyut, biru, seperti cahaya di sekitar Portkey, kau tahu?”
”Yeah,” sahut Harry dan Hermione berbarengan, otomatis.
“Aku tahu itu,” sahut Ron, “mengambil barang-barangku, mengemasnya di ransel dan
keluar ke kebun.”
“Bola kecil cahaya itu melayang di sana, menungguku, saat aku keluar, bola cahaya itu
berputar sedikit, dan aku mengikutinya ke belakang gudang, lalu … lalu, well … ia
masuk ke dalam diriku.”
“Maaf?’ sahut Harry, jelas dia tidak mendengar baik-baik.
“Seperti mengapung ke arahku,” jelas Ron dengan telunjuknya, “langsung ke dadaku, dan
kemudian dia masuk. Di sini,” Ron menyentuh titik dekat jantungnya. “Aku bisa
merasakannya, panas. Dan sekali ia masuk, aku tahu apa yang seharusnya kulakukan, aku
tahu ke mana bola cahaya itu menuntunku. Jadi aku ber-Disapparate, muncul di sisi bukit.
Salju di mana-mana ...”
”Tadinya kami di sana,” jelas Harry. ”Kami dua hari di sana, dan di malam kedua aku
terus berpikir seseorang mondar-mandir di kegelapan dan memanggil-manggil.”
”Yeah, well, mungkin saja itu aku,” ujar Ron. ”Mantra Perlindunganmu bekerja baik,
karena aku tidak dapat melihat kalian, tidak dapat mendengar kalian. Aku yakin kalian
ada di sekeliling, jadi aku berlindung di kantong tidurku dan menunggu kalian muncul.
Kukira kalian akan muncul saat mengemas tenda.”
”Sebetulnya tidak,” sahut Hermione, ”Kami ber-Disapparate di bawah Jubah Gaib
sebagai tindakan pengaman. Dan kami pergi pagi sekali, karena seperti kata Harry, kami
mendengar seseorang mondar-mandir.”
”Well, aku tinggal di bukit itu seharian,” sahut Ron, ”aku terus berharap kalian muncul.
Waktu hari semakin gelap aku tahu aku sudah kehilangan kalian, jadi aku pencet
Deluminator lagi, cahaya biru keluar dan masuk ke dalam diriku, lalu aku ber-
Disapparate dan tiba di sini di antara pepohonan. Aku tetap tidak bisa melihat kalian jadi
aku berharap satu dari kalian memperlihatkan diri akhirnya—ternyata Harry. Well,
sebenarnya aku melihat rusa betina itu dulu.”
”Kau melihat apa?” tanya Hermione tajam.
Mereka menjelaskan apa yang terjadi, dan saat cerita sampai pada rusa betina perak dan
pedang dalam kolam, Hermione mengerutkan kening pada yang satu lalu pada yang
lainnya, berkonsentrasi sampai lupa pada kakinya.
”Tapi itu pasti Patronus!” sahut Hermione. ”Tidakkah kau bisa melihat perapal
mantranya? Tidakkah kau melihat seseorang? Dan rusa betina itu menuntunmu pada
pedang! Aku tidak percaya. Lalu?”
Ron menjelaskan bagaimana ia melihat Harry melompat ke dalam kolam dan ia
menunggu Harry muncul; tapi ia lalu menyadari pasti ada sesuatu yang salah, menyelam
dan menolong Harry, lalu kembali pada pedang. Cerita Ron sampai pada saat mereka
membuka liontin, lalu Ron ragu, tapi Harry memotongnya.
”—dan Ron menikamnya dengan pedang.”
”Dan ...selesai? Begitu saja?” Hermione berbisik.
”Well, liontinnya—menjerit,” sahut Harry, setengah melirik pada Ron. “Ini.”
Ia melempar liontinnya ke pangkuan Hermione; Hermione memungutnya dan memeriksa
jendelanya yang sudah rusak.
Memutuskan akhirnya situasi aman, Harry mencabut Mantra Pelindung dengan satu
lambaian tongkat Hermione dan menoleh pada Ron.
“Tadi kau bilang kau melarikan diri dari para Snatchers itu dengan tongkat cadangan?”
“Apa?” tanya Ron yang sedang mengamati Hermione memeriksa leontin. “Oh—oh, iya.”
Ron menarik salah satu gesper dari ranselnya dan menarik sebuah tongkat gelap dan
pendek dari salah satu sakunya. “Ini. Kubayangkan, berguna juga kalau punya
cadangan.”
“Kau benar,” sahut Harry, mengulurkan tangan, “Punyaku patah.”
”Kau bercanda,” sahut Ron, tapi saat itu Hermione berdiri, dan Ron nampak
memprihatinkan lagi.
Hermione menyimpan Horcrux yang sudah dikalahkan itu dalam tas manik-maniknya,
lalu memanjat kembali ke tempat tidurnya, meringkuk tanpa kata.
Ron memberikan tongkat itu pada Harry.
”Yang terbaik yang bisa kau harapkan, kukira.” gumam Harry.
”Yeah,” sahut Ron. ”Tidak mungkin lebih buruk lagi. Ingat burung-burung yang ia
ciptakan untukku?”
“Aku belum melupakannya,” suara Hermione di bawah selimutnya, tapi Harry melihat
senyum tipis Ron saat ia menarik piama merah marunnya dari ransel.
____________________________________________
*Maksudnya disini ialah "get off", si Ron ingin bilang "get off me" yang artinya
"lepaskan" atau "hentikan", tapi jadi terhambat karena Hermione memukulinya. (Thanks
Bro!)
Bab Dua Puluh
Xenophilius Lovegood
Xenophilius Lovegood*
Harry tidak mengharapkan kemarahan Hermione mereda setelah malam hari dan oleh
karena itu tidak heran bahwa dia terlihat kotor dan lebih banyak diam pada keesokan
paginya. Ron menanggapinya dengan menampakkan tanda kesedihan yang tak biasanya
dengan penyesalan yang dalam dari sikap Hermione. Kenyataannya, ketika mereka
bertiga bersama, Harry merasa seperti satu-satunya bukan pelayat yang menghadiri
pemakaman. Namun selama beberapa waktu itu, Ron menghabiskan waktu bersama
Harry (mengambil air dan mencari jamur muda). Ia menjadi begitu riang.
Seseorang telah membantu kita,” dia tetap berkata, “Seseorang mengirim rusa betina itu,
Seseorang yang ada di pihak kita, Satu Horcrux hancur, kawan!”
Terdorong oleh kehancuran liontin, mereka kemudian membahas kemungkinan lokasi
dari Horcrux-Horcrux lainnya meskipun mereka telah sering mendiskusikan hal itu
sebelumnya. Harry merasa optimis, yakin bahwa terobosan-terobosan berikutnya akan
mengikuti sukses ini. Kedongkolan Hermione tidak dapat merusak semangat besarnya;
nasib baik mereka yang datang tiba-tiba, kemunculan dari rusa betina yang misterius,
kembalinya pedang Gryffindor, dan di atas semua itu, kembalinya Ron membuat Harry
sangat senang, yang menyebabkan cukup sulit untuk membuatnya tidak tersenyum.
Di sore hari, dia dan Ron menghindari kemarahan Hermione yang muncul kembali dan di
bawah kepura-puraan menjelajah pagar tanaman untuk mencari buah beri hitam
khayalan, mereka melanjutkan pertukaran berita yang telah terjadi. Harry akhirnya dapat
menceritakan kepada Ron keseluruhan perjalanannya dan Hermione yang bermacammacam
hingga apa yang terjadi di Godric’s Hollows; Ron bercerita tentang semua yang
dia ketahui tentang dunia sihir selama minggu-minggu kepergiannya.
“… dan bagaimana kau tahu tentang yang Tabu?” dia bertanya kepada Harry setelah
menjelaskan banyaknya usaha yang mengecewakan dari para kelahiran Muggle untuk
menghindari Kementerian.”
“Yang apa?”
“Kau dan Hermione harus berhenti mengucapkan nama Kau-Tahu-Siapa!”
“Oh, yeah, Baiklah, itu cuma sesuatu yang telah menjadi kebiasaan buruk kami, ” jelas
Harry. “Tapi aku tidak punya masalah untuk menyebut dia V---”
“Tidak!” raung Ron, menyebabkan Harry melompat ke pagar dan Hermione (hidungnya
terkubur ke dalam buku di pintu masuk tenda) memandang marah kepada mereka.
“Maaf,” kata Ron, menarik Harry keluar dari semak berduri, “tapi namanya membawa
nasib buruk, Harry, itu cara bagaimana mereka menemukan orang! Menggunakan
namanya dapat mematahkan perlindungan, ini menyebabkan suatu bentuk dari sihir
terlarang --- ini bagaimana mereka menemukan kita di jalan Tottenham Court!”
“Karena kita menggunakan nama-nya?”
“Benar! Kau harus memberikan mereka pujian, ini masuk akal. Hanya orang yang serius
melawannya, seperti Dumbledore, yang benar-benar berani menggunakannya. Sekarang
mereka mengganggap itu Tabu, siapapun yang mengatakannya dapat dilacak --- cara
cepat-dan-mudah untuk menemukan anggota Orde! Mereka hampir menangkap Kingsley
---”
“Kau bercanda?”
“Yeah, selusin Death Eaters menyudutkannya, Bill bilang ia melawan mereka semua
untuk melarikan diri. Dia sedang dalam pelarian sekarang, seperti kita,” Ron menggaruk
dagunya dengan ujung tongkatnya sambil berpikir. “Kau tidak memperhitungkan
Kingsley dapat mengirimkan rusa betina itu?”
“Patronusnya lynx**, kita melihatnya di pernikahan, ingat?”
“Oh, ya...”
Mereka melangkah lebih jauh sepanjang pagar, menjauh dari tenda dan Hermione.
“Harry.. kau tidak memperhitungkan kalau ini mungkin Dumbledore?”
“Dumbledore apa?”
Ron terlihat sedikit malu, tapi berkata dalam suara rendah, “Dumbledore… rusa betina?
Maksudku,” Ron menatap Harry dari sudut matanya, “Dia punya pedang yang asli,
‘kan?”
Harry tidak menertawakan Ron, karena dia sangat paham keinginan di balik pertanyaan
itu. Ide bahwa Dumbledore telah mengatur untuk kembali kepada mereka, bahwa ia
sedang memperhatikan mereka, akan sangat tidak nyaman. Dia menggeleng-gelengkan
kepalanya.
“Dumbledore telah meninggal,” kata Harry. “Aku melihat hal itu terjadi, aku melihat
jenazahnya. Dia sudah pasti pergi. Lagipula, Patronusnya adalah phoenix, bukan rusa
betina.”
“Patronus bisa berubah, kan?” kata Ron, “Punya Tonks berubah, kan?"
"Yeah, tapi jika Dumbledore masih hidup, kenapa dia tidak menunjukkan dirinya?
Kenapa dia tidak memberikan langsung pedangnya?”
“Untuk mencariku,” jawab Ron. “Alasan yang sama dia tidak memberikannya padamu
ketika masih hidup? Alasan yang sama mengapa dia meninggalkan untukmu sebuah
Snitch tua dan buku dongeng anak kecil untuk Hermione?”
“Yang merupakan apa?” tanya Harry, yang berputar untuk melihat Ron dengan wajah
putus asa untuk menjawab
“Aku tak tahu,” kata Ron. “Kadang-kadang aku berpikir, ketika aku sedikit putus asa, dia
sedang tertawa atau --- atau dia hanya ingin membuat ini sedikit sulit, Tapi aku tidak
berpikir begitu lagi, tidak lagi. Dia tahu apa yang dia lakukan ketika dia memberikan aku
Deluminator, kan? Dia – yah,” telinga Ron berubah merah dan ia menjadi asyik dengan
sejumput rumput di kakinya, yang ia sodok dengan ujung kakinya, “Dia pasti tahu, aku
akan meninggalkanmu.”
“Tidak,” Harry mengoreksinya. “Dia pasti tahu, kau akan selalu ingin kembali.”
“Ron terlihat berterima kasih, tapi tetap canggung. Kemudian untuk mengubah topik
pembicaraan, Harry berkata, “Bicara tentang Dumbledore, pernahkah kau mendengar apa
yang Skeeter tulis tentang dia?”
“Oh yeah,” kata Ron seketika, “Orang-orang banyak membicarakan tentang hal itu. Pasti,
jika sesuatu berbeda itu akan menjadi berita besar, Dumbledore menjadi sahabat
Grindelwald, tapi sekarang itu cuma bahan tertawaan bagi orang-orang yang tidak
menyukai Dumbledore, dan sedikit penghinaan terhadap siapapun yang berpikir dia
adalah orang baik. Bagaimanapun, aku tak tahu kalau ini suatu masalah besar. Dia sangat
muda ketika mereka –“
“Seumur kita,” kata Harry, seperti jawabannya kepada Hermione, dan sesuatu yang
terlihat di ekspresinya membuat Ron memutuskan menolak melanjutkan bahasan itu.
Laba-laba besar menempel di tengah-tengah lapisan jaring pada semak berduri. Harry
membidik padanya dengan tongkat yang Ron berikan kepadanya pada malam
sebelumnya, yang telah diuji oleh Hermione, dan telah diputuskan bahwa tongkat itu
terbuat dari blackthorn***.
“Engorgio”
Laba-laba itu sedikit gemetar, melambung sedikit pada jaring. Harry mencoba lagi. Kali
ini laba-laba itu tumbuh sedikit lebih besar
“Hentikan itu,” kata Ron dengan jelas, “Aku minta maaf aku berkata Dumbledore masih
muda, oke?”
Harry lupa tentang kebencian Ron akan laba-laba.
“Maaf --- Reducio”
Laba-laba itu tidak mengecil. Harry melihat ke bawah pada tongkat blackthorn. Setiap
mantra kecil yang ia lakukan dengan tongkatnya sampai sejauh ini terlihat tidak berguna
dibandingkan dengan apa yang ia lakukan dengan tongkat phoenix-nya. Tongkat barunya
ini terasa tidak biasa, seperti tangan seseorang terjahit pada ujung lengannya.
“Kau hanya perlu berlatih,” kata Hermione, yang telah mendekati kebisingan mereka dari
belakang dan telah menonton dengan cemas ketika Harry mencoba untuk membesarkan
dan mengecilkan laba-laba. “Ini cuma masalah kepercayaan diri, Harry.”
Harry tahu kenapa Hermione menginginkan hal ini baik-baik saja; Dia tetap merasa
bersalah karena mematahkan tongkat Harry. Ia menahan jawaban sinisnya dengan
menggigit bibirnya, bahwa Hermione dapat mengambil tongkat blackthorn jika ia pikir
ini tidak membuat perbedaan, dan Harry dapat mempunyai tongkat Hermione sebagai
pengganti. Namun, demi mengembalikan persahabatan mereka kembali, dia setuju; tetapi
ketika Ron memberikan Hermione senyum kecil, Hermione pergi dan menghilang untuk
membaca buku-bukunya sekali lagi.
Mereka bertiga kembali ke dalam tenda ketika hari mulai gelap, dan Harry yang pertama
kali menyadarinya. Ia duduk di depan pintu masuk, dan mencoba untuk membuat batu
kecil melayang di atas kakinya dengan tongkat blackthorn; tapi sihirnya masih terlihat
janggal dan kurang kuat dari yang telah dia lakukan sebelumnya. Hermione berbaring di
tempat tidurnya sambil membaca, sementara Ron, setelah melirik dengan gugup kepada
Hermione, telah mengambil alat tanpa kabel yang terbuat dari kayu dari ranselnya dan
mulai mencoba untuk menyetel alat itu.
“Ada satu program ini,” Ron berkata pada Harry dengan suara rendah, “yang
memberitahu berita apa adanya. Semua program lain adalah di pihak Kau-Tahu-Siapa
dan mengikuti jalur Kementrian, tapi yang satu ini … tunggu hingga kau mendengarnya,
ini hebat. Hanya saja, mereka tidak dapat siaran setiap malam, mereka harus tetap
berpindah tempat, kalau-kalau mereka dirazia dan kau membutuhkan password untuk
mendengarkannya … Masalahnya, aku ketinggalan acara terakhir…”
Dia mengetuk ringan di bagian atas radio dengan tongkatnya, berkomat-kamit kata-kata
acak di bawah nafasnya. Dia melirik Hermione secara sembunyi-sembunyi, terutama
karena takut akan ledakan amarah, tetapi untuk semua perhatian Hermione bahkan tidak
menganggap dia ada. Setelah sepuluh menit atau lebih Ron mengetuk dan berkomatkamit,
Hermione membalik halaman bukunya, dan Harry melanjutkan berlatih dengan
tongkat blackthorn.
Akhirnya Hermione turun dari tempat tidurnya. Ron berhenti mengetuk seketika.
“Jika ini mengganggumu, aku akan menghentikkannya!” Ron memberitahu Hermione
dengan gugup.
Hermione tidak berkenan untuk menanggapi, tapi mendekati Harry.
“Kita perlu bicara,” pinta Hermione.
Harry melihat pada buku yang masih ada dalam genggaman Hermione. Itu adalah
Kehidupan dan Kebohongan Albus Dumbledore.
“Apa?” kata Harry khawatir. Ia teringat bahwa ada satu bab tentang ia disana; ia tidak
yakin kalau ia tertarik untuk mendengarkan versi Rita tentang hubungannya dengan
Dumbledore. Bagaimanapun, jawaban Hermione adalah, sama sekali tidak terduga.
“Aku ingin pergi dan bertemu Xenophilius Lovegood.”
Harry menatap Hermione.
“Maaf?”
“Xenophilius Lovegood, ayah Luna. Aku ingin pergi dan berbicara kepadanya!”
“Er – kenapa?”
Hermione mengambil nafas panjang, menguatkan dirinya sendiri, dan berkata, “Ini soal
tanda itu, tanda di Beedle Sang Seniman^. Lihat ini!”
Dia menyorongkan Kehidupan dan Kebohongan Albus Dumbledore ke bawah mata
enggan Harry dan memperlihatkan foto dari surat asli yang ditulis Dumbledore untuk
Grindelwald, dengan tulisan khas Dumbledore yang tipis dan miring. Harry benci melihat
bukti mutlak bahwa Dumbledore benar-benar menulis kata-kata itu, bahwa mereka
bukanlah penemuan Rita.
“Tanda tangan,” kata Hermione. “Lihat tanda tangannya, Harry!”
Harry menuruti. Untuk sesaat dia tidak punya ide apa yang Hermione bicarakan, tapi,
melihat lebih dekat dengan bantuan penerangan dari tongkatnya, dia melihat bahwa
Dumbledore membubuhkan huruf A dari Albus dengan versi kecil dari tanda segitiga
yang sama dengan yang tertulis dalam Kisah Beedle Sang Seniman.
“Er – apa yang kau -- ?” tanya Ron sejenak, tetapi Hermione tidak mengindahkannya dan
melihat kembali kepada Harry.
“Ini semakin jelas, kan?” kata Hermione. “Aku tahu Viktor berkata ini adalah tanda
Grindelwald, tapi ini pasti terdapat di makam tua itu di Godric’s Hollow, dan tanggal
pada nisannya telah ada lama sebelum Grindelwald datang! Dan sekarang, ini! Yah, kita
tidak bisa bertanya kepada Dumbledore atau Grindelwald apa artinya – aku bahkan tidak
tahu apakah Grindelwald masih hidup – tapi kita dapat bertanya pada Mr. Lovegood. Ia
telah memakai simbol ini di pernikahan. Aku yakin ini penting, Harry!”
Harry tidak menjawab secara langsung. Dia melihat pada wajah Hermione yang serius,
dan penuh keingintahuan, kemudian beralih ke kegelapan yang meliputi, berpikir. Setelah
hening beberapa waktu, Harry berkata, “Hermione, kita tidak memerlukan kejadian
Godric’s Hollow yang lain. Kita telah membahas untuk pergi ke sana, dan – ”
“Tapi ini selalu muncul, Harry! Dumbledore meninggalkan untukku Kisah Beedle Sang
Seniman, bagaimana kau tahu kalau kita tidak harus mencari tahu tentang tanda itu?”
“Kita mulai lagi!” Harry merasa sedikit jengkel. “Kita tetap mencoba meyakinkan diri
kita sendiri bahwa Dumbledore meninggalkan kita tanda dan petunjuk – ”
“Deluminator sejauh ini sangat berguna,” Ron mulai bicara. “Aku pikir Hermione benar,
aku pikir kita harus pergi dan bertemu Lovegood.”
Harry melemparkan pandangan kecewa pada Ron. Dia cukup yakin bahwa dukungan Ron
terhadap Hermione hanya sedikit berhubungan dengan keinginan untuk tahu arti tentang
rune bentuk segitiga itu.
“Ini tidak akan seperti kejadian Godric’s Hollow,” Ron menambahkan, “Lovegood ada di
pihakmu, Harry, The Quibbler telah ada untukmu selama ini, ia tetap memberitahu pada
semua orang bahwa mereka harus menolongmu!”
“Aku yakin ini penting!” kata Hermione sungguh-sungguh.
“Tapi tidakkah kalian pikir, jika ini benar, Dumbledore akan memberitahuku tentang ini
sebelum ia meninggal?”
“Mungkin … mungkin ini sesuatu yang perlu kau cari tahu sendiri,” jawab Hermione
seraya mencengkeram sedotan dengan lemah.
“Yeah,” kata Ron menjilat, “itu masuk akal.”
“Tidak, bukan itu,” bentak Hermione, “tapi aku tetap berpikir kita harus berbicara kepada
Mr. Lovegood. Simbol yang menghubungkan Dumbledore, Grindelwald, dan Godric’s
Hollows? Harry, aku yakin kita harus tahu tentang hal ini!”
“Aku pikir kita seharusnya mengadakan pemilihan suara,” kata Ron. “Yang berminat
untuk menemui Lovegood –”
Tangan Ron telah terangkat ke udara sebelum Hermione. Bibir Hermione gemetar
mencurigakan ketika ia mengangkat tangannya.
“Kau kalah, Harry, maaf,” kata Ron, menepuk punggung Harry.
“Tak apa,” kata Harry, setengah terhibur, setengah jengkel. “Hanya saja, setelah kita
bertemu Lovegood, mari mencoba dan mencari beberapa Horcrux lagi, oke? Ngomongngomong,
di mana Lovegood tinggal? Apakah salah satu dari kalian tahu?”
“Yeah, mereka tidak jauh dari rumahku,” jawab Ron. “Aku tidak tahu tepatnya di mana,
tapi Mum dan Dad selalu menunjuk ke arah bukit ketika mereka menyebutkan soal
mereka. Seharusnya tak terlalu sulit untuk menemukannya.”
Ketika Hermione telah kembali ke tempat tidurnya, Harry merendahkan suaranya.
“Kau hanya setuju untuk berusaha dan kembali ke dalam buku bagus Hermione.”
“Semua adil dalam cinta dan perang,” kata Ron gembira, “dan ini sedikit dari keduanya.
Bergembiralah, ini libur Natal, Luna akan berada di rumah!”
Mereka mendapatkan gambaran bagus akan desa Ottery St. Cachopole dari lereng bukit
yang berangin, di mana mereka akan ber-Disapparate besok pagi. Dari sudut pandang
mereka yang tinggi, desa itu terlihat seperti koleksi rumah mainan diantara pilar-pilar
miring sinar matahari yang menembus ke bumi dari sela-sela awan. Mereka berdiri satu
atau dua menit untuk melihat ke arah The Burrow, tangan mereka membayangi mata
mereka, tetapi yang dapat mereka lihat hanyalah pagar-pagar tinggi dan pepohonan di
kebun buah-buahan, yang memberikan rumah kecil bengkok itu perlindungan dari
penglihatan Muggle.
“Ini aneh, sedekat ini, tapi tidak datang berkunjung,” kata Ron.
“Yah, ini tidak seperti kau belum menemui mereka. Kau ada di sana untuk Natal,” kata
Hermione dingin.
“Aku tidak berada di The Burrow!” sahut Ron dengan sedikit tertawa. “Kau pikir aku
akan kembali ke sana dan memberitahu mereka semua aku pergi dari kalian? Yeah, Fred
dan George akan sangat baik tentang ini. Dan Ginny, dia akan sangat mengerti.”
“Tetapi dimana kau berada?” tanya Hermione terkejut.
“Rumah baru Bill dan Fleur. Pondok Karang. Bill selalu baik padaku. Dia – dia tidak
terpengaruh saat dia mendengar apa yang aku lakukan, tapi dia tidak mencari tahu lebih
banyak. Dia tahu aku benar-benar menyesal. Tidak satu pun anggota keluarga yang lain
yang tahu aku ada di sana. Bill memberitahu Mum kalau ia dan Fleur tidak pulang ke
rumah pada hari Natal karena mereka ingin menghabiskan waktu berdua. Kau tahu,
liburan pertama setelah pernikahan mereka. Aku tidak berpikir Fleur akan keberatan. Kau
tahu bagaimana dia membenci Celestina Warbeck.”
Ron berputar membelakangi The Burrow.
“Ayo kita coba ke sana,” katanya, memimpin jalan menuju puncak bukit.
Mereka berjalan beberapa jam, Harry, di bawah desakan Hermione, bersembunyi di
bawah Jubah Gaib. Kelompok bukit rendah itu nampak tidak berpenghuni, kecuali
sebuah pondok kecil, yang terlihat ditinggalkan.
“Apa kalian pikir itu tempatnya, dan mereka telah pergi untuk Natal?” kata Hermione,
mengintai lewat jendela di dapur kecil yang rapi dengan geranium pada ambang jendela.
Ron mendengus.
“Dengar, aku rasa kau akan dapat mengetahui siapa yang tinggal di sana jika melihat
lewat jendela Lovegood. Ayo coba bukit-bukit selanjutnya.”
Jadi mereka ber-Disapparate beberapa mil ke arah utara.
“Aha!” teriak Ron, angin menyibak rambut dan pakaian mereka. Ron menunjuk ke atas,
ke arah puncak bukit di mana mereka muncul tadi, di mana rumah berpenampilan paling
aneh berdiri tegak melawan langit, silinder hitam besar dengan bayangan rembulan
bergantung di sebelahnya pada langit sore. “Itu bisa jadi rumah Luna, siapa lagi yang
akan tinggal di tempat seperti itu? Itu terlihat seperti benteng raksasa!”
“Itu tidak seperti burung,” kata Hermione, memberengut pada menara.
“Aku sedang membicarakan tentang benteng catur,” kata Ron. “Sebuah kastil
menurutmu.”
Kaki Ron yang terpanjang dan ia yang pertama sampai di puncak bukit. Ketika Harry dan
Hermione sampai, terengah-engah dan mencengkeram stik di samping mereka, mereka
melihat Ron menyeringai lebar.
“Itu milik mereka,” kata Ron. “Lihat.”
Tiga buah tanda buatan tangan dipaku pada pintu gerbang yang terlihat agak reyot.
Tulisan pertama berbunyi,
THE QUIBBLER. EDITOR, X. LOVEGOOD
yang kedua,
PETIK MISTLETOE-MU SENDIRI
yang ketiga,
MENJAUH DARI PLUM DIRIGIBLE
Gerbang itu berderak saat mereka membukanya. Jalan kecil berliku menuju pintu depan
telah ditumbuhi dengan berbagai tanaman aneh, termasuk semak-semak yang ditutupi
buah jingga seperti lobak yang kadang-kadang Luna pakai sebagai anting. Harry pikir dia
mengenali Snargaluff dan menjauhi tunggul keriput itu. Pohon apel kepiting berumur dua
tahun, bengkok karena angin, daunnya tinggal sedikit tetapi masih dipenuhi dengan buah
merah seukuran buah beri dan semak mistletoe bermanik-putih, berdiri bagai pengawal di
kedua sisi pintu masuk. Burung hantu kecil dengan kepala seperti elang yang sedikit datar
mengintai ke bawah pada mereka dari salah satu cabang.
“Kau lebih baik melepaskan Jubah Gaib, Harry,” saran Hermione. “Kau yang Mr.
Lovegood ingin tolong, bukan kami.”
Harry melakukan apa yang Hermione sarankan, menyerahkan padanya Jubah Gaib untuk
disimpan di dalam tas manik. Dia kemudian mengetuk pintu hitam yang tebal tiga kali,
yang dipenuhi dengan paku besi dan memakai pengetuk pintu berbentuk seperti elang.
Sudah sepuluh menit berlalu, kemudian pintu terbuka dan di sana berdiri Xenophilius
Lovegood, telanjang kaki dan mengenakan apa yang terlihat sebagai pakaian tidur yang
lusuh. Rambut putih panjang dan mengembangnya kotor dan tidak rapi. Xenophilius
pastilah lebih rapi sewaktu di pernikahan Bill dan Fleur jika dibandingkan.
“Apa? Apa ini? Siapa kau? Apa yang kau inginkan?” dia berteriak dengan suara tinggi,
suara bersungut-sungut, melihat pertama-tama kepada Hermione, lalu pada Ron, dan
akhirnya pada Harry, di mana mulutnya membentuk huruf O yang sempurna dan lucu.
“Halo, Mr. Lovegood,” sapa Harry, hendak berjabat tangan,”saya Harry, Harry Potter.”
Xenophilius tidak menyambut tangan Harry, meskipun matanya terpaku pada bekas luka
Harry.
“Bolehkah kami masuk?” tanya Harry. “Ada sesuatu yang ingin kami tanyakan pada
Anda.”
“Aku … Aku tidak yakin itu bijaksana,” bisik Xenophilius, dia menurut dan melihat
sekeliling taman dengan cepat. “Agak mengejutkan … Kataku … Aku … Aku khawatir
aku tidak benar-benar berpikir aku harus ---”
“Tidak akan lama,” kata Harry, sedikit kecewa dengan sambutan yang kurang-hangat.
“Aku --- oh, baiklah. Masuk, cepat, cepat!”
Mereka hanya sedikit di belakang ambang pintu depan ketika Xenophilius membanting
pintu menutup di belakang mereka, mereka berdiri di dapur teraneh yang Harry pernah
lihat. Ruangan itu berbentuk bulat sempurna, sehingga ia merasa seperti berada dalam pot
lada raksasa. Semuanya terpasang pas di tembok – tungku, tempat cuci piring, dan lemari
– dan semuanya dilukisi dengan bunga, serangga, dan burung dengan warna-warna cerah.
Harry berpikir dia mengenali gaya Luna. Efeknya di ruang yang cukup tertutup seperti
itu, sedikit berlebihan.
Di tengah-tengah lantai, sebuah tangga besi tempa spiral mengarah ke lantai atas. Ada
suara bising dan keras datang dari atas: Harry ingin tahu apa yang mungkin Luna sedang
lakukan.
“Lebih baik kalian naik ke atas,” kata Xenophilius, tetap terlihat sangat tidak nyaman,
dan dia memimpin.
Ruangan di atas terlihat seperti kombinasi dari ruang tamu dan tempat kerja, dan seperti,
bahkan lebih berantakan dari dapur. Meskipun lebih kecil dan bundar sempurna,
ruangannya agak menyerupai Ruang Kebutuhan saat kesempatan yang tidak terlupakan
ketika ruangan itu telah merubah dirinya menjadi labirin besar yang mencakup semua
barang tersembunyi selama berabad-abad. Ada beberapa tumpukan di atas tumpukan dari
buku dan kertas di setiap tempat. Model buatan rumit dari makhluk-makhluk yang tidak
Harry kenal, semua sayap mengepak atau rahang menggigit, menggantung dari langitlangit.
Luna tidak ada disana. Benda yang membuat suara ribut itu terbuat dari kayu dan
mempunyai banyak roda gigi dan roda-roda lain yang berputar menggunakan sihir, ia
terlihat seperti keturunan aneh dari sebuah bangku kerja dan satu set rak, tapi setelah
beberapa waktu Harry menyimpulkan bahwa itu adalah mesin cetak model lama, dari
fakta bahwa itu memproduksi majalah Quibbler.
“Permisi,” kata Xenophilius, dan dia melangkah ke mesin, mengambil taplak meja kotor
dari bawah buku-buku dan kertas-kertas yang sangat banyak, yang semuanya berjatuhan
ke lantai, dan melemparnya ke atas mesin yang terkadang mengeluarkan suara keras yang
tidak jelas dan bising. Dia kemudian menghadap ke Harry.
“Kenapa kau datang kemari?”
Namun sebelum Harry menjawab, Hermione berteriak sedikit terkejut.
“Mr. Lovegood – apa itu?”
Dia menunjuk pada sesuatu yang besar, tanduk spiral abu-abu, tidak seperti unicorn, yang
menonjol beberapa kaki ke dalam ruangan.
“Itu tanduk dari Snorkack-Tanduk-Kisut,” kata Xenophilius.
“Tidak, itu bukan!” kata Hermione.
“Hermione,” Harry berkomat-kamit malu, “Sekarang bukan saatnya – ”
“Tapi Harry, itu adalah Tanduk Erumpent! Itu Barang-Barang yang Dapat Diperjualbelikan
kelas B dan itu adalah benda yang sangat berbahaya untuk dimiliki di rumah!”
“Bagaimana kau tahu itu tanduk Erumpent?” tanya Ron, menjauh dari tanduk secepat dia
bisa, memandang curiga pada ruangan yang berantakan.
“Ada deskripsinya dalam Hewan-hewan Fantastis dan Dimana Mereka Bisa Ditemukan!
Mr. Lovegood, Anda harus menyingkirkannya, apakah Anda tidak tahu bahwa itu bisa
meledak hanya dengan sedikit sentuhan?”
“Snocknack-Tanduk-Kisut,” kata Xenophilius sangat jelas, ketidaksetujuan muncul di
wajahnya, “ adalah makhluk sihir yang pemalu dan hebat, dan tanduknya – ”
“Mr. Lovegood. Saya mengenali tanda beralur di sekitar pangkalnya, itu tanduk
Erumpent dan sangat berbahaya – saya tidak tahu dimana Anda mendapatkannya -”
“Aku membelinya,” kata Xenophilius seketika. “Dua minggu yang lalu, dari penyihir
muda berbakat yang mengetahui ketertarikanku pada keindahan Snorkack. Kejutan Natal
untuk Luna-ku. Sekarang,” lanjutnya kepada Harry, “sebenarnya kenapa kau datang
kemari, Mr. Potter?”
“Kami membutuhkan beberapa pertolongan,” kata Harry, sebelum Hermione memulai
kembali.
“Ah,” kata Xenophilius,” Pertolongan, Hmm.”
Matanya yang bagus kembali bergerak kepada bekas luka Harry. Dia terlihat ketakutan
dan terpesona secara bersamaan.
“Ya. Masalahnya adalah … menolong Harry Potter … agak berbahaya.…”
“Bukankah kau orang yang tetap memberitahu setiap orang bahwa tugas pertama mereka
adalah menolong Harry?” kata Ron. “Pada majalahmu?”
Xenophilius melihat sekilas ke belakang Ron pada mesin cetak yang tersembunyi, yang
masih berbunyi keras dan bising di bawah taplak meja.
“Er – ya, aku telah mengekspresikan pandangan itu. Namun –”
“Itu tugas untuk semua orang, bukan Anda pribadi?” kata Ron.
Xenophilius tidak menjawab. Dia menelan ludah, matanya berpindah-pindah antara
mereka bertiga. Harry mendapat kesan bahwa dia sedang mengalami tekanan
menyakitkan dalam dirinya.
“Di mana Luna?” Tanya Hermione. “ Mari kita tanyakan apa pendapatnya.”
Xenophilius menelan ludah. Dia terlihat menguatkan dirinya sendiri. Akhirnya dia
berkata dengan suara gemetar yang sulit didengar karena suara mesin cetak, “Luna ada di
bawah, di sungai, memancing Plimpies Air Tawar. Dia … dia akan senang melihat
kalian. Aku akan pergi dan memanggil dia dan kemudian – ya, baiklah. Aku harus
mencoba untuk menolong kalian.”
Dia menghilang ke bawah melalui tangga spiral dan mereka mendengar pintu depan
dibuka dan ditutup. Mereka saling berpandangan satu sama lain.
“Kutil tua pengecut,” kata Ron. “Luna sepuluh kali lebih berani darinya.”
“Dia mungkin cemas tentang apa yang akan terjadi pada mereka jika Pelahap Maut
menemukan aku disini,” sahut Harry.
“Yah, aku setuju dengan Ron,” kata Hermione, “Munafik tua yang mengerikan,
memberitahu semua orang untuk menolongmu dan mencoba menghindari dari diri
sendiri. Dan demi Tuhan, menjauhlah dari tanduk itu.”
Harry menyeberang ke jendela di bagian paling ujung dari ruangan. Dia dapat melihat
sebuah sungai, sebuah pita tipis berkilau terletak jauh di bawah mereka di dasar bukit.
Mereka berada sangat tinggi; seekor burung terbang melewati jendela ketika Harry
menatap ke arah the Burrow, kini tak terlihat di balik barisan bukit lain. Ginny ada di
suatu tempat, di sana. Mereka sangat dekat satu sama lain hari ini, dari semenjak
pernikahan Bill dan Fleur, tetapi Ginny tidak mengetahui bahwa Harry memandang ke
arahnya saat ini, memikirkan tentang dirinya. Harry mengira dia harus gembira akan ini;
setiap orang yang berhubungan dengannya terancam bahaya, sikap Xenophilius
membuktikan hal itu.
Dia menjauh dari jendela dan pandangannya jatuh pada benda aneh lainnya yang berdiri
di atas papan geser yang bengkok dan berantakan; sebuah patung pendek penyihir yang
terlihat cantik namun keras, dan memakai hiasan kepala yang terlihat sangat aneh. Dua
benda yang menyerupai terompet telinga emas melengkung keluar dari sisi-sisinya.
Sepasang sayap biru kecil yang berkilau menempel pada tali kulit yang keluar dari atas
kepalanya, sementara salah satu dari lobak-lobak jingga menempel pada tali kedua yang
melingkari dahinya.
“Lihat ini, “ kata Harry.
“Menarik,” kata Ron. “Mengejutkan dia tidak memakainya ke pernikahan.”
Mereka mendengar pintu depan ditutup, dan sesaat kemudian Xenophilius naik melalui
tangga melingkar masuk ke dalam ruangan, kakinya yang kurus sekarang terbungkus
sepatu bot Wellington, membawakan sebuah baki dengan cangkir-cangkir teh yang tidaktersusun-
rapi dan sebuah teko yang mengepul.
“Ah ,kau telah melihat penemuan hewan peliharaanku,” dia berkata, mendorong baki ke
lengan Hermione dan bergabung dengan Harry di sisi patung.
“Modelnya, cukup menyerupai, berdasarkan kepala dari Rowena Ravenclaw yang cantik,
‘Kepintaran tak terhingga adalah harta manusia yang paling berharga’!”
Dia menunjukkan benda seperti terompet telinga.
“Ini pipa pindah Wrackpurt – untuk memindahkan semua sumber gangguan dari wilayah
dekat si pemikir. Di sini,” dia menunjuk sayap kecil, “baling-baling billywig, untuk
mendorong naik kerangka pikiran. Akhirnya,” dia menunjuk kea rah lobak jingga, “Plum
Dirigible, dapat meningkatkan kemampuan untuk menerima hal yang luar biasa.”
Xenophilius melangkah kembali pada baki teh yang Hermione telah atur
keseimbangannya di atas salah satu meja yang berantakan.
“Bolehkah aku menyuguhkan sari akar Gurdy?” kata Xenophilius. “Kami membuatnya
sendiri.” Ketika ia mulai menuangkan minuman yang berwarna ungu pekat seperti jus
beetroot, ia menambahkan, “Luna ada di bawah Jembatan Dasar, dia sangat bersemangat
karena kalian ada disini. Dia seharusnya tidak akan lama, dia telah menangkap hampir
cukup Plumpies untuk membuat sup untuk kita semua. Silahkan duduk dan jangan
sungkan untuk gulanya.”
“Sekarang,” dia memindahkan tumpukan kertas dari sebuah kursi dan mendudukinya,
“Bagaimana aku dapat membantumu, Mr. Potter?”
“Yah,” kata Harry, melirik Hermione, yang mengangguk dengan membesarkan hati, “Ini
tentang simbol yang Anda pakai di sekeliling leher Anda saat pernikahan Bill dan Fleur,
Mr. Lovegood. Kami bertanya-tanya apakah artinya itu.”
Xenophilius mengangkat alisnya.
“Apakah yang Anda maksud tanda dari Deathly Hallows?”
------------------------
Note:
*: Nama orang…
**: Lynx, sejenis kucing hutan berekor pendek, biasanya hidup di hutan-hutan Eropa,
Asia, dan Amerika Utara. Panjangnya satu meter dengan bulu tebal berwarna kuningkecoklatan
dengan sedikit totol, dan ada bulu-bulu halus berwarna hitam di ujung
telinganya. Klik sini untuk mengetahui wujud asli lynx yang cantik ini..
***: Blackthorn, sejenis semak berduri dari keluarga mawar, biasanya membentuk semak
yang rimbun setinggi hingga 4 m, di beberapa bagian Eropa dan Asia. Bunganya
berwarna putih, biasanya muncul sebelum daunnya yang berbentuk oval dan bergigi.
Buahnya keras, berwarna biru kehitaman, dan rasanya pahit, biasa digunakan sebagai
perisa sloe gin (sejenis minuman beralkohol).
^: Bard = seniman, kalau-kalau kau tak tahu apa artinya. ^^ Memang sering
diterjemahkan sebagai penyair, tapi bard lebih pantas disebut seniman.. Kalau kau mau
tahu lebih jelas, baca post garing ini
HAPTER 21
The Tale of the Three Brothers
Dongeng Tiga Bersaudara
Harry berbalik untuk menatap Ron dan Hermione. Tak ada satu pun dari mereka yang
terlihat mengerti mengenai apa yang Xenophilius katakan.
“Deathly Hallows?”
“Benar,” kata Xenophilius. “Kalian belum pernah mendengarnya? Aku tak terkejut.
Sangat, sangat sedikit penyihir yang percaya. Lihat bocah laki-laki tolol yang ada di pesta
pernikahan saudaramu,” ia mengangguk ke arah Ron, “yang menyerangku karena aku
menggunakan lambang dari Penyihir Hitam yang terkenal! Sangat bodoh. Tidak ada yang
Gelap mengenai Hallows itu – setidaknya secara kasarnya. Seseorang menggunakan
lambang itu untuk menguak dirinya kepada orang lain yang percaya, dengan harapan
mereka akan menolong seseorang dalam Pencarian itu.”
Ia mengaduk beberapa bungkah gula ke dalam cairan Gurdyroot-nya dan meminumnya
sedikit.
“Maaf,” kata Harry. “Saya masih belum mengerti.”
Agar terlihat sopan, Harry minum sedikit dari cangkirnya, dan hampir tersedak:
Gurdyroot itu sedikit menjijikkan, seperti seseorang yang mencairkan Kacang Segala
Rasa rasa ingus.
“Baiklah, kau lihat, orang-orang yang percaya mencari Deathly Hallows itu,” kata
Xenophilius.
“Tetapi, apa saja Deathly Hallows itu?” tanya Hermione.
Xenophilius menyisihkan cangkirnya yang kosong.
“Kurasa kalian kenal dengan ‘Dongeng Tiga Bersaudara’?”
Harry menjawab, “Tidak,” tetapi Ron dan Hermione menjawab, “Ya.” Xenophilius
mengangguk dengan payah.
“Yah, baiklah, Mr. Potter, semuanya berawal dari ‘Dongeng Tiga Bersaudara’… Aku
punya salinannya di suatu tempat…”
Xenophilius memandang samar-samar berkeliling ruangan, ke tumpukan-tumpukan
perkamen dan buku-buku, tetapi Hermione berkata, “Aku punya salinannya, Mr.
Lovegood, aku punya disini.”
Dan Hermione menarik Kisah Beedle Sang Seniman keluar dari tas manik kecilnya.
“Yang asli?” tanya Xenophilius dengan tajam, dan ketika Hermione mengangguk, ia
berkata, “Baiklah, kenapa kau tidak membacakannya saja? Cara terbaik untuk membuat
kita semua mengerti.”
“Er… Baiklah,” kata Hermione gugup. Ia membuka buku itu, dan Harry melihat lambang
yang sedang mereka selidiki di halaman depan ketika Hermione berdeham sedikit, dan
mulai membaca.”
“‘Alkisah, tersebutlah tiga bersaudara yang berjalan jauh, melalui jalan yang sepi dan
berkelok ketika matahari terbenam –‘”
“Tengah malam, ibuku selalu mengatakannya,” kata Ron, yang sedang berbaring santai,
lengannya berada di belakang kepalanya, untuk mendengarkan. Hermione
memandangnya kesal.
“Maaf, aku hanya merasa itu akan menjadi sedikit lebih menyeramkan bila terjadi di
tengah malam!” kata Ron.
“Yeah, karena kita benar-benar membutuhkan sedikit ketakutan di kehidupan kita,” kata
Harry sebelum ia dapat menghentikan dirinya. Xenophilius tidak terlihat memperhatikan,
tetapi memandang keluar jendela pada langit. “Lanjutkan, Hermione.”
“’Dalam perjalanannya, tiga bersaudara itu sampai ke sebuah sungai yang terlalu dalam
untuk diseberangi dan terlalu berbahaya untuk direnangi. Tetapi, mereka mempelajari
ilmu sihir, dan mereka dengan mudah melambaikan tongkat mereka dan membuat
jembatan muncul diatas sungai itu. Mereka sudah setengah jalan ketika mereka
mendapati jalan mereka dihalangi oleh seorang yang berkerudung
“’Dan Kematian berbicara kepada mereka–‘”
“Maaf,” Harry menginterupsi, “tetapi Kematian berbicara kepada mereka?”
“Ini hanya dongeng, Harry!”
“Benar, maaf. Lanjutkan.”
“’ Dan Kematian berbicara kepada mereka. Ia marah karena ia sudah dikerjai habishabisan
oleh tiga korban baru ini, karena para pengelana biasanya tenggelam ke dalam
sungai. Tetapi Kematian sungguh licik. Ia berpura-pura memberi selamat pada tiga
bersaudara itu atas sihir mereka, dan mengatakan bahwa masing-masing dari mereka
mendapatkan hadiah karena telah cukup cerdas untuk menghindarinya.
“’ Maka saudara yang tertua, yang suka berkelahi, meminta tongkat yang lebih kuat
dibandingkan tongkat lain yang ada: tongkat yang harus selalu memenangkan
pertarungan bagi pemiliknya, tongkat yang pantas untuk penyihir yang mengalahkan
Kematian! Maka Kematian menyeberang ke sebuah pohon elder* di tepi sungai,
membuat sebuah tongkat dari cabang pohon itu, dan memberikannya kepada saudara
yang tertua.
“’ Lalu saudara yang kedua, yang merupakan anak yang congkak, memutuskan bahwa ia
ingin untuk menghina Kematian lebih jauh, dan meminta kekuatan untuk menghidupkan
orang-orang lain dari Kematian. Maka Kematian mengambil sebuah batu dari pinggir
sungai dan memberikannya kepada anak yang kedua, dan memberitahukan padanya
bahwa batu itu memiliki kekuatan untuk mengembalikan orang mati.
“’ Kemudian Kematian bertanya pada saudara yang ketiga dan termuda, apa yang ia
inginkan. Anak yang termuda itu adalah yang paling sederhana dan juga paling bijak
dari tiga bersaudara itu, dan ia tidak mempercayai Kematian. Maka ia meminta sesuatu
yang dapat membuatnya pergi dari tempat itu tanpa diikuti oleh Kematian. Dan
Kematian, dengan sangat segan, langsung menyerahkan Jubah Gaib miliknya.’”
“Kematian memiliki Jubah Gaib?” Harry menginterupsi lagi.
“Supaya ia dapat membuntuti orang-orang,” kata Ron. “Terkadang ia merasa bosan
mengejar mereka, mengelepakkan lengannya dan berteriak… maaf, Hermione.”
“’Lalu Kematian menyingkir dan mengijinkan tiga bersaudara itu untuk melanjutkan
perjalanan mereka, dan mereka pun membicarakan perjalanan yang telah mereka alami
dan mengagumi hadiah dari Kematian.
“‘Setelah itu, tiga bersaudara itu pun berpisah untuk tujuan mereka masing-masing.
“’Anak yang pertama bepergian selama seminggu lagi, dan sampai ke sebuah desa yang
jauh, mencari seorang penyihir lain yang telah berseteru lama dengannya. Tentu saja,
dengan Tongkat Elder sebagai senjatanya, ia tidak akan gagal untuk menang dalam
pertarungan yang berikut. Meninggalkan musuhnya mati tergeletak di lantai, anak tertua
itu masuk ke sebuah penginapan, dimana ia membual tentang tongkat kuat yang ia
dapatkan dari Kematian, dan bagaimana tongkat itu membuatnya tak terkalahkan.
“’Malam itu juga, penyihir lain mendekati anak tertua itu saat ia tertidur, mabuk berat
karena anggur, di tempat tidurnya. Pencuri itu mengambil tongkat Elder dan sebagai
tambahan, menggorok tenggorokan anak tertua.
“’Dan Kematian mengambil anak pertama itu sebagai miliknya.
“’Sementara itu, anak kedua melakukan perjalanan ke rumahnya sendiri, di mana ia
tinggal sendirian. Di sana ia mengeluarkan batu yang memiliki kekuatan untuk
mengembalikan orang mati, dan memutarnya tiga kali di atas telapak tangannya. Ia
sangat terkagum-kagum dan senang, ketika bayangan seorang gadis yang pernah ia
harapkan untuk dinikahi, sebelum kematian gadis itu yang terlalu cepat, muncul seketika
di hadapannya.
“’Tetapi gadis itu sedih dan dingin, terpisah darinya oleh sebuah tirai. Meskipun ia telah
kembali ke dunia fana, ia sebenarnya tidak benar-benar ada di sana dan tersiksa.
Akhirnya anak kedua itu, menjadi gila karena kerinduan yang sia-sia, lalu bunuh diri
supaya ia dapat benar-benar menyusul gadis itu.
“Dan Kematian mengambil anak kedua itu sebagai miliknya.
“’Tetapi meskipun Kematian telah mencari anak ketiga selama bertahun-tahun, ia tidak
pernah dapat menemukan anak itu. Hanya ketika ia sudah tua, anak termuda itu
akhirnya melepaskan Jubah Gaib-nya dan memberikannya kepada anak laki-lakinya.
Dan ia menyambut Kematian sebagai seorang teman lama, dan pergi bersama Kematian
dengan gembira, dan meninggalkan kehidupan ini.’”
Hermione menutup buku itu. Ada jeda sesaat sebelum Xenophilius akhirnya sadar
Hermione telah selesai membaca; lalu ia melepaskan pandangannya dari jendela dan
berkata, “Yah, begitulah ceritanya.”
“Maaf?” kata Hermione, terdengar bingung.
“Mereka adalah Deathly Hallows,” kata Xenophilius.
Ia mengambil sebuah pena bulu dari sebuah meja di sikunya, dan menarik sebuah
sobekan perkamen dari antara beberapa buku.
“Tongkat Elder,” katanya, dan menggambar garis vertikal di atas perkamen. “Batu
Kebangkitan,” lanjutnya, dan menambahkan sebuah lingkaran di atas garis tersebut.
“Jubah Gaib,” ia menyelesaikan, menutup garis dan lingkaran itu dalam sebuah segitiga,
untuk membuat simbol yang sungguh membangkitkan rasa ingin tahu Hermione.
“Bersama-sama,” katanya, “Deathly Hallows.”
“Tetapi tidak ada kata-kata ‘Deathly Hallows’ dalam cerita,” kata Hermione.
“Yah, tentu saja tidak,” kata Xenophilius, dengan gembira sekali. “Itu adalah dongeng
anak-anak, diceritakan lebih untuk menghibur daripada untuk mengajar. Orang-orang
yang mengerti tentang hal ini, bagaimanapun, menyadari bahwa cerita kuno ini
berkenaan dengan tiga buah benda, atau Hallows, yang mana, bila bersatu, akan
menjadikan sang pemilik Penguasa Kematian.”
Ada sedikit kesunyian ketika Xenophilius memandang keluar jendela. Matahari sudah
hampir terbenam di langit.
“Luna seharusnya mendapatkan cukup Plimpies secepatnya,” ia berkata diam-diam.
“Ketika kau mengatakan’Penguasa Kematian’-” kata Ron.
“Penguasa,” kata Xenophilius, melambaikan tangannya di udara, “Penakluk**. Apapun
yang kau suka.”
“Tetapi… Apakah Anda bermaksud…” kata Hermione perlahan, dan Harry dapat
merasakan bahwa Hermione mencoba untuk menjaga agar pertanyaannya tidak bernada
skeptis, “bahwa Anda percaya bahwa benda-benda ini – Hallows ini – benar-benar ada?”
Xenophilius menaikkan alisnya lagi.
“Yah, tentu saja.”
“Tetapi,” kata Hermione, dan Harry dapat mendengar ia mulai membantah, “Mr.
Lovegood, bagaimana mungkin Anda bisa percaya - ?”
“Luna sudah menceritakan padaku semua tentangmu, nona muda,” kata Xenophilius.
“Kau adalah, kurasa, bukannya tidak pintar, tetapi sangat terbatas. Sempit. Berpikiran
tertutup.”
“Mungkin kau harus mencoba topi itu, Hermione,” kata Ron, mengangguk ke arah
sebuah patung pendek yang menggelikan. Suaranya tertekan karena menahan tawa.
“Mr. Lovegood,” Hermione memulai lagi, “Kita semua tahu bahwa ada benda-benda
seperti Jubah Gaib. Mereka langka, tetapi mereka ada. Tetapi - ”
“Ah, tetapi Hallow Ketiga adalah Jubah Gaib yang sebenarnya, Miss Granger!
Maksudku, itu bukan jubah yang diberi Mantera Ilusi, atau membawa sebuah Kutukan
Pembuat-Bingung, atau dirajut dari rambut Demiguise, di mana akan menyembunyikan
seseorang tetapi akan kehilangan kemampuannya seiring dengan berjalannya waktu. Kita
membicarakan tentang sebuah jubah yang benar-benar membuat pemakainya tak terlihat,
dan bertahan selamanya, yang menyembunyikan secara konstan dan tak tertembus, tak
masalah apapun mantera yang dilemparkan padanya. Berapa banyak jubah semacam itu
yang pernah kau lihat, Miss Granger?”
Hermione membuka mulutnya untuk menjawab, lalu menutupnya lagi, terlihat lebih
bingung dari biasanya. Hermione, Harry, dan Ron menatap satu sama lain, dan Harry
tahu bahwa mereka semua memikirkan hal yang sama. Itu karena jubah yang seperti
dideskripsikan Xenophilius ada di ruangan itu bersama mereka saat itu juga.
“Tepat sekali,” kata Xenophilius, seakan-akan ia sudah mengalahkan mereka dengan
argumen yang beralasan. “Tak ada satupun dari kalian yang pernah melihat benda seperti
itu. Pemiliknya mungkin sangat kaya, bukan?”
Ia memandang keluar jendela lagi. Sekarang langit mulai berwarna kemerahan.
“Baiklah,” kata Hermione, bingung. “Anggaplah Jubah itu ada… Bagaimana tentang batu
itu, Mr. Lovegood? Benda yang Anda anggap Batu Kebangkitan?”
“Apa tentang itu?”
“Baiklah, bagaimana hal itu benar-benar ada?”
“Buktikan bahwa itu tak ada,” kata Xenophilius.
Hermione kelihatan kecewa.
“Tetapi itu – maaf, tetapi itu benar-benar konyol! Bagaimana mungkin aku dapat
membuktikan bahwa benda itu tidak ada? Apakah Anda mengira aku dapat mengambil
semua – semua kerikil di dunia ini dan mengeceknya satu per satu? Maksudku, Anda
dapat menganggap bahwa semuanya ada bila landasan Anda mempercayainya adalah
bahwa tidak ada seorangpun yang dapat membuktikan bahwa itu tidak ada!”
“Ya, kau bisa,” kata Xenophilius. “Aku senang melihat bahwa kau sudah membuka
pikiranmu sedikit.”
“Jadi Tongkat Elder itu,” kata Harry cepat, sebelum Hermione dapat menjawab
Xenophilius lagi, “Anda berpikir itu juga ada?”
“Oh, baiklah, dalam masalah ini ada banyak sekali bukti,” kata Xenophilius. “Tongkat
Elder adalah Hallow yang paling mudah dilacak, karena benda itu sering berpindah dari
tangan ke tangan.”
“Yaitu?” tanya Harry.
“Karena pemilik tongkat itu harus merebutnya dari pemiliknya yang sebelumnya, jika ia
benar-benar ingin menjadi pemiliknya,” kata Xenophilius. “Aku yakin kalian sudah
mendengar bagaimana tongkat itu datang kepada Egbert si Hebat, setelah ia membunuh
Emeric si Jahat? Bagaimana Godelot meninggal di ruang bawah tanahnya sendiri, setelah
anak laki-lakinya, Hereward, mengambil tongkat darinya? Bagaimana Loxias yang
mengerikan, yang mengambil tongkat itu dari Baraabas Deverill, yang dibunuhnya?
Perjalanan berdarah Tongkat Elder sudah terekam jelas dalam sejarah Persihiran.”
Harry memandang Hermione. Hermione sedang memberengut pada Xenophilius, tetapi ia
tidak membantahnya.
“Lalu, kau pikir dimana Tongkat Elder tersebut berada sekarang?” tanya Ron.
“Aduh, siapa yang tahu?” kata Xenophilius, seraya memandang keluar jendela. “Siapa
yang tahu dimana Tongkat Elder tersembunyi? Jejaknya menghilang bersama Arcus dan
Livius. Siapa yang dapat mengatakan yang mana dari mereka yang benar-benar
mengalahkan Loxias, dan yang mana yang mengambil tongkat itu? Dan siapa yang dapat
mengatakan siapa yang mungkin mengalahkan mereka? Sejarah, sayangnya, tidak
menceritakannya pada kita.”
Ada sedikit jeda. Akhirnya Hermione bertanya dengan kaku, “Mr. Lovegood, apakah
keluarga Peverell mempunyai hubungan dengan Deathly Hallows?”
Xenophilius nampak terperanjat ketika sesuatu terlintas di benak Harry, tetapi ia tidak
dapat mengingatnya. Peverell… ia pernah mendengar nama itu sebelumnya…
“Tetapi kau telah menyesatkanku, nona!” kata Xenophilius, sekarang duduk lebih tegak
di kursinya dan melotot pada Hermione. “Kupikir kalian baru dalam Pencarian Hallows!
Banyak dari kami, Para Pencari, percaya bahwa keluarga Peverell mempunyai segala –
segala! – kaitan dengan Hallows itu!”
“Siapakah keluarga Peverell itu?” tanya Ron.
“Itu adalah nama pada makam dengan tanda di atasnya, di Godric’s Hollow,” kata
Hermione, masih memandang Xenophilius. “Ignotus Peverell.”
“Tepat!” kata Xenophilius, jari telunjuknya terangkat. “Tanda Deathly Hallows diatas
makam Ignotus adalah bukti konklusif!”
“Dari apa?” tanya Ron.
“Oh, bahwa tiga bersaudara dalam cerita itu sebenarnya adalah tiga bersaudara Peverell,
Antioch, Cadmus, dan Ignotus! Bahwa mereka adalah pemilik Hallows yang asli!”
Setelah ia menatap ke jendela sekali lagi, ia bangkit berdiri, mengambil nampan, dan
menuju ke tangga spiral.
“Kalian akan tinggal untuk makan malam?” ia bertanya, seraya menghilang ke bawah
lagi. “Semua orang selalu meminta resep sup Plimpy Air Tawar kami.”
“Mungkin untuk ditunjukkan kepada Departemen Penanganan Keracunan di St. Mungo,”
kata Ron.
Harry menunggu sampai mereka dapat mendengar Xenophilius bergerak di dapur bawah
sebelum berbicara.
“Apa yang kau pikirkan?” tanya Harry ke Hermione.
“Oh, Harry,” kata Hermione lelah, “ini hanya sampah. Ini tidak mungkin merupakan arti
tanda itu yang sebenarnya. Ini pasti hanya sebuah penafsiran yang aneh darinya terhadap
masalah itu. Benar-benar membuang-buang waktu.”
“Kurasa ini adalah orang yang membawakan kita Snorkack Tanduk-Kisut,” kata Ron.
“Kau juga tidak mempercayainya?” tanya Harry pada Ron.
“Tidak, dongeng itu hanya salah satu cara kau menceritakan anak-anak pelajaran, kan?
‘Jangan mencari masalah, jangan berkelahi, jangan mengganggu apapun yang lebih baik
ditinggalkan! Rendah hatilah, pikirkan urusanmu sendiri, dan kau akan baik-baik saja.
Kalau dipikirkan,” Ron menambahkan, “mungkin dongeng itu yang menyebabkan
takhyul bahwa pemilik Tongkat Elder akan tidak beruntung.”
“Apa yang sedang kalian bicarakan?”
“Salah satu dari takhyul-takhyul itu, kan? ‘Penyihir yang lahir pada bulan Mei akan
menikahi Muggle.’ ‘Kutukan yang dilakukan di senja hari, akan menghilang pada tengah
malam.’ ‘Tongkat dari kayu apel, tidak akan makmur.’ Kalian seharusnya sudah pernah
mendengarnya. Ibuku mengetahui banyak takhyul seperti itu.”
“Harry dan aku dibesarkan oleh Muggle,” Hermione mengingatkan Ron. “Kami diajarkan
takhyul yang berbeda.” Hermione menarik nafas dalam-dalam ketika bau yang cukup
tajam tercium dari arah dapur. Hal yang bagus dari perdebatannya dengan Xenophilius
adalah itu membuat Hermione lupa bahwa ia terganggu oleh Ron. “Kurasa kau benar,”
katanya pada Ron. “Itu hanya dongeng kesusilaan, sangat jelas hadiah mana yang paling
baik, yang mana yang akan kau pilih - ”
Mereka bertiga berbicara disaat yang sama: Hermione berkata, “Jubah,” Ron berkata,
“tongkat,” dan Harry berkata, “batu.”
Mereka memandang satu sama lain, setengah terkejut, setengah geli.
“Kau mengatakan Jubah,” kata Ron ke Hermione, “tetapi kau tidak akan
membutuhkannya bila kau memiliki tongkatnya. Sebuah tongkat yang tidak dapat
terkalahkan, Hermione, ayolah!”
“Kita sudah memiliki sebuah Jubah Gaib,” kata Harry, “Dan Jubah itu sangat membantu
kita, kalau kau tak menyadarinya!” kata Hermione. “Di lain pihak, tongkat itu hanya akan
mendatangkan masalah--”
“Hanya jika kau berteriak pada semua orang tentang hal itu,” bantah Ron. “Hanya jika
kau cukup bodoh untuk menari sambil melambaikan tongkat itu di atas kepalamu, dan
bernyanyi, ‘Aku memiliki sebuah tongkat yang tak terkalahkan, datanglah dan coba
dapatkan jika kau berpikir kau cukup kuat.’ Selama kau dapat menutup mulutmu--”
“- Ya, tetapi apakah kau bisa tetap menutup mulutmu?” kata Hermione. “Kau tahu bahwa
satu-satunya hal yang benar yang ia katakan pada kita hanyalah bahwa ada cerita
mengenai tongkat yang sangat kuat selama beratus-ratus tahun.”
“Adakah?” tanya Harry.
Hermione terlihat sebal: Ekspresinya sudah begitu familiar dan Ron dan Harry tersenyum
satu sama lain.
“Tongkat Kematian, Tongkat Takdir, mereka muncul dengan nama yang berbeda-beda
selama berabad-abad, biasanya tergantung penyihir hitam yang memilikinya. Profesor
Binns menyebutkan beberapa di antara mereka, tapi – oh, itu semua omong kosong.
Tongkat hanya sama kuatnya dengan penyihir yang menggunakannya. Beberapa penyihir
hanya suka menganggap bahwa tongkatnya lebih besar dan lebih baik dari milik orang
lain.”
“Tetapi bagaimana kau tahu,” kata Harry, “bahwa tongkat-tongkat itu – Tongkat
Kematian, Tongkat Takdir – adalah tongkat yang sama, selama berabad-abad sesekali
muncul dengan nama yang berbeda?”
“Bagaimana jika mereka semua adalah benar-benar Tongkat Elder, yang dibuat oleh
Kematian?”
Harry tertawa: Ide aneh yang ada dalam pikirannya selama ini, konyol. Tongkatnya, ia
mengingatkan dirinya sendiri, terbuat dari kayu holly, bukan elder, dan tongkat itu dibuat
oleh Ollivander, apapun yang dilakukannya pada malam Voldemort mengejarnya di
langit dan bila tongkat itu tidak dapat terkalahkan, bagaimana bisa tongkat itu hancur?
“Jadi, kenapa kau memilih batu?” tanya Ron padanya.
“Yah, jika kau bisa membawa orang-orang kembali, kita dapat bertemu Sirius...Mad-
Eye...Dumbledore...orang tuaku...”
Tak ada satupun dari Ron dan Hermione yang tersenyum.
“Tetapi, menurut Beedle Sang Seniman, mereka tidak ingin kembali, kan?” kata Harry,
memikirkan dongeng yang baru saja mereka dengar. “Tidak ada cerita lain tentang batu
yang dapat membangkitkan seseorang dari kematian, kan?” ia bertanya pada Hermione.
“Tidak,” Hermione membalas dengan sedih. “Aku tidak berpikir semua orang kecuali
Mr. Lovegood dapat menganggap bahwa itu ada. Beedle mungkin mengambil ide dari
Batu Bertuah; kalian tahu, sebagai pengganti batu yang membuatmu abadi, sebuah batu
untuk membalikkan kematian.”
Bau dari dapur tercium semakin kuat. Bau itu seperti celana dalam yang terbakar hangus.
Harry bertanya-tanya apakah ia dapat memakan apapun yang Xenophilius masak demi
kesopanan.
“Lalu, bagaimana dengan Jubah itu?” tanya Ron pelan. “Apakah kalian tidak sadar,
bahwa ia benar? Aku menjadi sangat terbiasa menggunakan Jubah Harry, dan seberapa
bagusnya benda itu, aku tidak pernah berhenti memikirkannya. Aku tidak pernah
mendengar ada jubah lain seperti milik Harry. Jubah itu sempurna. Kita tidak pernah
ketahuan selama berada di dalamnya - ”
“Tentu saja tidak – kita ‘kan tidak kelihatan bila berada di dalamnya,Ron!”
“Tapi kalian tahu kan, semua hal yang ia katakan mengenai jubah lain itu benar, dan
jubah itu tidak benar-benar berharga satu knut sepuluh buah! Itu tidak pernah terjadi
padaku sebelumnya, tetapi aku pernah mendengar jubah yang mantranya hilang ketika
jubah itu sudah usang, atau jubah yang dirobek dengan mantra sehingga berlubang, milik
Harry dulunya dimiliki oleh ayahnya, jadi itu tidak benar-benar baru, tetapi itu...
sempurna!”
“Ya, baiklah, Ron, batu itu...”
Ketika Ron dan Hermione bertengkar dalam bisikan-bisikan, Harry berkeliling ruangan,
hanya separuh mendengarkan. Begitu ia sampai ke tangga spiral, ia menengok ke lantai
atas dan terkejut seketika. Wajahnya sendiri sedang memandangnya dari langit-langit
ruangan di atas. Setelah sesaat merasa kebingungan, Harry sadar bahwa itu bukan cermin,
melainkan sebuah lukisan. Penasaran, ia mulai menaiki tangga itu.
“Harry, apa yang sedang kau lakukan? Kurasa kau tidak seharusnya berkeliling ketika
Xenophilius tidak di sini!”
Tetapi Harry telah sampai ke lantai berikutnya. Luna telah menghias langit-langit kamar
tidurnya dengan lima wajah yang dilukis dengan indah: Harry, Ron, Hermione, Ginny,
dan Neville. Mereka tidak bergerak seperti lukisan di Hogwarts, tapi ada sedikit mantra
pada semua lukisan itu. Harry berpikir bahwa mereka bernafas. Ada rantai emas yang
menyatukan gambar itu, tetapi setelah memandangnya selama semenit, Harry sadar
bahwa rantai itu adalah sebuah kata yang ditulis berulang-ulang dalam tulisan emas:
sahabat...sahabat...sahabat...
Harry merasakan ketertarikan yang besar pada Luna. Ia melihat-lihat sekeliling ruangan
itu. Ada sebuah foto yang besar di samping tempat tidur, foto Luna kecil dan seorang
wanita yang sangat mirip dengan Luna. Mereka sedang berpelukan. Luna kelihatan lebih
rapi di foto itu dibandingkan dengan yang Harry pernah lihat selama ini. Foto itu
berdebu. Hal ini membuat Harry merasa sedikit aneh. Harry memandang berkeliling. Ada
sesuatu yang salah. Karpet biru pucat juga penuh dengan debu. Tidak ada pakaian dalam
lemari, yang pintunya sedikit terbuka. Tempat tidurnya dingin, terlihat tidak nyaman,
seakan-akan tidak pernah ditiduri selama berminggu-minggu. Sebuah jaring laba-laba
merentang di jendela terdekat, bak menyeberangi langit merah.
“Ada apa?” tanya Hermione saat Harry turun dari tangga, tetapi sebelum ia dapat
merespon, Xenophilius telah mencapai anak tangga teratas dari dapur, kini memegang
nampan yang dimuati dengan mangkuk.
“Mr. Lovegood,” kata Harry, “di mana Luna?”
“Maaf?”
“Di mana Luna?”
Xenophilius terdiam di tangga.
“Aku – aku sudah mengatakannya padamu. Luna ada di Jembatan Botions memancing
Plimpy.”
“Lalu kenapa Anda hanya menyediakan nampan itu untuk empat orang?”
Xenophilius mencoba berbicara, tapi tak ada suara yang keluar. Satu-satunya suara yang
terdengar adalah gerakan mesin cetak yang terus-menerus, dan sedikit derit dari nampan
yang digoyangkan oleh tangan Xenophilius.
“Kurasa Luna tidak ada di sini selama berminggu-minggu,” kata Harry. “Pakaiannya
tidak ada, tempat tidurnya tak pernah ditiduri. Di mana dia? Dan kenapa Anda selalu
memandang keluar jendela?”
Xenophilius menjatuhkan nampannya. Mangkuk-mangkuk itu terlempar dan hancur.
Harry, Ron, dan Hermione mengambil tongkatnya masing-masing. Tangan Xenophilius
berhenti ketika akan memasukkan tangannya ke sakunya. Saat itu, banyak The Quibbler
jatuh dari bawah taplak, lalu hening. Hermione merunduk dan mengambil salah satu
majalah itu, tongkatnya masih mengarah ke Mr. Lovegood.
“Harry, lihat ini!” Harry berjalan secepat ia bisa ke arah Hermione. Halaman depan The
Quibbler memuat fotonya sendiri, dihiasi dengan tulisan “Orang Yang Paling Tidak
Diinginkan” dan tulisan hadiah uang.
“The Quibbler berpindah haluan ya?” tanya Harry dingin, pikirannya bekerja sangat
cepat. “Inikah yang Anda lakukan ketika pergi ke taman, Mr. Lovegood? Mengirim
seekor burung hantu ke Kementrian?”
Xenophilius menggigit bibirnya.
“Mereka mengambil Luna-ku,” ia berbisik. “Karena apa yang sudah kutulis. Mereka
mengambil Luna-ku dan aku tidak tahu dimana ia berada, apa yang sudah mereka
lakukan padanya. Tapi mungkin mereka akan mengembalikannya padaku bila aku – bila
aku - ”
“Menyerahkan Harry?” Hermione menyelesaikan untuknya.
“Tidak,” kata Ron datar. “Minggir, kami pergi.”
Xenophilius tampak mengerikan, bibirnya juga menyeramkan dan terlihat tidak senang.
“Mereka akan datang sebentar lagi. Aku harus menyelamatkan Luna. Aku tak dapat
kehilangan Luna. Kalian tidak boleh pergi.”
Ia membentangkan tangannya di depan tangga, dan Harry merasa melihat ibunya yang
melakukan hal yang sama di depan tempat tidurnya.
“Jangan membuat kami menyakitimu,” kata Harry. “Minggir, Mr. Lovegood.”
“HARRY!” teriak Hermione.
Figur-figur di atas sapu terbang melewati jendela. Ketika mereka bertiga melihat
Xenophilius, ia mengeluarkan tongkatnya. Harry menyadari kesalahan mereka saat itu
juga. Ia melemparkan dirinya ke samping, mendorong Ron dan Hermione untuk
menyelamatkan mereka dari Mantra Pemingsan Xenophilius yang melewati ruangan itu
dan mengenai tanduk Erumpent. Sebuah ledakan yang sangat besar terjadi. Suaranya
terdengar seperti akan menghancurkan ruangan itu.
Potongan kayu dan kertas dan reruntuhan terlempar ke segala arah, bersama kepulan
debu yang tebal. Harry terlempar ke udara, lalu terjatuh ke lantai, tak dapat melihat
karena puing-puing berjatuhan di atasnya, tangannya melindungi kepalanya. Ia
mendengar jeritan Hermione, teriakan Ron, dan serangkaian suara metalik menyakitkan
yang membuatnya tahu bahwa Xenophilius sudah terlempar ke bawah tangga spiral.
Setengah terkubur di dalam reruntuhan, Harry berusaha untuk berdiri. Ia nyaris tak dapat
bernapas atau melihat dalam kepulan debu. Separuh langit-langit sudah ambruk dan
ujung tempat tidur Luna sudah menggantung di tepi lubang. Patung pendek Rowena
Ravenclaw jatuh di sampingnya dengan separuh bagian wajahnya rusak. Potonganpotongan
perkamen melayang turun dari udara, dan sebagian besar mesin cetak tergeletak
miring, menutupi tangga paling atas untuk menuju ke dapur. Kemudian sosok putih lain
bergerak mendekat dan Hermione, penuh dengan debu seperti patung, menaruh jarinya di
depan bibir.
Pintu di bawah terbuka.
“Bukankah aku sudah mengatakan padamu bahwa tidak perlu terburu-buru, Travers?”
kata suara yang keras. “Bukankah aku mengatakan padamu bahwa orang gila ini hanya
mengoceh seperti biasa?” Ada suara keras dan jeritan kesakitan Xenophilius.
“Tidak...tidak...di atas...Potter!”
“Aku mengatakan padamu minggu lalu Lovegood, kami tidak akan kembali kecuali ada
informasi yang kongkrit! Ingat minggu lalu? Ketika kau ingin menukar anak
perempuanmu dengan topi tolol itu? Dan minggu sebelumnya” – Ada suara keras dan
pekikan lagi – “Ketika kau berpikir bahwa kami akan mengembalikannya jika kau
menawarkan pembuktian tentang Snorkack” – suara keras – “Tanduk” – suara keras –
“Kisut?”
“Tidak – tidak – aku memohon pada kalian!” tangis Xenophilius. “Ini benar-benar Potter,
sungguh!”
“Dan sekarang kau kembali memanggil kami untuk mencoba dan meledakkan kami!”
raung salah satu Pelahap Maut itu, lalu ada serangkaian suara ledakan kecil diantara
dengan teriakan penuh penderitaan Xenophilius.
“Tempat ini terlihat akan rubuh, Selwyn,” kata suara dingin yang kedua, bergema ke atas
tangga. “Tangga ini benar-benar tertutup. Bisakah kau mencoba membersihkannya?
Mungkin dapat membuat tempat ini runtuh.”
“Kau pembohong kotor,” teriak penyihir yang bernama Selwyn.
“Kau belum pernah melihat Potter seumur hidupmu, kan? Kurasa kau memanggil kami
ke sini untuk membunuh kami, ya kan? Dan kau berpikir bahwa kau akan mendapatkan
anak perempuanmu dengan cara seperti ini?”
“Aku bersumpah...aku bersumpah...Potter ada diatas!”
“Homenum Revelio,” kata sebuah suara di kaki tangga. Harry mendengar Hermione
terkejut, dan ia merasakan sensasi aneh yang melewati dirinya, menyelimuti dirinya
dalam bayangannya.
“Ada orang di atas, Selwyn,” kata laki-laki kedua itu dengan tajam.
“Itu Potter, kukatakan padamu, itu Potter!” tangis Xenophilius.
“Tolong...tolong...kembalikan Luna, biarkan aku mendapatkan Luna kembali...”
“Kau dapat mendapatkan anak perempuanmu, Lovegood,” kata Selwyn, “jika kau naik ke
atas dan membawakan padaku Harry Potter. Tetapi jika ini adalah sebuah rencana, jika
ini adalah sebuah jebakan, jika kau memiliki seorang kaki tangan di atas sana untuk
menyerang kami, kita lihat saja apakah kita dapat membagi sedikit mayat anak
perempuanmu agar kau bisa menguburnya.”
Xenophilius meraung penuh ketakutan dan keputusasaan. Terdengar suara langkah
pendek-pendek dan derit pelan. Xenophilius sedang mencoba untuk melewati puingpuing
di tangga.
“Ayo,” bisik Harry, “kita harus keluar dari sini.”
Harry mencoba untuk mengeluarkan dirinya dari reruntuhan dengan memanfaatkan
keributan yang dibuat Xenophilius di tangga. Ron terkubur sangat dalam. Harry dan
Hermione memanjat, sesunyi yang mereka bisa, ke arah tempat Ron terkubur, mencoba
untuk menarik laci yang berat dari kakinya. Ketika Xenophilius semakin mendekat,
Hermione berhasil untuk membebaskan Ron dengan menggunakan Mantra Mengapung.
“Baiklah,” kata Hermione, ketika mesin cetak yang rusak dan menutupi tangga paling
atas mulai berderak. Xenophilius hanya tinggal beberapa langkah lagi dari mereka.
Hermione masih penuh dengan debu.
“Apakah kau mempercayaiku, Harry?”
Harry mengangguk.
“Baiklah,” Hermione berbisik, “berikan Jubah Gaib padaku. Ron, kau akan
memakainya.”
“Aku? Tapi Harry - ”
“Tolonglah, Ron! Harry, genggam erat tanganku, Ron pegang bahuku.”
Harry mengulurkan tangan kirinya. Ron menghilang di bawah Jubah. Mesin cetak yang
menutupi tangga bergetar. Xenophilius mencoba untuk menyingkirkannya menggunakan
Mantra Mengapung. Harry tak tahu apa yang sedang Hermione tunggu.
“Tahan,” bisiknya. “Tahan, sebentar lagi...”
Wajah pucat pasi Xenophilius muncul di pintu.
“Obliviate!” raung Hermione, pertama-tama mengarahkan tongkatnya ke wajah
Xenophilius lalu ke lantai dibawah mereka. “Deprimo!”
Hermione membuat lubang di lantai ruang tamu. Mereka jatuh seperti batu. Harry masih
memegang tangan Hermione ketika ia mendengar ada teriakan dari bawah, dan ia sempat
melihat dua laki-laki yang mencoba menghindari reruntuhan dan perabotan hancur yang
menghujani lantai bawah rumah itu dari atas. Hermione berputar-putar di udara dan suara
rumah yang hancur terngiang di telinga Harry ketika Hermione membawanya sekali lagi
ke dalam kegelapan.
Note:
*: Elder (Sambucus sp.), atau lebih dikenal sebagai Elderberry, adalah satu genus yang berisi sekitar 5-30 jenis semak atau pepohonan
yang kebanyakan hidup di daerah beriklim sedang atau subtropis. Bunganya umumnya berwarna krem atau putih, sedangkan buahnya
kecil, berwarna merah, kebiruan, atau hitam. Menurut mitos, kayunya tidak boleh dipotong tanpa menyanyikan syair pujian bagi Elder
Mother, atau dia akan mengamuk. Elder yang di sini tentu satu dari beberapa jenis Elder yang hidup di Eropa. FYI, ada satu jenis
Elder yang hidup di Indonesia, yaitu Sambucus javanica atau pohon sangitan (namanya ga keren amat... T.T).
**: Conqueror = Vanquisher = Penakluk.
Chapter 22
Deathly Hallows
Harry jatuh, terengah-engah dirumput dan merangkak sekaligus. Tampaknya mereka
mendarat di sudut sebuah lapangan saat senja hari; Hermione sedang berlari membuat
sebuah lingkaran di sekitar mereka dengan melambaikan tongkat sihirnya.
“Protego totalum…Salvio hexia...”
“Dasar pengkhianat tua pengadu,” Ron terengah-engah keluar dari jubah gaib dan
melemparnya ke Harry. “Hermione kau memang jenius, sangat jenius, aku tak percaya
kita dapat keluar dari semua itu.”
“Cave inimicum… aku sudah bilang itu adalah tanduk Frumpent, bukan kah telah
kuperingatkan dia? Dan sekarang rumahnya hancur berantakan.”
“Dia pantas mendapatkannya,” ucap Ron, memeriksa sobekan di jeansnya dan luka di
kakinya, “apa yang kau pikir akan mereka lakukan padanya?”
“Oh kuharap mereka tak membunuhnya,” erang Hermione, “karena itulah aku ingin para
Pelahap Maut dapat melihat Harry sekilas sebelum kita pergi, jadi mereka tahu
Xenophilius tidak berbohong.”
“Tetapi kenapa kau menyembunyikanku?” tanya Ron.
“Kau seharusnya berada di ranjang karena spattergroit Ron! Mereka menculik Luna
karena ayahnya mendukung Harry! Apa yang akan terjadi pada keluargamu kalau mereka
tahu kau bersamanya?”
“Tapi bagaimana dengan Ayah dan Ibu-mu?”
“Mereka di Australia,” jawab Hermione, “mereka seharusnya baik-baik saja. Mereka tak
mengetahui apapun.”
“Kau memang jenius,” ulang Ron terpesona.
“Yeah, kau memang jenius Hermione,” Harry mengiyakan dengan bersemangat. “Aku
tak tahu apa yang kan kita lakukan tanpamu.”
Hermione berseri-seri tapi langsung serius lagi.
“Bagaimana dengan Luna?”
“Ya, bila mereka mengatakan yang sebenarnya dan dia masih hidup...” Ron memulai.
“Jangan katakan itu, jangan katakan!” Hermione berseru, ”dia pasti masih hidup, itu
pasti.”
“Kalau begitu dia pasti di azkaban, kuharap,” ucap Ron, “mungkinkah dia bertahan hidup
disana... banyak orang tidak bertahan.”
“Dia akan bertahan,” sergah Harry, dia tak mampu membayangkan alternatif lainya, “dia
tangguh, Luna jauh lebih tangguh dari yang kau kira, dia mungkin mengajari para
penghuninya tentang Wrackspurt dan Nargle.”
“Kuharap kau benar,” ucap Hermione, dia menyeka matanya, “aku sangat menyesal
tentang Xenophilius bila...”
“...bila dia tidak mencoba menjual kita pada para Pelahap Maut, yeah,” potong Ron.
Mereka mendirikan tenda dan berbenah didalamnya, Ron membuatkan teh untuk mereka,
setelah pelarian mereka yang menyesakkan, tenda yang dingin dan pengap itu terasa
seperti rumah: aman, akrab dan ramah.
“Oh, kenapa kita pergi kesana?” erang Hermione setelah beberapa menit terdiam.
“Harry, kau benar, lagi-lagi ini tentang Godric’s Hollow, benar-benar buang-buang
waktu! Deathly Hallows…sepertinya omong kosong…atau sebenarnya…” sepertinya dia
tiba-tiba mendapatkan sebuah ide, “dia mungkin saja mengarang semua itu, mungkin saja
kan? Dia mungkin tidak percaya pada Deathly Hallows sama sekali, dia cuma ingin kita
tetap disana hingga Pelahap Maut datang.”
“Kukira tidak,” sanggah Ron, “lebih sulit mengarang sesuatu saat kau sedang dibawah
tekanan dari pada yang kau kira. Aku membuktikannya saat para Perampas mengerjaiku.
Lebih mudah berpura-pura menjadi Stan, karena aku mengetahu sedikit tentang dia,
daripada mengarang seorang yang benar-benar baru. Lovegood tua benar-benar tertekan,
mencoba memastikan kita tetap tinggal. Aku yakin dia menceritakan yang sebenarnya
agar kita tetap bicara.”
“Aku pikir itu bukan suatu masalah,” dengus Hermione, “walaupun dia jujur, aku belum
pernah mendengar omong kosong separah itu dalam hidupku”
“Tunggu dulu,” sergah Ron, “Kamar Rahasia dulunya sebuah mitos kan?”
“Tapi Deathly Hallows tak mungkin ada Ron!”
“Kau tetap berpikir begitu, tapi satu darinya ada,” ucap Ron lagi, “Jubah Gaib milik
Harry...”
“Kisah Tiga Saudara adalah sebuah dongeng,” ucap Hermione tegas, “sebuah dongeng
tentang bagaimana manusia takut kepada kematian. Bila bertahan hidup hanya semudah
bersembunyi dibawah Jubah Gaib, kita telah memiliki segala yang kita butuhkan!”
“Aku tak tahu. Kita dapat melakukannya dengan sebuah tongkat sihir yang tak
terkalahkan” ucap Harry, memutar-mutar tongkat blackthorn yang tak disukainya dengan
jarinya.
“Tidak ada hal seperti itu, Harry!”
“Kau bilang ada banyak sekali tongkat sihir…tongkat kematian dan apalah mereka
menyebutnya…”
“Baiklah, walaupun kau ingin percaya kalau Tongkat Elder* itu nyata, bagaimana dengan
Batu Kebangkitan#?” jarinya menggambarkan sebuah tanda ketika menyebutkan nama
itu, dan suaranya berubah kasar. “Tak ada sihir yang dapat menghidupkan yang mati,
dan itu mutlak.”
“Saat tongkat sihirku terhubung dengan tongkat sihir Kau-Tahu-Siapa, Ayah dan Ibuku
muncul…dan Cedric…”
“Tapi mereka tak benar-benar kembali dari kematian kan?” sangkal Hermione,
“seperti…sebuah tiruan sekilas tidaklah sama dengan benar-benar membuat mereka
hidup kembali”
“Tapi dia, gadis dalam dongeng, juga tidak benar-benar kembali dari kematian kan?
Dongeng itu mengatakan bahwa sekali seseorang mati, dia menjadi milik kematian. Tapi
saudara yang kedua masih bisa bertemu dia dan berbicara dengannya, ia kan? Dia bahkan
hidup bersamanya untuk beberapa saat...”
Hermione terlihat murung dan ada sesuatu yang sulit diartikan dari ekspresi Hermione.
Lalu, saat Hermione memandang Ron sekilas, Harry menyadari bahwa sebenarnya itu
adalah ketakutan: dia telah menakuti Hermione dengan pembicaraan tentang hidup
bersama orang mati.
“Jadi si Peverell yang dikuburkan di Godric’s Hollow...” Ron mengucapkanya dengan
cepat, mencoba mengatakannya dengan tenang, “...kau tidak mengetahui apapun tentang
dia?”
“Tidak,” jawab Hermione, terlihat lebih tenang dengan perubahan topik pembicaraan,
“aku mencarinya setelah aku lihat tanda di makamnya: bila dia adalah orang yang pernah
terkenal atau telah melakukan sesuatu yang penting aku yakin dia akan ada di salah satu
buku yang kita miliki. Satu-satunya tempat dimana aku dapat menemukan nama Peverell
adalah di buku Bangsawan Alamiah: Sebuah Silsilah Sihir**. Aku meminjamnya dari
Kreacher,” dia menerangkan ketika Ron mengangkat alisnya. “Termuat daftar dari garis
keturunan keluarga berdarah-murni yang sekarang telah hilang di jalur laki-laki.
Sepertinya keluarga Peverell adalah salah satu dari yang paling awal menghilang.”
“Hilang dari jalur laki-laki?” ulang Ron
“Itu berarti punah,” ucap Hermione, “beberapa abad lalu, dalam kasus keluarga Peverell.
Meskipun begitu, mungkin saja mereka masih memiliki keturunan, tapi dengan nama
yang berbeda.”
Dan hal itu muncul di memori Harry seperti kepingan yang bersinar, ingatan yang telah
teraduk-aduk saat mendengar nama “Peverell”: seorang tua yang kotor mengacungkan
sebuah cincin yang buruk ke wajah petugas kementrian, dan dia berteriak keras,
“Marvolo Gaunt!”
“Apa?” ucap Ron dan Hermione bersama-sama.
“Marvolo Gaunt! Kakek dari Kau-Tahu-Siapa! Di pensieve! Dengan Dumbledore!
Marvolo Gaunt pernah berkata kalau dia adalah keturunan keluarga Peverell.”
Ron dan Hermione terlihat bingung.
“Cincin itu, cincin yang menjadi Horcrux, Marvolo Gaunt mengatakan kalau cincin
tersebut adalah lambang keluarga Peverell! Aku melihatnya melambaikan cincin tersebut
ke wajah petugas kementrian, dan dia hampir saja melesakkan hidungnya!”
“Lambang keluarga Peverell?” ucap Hermione tajam, ”dapatkah kau melihat bagaimana
bentuknya?”
“Tidak jelas,” jawab Harry, mencoba mengingat. ”Tak ada yang bagus disana, sejauh
yang bisa kulihat: mungkin banyak goresannya. Aku baru benar-benar melihatnya dengan
dekat hanya saat cincin itu telah terbelah.”
Harry melihat kepahaman Hermione dari matanya yang melebar tiba-tiba. Ron melihat
dari satu ke yang lainnya, terkagum-kagum.
“Ya ampun… kau yakin ini adalah tanda itu lagi? Tanda dari Hallows?”
“Kenapa tidak,” ucap Harry bersemangat, ”Marvolo Gaunt adalah seorang tua yang cuek
dan bodoh yang hidup seperti babi, yang dia pedulikan hanyalah leluhurnya. Bila cincin
itu telah diturunkan dalam beberapa abad, dia mungkin tidak tahu apa itu sebenarnya.
Tak ada buku di rumah itu, dan percayalah, dia bukan orang yang suka berdongeng
kepada anak-anaknya. Dia senang berpikir bahwa goresan di batu itu adalah lambang
keluarga, karena sejauh yang dia pahami, menjadi darah murni otomatis membuatmu
terpandang.”
“Ya...sangat menarik,” ucap Hermione dengan hati-hati, “ tapi Harry, apakah kau pikir,
seperti yang kukira, bahwa kau berpikir...?”
“Kenapa tidak? Ucap Harry, mengabaikan kehati-hatiannya, “ini adalah sebuah batu, iya
kan?” dia melihat Ron mencari dukungan. “Bagaimana kalau ini adalah Batu
Kebangkitan?”
Mulut Ron pun terbuka
“Ya ampun…tapi apakah ini akan tetap bekerja bila Dumbledore telah membe…?”
“Bekerja? Ron, ini tidak akan pernah bekerja! Batu Kebangkitan itu tidak perna ada!”
Hermione melompat berdiri, terlihat jengkel dan marah. “Harry kau mencoba untuk
mencocokkan segalanya kedalam dongeng Hallows...”
“Mencocokkan segalanya?” Harry mengulanginya. “Hermione, kecocokan ini terjadi
dengan sendirinya! Aku tahu lambang dari Deathly Hallows ada di batu tersebut! Gaunt
mengatakan bahwa dia adalah keturunan dari keluarga Peverell!”
“Semenit lalu kau bilang kau tak pernah melihat tanda di batu itu dengan jelas!”
“Dimanakah kau yakini cincin itu berada saat ini?” Ron bertanya pada Harry, “apa yang
Dumbledore lakukan padanya setelah dia membelahnya?”
Tapi imajinasi Harry telah berkelana jauh, jauh dari Ron dan Hermione…tiga benda,
atau Hallows, yang apabila disatukan, akan membuat pemiliknya menguasai
kematian…Penguasa…Pemenang…Penakluk… musuh terakhir yang harus dikalahkan
adalah kematian…
Dan dia membayangkan dirinya sendiri, memiliki Hallow, menghadapi Voldemort, yang
Horcruxnya tiada tandingannya…tidak dapat hidup saat yang lainnya selamat... apakah
ini jawabannya? Hallow melawan Horcrux? Apakah ada cara untuk memastikan kalau
dialah yang menang? Bila dia yang menguasai Deathly Hallows, akankah dia selamat?
“Harry?”
Tapi suara Hermione hanya sayup-sayup terdengar: dia telah menarik Jubah Gaibnya dan
membiarkannya meluncur di jari-jarinya, kain itu begitu gemulai seperti air, ringan
seperti udara. Dia belum pernah melihat apapun yang bisa menyamainya selama hampir
tujuh tahun kehidupannya di dunia sihir. Jubah itu sama persis dengan apa yang telah di
sebutkan oleh Xenophilius : Sebuah Jubah yang benar-benar membuat pemakainya sama
sekali tak terlihat, dan mempertahankan keabadian, memberikan perlindungan yang
tetap dan tak tertembus, apapun mantra yang disebutkan kepadanya...
Dan kemudian bersama satu hembusan nafas dia mengingat...
“Dumbledore memegang Jubahku dimalam orang tuaku meninggal!”
Suaranya bergetar dan dia bisa merasakan perubahan di wajahnya, tapi dia tidak peduli.
“Ibuku memberi tahu Sirius bahwa Dumbledore meminjam Jubah ini! Itulah! Dia ingin
mengujinya, karena dia mengira ini adalah Hallows ke tiga! Ignotus Peverell
dimakamkan di Godric’s Hollow...” Harry berjalan mondar-mandir disekitar tenda,
merasa bahwa rangkaian kejadian yang benar sedang membuka semua disekitarnya. “Dia
adalah leluhurku. Aku adalah keturunan dari Saudara ketiga! Ini semua masuk akal!”
Dia merasa punya bukti untuk meyakini kepercayaannya pada Hallow, baginya memiliki
mereka dapat memberikan perlindungan, dan dia merasa senang saat dia berpaling lagi
kepada dua sahabatnya.
“Harry,” ucap Hermione lagi, tapi Harry sedang sibuk membuka kantong di lehernya,
jari-jarinya bergetar hebat.
“Baca ini,” Harry berkata padanya, menyerahkan surat ibunya ke tangan Hermione,
“Baca ini! Dumbledore meminjam Jubah itu, Hermione! Kenapa dia menginginkan jubah
itu? Dia tidak membutuhkan sebuah Jubah, dia dapat melakukan Mantra Menghilang
yang sangat kuat yang dapat membuat dirinya benar-benar tak terlihat tanpa jubah!”
Sesuatu terjatuh ke lantai dan menggelinding, berkilapan, dibawah kursi: dia telah
menjatuhkan snitch pemberian Dumbledore saat dia menarik surat ibunya. Dia
mengambilnya, kemudian pemikiran luar biasa yang tiba-tiba mengejutkan memberinya
hadiah yang lain, rasa terkejut dan kagum membuncah dalam dirinya dan diapun
berteriak.
“ADA DI DALAM SINI! Dia meninggalkanku cincin itu – ada di dalam snitch!”
“Kau… kau yakin?”
Dia tak mengerti mengapa Ron terlihat mundur beberapa langkah. Karena menurut Harry
hal itu mudah dipahami dan sangat jelas. Semuanya cocok, semuanya… Jubahnya adalah
Hallow ke tiga, dan saat dia menemukan cara membuka snitch itu dia akan memiliki yang
kedua, dan kemudian apa yang dia butuhkan adalah mencari Hallow pertama, Tongkat
Elder dan kemudian…
Tapi semuanyapun mengabur secara perlahan: semua ketertarikannya, semua harapannya
dan kebahagiannya serasa padam sekaligus, dan dia berdiri sendiri dalam kegelapan, dan
mantra kemenangan sepertinya telah terpatahkan.
“Itu yang dia cari.”
Perubahan dalam suara Harry membuat Ron dan Hermione terlihat semakin takut.
“Kau-Tahu-Siapa mencari Tongkat Elder.”
Harry membalikkkan badannya dari wajah-wajah yang ragu dan tegang. Dia tahu bahwa
itu adalah yang sebenarnya. Dan semua masuk akal, Voldemort tidak mencari tongkat
baru; dia mencari sebuah tongkat sihir tua, sangat tua malahan. Harry keluar melalui
pintu masuk tenda, melupakan Ron dan Hermione saat dia melihat ke kegelapan malam,
dan berpikir…
Voldemort dibesarkan di panti asuhan Muggle. Tentunya tak seorang pun telah
menceritakan Dongeng Beedle sang Penyair saat dia masih kecil, lebih banyak daripada
yang telah didengar Harry. Sedikit sekali Penyihir yang percaya pada Deathly Hallows.
Apakah mungkin Voldemort telah mengetahuinya?
Harry memandang ke kegelapan, bila Voldemort telah mengetahui tentang Deathly
Hallows, tentunya dia telah mencarinya, melakukan segala cara untuk memilikinya: tiga
benda yang membuat pemiliknya menguasai kematian? Jika dia dia telah mengetahui
tentang Deathly Hallows, dia tidak memerlukan lagi Horcrux sebagai prioritas. Bukankan
sebuah kenyataan bahwa dia telah memegang sebuah Hallow, dan dia menjadikannya
Horcrux, menunjukkan kalau dia tidak mengetahui rahasia terakhir dunia sihir ini?
Yang berarti bahwa Voldemort mencari Tongkat Elder tanpa menyadari kekuatan
penuhnya, tanpa mengerti bahwa itu adalah salah satu dari tiga…dan memang tongkat
sihir itu adalah Hallow yang tak bisa disembunyikan, yang kehadirannya telah jelas
diketahui…Jejak dari Tongkat Elder telah malang melintang di halaman-halaman
sejarah sihir…
Harry memandang langit yang berawan, bentukan awan abu-abu dan keperakan melewati
wajah sang bulan. Dia merasa pening, heran akan penemuannya.
Dia kembali ke tenda. Suatu kejutan melihat Ron dan Hermione masih tetap berdiri
ditempat dimana ia meninggalkan mereka, Hermione masih memegang surat Lily, Ron di
sampingnya terlihat sedikit gelisah. Tidakkah mereka menyadari seberapa jauh mereka
telah melangkah dalam beberapa menit berlalu?
“Ini dia?” Ucap Harry, mencoba membawa mereka kedalam keyakinannya, ”ini
menerangkan segalanya. Deathly Hallows benar-benar ada dan aku telah mendapatkan
satu…mungkin dua…”
Dia mengangkat Snitchnya.
“…dan Kau-Tahu-Siapa sedang mencari yang ketiga, tapi dia tidak menyadarinya…dia
hanya berpikir kalau itu hanyalah sebuah tongkat sihir sakti...”
“Harry,” sergah Hermione, bergerak mendekati Harry dan mengembalikan surat Lily,
“maaf, tapi kupikir apa yang kau temukan ini salah, semuanya salah.”
“Tapi tidakkah kau melihatnya? Semua ini cocok…”
“Tidak,” jawab Hermione, “tidak sama sekali, Harry, kau baru saja lupa diri, tolonglah,”
katanya sambil melanjutkan, “tolong jawab aku: bila Deathly Hallows itu benar-benar
ada, dan Dumbledore telah mengetahuinya, mengetahui bahwa siapapun yang memiliki
ketiganya akan menguasai kematian…Harry, kenapa dia tidak memberi tahumu?
Kenapa?”
Dia telah menyiapkan jawaban atas pertanyaan tersebut.
“Tapi kau yang mengatakannya, Hermione! Kau harus menemukannya sendiri! Ini adalah
sebuah pencarian!”
“Tapi aku hanya mengatakan untuk mencoba serta membujukmu untuk datang ke rumah
Lovegood!” teriak Hermione jengkel. “Aku tidak benar-benar mempercayainya!”
Harry tak memperhatikannya.
“Dumbledore biasanya membiarkanku mencari sesuatu sendiri. Dia membiarkanku
mencoba kekuatanku, mengambil resiko. Rasanya ini seperti sesuatu yang akan
dilakukannya.”
“Harry, ini bukan permainan, ini bukan latihan! Ini kenyataan, dan Dumbledore
meninggalkanmu perintah yang sangat jelas: cari dan hancurkan Horcrux! Simbol itu tak
berarti apapun, lupakan Deathly Hallows, kita takkan sempat melakukan pencarian
lain...”
Harry tidak terlalu mendengarkannya. Dia melihat Snitch di tangannya lagi dan lagi,
setengah berharap agar snitch itu terbelah, dan mengungkap Batu Kebangkitan, untuk
membuktikan kepada Hermione kalau semua itu benar, bahwa Deathly Hallows itu suatu
kenyataan.
Hermione mencari dukungan Ron.
“Kau tak mempercayai semua ini kan Ron?”
Harry memandangnya, Ron meragu.
“Aku tak tahu…maksudku…beberapa diantaranya sangat cocok,” ucap Ron ragu. “Tapi
saat kau melihat secara keseluruhan...” dia bernafas panjang. “Kukira kita harus
menyingkirkan Horcrux, Harry. Dumbledore menginginkan kita melakukannya.
Mungkin…mungkin kita harus melupakan tentang Hallow ini.”
“Terimakasih, Ron” ucap Hermione. “Aku akan jaga pertama.”
Hermione melangkah melewati Harry dan duduk di pintu masuk tenda dengan
membuang raut marahnya.
Tapi Harry sangat sulit tidur malam itu. Bayangan bilakah Deathly Hallows menjadi
miliknya, dan dia tak dapat beristirahat saat pikirannya berkecamuk dalam kepalanya:
Tongkat, Batu dan Jubah, bilakah dia dapat memiliki ketiganya…
Aku terbuka saat tertutup… tapi apanya yang tertutup? Kenapa dia tak bisa memiliki batu
itu sekarang? Bila saja dia memiliki batu itu, dia bisa menanyakannya pada Dumbledore
secara langsung…dan Harry membisikkan kata-kata kepada Snitch itu dalam kegelapan,
mencoba apapun, bahkan Parseltongue, tapi Bola emas itu tidak mau terbuka juga...
Dan tongkat itu, Tongkat Elder, dimanakah dia bersembunyi? Dimanakah Voldemort
mencarinya saat ini? Harry sangat menginginkan lukanya terbakar dan memperlihatkan
pikiran Voldemort, karena untuk pertama kalinya, dia dan Voldemort menginginkan
sesuatu yang benar-benar sama…Hermione tak akan suka ide ini, tentunya…
bagaimanapun, dia tak mempercayainya…Xenophilius benar, kata-katanya tentang
Hermione… Terbatas, Sempit, Pikiran yang Tertutup. Sebenarnya Hermione takut
dengan kebenaran Deathly Hallows, terutama Batu Kebangkitan…dan Harry menekan
mulutnya ke snitch di tangannya lagi, menciumnya, hampir mengulumnya, tapi snitch itu
tak bergeming…
Sudah hampir fajar saat dia mengingat Luna, menyendiri di sebuah sel di Azkaban,
dikelilingi Dementor, dan tiba-tiba dia malu pada dirinya sendiri. Dia telah melupakan
Luna dalam keseriusannya merenungi Hallows. Jika saja dia bisa menyelamatkannya,
tapi jumlah Dementor sebegitu banyak mungkin akan benar-benar sulit dilawan.
Kemudian dia juga berpikir tentang tongkat barunya, dia belum pernah mengeluarkan
Patronus menggunakan blackthorn… dia harus mencobanya besok pagi…
Bila saja dia bisa memiliki Tongkat sihir yang lebih baik...
Dan keinginannya akan Tongkat Elder, Tongkat Maut, tak terkalahkan, tak terpatahkan,
menelannya sekali lagi…
Mereka membereskan tendanya pagi berikutnya dan berpindah menerobos derasnya
hujan. Hujan lebat mengejar mereka hingga ke pantai, dimana mereka mendirikan tenda
malam itu, dan menetap hingga seminggu penuh, bersama pemandangan membosankan
yang membuat Harry merasa suram dan stres. Dia hanya dapat memikirkan tentang
Deathly Hallows. Api telah dinyalakan dalam dirinya dan tak satupun, tidak
ketakpercayaan Hermione yang teguh maupun keraguan Ron yang gigih, dapat
memadamkannya. Dan nafsu untuk memiliki Hallows telah menyala dalam dirinya,
membuatnya menjadi kurang menyenangkan. Dia menyalahkan Hermione dan Ron: sikap
mereka yang melalaikannya seburuk kehampaan hujan yang membasahi jiwanya, tapi
tidak pernah dapat mengikis keyakinannya, yang tetap mutlak. Keyakinan Harry dan
keinginannya akan Hallow telah sangat banyak menguras dirinya sehingga dia merasa
terisolasi dari dua temannya dan obsesi mereka akan Horcrux.
“Terobsesi?” tanya Hermione dengan suara yang rendah dan marah, saat Harry dengan
cukup ceroboh menggunakan kata itu suatu petang, setelah Hermione mengingatkannya
akan kekurang tertarikannya lagi untuk mencari Horcrux selanjutnya, “Kami tidak
terobsesi, Harry! Kami adalah orang yang ingin mencoba melakukan apa yang
Dumbledore ingin kita lakukan!”
Tetapi dia tidak merespon kritik tersembunyi itu. Dumbledore telah meninggalkan tanda
dari Hallows untuk Hermione pecahkan, dan dia pun sama, Harry tetap meyakininya,
menyimpan Batu Kebangkitan tersembunyi dalam Snitch emas. Tidak dapat hidup saat
yang lainnya selamat...penguasa kematian...kenapa Ron dan Hermione tak mengerti?
“Musuh terakhir yang harus dikalahkan adalah Kematian,” Harry mengutip dengan
tenang.
“Kukira Kau-Tahu-Siapa yang seharusnya kita lawan,” jawab Hermione, dan Harry
menyerah atas nya.
Misteri Patronus kijang betina, yang sedang sengit didiskusikan oleh dua temannya,
terlihat kurang penting bagi Harry saat ini, menjadi kurang menarik. Hal lain yang
bermasalah baginya adalah lukanya yang mulai menusuk-nusuk lagi, walaupun dia telah
berusaha menyembunyikan kenyataan ini dari kedua temannya. Dia selalu menyendiri
kapanpun itu terjadi, tetapi kecewa dengan apa yang dilihatnya. Penglihatannya dan
Voldemort yang dulu berbagi telah berubah kualitas; menjadi kabur, dan tak jelas walau
dia menajamkan fokusnya. Harry hanya dapat melihat gambaran yang kabur dari sebuah
benda yang mirip tengkorak, dan sesuatu yang mirip sebuah gunung yang lebih banyak
bayangannya daripada bendanya. Dulunya sangat jelas tergambar, seperti nyata, Harry
kebingungan dengan perubahan ini. Dia khawatir hubungan antara dirinya dan Voldemort
telah rusak, hubungan yang mereka berdua takutkan dan, apapun yang telah dia katakan
pada Hermione, syukuri. Bagaimanapun juga Harry terhubung secara kurang
memuaskan, gambar yang samar-samar karena kehancuran tongkatnya, seakan-akan ini
adalah kesalahan dari tongkat blackthorn sehingga dia tak dapat lagi melihat pikiran
Voldemort sebaik sebelumnya.
Bersamaan dengan berlalunya hari, Harry tak dapat berbuat apa-apa tapi menyadari,
meskipun dirinya yang baru selalu asyik sendiri, bahwa Ron tampaknya mencoba
mengambil tanggung jawab. Mungkin karena dia bertekad mendamaikan dan
menghentikan permusuhan diantara mereka, mungkin juga karena antusiasme dan
kualitas kepemimpinan Harry telah menurun, dan saat ini Ronlah yang sering
menyemangati dan memotivasi kedua temannya untuk beraksi.
”Tinggal tiga Horcrux,” dia selalu mengatakannya, “kita perlu rancana sebelum
bertindak, ayolah! Dimanakah kita belum mencari? Ayo kita menelusurinya lagi. Panti
asuhan...”
Diagon Alley, Hogwarts, Rumah Riddle, Borgin dan Burkes, Albania, setiap tempat yang
mereka tahu Tom Riddle pernah tinggal atau bekerja, berkunjung atau membunuh, Ron
dan Hermione berkumpul lagi, Harry bergabung hanya agar Hermione berhenti
membuatnya kesal. Dia lebih senang duduk sendiri dalam sepi, mencoba membaca
pikiran Voldemort, untuk mengetahui lebih banyak tentang Tongkat Elder, tapi Ron
memaksakan untuk mengunjungi lokasi-lokasi yang tidak mungkin, hanya -Harry
menyadari- agar mereka tetap berjalan.
“Kau takkan pernah tahu,” ucap Ron tertahan, “di bagian atas Flagley terdapat sebuah
desa penyihir, dia mungkin pernah menginginkan untuk tinggal disana. Ayo kita kesana
dan berkeliling”
Seringnya mendatangi wilayah-wilayah sihir membuat mereka dilirik sesekali oleh para
Perampas.
“Beberapa diantara mereka sepertinya seburuk Pelahap Maut,” ucap Ron, “kebanyakan
yang menangkapku sedikit menyedihkan, tapi Bill meyakinkanku beberapa diantara
mereka benar-benar berbahaya. Mereka mengatakannya di Potterwatch...”
“Di apa?” tanya Harry
“Potterwatch, bukankah sudah kubilang kalau itu namanya? Program yang selalu aku cari
di radio, yang memberikan informasi yang benar tentang apa yang terjadi! Hampir semua
program mendukung Kau-Tahu-Siapa, semua kecuali Potterwatch, aku benar-benar ingin
mendengarnya, tapi agak sulit untuk melacaknya…”
Ron menghabiskan sore demi sore menggunakan tongkatnya untuk untuk menghentikan
melodi yang keluar dari atas radio saat tombolnya dia putar. Kadang-kadang mereka
menangkap siaran yang menerangkan saran bagaimana memperlakukan ramuan Naga,
dan sesekali beberapa baris “Sekuali Penuh Cinta Panas dan Pekat” saat dia mencari, Ron
terus mencoba menemukan kata sandi yang benar, membisikan kata-kata secara acak
dalam nafasnya .
“Mereka biasanya ada hubungannya dengan Orde,” dia memberitahu mereka. “Bill dapat
dengan tepat menebak mereka. Aku yakin akan menemukannya pada akhirnya...”
Tapi tak sampai Maret akhirnya keberuntungan menghampiri Ron. Saat itu Harry sedang
duduk di pintu masuk tenda, dalam tugasnya berjaga, memandang dengan malas
seonggok buah yang mirip anggur yang hampir mendekati dinginnya tanah, dan Ron pun
berteriak dengan kegirangan dari dalam tenda.
“Aku menemukannya, Kata sandinya ‘Albus’! Masuklah Harry!”
Untuk pertama kalinya dia bangkit setelah seharian menyendiri mendalami Deathly
Hallows, Harry buru-buru masuk kedalam tenda dan menemui Ron dan Hermione yang
berlutut di lantai dekat sebuah radio kecil. Hermione, yang baru saja membersihkan
pedang Gryffindor karena tak ada kerjaan, duduk ternganga, memandang speaker kecil,
dimana sebuah suara yang tak asing berbicara.
“...Maafkan kami yang harus sementara absen di udara, karena di wilayah kita sibuk
menghadapi para Pelahap Maut yang menawan.”
“Tapi itu kan Lee Jordan!” ucap Hermione.
“Aku tahu,” jawab Ron. “Keren kan?”
“…kini kita kita telah menemukan tempat lain yang aman,” kemudian Lee melanjutkan,
“dan dengan bangga aku beritahukan pada anda kalau dua kontributor kita telah
bergabung denganku sore ini, Selamat sore, Kawan!”
”Hai.”
“Selamat sore, River.”
“’River’,” “itu Lee,” terang Ron. “Mereka mempunyai nama samaran, tapi kau biasanya
dapat membe…”
“Ssst,” potong Hermione.
“Tapi sebelum kita mendengarkan Royal dan Romulus,” Lee melanjutkan, “mari kita
dengar laporan siapa saja yang telah meninggal yang oleh Wizarding Wireless Network
News dan Daily Prophet dirasa tidak terlalu penting untuk disebutkan. Dengan sangat
menyesal kita sampaikan kepada para pendengar mengenai meninggalnya Ted Tonks dan
Dirk Cresswell.”
Harry terkejut dan merasakan perutnya seperti dililit. Dia, Ron dan Hermione saling
memandang dengan ngeri.
“Goblin dengan nama Gornuk juga telah terbunuh. Kelahiran-Muggle Dean Thomas dan
goblin kedua, yang dipercaya telah bepergian dengan Tonks, Creswell dan Gornuk,
mungkin masih selamat. Bila Dean mendengarkan, atau bila anda mengetahui dimana
posisinya, orang tua dan saudara perempuannya sangat mengharapkan berita darinya.
“Sementara itu, di Gaddley, satu keluarga Muggle yang terdiri atas lima orang ditemukan
mati dalam rumahnya. pihak muggle mencurigai adanya kebocoran gas, tapi para anggota
Orde Phoenix menginformasikan bahwa itu adalah Mantra Pembunuh-- bukti tambahan,
bila dibutuhkan, tentang kenyataan bahwa pembantaian muggle tidak lebih telah
dijadikan sebagai olahraga penghibur dibawah rezim baru.”
“Terakhir, dengan sangat menyesal kami beritakan pada para pendengar bahwa sisa-sisa
tubuh dari Bathilda Bagshot telah ditemukan di Godric Hallow. Bukti menunjukkan
bahwa dia telah mati beberapa bulan lalu. Dan informasi dari Orde Phoenix
mengungkapkan bahwa ditubuhnya terdapat luka-luka yang diakibatkan oleh sihir
hitam.”
“Para pendengar, kami ingin mengajak anda semua untuk bersama-sama kami dalam satu
menit mengheningkan cipta untuk mereka: Ted Tonks, Dick Creswell, Bathilda Bagshot,
Gornuk dan yang tak dapat disebut, juga simpati yang sama bagi para Muggle yang
dibunuh oleh Pelahap Maut.”
Kesunyian pun datang, Harry, Ron dan Hermione pun terdiam. Separuh dari diri Harry
sangat ingin mendengar lebih banyak, tapi separuhnya lagi sangat takut dengan apa yang
akan terjadi berikutnya. Ini adalah pertama kalinya dia merasa sepenuhnya terhubung
dengan dunia luar setelah sekian lama.
“Terimakasih,” ucap Lee, “dan kini kita bisa kembali ke kontributor kita Royal, untuk
berita terbaru mengenai bagaimana pengaruh tatanan dunia sihir baru terhadap dunia
Muggle”
“Terimakasih River,” terdengar suara yang jelas, dalam, teratur, mengayomi.
“Kingsley!” ucap Ron semangat.
“Kami Tahu,” ucap Hermione mendiamkannya.
“Para Muggle masih belum mengetahui sebab penderitaan yang membuat mereka terusmenerus
menjadi korban,” ucap Kingsley, “bagaimanapun juga, kita masih terus
mendengar cerita-cerita yang penuh inspirasi tentang penyihir yang mau mengorbankan
keselamatan dirinya demi melindungi teman-teman dan tetangga Muggle, tanpa
sepengetahuan Muggle tersebut. Aku ingin mengajak kepada semua pendengar untuk
mencontoh mereka, mungkin dengan memberikan mantra pelindung di sekitar tempat
tinggal Muggle di daerah anda. Banyak nyawa yang bisa diselamatkan bila hal-hal
sederhana biarpun kecil, bisa kita lakukan”.
“Dan apa yang ingin kau sampaikan, Royal, kepada para pendengar yang berpendapat
bahwa di saat-saat berbahaya ini, seharusnya ‘penyihir duluan’ menjadi prioritas?” tanya
Lee.
“Menurutku ini hanya langkah pendek dari ‘Penyihir duluan’ ke ‘Darah Murni duluan’
dan kemudian menjadi ‘Pelahap Maut’” jawab kingsley, “kita semua manusia kan? Setiap
kehidupan punya hak sama, dan berhak untuk diselamatkan”.
“Jawaban yang sempurna, Royal, dan kau mendapatkan suaraku untuk menjadi Menteri
Sihir bila nanti kita berhasil keluar dari kemelut ini,” ucap Lee lagi, “dan kini, kita beralih
ke Romulus yang kita ketahui sebagai ‘Teman Dekat Potter’.”
“Terimakasih River, sahut suara lain yang juga tak asing. Ron mulai berbicara lagi, tapi
Hermione mencegahnya dengan bisikan.
“Kita tahu itu Lupin.”
“Romulus, apakah kau tetap berkeras, dalam setiap kehadiranmu di program kami kau
selalu yakin kalau Harry Potter masih hidup?”
“Ya,” ucap Lupin tegas, “tiada keraguan sedikitpun, menurut saya kematiannya akan
disebarkan seluas mungkin oleh Pelahap Maut, bila itu terjadi, karena hal ini dapat
mejatuhkan moral orang-orang yang menentang rezim baru. ‘Anak yang Bertahan Hidup’
adalah sebuah simbol dari semua perlawanan kami: kemenangan bagi kebaikan, kekuatan
bagi yang tak bersalah, pentingnya untuk tetap melawan.”
Campuran dari ucapan terimakasih dan malu berseteru dalam diri Harry, apakah Lupin
telah memaafkannya atas semua kekasaran kata-katanya saat terakhir dia bertemu
dengannya?
“Dan apakah yang ingin anda katakan pada Harry siapa tahu dia sedang mendengarkan,
Romulus?”
“Aku ingin mengatakan bahwa semangat kami selalu bersamanya,” ucap Lupin, lalu
dengan sedikit ragu mengucapkan, “dan aku ingin menyarankannya untuk mengikuti
instingnya, yang tepat dan hampir selalu benar!”
Harry memandang Hermione, yang matanya dipenuhi airmata.
“Hampir selalu benar,” Hermione mengulangi,
“Oh, bukankah sudah kuberi tahu?” ucap Ron dengan nada terkejut, “Bill memberi
tahuku bahwa Lupin tinggal dengan Tonks lagi! Dan tampaknya Tonks kini terlihat
bertambah besar…!”
“…dan adakah berita terbaru dari teman-teman Harry Potter yang sedang menderita demi
kesetiaannya?” Lee pun melanjutkan.
“Baiklah, seperti biasa para pendengar, beberapa lagi yang secara jelas mendukung Harry
Potter sekarang telah ditawan, termasuk Xenophilius Lovegood, si mantan editor The
Quibler,” terang Lupin.
“Setidaknya dia masih hidup!” bisik Ron.
“Kita juga mendengar bahwa beberapa jam lalu Rubeus Hagrid” --ketiganya menahan
nafas, dan hampir saja kehilangan potongan kalimat terakhir-- “dikenal sebagai penjaga
di Sekolah Hogwarts, telah lolos dari penangkapan di lantai dasar Hogwarts, dia telah
digosipkan mengadakan pesta ‘Dukung Harry Potter’ di rumahnya. Untungnya Hagrid
tidak ditahan, dan sedang -kami yakin- dalam pelarian.”
“Kukira akan sangat membantu, saat kau melarikan diri dari Pelahap Maut, bila kau
memiliki saudara laki-laki setinggi enam belas kaki?” tanya Lee.
“Bisa menjadi senjata,” Lupin menyetujui dengan parau, “kalau boleh aku ingin
menambahkan bahwa saat kita disini di Potterwatch bertepuk tangan atas semangat
Hagrid, kami ingin menyerukan bahkan kepada pendukung terdekat Harry untuk tidak
mengikuti cara Hagrid. Pesta ‘Dukung Harry Potter’ adalah sesuatu yang tak bijaksana
pada keadaan seperti saat ini.”
“Benar sekali, Romulus,” ucap Lee, “jadi kami menyarankan agar anda terus
menunjukkan kesetiaan anda kepada orang yang mempunyai bekas luka berbentuk petir
dengan mendengarkan Potterwatch! Dan kini mari kita mendengarkan berita tentang
penyihir yang telah terbukti selicin Harry Potter. Kami ingin menanyakan tentang
Pemimpin Pelahap Maut, dan disini telah hadir diantara kita narasumber yang akan
memberikan pandangan tentang beberapa gosip gila yang beredar mengenai dirinya.
Kami perkenalkan narasumber baru kita, Rodent?”
“Rodent” ucap suara yang tak asing lain, Harry, Ron dan Hermione berteriak bersamasama.
“Fred!”
“Bukan…apakah dia George?”
“Itu Fred, kukira,” ucap Ron, mencondongkan tubuhnya mendekat, mendengarkan
apapun yang si kembar katakana.
“Aku tak mau menjadi Rodent, tak mau. Aku telah memberi tahumu kalau aku ingin
menjadi ‘Rapier’!”
“Oh baiklah, Rapier, dapatkah kau menceritakan pada kami berbagai cerita yang telah
kau dengar mengenai Pemimpin Pelahap Maut ini?”
“Tentu saja River,” ucap Fred, “sebagaimana yang diketahui para pendengar -kecuali
mereka berlindung di bawah kolam di taman atau ditempat yang sejenisnya- strategi Kau-
Tahu-Siapa yang tetap menjadi bayangan membuat keadaan menjadi panik.
Perhatikanlah, bila semua berita mengenai penampakannya adalah asli, kita akan
menemukan 19 sosok Kau-Tahu-Siapa berlarian di sekeliling kita”
“Yang memang cocok baginya, tentunya,” ucap Kingsley, “hawa misterius menciptakan
teror yang lebih besar dari pada langsung menampakkan dirinya.”
“Setuju,” lanjut Fred, “jadi, pendengar, marilah kita berusaha tenang sedikit. Segalanya
sudah cukup parah tanpa kepanikan anda. Satu contoh, ide baru Kau-Tahu-Siapa ini dapat
membunuh seseorang hanya dengan lirikan matanya saja. Itu adalah Basilisk, pendengar.
Satu tes sederhana: pastikan apakah sesuatu yang bercahaya mengarah padamu memiliki
kaki. Bila punya, cukup aman untuk menatap matanya, walaupun itu benar-benar Kau-
Tahu-Siapa, yang mungkin saja itu hal yang terakhir bisa kau lakukan.”
Untuk pertama kalinya dalam berminggu-minggu, Harry tertawa lepas: dia dapat
merasakan beban berat meninggalkannya.
“Dan bagaimana dengan gosip yang telah menyebar tentang sering terlihatnya dia?”
“Yah, siapa yang tak menginginkan sedikit liburan yang menyenangkan setelah kerja
keras yang di lakukan?”
Tanya Fred. “Maksudnya adalah, jangan terlalu membesarkan rasa aman yang palsu,
memikirkan dia sedang pergi keluar negeri. Mungkin ya, mungkin tidak, tapi
kenyataannya dia bisa bergerak lebih cepat daripada Severus Snape yang berhadapan
dengan sampo saat dia mau, jadi jangan terlalu mengandalkan cerita dia sedang berada
jauh bila kau akan mengambil resiko. Aku tak pernah mengira aku akan mendengar
diriku sendiri mengatakannya, tapi Keselamatan adalah yang utama!”
“Terimakasih untuk saran-saran yang bijak, Rapier,” ucap Lee. “Pendengar, Rapier telah
mengakhiri perjumpaan kita di Potterwatch kali ini. Kami belum tahu waktu yang
memungkinkan bagi kami untuk siaran lagi, tapi percayalahlah kami akan kembali.
Tetaplah pada saluran anda: kata sandi berikutnya adalah ‘Mad-Eye’, salinglah menjaga
keselamatan bersama, tetap semangat, selamat malam.”
Tombol di radio itu berputar dan cahaya dibalik panel tuning padam. Harry, Ron dan
Hermione masih tersenyum-senyum. Mendengar suara yang tak asing dan bersahabat
adalah obat kuat yang luar biasa; Harry menjadi sudah tebiasa dengan keterisolasiannya
dan dia hampir lupa bahwa masih ada orang lain yang melawan Voldemort. Baginya ini
semua bagaikan terbangun dari tidur yang panjang.
“Bagus kan?” Ucap Ron bahagia.
“Brilian,” sambut Harry.
“Mereka sangat berani” ucap Hermione memuji, “tapi kalau mereka ditemukan…”
“Mereka tetap bergerak kan?” ucap Ron. “Seperti kita.”
“Tapi apakah kau dengar apa yang Fred katakan?” Harry bertanya dengan bergairah: kini
siaran itu telah usai, pikirannya kembali lagi pada obsesinya semula. “Dia sedang pergi!
Dia masih mencari tongkat sihir itu, aku tahu!”
“Harry...”
“Ayolah Hermione, kenapa kau tak mau mengakuinya! Vol--”
“HARRY, TIDAK!”
“--demort tengah mencari Tongkat Elder.”
“Nama itu tabu,” Ron berbisik, melompat ketika mendengar suara berderik dari sesuatu
yang patah diluar tenda. “Sudah kubilang, Harry, sudah kubilang kita tak boleh
mengucapkan namanya lagi-- kita harus membuat perlindungan lagi disekitar kita—
cepat-- itu adalah cara mereka menemukan--!”
Tapi Ron berhenti bicara dan Harry mengetahui apa sebabnya. Teropong Pengintai telah
menyala dan mulai berputar diatas meja; mereka mendengar suara-suara yang semakin
dekat: kasar dan bersemangat, Ron menarik Deluminator dari sakunya dan mengkliknya,
lampu di tenda mati semua.
“Keluarlah dari sana dan angkat tanganmu!” terdengar suara parau dari kegelapan. “Kami
tahu kau ada didalam! Ada setengah lusin tongkat sihir mengarah kepadamu dan kami tak
peduli siapa yang akan kami kutuk!”
_____________________________________________________
* Pengertian sementara dari Elder Wand, mengacu pada chapter 21, yang menyatakan
tongkat itu dibuat dari elder tree
# Resurrection Stone
** Nature’s Nobility: A Wizarding Genealogy
CHAPTER 23
Malfoy's Manor
Kediaman Keluarga Malfoy
Harry melihat sekeliling pada dua orang lainnya, sekarang semuanya diliputi kegelapan.
Dia melihat Hermione mengacungkan tongkatnya, ke arah luar, tetapi malah mengarah ke
wajahnya; terdengar suara keras, kilatan cahaya putih, dan dia menunduk kesakitan, tak
bisa melihat. Dia bisa merasakan wajahnya membengkak dengan cepat dibalik
tangannya saat langkah-langkah berat mengelilinginya.
"Bangun, orang hina."
Tangan tak dikenal menarik Harry kasar dari lantai, sebelum dia bisa menghentikan
mereka, seseorang menggeledah sakunya dan mengeluarkan tongkat blackthorn. Harry
mencengkeram wajahnya yang luar biasa sakitnya, yang terasa tak dikenali di dalam jarijarinya,
ketat, bengkak dan gembung seolah dia menderita reaksi alergi hebat. Matanya
menyempit hingga tinggal celah dan sulit untuk melihat; kacamatanya jatuh saat dia
keluar dari tenda: semua yang bisa terlihat hanyalah bentuk kabur dari empat atau lima
orang bergulat dengan Ron dan Hermione di luar.
"Minggir—dari—dia!" Ron berteriak. Terdengar suara yang tidak diragukan lagi adalah
suara buku-buku jari menghantam daging: Ron menggerung kesakitan dan Hermione
berteriak, "Jangan! Tinggalkan dia sendiri, tinggalkan dia sendiri!"
"Pacarmu akan jadi lebih buruk dari ini kalau dia ada di daftarku," kata sebuah suara
parau mengerikan yang terdengar familiar. "Gadis yang lezat… traktiran bagus… Aku
akan menikmati kelembutan kulitnya…"
Perut Harry jungkir balik. Dia tahu siapa ini, Fenrir Greyback, manusia serigala yang
diizinkan memakai jubah Pelahap Maut sebagai bayaran atas keikutsertaannya.
"Cari ke seluruh tenda!" ujar suara yang lain.
Harry dilempar ke tanah dengan muka lebih dulu. Suara gedebuk memberitahunya
bahwa Ron telah dilumpuhkan di sebelahnya. Mereka bisa mendengar suara langkah
kaki dan suara benda bertabrakan; orang-orang itu menyingkirkan kursi-kursi di dalam
tenda saat mereka mencari.
"Sekarang, mari kita lihat siapa yang kita dapat," kata suata tamak Grayback dari atas
kepala mereka, dan Harry diputar punggungnya. Sorotan sinar dari tongkat menyinari
wajahnya dan Greyback tertawa.
"Aku bakal perlu butterbeer untuk mencuci ini. Apa yang terjadi padamu, jelek?"
Harry tidak segera menjawabnya.
"Kubilang," ulang Greyback, dan Harry menerima pukulan di perutnya yang membuat
rasa sakitnya berlipat ganda. "Apa yang terjadi padamu?"
"Disengat," Harry bergumam. "Tadi tersengat."
"Yeah, sepertinya sih," kata suara kedua.
"Siapa namamu?" gertak Greyback.
"Dudley," jawab Harry.
"Dan nama depanmu?"
"Aku—Vernon. Vernon Dudley."
"Cek daftarnya, Scabior," kata Greyback, dan Harry mendengar dia malahan bergerak ke
samping melihat Ron. "Dan kau, jahe?"
"Stan Shunpike," kata Ron.
"Jangan bohong," kata pria yang dipanggil Scabior. "Kami tahu Stan Shunpike, dia
bergabung dengan kami."
Terdengar suara pukulan lagi.
"Agu Bardy," jawab Ron, dan Harry bisa bilang mulutnya penuh dengan darah.
"Bardy Weasley."
"Seorang Weasley?" teriak Greyback kasar. "Jadi kau berhubungan dengan darah
pengkhianat meski kau bukan Darah-Lumpur. Dan terakhir, temanmu yang cantik..."
nafsu makan dalam suaranya membuat Harry merinding.
"Tenang, Greyback," kata Scabior ditimpali ejekan yang lain.
"Oh, aku tak akan mengigitnya dulu. Kita lihat apakah dia lebih cepat mengingat
namanya daripada Barny. Siapa namamu, cewek?"
"Penelope Clearwater," jawab Hermione. Suaranya terdengar ketakutan, tetapi
meyakinkan.
"Apa status darahmu?"
"Darah-campuran," kata Hermione.
"Cukup mudah untuk dicek," kata Scabior. "Tapi mereka semua kelihatannya masih
dalam usia 'ogwarts—"
"Kabi keluar," kata Ron.
"Keluar, kau bilang, jahe?" kata Scabior. "Dan kalian memutuskan untuk kemping? Dan
kau pikir, 'anya untuk tertawaan, kau mengucapkan nama Pangeran Kegelapan?"
"Bugan derdawaan," kata Ron. "Gecelagaan."
"Kecelakaan?" lebih banya ejekan lain yang terdengar.
"Kau tahu, siapa yang sering mengucapkan nama Pangeran Kegelapan, Weasley?" geram
Greyback, "Orde Phoenix. Apa itu berarti sesuatu buatmu?"
"Didak."
"Mereka tidak menunjukkan penghormatan yang seharusnya pada Pangeran Kegelapan,
jadi namanya dilarang. Beberapa anggota Orde dilacak dengan cara begitu. Kita lihat
nanti. Ikat mereka dengan dua tawanan lain!"
Seseorang merenggut rambut Harry, menyeretnya sebentar, mendorongnya ke posisi
duduk, kemudian mulai mengikatnya dengan punggung berhadap-hadapan dengan
tawanan lain. Harry masih setengah buta, hanya bisa melihat sedikit melalui matanya
yang bengkak. Saat akhirnya orang yang mengikat mereka menjauh, Harry berbisik pada
tawanan lainnya.
"Ada yang masih punya tongkat?"
"Tidak," jawab Ron dan Hermione dari kedua sisinya.
"Ini semua salahku. Aku mengucapkan namanya. Maaf—"
"Harry?"
Terdengar suara baru, tetapi familiar, dan sumbernya dari tepat di belakang Harry, dari
orang yang diikat di sisi kiri Hermione.
"Dean?"
"Itu kau! Kalau mereka tahu siapa yang mereka dapat -! Mereka penjambret, mereka
hanya mencari pembolos untuk dijual demi emas –"
"Tidak buruk untuk malam ini," terdengar Greyback berkata, bersamaan dengan suara
boot berpaku yang terdengar berjalan di dekat Harry dan mereka mendengar lebih banyak
suara benturan dari dalam tenda. "Seorang Darah-Lumpur, Goblin pelarian, dan para
pembolos ini. Sudah kau cek nama mereka di daftar, Scabior?" raungnya.
"Yeah, tak ada Vernon Dudley di sini, Greyback."
"Menarik," kata Greyback. "Itu menarik."
Dia menunduk di sebelah Harry, yang melihat, meski melalui celah kecil yang tertinggal
di atara kelopak matanya yang bengkak, wajah yang ditutupi rambut dan kumis abu-abu
gelap, dengan gigi runcing kecoklatan dan luka di sudut mulutnya. Greyback berbau
seperti waktu di menara saat Dumbledore meninggal: bau lumpur, keringat dan darah.
"Jadi kau tidak diinginkan, kalau begitu, Vernon? Atau kau ada di daftar dalam nama
yang berbeda? Kau di asrama mana di Hogwarts?"
"Slytherin," jawab Harry otomatis.
"Lucu bagaimana mereka semua berpikir kita ingin mendengar itu," ejek Scabior dari
balik baying-bayang. "Tapi tak ada satupun dari mereka yang bisa memberitahu kami
dimana ruang rekreasinya."
"Ruang rekreasinya di bawah tanah," kata Harry jelas. "Kau masuk melalui dinding.
Dindingnya penuh tengkorak dan benda lain dan terletak di bawah danau, jadi cahayanya
hijau semua."
Hening sejenak.
"Well, well, sepertinya kita benar-benar menangkap Slytherin kecil," kata Scabior.
"Bagus untukmu, Vernon, karena tak banyak Slytherin berdarah Lumpur. Siapa
Ayahmu?"
"Dia bekerja di Kementrian," Harry berbohong. Dia tahu bahwa seluruh ceritanya akan
runtuh dengan penyelidikan terkecil, tapi di sisi lain, dia hanya punya kesempatan sampai
wajahnya pulih kembali sebelum permainan selesai karena alasan apapun. "Departemen
Bencana dan Kecelakaan Sihir."
"Kau tahu, Greyback," ujar Scabior. "Kurasa ada Dudley di sana."
Harry hampir tak bisa bernapas: Bisakah keberuntungan, keberuntungan tipis,
membebaskan kereka dari situasi ini?
"Well, well," kata Greyback, dan Harry bisa mendengar setitik keraguan di suaranya yang
tanpa belas kasihan, dan tahu kalau Greyback sedang penasaran apakah dia baru saja
menyerang dan menawan anak Pegawai Kementrian. Jantung Harry berdetak kencang
dibalik tali yang melingkari dadanya; dia tak akan terkejut kalau Greyback bisa
melihatnya. "Kalau kau memberitahukan yang sebenarnya, jelek, kau tak perlu takut
kalau kita pergi ke Kementrian. Kuharap ayahmu akan memberi hadiah karena kami
menjemputmu."
"Tapi," kata Harry, mulutnya kering, "kalau kau membiarkan kami—"
"Hei!" Terdengar seruan dari dalam tenda. "Lihat ini, Greyback!"
Sesosok gelap datang tergesa-gesa ke arah mereka, dan Harry melihat kilatan cahaya
perak dari cahaya tongkat mereka. Kereka telah menemukan pedang Gryffindor.
"Sa-a-ngat bagus," ujar Greyback senang, mengambil pedang itu dari rekannya. "Oh,
benar-benar bagus. Buatan-goblin, sepertinya, ini. Dari mana kau dapat benda seperti
ini?"
"Itu punya Ayahku," Harry berbohong, berharap pada harapan bahwa sekarang terlalu
gelap bagi Greyback untuk melihat nama yang dipahat tepat di bawah pangkalnya.
"Kami meminjamnya untuk memotong kayu bakar –"
"Tunggu sebentar, Greyback! Lihat ini, di Prophet!"
Saat Scabior berbicara, bekas luka Harry, yang tertarik kencang sepanjang dahinya yang
bengkak, terbakar hebat. Lebih jelas daripada yang bisa dia lihat di sekelilingnya, dia
melihat sebuah bangunan yang menjulang tinggi, sebuah benteng suram, berwarna hitam
pekat dan terlarang: pikiran Voldemort tiba-tiba menjadi setajam pisau cukur lagi; dia
meluncur menuju bangunan raksasa itu dengan perasaan tenang tapi bertujuan...
Sangat dekat... sangat dekat...
Dengan usaha dan hasrat yang sangat besar Harry menutup pikirannya dari pikiran
Voldemort, menarik dirinya sendiri kembali ke tempat dia duduk, terikat ke Ron,
Hermione, Dean, dan Griphook di kegelapan, mendengarkan Greyback dan Scabior.
"'Hermione Granger," kata Scabior, "Darah Lumpur yang diketahui bepergian dengan
'arry Potter."
Bekas luka Harry terbakar dalam diam, tapi dia berupaya sekuat mungkin untuk membuat
dirinya tetap sadar, tidak juga untuk menyelinap ke pikiran Voldemort. Dia mendengar
bunyi derap sepatu bot Greyback saat dia menunduk di depan Hermione.
"Kau tahu, cewek? Fotonya benar-benar mirip denganmu."
"Bukan! Itu bukan aku!"
Cicit ketakutan Hermione sudah seperti sebuah pengakuan.
"...diketahui bepergian dengan Harry Potter," ulang Greyback pelan.
Keheningan terbentuk menutupi tempat itu. Bekas luka Harry benar-benar menyakitkan,
tapi dia berusaha dengan seluruh kekuatannya melawan tarikan pikiran Voldemort.
Sebelumnya tak pernah sepenting ini untuk tetap berada pada pikirannya sendiri.
"Well, ini mengubah semuanya, kan?" bisik Greyback. Tak ada yang berbicara: Harry
merasakan gerombolan Penjambret menonton, membeku, dan merasakan lengan
Hermione gemetaran di dekatnya. Greyback berdiri dan mengambil beberapa langkah ke
tempat Harry duduk, membungkuk lagi untuk menatap sosoknya yang tak berbentuk.
"Apa itu di dahimu, Vernon?" tanyanya lembut, napasnya terasa di cuping hidung Harry
saat dia menekankan jarinya yang kotor ke bekas luka Harry.
"Jangan sentuh!" Harry berteriak; dia tak bisa menghentikan dirinya sendiri, dia merasa
dia akan muntah gara-gara rasa sakitnya.
"Kupikir kau memakai kacamata, Potter?" dengus Greyback.
"Aku nemu kacamata!" salak salah satu dari Penjambret yang menyelinap di belakang.
"Ada kacamata di tenda, Greyback, tunggu –"
Dan sedetik kemudian kacamata Harry dipasangkan lagi ke wajahnya. Para Penjambret
mendekat sekarang, melihatnya.
"Ini dia!" teriak Greyback dengan suara paraunya. "Kita menangkap Potter!"
Mereka semua mundur beberapa langkah, terpaku pada apa yang telah mereka lakukan.
Harry, masih berjuang untuk tetap sada di pikirannya sendiri yang sedang terbagi, tak
bisa memikirkan apapun untuk dikatakan. Penggalan penglihatan memecah di
permukaan pikirannya –
--Dia bersembunyi di sekitar dinding tinggi benteng hitam itu—
Tidak, dia Harry, terikat dan tanpa tongkat, sedang dalam bahaya besar –
--melihat, ke jendela paling atas, ke menara paling tinggi—
Dia Harry, dan mereka sedang mendiskusikan nasibnya dalam suara rendah—
--Waktunya untuk terbang...
"...ke Kementrian?"
"Masa bodoh dengan Kementrian," geram Greyback. "Mereka yang akan dapat
penghargaan, kita tak akan dipandang. Kubilang kita bawa dia langsung ke Kau-Tahu-
Siapa."
"Kau mau panggil dia? Di sini?" kata Scabior, terdengar kagum sekaligus ketakutan.
"Tidak," geram Greyback, "Aku belum –mereka bilang dia menggunakan tempat Malfoy
sebagai markas. Kita bawa bocah ini ke sana."
Harry pikir dia tahu kenapa Greyback tidak memanggil Voldemort. Para manusia
serigala mungkin diizinkan memakai jubah Pelahap Maut saat mereka ingin memakainya,
tapi hanya orang-orang dalam Voldemort yang ditandai dengan Tanda Kegelapan:
Greyback belum diberkahi kehormatan itu.
Bekas luka Harry terbakar lagi –
- dan dia naik ke kegelapan malam, terbang lurus ke jendela di menara paling tinggi –
"…benar-benar yakin itu dia? Soalnya kalau bukan, Greyback, kita bakal mati."
"Siapa yang memimpin di sini?" raung Greyback, menutupi saat-saat
ketidakmampuannya. "Kubilang kalau itu Potter, dan dia dengan tongkatnya, dua ribu
Galleon tepat di sana! Tapi kalau kalian terlalu pengecut untuk ikut, siapapun, semuanya
untukku, dan kalau beruntung, akan kupastikan gadis itu dilempar!"
- Jendelanya seperti celah sempit di batu hitam, tidak cukup besar untuk orang
masuk…sosok sekurus tengkorak terlihat melalui jendela, meringkuk di bawah
selimut…Mati, atau tidur?
"Baiklah!" kata Scabior. "Oke, kami ikut! Dan bagaimana dengan sisanya, Greyback,
apa yang akan kita lakukan dengan mereka?"
"Mungkin lebih baik kita bawa juga. Kita dapat dua Darah Lumpur, dapat sepuluh
Galleon. Berikan pedangnya padaku. Kalau itu rubi, kita dapat keberuntungan kecil
lagi."
Para tahanan ditarik berdiri. Harry bisa mendengar napas Hermione, cepat dan
ketakutan.
"Ambil mereka dan pegang yang kuat. Aku ambil Potter!" kata Greyback, meraih
segenggam rambut Harry; Harry bisa merasakan kuku kuningnya yang panjang
menggaruk kulit kepalanya. "Hitungan ketiga! Satu – dua –tiga –"
Mereka ber-Disapparate, menarik para tahanan bersama mereka. Harry berjuang,
berusaha melepaskan tangan Greyback, tapi sia-sia: Ron dan Hermione ditekan kuat ke
arahnya dari sisi yang lain; dia tidak bisa memisahkan diri dari grup, dan saat dia
bernapas bekas lukanya terbakar lebih sakit –
– saat dia mendorong dirinya sendiri melalui celah kecil jendela seperti ular dan
mendarat, dengan ringan seperti uap di dalam ruangan yang seperti kamar –
Para tahanan bertubrukan satu sama lain saat mereka mendarat di sebuah pedesaan. Mata
Harry, masih bengkak, membutuhkan waktu untuk terbiasa, kemudian melihat sepasang
gerbang dari besi tempa di ujung apa yang terlihat seperti jalan panjang. Dia sudah
berpengalaman untuk mempercayai nasib baik terkecil sekalipun. Yang terburuk belum
terjadi: Voldemort tidak ada di sini. Dia, Harry tahu, karena dia sedang bertarung untuk
melawan penglihatan itu, ada di suatu tempat asing, seperti benteng, di puncak menara.
Berapa lama waktu yang dibutuhkan Voldemort untuk sampai ke sini, saat dia tahu harry
ada di sini, itu masalah lain...
Salah satu penjambret itu berjalan menuju gerbang dan mengguncangnya.
"Bagaimana kita masuk? Pintunya dikunci, Greyback, aku tak bisa –blimey!"
Dia menyentakkan tangannya dengan ketakutan. Besinya menyeringai, membelit sendiri
dari bentuk gulungan dan lilitan abstrak menjadi sebentuk wajah menakutkan, yang
berbicara dalam suara berdentang dan bergema. "Nyatakan tujuanmu!"
"Kami dapat Potter!" Greyback meraung senang. "Kami menangkap Harry Potter!"
Gerbangnya terbuka.
"Ayo!" kata Greyback pada orang-orangnya, dan para tahanan diseret melewati gerbang
ke arah jalan, diantara pagar tanaman tinggi yang meredam langkah mereka. Harry
melihat sosok putih bagai hantu di atasnya, dan menyadari itu adalah merak albino. Dia
tersandung dan diseret oleh Greyback; sekarang dia berjalan terhuyung-huyung
sepanjang tepi jalan, terikat dengan punggung saling berhadapan dengan tahanan
lainnya. Menutup matanya yang bengkak, dia mengizinkan rasa sakit di bekas lukanya
menguasai dia sesaat, ingin tahu apa yang sedang Voldemort lakukan, apakah dia sudah
tahu kalau Harry tertangkap...
Sosok kurus itu bergerak di bawah selimut tipisnya dan berguling ke arahnya, matanya
tebuka di wajah yang seperti tengkorak... Pria lemah itu berdiri, matanya yang amat
cekung menatap pasti ke arahnya, ke arah Voldemort, dan kemudian dia tersenyum.
Sebagian besar giginya sudah hilang...
"Jadi, kau sudah datang. Kukira kau akan... suatu hari. Tapi perjalananmu sia-sia. Aku
tak pernah memilikinya."
"Kau bohong!"
Saat kemarahan Voldemort berdenyut dalam dirinya, bekas luka Harry seakan-akan mau
pecah saking sakitnya, dan dia merenggut pikirannya kembali ke tubuhnya sendiri,
bertarung untuk tetap sadar saat para tahanan didorong ke atas batu kerikil.
Cahaya menerangi mereka semua.
"Apa ini?" ujar sebuah suara dingin wanita.
"Kami di sini untuk bertemu Dia-Yang-Namanya-Tak-Boleh-Disebut!" teriak Greyback
parau.
"Siapa kau?"
"Kau kenal aku!" terdengar kejengkelan dalam suara mausia serigalanya. "Fenrir
Greyback! Kami menangkap Harry Potter!"
Greyback menangkap Harry dan menyeretnya agar menghadap cahaya, memaksa tahanan
lain ikut terseret juga.
"Aku ta'u dia bengkak, Ma'am, tapi ini dia!" teriak Scabior. "Kalau Anda melihat lebih
dekat, Anda bisa lihat bekas lukanya. Dan ini, lihat perempuan ini? Darah Lumpur yang
diketahui bepergian dengan Harry Potter, Ma'am. Tidak ragu lagi, ini dia, dan kita dapat
tongkatnya juga! Ini, Ma'am –"
Melalui kelopak matanya yang bengkak Harry melihat Narcissa Malfoy meneliti dengan
cermat. Scabior menyodorkan tongkat blackthorn padanya. Dia menaikkan alisnya.
"Bawa mereka masuk," katanya.
Harry dan yang lain didorong dan ditendang menaiki tangga batu lebar memasuki aula
yang dindingnya penuh lukisan.
"Ikuti aku,"kata Narcissa, memimpin jalan melewati aula. "Anakku, Draco, ada di rumah
untuk liburan Paskah. Kalau itu Harry Potter, dia akan tahu."
Ruang tamu terlihat menyilaukan setelah kegelapan di luar; bahkan dengan matanya yang
hampir tertutup Harry bisa melihat ruangan dengan cukup jelas. Sebuah tempat lilin dari
kristal tergantung di langit-langit, dan lebih banyak lagi lukisan tergantung di dinding
berwarna ungu gelap. Dua sosok bangkit dari kursi di depan perapian marmer penuh
hiasan dan ornamen saat para tahanan didorong ke ruangan oleh para Penjambret.
"Apa ini?"
Sebuah suara yang sangat dikenal Harry, suara Lucius Malfoy yang terdengar dipanjangpanjangkan
terdengar di telinga Harry. Dia panik sekarang. Dia bisa melihat tak ada
jalan keluar, dan lebih mudah, saat ketakutannya meluap, untuk menutup pikiran
Voldemort, meski bekas lukanya masih terasa terbakar.
"Mereka bilang mereka mendapat Potter," ujar suara dingin Narcissa. "Draco, kemari."
Harry tidak berani menatap langsung Draco, tapi melihatnya sekilas; sosok langsing yang
lebih tinggi dari sebelumnya, bangun dari kursi berlengan, wajahnya pucat dan
tersamarkan dibawah rambut pirang keperakannya.
Greyback mendorong para tahanan untuk berbalik lagi agar Harry berada tepat dibawah
tempat lilin.
"Well, nak?" kata si manusia serigala parau.
Harry menghadap ke sebuah cermin di seberang perapian, benda berkilau besar dengan
bingkai berbelit rumit. Melalui celah di matanya dia melihat bayangan dirinya sendiri
untuk pertama kalinya sejak meninggalkan Grimmauld Place.
Wajahnya besar, bersinar, dan kemerahan, setiap bagiannya berubah gara-gara mantera
Hermione. Rambut hitamnya mencapai bahu dan ada bayangan gelap di bawah
rahangnya. Kalau saja dia tidak tahu siapa yang berdiri di sana, dia akan heran siapa
yang memakai kacamatanya. Dia memutuskan untuk tidak berbicara, dia yakin suaranya
akan dikenali; meski dia masih menghindari kontak mata dengan Draco saat dia tiba.
"Well, Draco?" kata Lucius Malfoy. Dia terdengar sangat tertarik. "Apa itu dia? Apa itu
Harry Potter?"
"Aku tidak –Aku tidak yakin," kata Draco. Dia menjaga jarak dengan Greyback dan
terlihat sama takutnya seperti Harry takut melihatnya.
"Tapi lihat baik-baik, lihat! Ayo mendekat!"
Harry tidak pernah mendengar Lucius setertarik ini.
"Draco, kalau kita orang yang menyerahkan Harry Potter pada Pangeran Kegelapan,
semua akan dimaaf—"
"Sekarang, kita tak akan lupa siapa yang sebenarnya menangkap dia, Mr. Malfoy?" kata
Greyback mengancam.
"Tentu tidak, tentu tidak!" kata Lucius tidak sabar. Dia mendekati Harry, sangat dekat
sehingga Harry bisa melihat wajah bertampang lesu, pucat dengan detail yang tajam
meski melalui matanya yang bengkak. Dengan wajah bengkaknya yang seperti topeng,
Harry merasa seperti dia mengintip lewat jeruji sel.
"Apa yang kau lakukan padanya?" Lucius bertanya pada Greyback. "Bagaimana dia bisa
jadi begitu?"
"Bukan kami."
"Kelihatannya seperti Kutukan Sengat bagiku," kata Lucius.
Mata abu-abunya menusuri kening Harry.
"Ada sesuatu di sana," bisiknya. "Bisa jadi bekas luka, tertarik ketat... Draco, kemari,
lihat baik-baik! Bagaimana menurutmu?"
Harry melihat wajah Draco terangkat dekat sekarang, tepat disamping ayahnya. Mereka
benar-benar mirip, kecuali sementara ayahnya memandang Harry dengan ketertarikan,
ekspresi Draco terlihat sangat enggan, bahkan seperti takut.
"Aku tidak tahu," katanya, dan dia berjalan menjauh menuju perapian dimana Ibunya
berdiri memperhatikan.
"Sebaiknya kita yakin, Lucius," Narcissa memanggil suaminya dalam suaranya yang
dingin dan jelas. "Benar-benar yakin bahwa itu Potter, sebelum kita memanggil
Pangeran Kegelapan... Mereka bilang ini miliknya" –dia meneliti tongkat blackthorn itu–
"tapi ini tidak menyerupai deskripsi Ollivander...Kalau kita salah, kalau kita memanggil
Pangeran Kegelapan kesini tidak untuk apapun... Ingat apa yang dia lakukan pada Rowle
dan Dolohov?"
"Bagaimana dengan Darah Lumpurnya, kalau begitu?" geram Greyback. Harry hampir
terlempar saat para Penjambret mendorong para tahanan lagi, sehingga cahaya menerangi
Hermione sekarang.
"Tunggu," kata Narcissa tajam. "Ya – ya, dia ada di Madam Malkin's dengan Potter!
Aku melihat fotonya di Prophet! Lihat, Draco, bukankah ini si Granger itu?"
"Aku...mungkin...yeah."
"Dan lagi, itu si Weasley!" teriak Lucius, meluncur mengelilingi tahanan yang diikat
untuk menghadap Ron. "Itu mereka, teman-teman Potter –Draco, lihat dia, bukankah itu
anak Arthur Weasley, siapa namanya –?"
"Yeah," ujar Draco lagi, punggungnya menghadap para tahanan. "Bisa jadi."
Pintu ruang tamu terbuka di belakang Harry. Seorang wanita berkata, dan suaranya
menaikkan rasa takut Harry.
"Apa ini? Apa yang terjadi, Cissy?"
Bellatrix Lestrange berjalan perlahan di sekitar para tahanan, dan berhenti di sebelah
kanan Harry, menatap Hermione melalui matanya yang berpelupuk tebal.
"Tapi tentu saja," katanya pelan, "Ini cewek Darah Lumpur itu? Ini Grander?"
"Ya, ya, ini Granger!" jerit Lucius, "Dan disampingnya, kami kira, Potter! Potter dan
teman-temannya, akhirnya tertangkap!"
"Potter?" Bellatrix tertawa terbahak-bahak, dan dia mundur, agar bisa melihat Harry lebih
jelas.
"Apa kau yakin? Kalau begitu, Pangeran Kegelapan harus diberi tahu segera!"
Dia menarik lengan baju kirinya: Harry melihat Tanda Kegelapan dibakarkan di
lengannya, dan tahu dia akan menyentuhnya, untuk memanggil Master yang dipujanya-
"Aku baru saja mau memanggil dia!" kata Lucius, dan tangannya langsung mendekati
pergelangan tangan Bellatrix, mencegah dia menyentuh Tanda Kegelapan-nya. "Aku
akan memanggilnya, Bella. Potter sudah dibawa ke rumahku, dan dia disini dibawah
kekuasaanku –"
"Kekuasaanmu!" dia menyeringai, dalam usahanya merenggut tangannya dari genggaman
Lucius. "Kau kehilangan kekuasaanmu saat kau kehilangan tongkatmu, Lucius!
Beraninya kau! Lepaskan tanganmu!"
"Tak ada urusannya denganmu, kau tidak menangkap anak itu –"
"Mohon maaf, Mr. Malfoy," sela Greyback. "Tapi kami yang menangkap Potter, dan
kami yang akan mengklaim emasnya –"
"Emas!" Bellatrix tertawa, masih berusaha melepaskan diri dari saudara iparnya,
tangannya yang bebas meraba-raba sakunya mencari tongkatnya. "Ambil emasmu,
pemakan bangkai kotor, apa urusanku dengan emas? Aku hanya mencari penghormatan
darinya – untuk –"
Dia berhenti berontak, matanya yang gelap menatap sesuatu yang Hary tak bisa lihat.
Kegirangan karena Bellatrix menyerah, Lucius melempar tangannya dan menggulung
lengan bajunya sendiri –
"BERHENTI!" jerit Bellatrix, "Jangan sentuh, kita semua akan musnah kalau Pangeran
Kegelapan datang sekarang!"
Lucius membeku, jari telunjuknya melayang di tas Tanda Kegelapan miliknya. Bellatrix
meluncur keluar dari penglihatan Harry yang terbatas.
"Apa itu?" dia mendengar Bellatrix berkata.
"Pedang," geram seorang Penjambret tak-terlihat.
"Berikan padaku."
"Itu bukan milikmu, Nona, ini punyaku, kupikir aku menemukannya."
Terdengar benturan dan kilatan cahaya merah; Harry tahu si Penjambret telah
dipingsankan. Terdengar raungan kemarahan dari kelompoknya: Scabior menarik
tongkatnya.
"Kaupikir apa yang kau lakukan, perempuan?"
"Stupefy!" dia berteriak, "Stupefy!"
Mereka bukan tandingan Bellatrix, meski mereka berempat melawan dia sendiri: Dia
penyihir wanita, setahu Harry, dengan kemampuan luar biasa dan tanpa nurani. Mereka
jatuh di tempat mereka berdiri, semua kecuali Greyback, yang telah didorong ke posisi
berlutut, lengannya tertarik. Diluar sudut matanya Harry melihat Bellatrix mengangkat
manusia serigala itu, pedang Gryffindor tergenggam erat di tangannya, wajahnya
memucat.
"Dari mana kau mendapat pedang ini?" dia berbisik pada Greyback saat dia menarik
tongkat Greyback dari benggaman tangannya yang longgar.
"Beraninya kau?" dia menantang, mulutnya satu-satunya yang bisa dia gerakkan saat dia
didorong untuk memandang Bellatrix. Dia menunjukan gigi-gigi tajamnya. "Bebaskan
aku, perempuan!"
"Dari mana kau mendapat pedang ini?" ulangnya, melambai-lambaikan pedangnya di
wajah Greyback, "Snape mengirim ini ke lemari besiku di Gringotts!"
"Itu dari tenda mereka," kata Greyback. "Bebaskan aku, kataku!"
Dia mengayunkan tongkatnya, dan si manusia serigala meloncat di kakinya, tapi terlihat
terlalu waspada untuk mendekati Bellatrix. Dia bersembunyi di belakang kursi
berlengan, kukunya yang kotor melengkung menggenggam bagian belakangnya.
"Draco, pindahkan sampah itu keluar," kata Bellatrix, menunjuk pria yang tak sadarkan
diri. "Kalau belum punya keberanian untuk menyelesaikan dia, tinggalkan di halaman
untukku."
"Jangan berani-berani bicara pada Draco seperti –" kata Narcissa marah, tapi Bellatrix
berteriak.
"Diam! Situasinya lebih genting dari yang bisa kau bayangkan, Cissy! Kita punya
masalah yang sangat serius!"
Dia berdiri, sedikit terengah-engah, melihat ke arah pedang, memeriksa pangkalnya.
Kemudian dia berbalik, menghadap para tahanan yang terdiam.
"Kalau dia benar-benar Potter, jangan sakiti," dia bergumam, lebih kepada dirinya
sendiri. "Pangeran Kegelapan ingin melenyapkan Potter sendiri... Tapi kalau dia
menemukan... Aku harus... Aku harus tahu..."
Dia berbalik mengadap adiknya lagi.
"Para tahanan harus ditempatkan di gudang bawah tanah sementara aku memikirkan apa
yang harus dilakukan!"
"Ini rumahku, Bella, jangan beri perintah di –"
"Lakukan! Kau tak tahu bahaya yang sedang kita hadapi!" jerit Bellatrix. Dia terlihat
ketakutan, marah; aliran kecil api menyembur dari tongkatnya dan membakar karpet,
membentuk sebuah lubang.
Narcissa tertegun sesaat, kemudian memandang si manusia serigala.
"Bawa tahanan ini ke gudang bawah tanah, Greyack."
"Tunggu!," kata Bellatrix tajam. "Semua kecuali... kecuali si Darah Lumpur."
Greyback mengeluarkan dengkuran senang.
"Tidak!" teriak Ron. "Kau bisa menahanku, tahan aku!"
Bellatrix memukul wajahnya: suara pukulannya menggema di seluruh ruangan.
"Kalau dia mati saat ditanyai, kau yang berikutnya," katanya. "Darah pengkhianat adalah
yang berikutnya setelah Darah Lumpur di bukuku. Bawa mereka turun, Greyback, dan
pastikan mereka aman, tapi jangan lakukan apapun pada mereka –belum."
Dia melemparkan tongkat Greyback kembali, lalu mengeluarkan pisau perak pendek dari
balik jubahnya. Dia membebaskan Hermione dari tahanan lain, dan menyeret rambutnya
ke tengah ruangan, sementara Greyback mendorong sisa tahanan lainnya berjalan
menyeret kaki mereka menyebrangi ruangan ke pintu lain, masuk ke gang gelap,
tongkatnya teracung di depannya, mengeluarkan kekuatan besar yang tak terlihat.
"Kira-kira dia bakal membiarkanku menggigit sedikit gadis itu saat dia selesai
dengannya?" Greyback bersenandung saat mendorong mereka sepanjang koridor.
"Kubilang aku bakal dapet satu atau dua gigitan, bagaimana, jahe?"
Harry bisa merasakan Ron gemetar. Mereka didorong menuruni tangga curam, masih
diikat dengan punggung berhadapan dan dalam bahaya tergelincir dan mematahkan leher
mereka kapan saja. Di bawah terdapat pintu berat. Greyback membuka kuncinya dengan
ketukan tongkatnya, dan mendorong mereka masuk ke ruangan lembab dan berbau apak
dan meninggalkan mereka dalam kegelapan total. Gema suara pintu gudang yang
dibanting masih terdengar saat terdengar suara jeritan mengerikan tepat dari atas mereka.
"HERMIONE!" Ron melenguh, dan dia mulai menggeliat dan berusaha membebaskan
diri dari tali yang mengikat mereka bersama, membuat Harry menggeliat.
"HERMIONE!"
"Diamlah!" kata Harry. "Diam. Ron, kita harus mencari jalan –"
"HERMIONE! HERMIONE!"
"Kita perlu rencana, berhenti berteriak – kita perlu melepaskan diri dari tali ini –"
"Harry?" terdengar bisikan dari kegelapan. "Ron? Apa itu kau?"
Ron berhenti berteriak. Terdengar suara gerakan mendekati mereka, dan Harry melihat
sebuah bayangan mendekat.
"Harry? Ron?"
"Luna?"
"Ya, ini aku! Oh, tidak, aku tak mau kau tertangkap!"
"Luna, bisa kau bantu kami melepaskan tali ini?" kata Harry.
"Oh ya, kuharap bisa... Ada paku tua yang kami gunakan kalau kami perlu merusak
sesuatu... Tunggu sebentar..."
Hermione menjerit lagi dari atas, dan mereka bisa mendengar Bellatrix menjerit juga, tapi
kata-katanya tak terdengar, karena Ron berteriak lagi, "HERMIONE! HERMIONE!"
"Mr. Ollivander?" Harry bisa mendengar Luna berkata. "Mr. Ollivander, Anda punya
pakunya? Kalau Anda bisa bergerak edikit...Kurasa pakunya di sebelah tempat air."
Dia kembali sedetik kemudian.
"Kau harus diam," katanya.
Harry bisa merasakan dia menggali serabut-serabut talinya untuk membuka simpulnya.
Dari atas mereka mendengar suara Bellatrix.
"Aku tanya kau sekali lagi! Dimana kau dapat pedang ini? Di mana?"
"Kami menemukannya –kami menemukannya –KUMOHON!" Hermione menjerit lagi;
Ron berjuang lebih keras lagi, dan paku karatan itu tergelincir ke pergelangan tangan
Harry.
"Ron, tolong, diamlah!" Luna berbisik. "Aku tak bisa melihat apa yang sedang
kulakukan –"
"Sakuku!" kata Ron, "Di sakuku, ada Deluminator, dan penuh cahaya!"
Beberapa detik berikutnya, terdengar suara ceklikan, dan bola cahaya yang diserap
Deluminator dari lampu di tenda terbang ke gudang: Tak bisa kembali ke sumbernya,
bola cahaya tu hanya tergantung di sana, seperti matahari kecil, membanjiri ruang bawah
tanah itu dengan cahaya. Harry melihat Luna, matanya memandang wajahnya yang
putih, dan sosok tak bergerak Mr. Ollivander si pembuat tongkat, bergelung di lantai di
sudut. Menjulurkan lehernya ke sekeliling, dia melihat tahanan lainnya: Dean dan
Griphook si goblin, yang terlihat baru sadar, tetap berdiri karena tali yang mengikatnya
ke manusia.
"Oh, itu jauh lebih baik, thanks, Ron," kata Luna, dan dia mulai memaku tali mereka
lagi. "Halo, Dean."
Dari atas terdengar suara Bellatrix.
"Kau bohong, Darah Lumpur kotor, dan aku tahu itu! Kau sudah masuk ke lemari besiku
di Gringotts! Katakan yang sebenarnya, katakan yang sebenarnya!"
Terdengar teriakan mengerikan lainnya –
"HERMIONE!"
"Apa lagi yang kau ambil? Apa lagi yang kau punya? Beri tahu aku yang sebenarnya,
atau, aku bersumpah, aku akan mengulitimu dengan pisau ini!"
"Ini!"
Harry merasakan talinya jatuh dan memutar, menggosok pergelangan tangannya, melihat
Ron berlari mengelilingi gudang, melihat ke langit-langit rendah, mencari-cari pintu
jebakan. Dean, wajahnya penuh memar dan berdarah, mengucapkan "terima kasih" pada
Luna dan berdiri di sana, gemetaran, sementara Griphook terjatuh ke lantai gudang,
terlihat terhuyung-huyung dan tak terbiasa, bilur-bilur terlihat di wajahnya yang
kehitaman.
Ron sekarang mencoba ber-Dissapparate tanpa tongkat.
"Tak ada jalan keluar, Ron," kata Luna, menonton usahanya yang tidak berhasil.
"Gudang ini benar-benar tahan-kabur. Aku mencobanya, dulu. Mr. Ollivander sudah
lama di sini, dia sudah mencoba segalanya."
Hermione menjerit lagi: Suaranya menerpa Harry seperti sakit badannya. Baru saja sadar
dari rasa sakit hebat yang menusuk di bekas lukanya, dia juga mulai berlarian berkeliling
ruangan, meraba dindingnya untuk sesuatu yang hampir dia tidak sadari apa, mengetahui
dalam hatinya kalau itu sia-sia.
"Apa lagi yang kau ambil, apa lagi? JAWAB AKU! CRUCIO!"
Jeritan Hermione bergema di dinding di atas, Ron setengah terisak saat dia memukul
dinding dengan kepalan tangannya, dan Harry dalam keputusasaannya mengeluarkan
dompet dari Hagrid dari lehernya dan meraba-raba ke dalamnya: Dia menarik keluar
Snitch Dumbledore dan mengguncangnya, mengharap sesuatu yang dia tidak tahu apa –
tak ada yang terjadi – dia melambaikan patahan tongkat phoenixnya, tapi tongkatnya
tidak bernyawa –pecahan kaca jatuh dan berkilau di lantai, dan dia melihat kilatan biru
terang –
Mata Dumbledore menatapnya dari dalam cermin.
"Tolong kami!" dia berteriak pada cermin itu dalam keputusasaan. "Kami di gudang
bawah tanah Kediaman Malfoy, tolong kami!"
Mata itu mengedip dan hilang.
Harry bahkan tidak yakin itu benar-benar terjadi. Dia memiringkan pecahan kacanya
dalam berbagai cara, dan melihat tak ada apapun yang terpantul di situ kecuali dinding
dan langit-langit penjara mereka, dan di atas Hermione menjerit lebih buruk dari
sebelumnya, dan di sebelahnya Ron melenguh, "HERMIONE! HERMIONE!"
"Bagaimana kau masuk ke lemari besiku?" mereka mendengar Bellatrix menjerit. "Apa
goblin kecil kotor di gudang itu yang membantumu?"
"Kami baru bertemu dia malam ini!" Hermione terisak. "Kami tak pernah masuk ke
lemari besimu...Ini bukan pedang yang asli! Ini hanya tiruan, hanya tiruan!"
"Tiruan?" Bellatrix bercicit. "Oh, cerita yang bagus!"
"Tapi kita bisa menemukannya dengan mudah!" terdengar suara Lucius. "Draco, ambil
goblin itu, dia bisa memberitahu kita pedang ini asli atau bukan!"
Harry bergerak cepat menyebrangi gudang ke tempat di mana Griphook membungkuk di
lantai.
"Griphook," dia berbisik ke telinga runcing si goblin, "kau harus memberi tahu mereka
kalau pedangnya palsu, mereka tak boleh tahu itu yang asli, Griphook, kumohon –"
Dia bisa mendengar langkah kaki teredam seseorang di gudang; saat berikutnya, suara
gemetaran Draco berbicara dari balik pintu.
"Mundur. Berbaris di dekat tembok belakang. Jangan coba-coba lakukan apapun, atau
aku akan membunuh kalian!"
Mereka berdiri seolah mereka masih diikat; saat kunci diputar, Ron menjentikkan
Deluminator dan cahanyanya tersapu kembali ke kantungnya, mengembalikan kegelapan
gudang. Pintu terbuka; Malfoy melangkah masuk, tongkatnya teracung di depannya,
pucat dan penuh tekad. Dia mengangkat goblin kecil itu di lengannya dan keluar lagi,
menyeret Griphook dengannya. Pintu dibanting menutup dan di saat yang sama suara
krak keras terdengar menggema di dalam gudang.
Ron menjentikkan Deluminator. Tiga bola cahaya terbang lagi ke udara dari sakunya,
memperlihatkan Dobby, si peri rumah, yang baru saja ber-Apparate ke tengahtengah
mereka.
"DOB -!"
Harry memukul Ron di lengannya untuk menghentikan dia berteriak, dan Ron terlihat
ketakutan karena kesalahannya. Langkah kaki terdengar di langit-langit: Draco membawa
Griphook ke Bellatrix.
Mata Dobby yang sangat besar dan seperti bola tenis melebar; Dia gemetar dari ujung
kakinya ke ujung telinganya. Dia kembali ke rumah tuannya yang lama, dan terlihat jelas
kalau dia membeku ketakutan.
"Harry Potter," dia mencicit dengan suara gemetar yang palng kecil, "Dobby telah datang
untuk menyelamatkan Harry Potter."
"Tapi bagaimana kau –"
Jeritan mengerikan menenggelamkan kata-kata Harry:Hermione disiksa lagi. Dia
langsung ke tujuan.
"Kau bisa ber-Dissapparate keluar gudang ini?" dia menanyai Dobby, yang mengangguk,
telinganya mengepak.
"Dan kau bisa membawa manusia bersamamu?"
Dobby mengangguk lagi.
"Baiklah, Dobby, aku ingin kau memegang Luna, Dean, dan Mr. Ollivander, dan
membawa mereka – membawa mereka ke –"
"Tempat Bill dan Fleur," kata Ron, "Shell Cottage di luar Tinworth!"
Peri rumah itu mengangguk untuk yang ketiga kalinya.
"Dan kemudian kembali lagi," kata Harry. "Bisa kau lakukan, Dobby?"
"Tentu saja, Harry Potter," bisik peri rumah kecil itu. Dia berjalan tergesa menuju Mr.
Ollivander, yang kelihatannya baru sadar. Dia mengambil salah satu lengan si pembuat
tongkat dengan tangannya, dan mengulurkan yang lain pada Luna dan Dean, tak ada
diantara mereka yang bergerak.
"Harry, kami ingin membantumu!" Luna berbisik.
"Kami tak bisa meninggalkanmu di sini," kata Dean.
"Pergi, kalian berdua! Kami akan menemui kalian di tempat Bill dan Fleur."
Saat Harry berbicara, bekas lukanya terbakar lebih buruk dari sebelumnya, dan untuk
beberapa saat dia melihat ke bawah, yang terlihat bukan si pembuat tongkat, tapi pria lain
yang setua dan sekurus dia, tapi tertawa menghina.
"Bunuh aku, kalau begitu. Voldemort, aku menyambut kematian! Tapi kematianku tidak
akan membawamu pada apa yang kau cari... Terlalu banyak yang tidak kau mengerti..."
Dia merasakan kemarahan Voldemort, tapi saat Hermione menjerit lagi dia juga
berteriak, kembali ke gudang dan ketakutan dengan kehadirannya sendiri.
"Pergi!" Harry memohon pada Luna dan Dean. "Pergi! Kami akan mengikuti, sekarang
pergi!"
Mereka mengenggam jari si peri rumah. Terdengar suara crack yang lain, lalu Dobby,
Luna, Dean, dan Ollivander menghilang.
"Apa itu?" teriak Lucius dari atas kepala mereka. "apa kau mendengar itu? Apa suara di
gudang itu?"
Harry dan Ron saling pandang.
"Draco –tidak, panggil Wormtail! Suruh dia pergi dan periksa!"
Langkah kaki terdengar bersilangan menyebrangi ruangan, dan kemudian sunyi. Harry
tahu orang-orang di ruang tamu mendengarkan suara lain dari gudang.
"Kita harus mencoba menangani dia," dia berbisik pada Ron. Mereka tidak punya
pilihan: Saat siapapun yang memasuki ruangan dan melihat ketidakhadiran tiga tahanan,
mereka kalah. "Biarkan cahayanya menyala," tambah Harry, dan saat mereka mendengar
seseorang melangkah mendekat di luar pintu, mereka mundur ke tembok di sisi yang lain.
"Mundur," terdengar suara Wormtail. "Mundur dari pintu. Aku masuk."
Pintu mengayun terbuka. Untuk sedetik Woemtail memandang ke ruangan yang kosong,
dibutakan oleh cahaya dari tiga miniatur matahari yang melayang di udara. Kemudian
Harry dan Ron menampakkan diri mereka di depannya. Ron menarik tangan Wormtail
yang menggenggam tongkat dan mendorongnya ke atas. Harry menutup tangannya ke
mulutnya, membungkam suaranya. Mereka berjuang dalam diam: tongkat Wormtail
memancarkan cahaya; tangan peraknya menutup di sekeliling tenggorokan Harry.
"Ada apa, Wormtail?" panggil Lucius dari atas.
"Tak ada!" Ron berteriak kembali, cukup mirip dengan suara Wormtail yang mencicit.
"Semua baik-baik saja!"
Harry hampir tidak bisa bernapas.
"Kau mau membunuhku?" Harry sesak napas, berusaha melepaskan diri dari jari-jari
metal itu. "Setelah aku menyelamatkan nyawamu? Kau berhutang padaku, Wormtail!"
Jari-jari perak itu mengendur. Harry tidak menyangkanya: dia menarik dirinya bebas,
terpesona, tangannya tetap menutup mulut Wormtail. Dia melihat matanya yang kecil
dan berair seperti tikus melebar karena ketakutan dan terkejut: Dia terlihat sama
terkejutnya seperti Harry atas apa yang tangannya lakukan, pada saat kebaikan yang
terkhianati, dan dia terus berjuang lebih keras, seperti ingin memperbaiki saat-saat
kelemahannya.
"Dan kami akan ambil ini," bisik Ron, menarik tongkat Wormtail dari tangannya yang
lain.
Tanpa tongkat, tidak berdaya, pupil Pettigrew membesar karena ketakutan. Matanya
teralih dari wajah Harry ke sesuatu yang lain. Jari peraknya sendiri bergerak menuju
tenggorokannya tanpa bsa dicegah.
"Tidak –"
Tanpa berhenti untuk berfikir, Harry mencoba menarik tangan itu, tapi tak bisa
menghentikannya. Alat perak yang Voldemort berikan pada pelayannya yang paling
penakut telah berbalik melawan pemiliknya yang tak berguna dan terlucuti; Pettigrew
mendapat balasan untuk keragu-raguannya, saat menyedihkannya; dia dicekik di depan
mata mereka.
"Tidak!"
Ron telah melepaskan Wormtail juga, dan bersama-sama Harry dia mencoba menarik
jari-jari metal itu dari sekeliling tenggorokan Wormtail, tapi tak berguna. Pettigrew
berubah jadi biru.
"Relashio!" ujar Ron, mengarahkan tongkatnya ke tangan perak, tapi tak terjadi apa-apa;
Pettigrew terjatuh di lututnya, dan pada saat yang sdama, Hermione meneriakkan teriakan
mengerikan dari atas kepala mereka. Mata Wormtail berputar di wajahnya yang ungu; dia
memberikan puntiran terakhir, dan hening.
Harry dan Ron saling berpandangan, kemudian meninggalkan tubuh Wormtail di lantai di
belakang mereka, berlari menaiki tangga dan kembali ke gang gelap yang menuju ke
ruang tamu. Mereka bergerak pelan-pelan dengan sangat hati-hati sampai mereka
mencapai pintu ruang tamu, yang terbuka sedikit. Sekarang mereka bisa melihat dengan
jelas. Bellatrix melihat Griphook, yang memegang pedang Gryffindor di tangannya yang
berjari panjang. Hermione terbaring di kaki Bellatrix. Dia terlihat kacau.
"Well?" kata Bellatrix pada Griphook. "Apa ini pedang yang asli?"
Harry menunggu, menahan napasnya, berjuang melawan rasa sakit dari bekas lukanya.
"Bukan," kata Griphook. "Ini palsu."
"Kau yakin?" kata Bellatrix terengah. "Benar-benar yakin?"
"Ya," kata si goblin.
Kelegaan terlihat di wajahnya, semua ketegangan hilang.
"Bagus," katanya, dan dengan jentikan santai tongkatnya dia menorehkan goresan dalam
lain ke wajah si goblin, dan dia menjerit terjatuh di kaki Bellatrix. Dia menendang goblin
itu ke tepi. "Dan sekarang," dia berkata dalam suara yang meledak dengan kemenangan,
"kita panggil Pangeran Kegelapan!"
Dan dia mendorong lengan bajunya dan menyentuhkan jari telunjuknya ke Tanda
Kegelapan.
Saat itu, bekas luka Harry terasa seperti akan terbuka lagi. Keadaan sekitarnya yang
sebenarnya hilang. Dia adalah Voldemort, dan penyihir kurus di depannya tertawa
memperlihatkan giginya yang ompong padanya; dia marah sekali pada panggilan yang
dia rasakan –dia sudah memperingatkan mereka, dia sudah memberitahu mereka jangan
memanggilnya kecuali untuk Potter. Kalau mereka salah...
"Bunuh aku, kalau begitu!" tuntut si pria tua. "Kau tak akan menang, kau tak bisa
menang! Tongkat itu tak akan, tak akan pernah jadi milikmu –"
Dan kemarahan Voldemort pecah: Secercah sahaya hijau memenuhi ruang tahanan, dan
tubuh tua yang lemah itu terangkat dari tempat tidurnya yang keras, dan kemudian
terjatuh lagi, tanpa kehidupan, dan Voldemort kembali ke jendela, kemarahannya hampir
tak bisa terkontrol... Mereka akan menderita dalam pembalasannya kalau mereka tidak
punya alasan yang bagus untuk memanggilnya...
"Dan kurasa," kata Bellatrix, "Kita bisa melenyapkan Darah Lumpur ini. Greyback,
ambil kalau kau mau dia."
"TIDAAAAAK!"
Ron menghambur ke ruang tamu; Bellatrix melihat sekeliling, terkejut; dia mengarahkan
tongkatnya ke wajah Ron –
"Expelliarmus!" dia meraung, mengarahkan tongkat Wormtail ke arah Bellatrix, dan
tongkatnya terbang di udara dan ditangkap oleh Harry, yang berlari setelah Ron. Lucius,
Narcissa, Draco dan Greyback bergerak maju; Harry berteriak, "Stupefy!" dan Lucius
Malfoy terjatuh tak sadarkan diri. Kilatan cahaya meluncur dari tongkat Draco, Narcissa
dan Greyback; Harry melemparkan dirinya ke lantai, berguling di belakang sofa untuk
menghindari mereka.
"BERHENTI ATAU DIA MATI!"
Terengah-engah, Harry mengintip dari ujung sofa. Bellatrix mengangkat Hermione, yang
terlihat tidak sadar, dan memegang pisau perak pendeknya ke tenggorokan Hermione.
"Jatuhkan tongkat kalian," dia berbisik. "Jatuhkan, atau kita akan lihat tepatnya seberapa
kotor darahnya!"
Ron berdiri kaku, memegang tongkat Wormtail. Harry berdiri, masih mengenggam
tongkat Bellatrix.
"Kubilang jatuhkan!" dia berteriak, menekan pisaunya ke tenggorokan Hermione: Harry
melihat beberapa tetes darah muncul di sana.
"Baiklah!" serunya, dan dia menjatuhkan tongkat Bellatrix ke lantai di dekat kakinya,
Ron melakukan hal yang sama dengan tongkat Wormtail. Keduanya mengangkat tangan
di atas bahu.
"Bagus!" liriknya. "Draco, ambil tongkatnya! Pangeran Kegelapan akan datang, Harry
Potter! Kematianmu sudah dekat!"
Harry tahu; bekas lukanya seperti terbakar oleh rasa sakit, dan dia bisa merasakan
Voldemort terbang di langit dari tempat yang jauh, melewati laut yang gelap dan
berbadai, dan akan cukup dekat untuk ber-Apparate ke tempat mereka, dan Harry melihat
tak ada jalan keluar.
"Sekarang," kata Bellatrix lembut, saat Draco kembali padanya membawa tongkat.
"Cissy, kurasa kita harus mengikat pahlawan kecil ini lagi, sementara Greyback
mengurus Nona Darah Lumpur. Aku yakin Pangeran Kegelapan tak akan iri padamu
karena mendapatkan gadis itu, Greyback, setelah apa yang kau lakukan malam ini."
Pada kata-kata terakhir terdengar suara berat yang aneh dari atas. Semuanya melihat ke
atas tepat pada waktunya untuk melihat tempat lilin kristal itu bergetar; kemudian,
dengan suara derak dan bunyi gemerincing tak menyenangkan, mulai jatuh. Bellatrix
berdiri tepat di bawahnya; menjatuhkan Hermione, dia melemparkan dirinya ke samping
dengan jeritan. Tempat lilin itu manimpa lantai dalam ledakan kristal dan rantai, jatuh di
atas Hermione dan si goblin, yang masih memegang pedang Gryffindor. Pecahan kristal
yang berkilauan terbang ke segala arah; Draco terkena, tangannya menutupi wajahnya
yang berdarah.
Saat Ron berlari untuk menarik Hermione keluar dari kekacauan, Harry mengambil
kesempatan: dia melompati kursi berlengan dan merebut tiga tongkat tersebut dari
pegangan Draco, mengacungkan semuanya ke arah Greyback, dan berteriak, "Stupefy!"
Manusia serigala itu terangkat kakinya oleh mantra triple, terbang ke langit-langit dan
manghantam lantai.
Saat Narcissa menarik Draco keluar dari kekacauan lebih jauh, Bellatrix melompat,
rambutnya melayang saat dia melambaikan pisau peraknya; tapi Narcissa telah
mengacungkan tongkatnya ke arah pintu.
"Dobby!" dia menjerit dan bahkan Bellatrix membeku. "Kau! Kau menjatuhkan tempat
lilinnya -?"
Peri rumah kecil itu berderap masuk ke dalam ruangan, tangannya yang gemetar
menunjuk Nyonya lamanya.
"Kau tak boleh melukai Harry Potter," dia mencicit.
"Bunuh dia, Cissy!" jerit Bellatrix, tapi terdengar suara derak keras lain, dan tongkat
Narcissa juga terbang dan mendarat di sisi lain ruangan.
"Kau monyet kecil kotor!" jerit Bellatrix. "Beraninya kau mengambil tongkat seorang
penyihir, beraninya kau pada tuamnu?"
"Dobby tak punya tuan!" cicit si peri. "Dobby peri rumah bebas, dan Dobby datang
untuk menyelamatkan Harry Potter dan teman-temannya!"
Bekas luka Harry membuatnya buta dengan rasa sakit. Samar-samar dia tahu mereka
punya waktu, beberapa detik sebelum Voldemort datang.
"Ron, tangkap –dan PERGI!" dia berteriak, melemparkan salah satu tongkat ke arahnya;
kemudian dia menunduk untuk menarik Griphook keluar dari bawah tempat lilin.
Mengangkat goblin yang merintih, yang masih menggenggam pedang, di satu pundak,
Harry mengangkat tangan Dobby dan berputar ke titik Disapparate.
Saat dia menuju ke kegelapan di luar dia menangkap kilasan terakhir dari pemandangan
di ruang tamu pada sosok Narcissa dan Draco yang pucat dan membeku, kilasan merah
yang merupakan rambut Ron, dan kilasan biru dari sesuatu yang perak yang terbang, saat
pisau Bellatrix terbang melintasi ruangan di tempat dia telah menghilang –
Tempat Bill dan Fleur...Shell Cottage...Tempat Bill dan Fleur...
Dia menghilang ke suatu tempat yang tidak dikenal; yang bisa dia lakukan hanyalah
mengulang nama tempat tujuannya dan berharap itu cukup untuk membawanya ke sana.
Rasa sakit di dahinya menusuknya, dan berat si goblin membebaninya,; dia bisa
merasakan bagian tajam dari pedang Gryffindor membentur punggungnya: tangan Dobby
tersentak di tangannya; dia penasaran apakah Dobby sedang mencoba untuk mengambil
alih tanggung jawab, menarik mereka ke tempat yang tepat, dan mencoba, dengan
tekanan pada jari-jarinya, memberi tanda bahwa mereka baik-baik saja...
Dan kemudian mereka membentur tanah keras dan mencium udara asin. Harry jatuh di
lututnya, melepaskan tangan Dobby, dan mencoba menurunkan Griphook dengan lembut
ke tanah.
"Kau tak apa-apa?" katanya karena goblin itu terlihat kacau, tetapi Griphook hanya
merengek.
Harry mengerdip ke sekeliling dalam kegelapan. Di sana terlihat sesuatu seperti sebuah
cottage tak jauh dibawah langit berbintang, dan dia pikir dia melihat gerakan di
dalamnya.
"Dobby, apa ini Shell Cottage?" dia berbisik, menggenggam dua tongkat yang dia bawa
dari tempat Malfoy, siap bertarung jika diperlukan. "Apa kita datang ke tempat yang
tepat? Dobby?"
Dia melihat ke sekeliling. Peri rumah itu berdiri satu kaki darinya.
"DOBBY!"
Peri rumah itu bergoyang pelan, bintang-bintang terpantul di matanya yang lebar dan
bersinar. Bersama-sama, dia dan Harry melihat ke pangkal perak dari pisau yang
menonjol keluar dari dada Dobby yang bergerak naik turun.
"Dobby –tidak –TOLONG!" Harry melenguh ke arah cottage, ke orang-orang yang
bergerak di dalam. "TOLONG!"
Dia tidak tahu atau tidak peduli apakah mereka penyihir atau Muggle, kawan atau lawan;
semua yang dia pedulikan hanyalah noda gelap yang tersebar di bagian depan Dobby,
bahwa dia menjulurkan tangannya ke arah Harry dengan tatapan memohon. Harry
menangkapnya dan membaringkannya di tepi jalan di rumput yang dingin.
"Dobby, tidak, jangan mati, jangan mati –"
Mata si peri rumah menemukan matanya, dan bibirnya bergetar dengan usahanya
membentuk kata-kata.
"Harry... Potter..."
Dan kemudian diringi gemetar kecil Dobby terdiam, dan matanya tak lebih dari bola kaca
besar, bersinar karena cahaya bintang yang tak bisa mereka lihat.
Bab 24
The Wandmaker
Pembuat Tongkat
Rasanya seperti tenggelam ke dalam mimpi buruk lama; dalam sekejap, Harry seperti
berlutut lagi di samping tubuh Dumbledore di kaki menara tertinggi Howarts, tapi
kenyataannya dia sedang memAndang tubuh kurus yang ada di atas rumput, tertusuk oleh
pisau perak Bellatrix. Suara Harry masih menyebut, ”Dobby… Dobby…” meskipun dia
tahu bahwa peri itu telah pergi ke tempat dimana ia tak dapat memanggilnya kembali.
Setelah beberapa menit atau sekitar itu, dia sadar bahwa dia, akhirnya, telah datang ke
tempat yang benar, ketika Bill dan Fleur, Dean dan Luna, berkumpul di sekitarnya ketika
dia berlutut di samping peri itu.
“Hermione.” Akhirnya dia berkata, “Dimana dia?”
“Ron telah membawanya ke dalam.” Kata Bill, “Dia akan baik-baik saja.”
Harry melihat ke belakang pada Dobby lagi. Dia menggenggamkan tangannya dan
mencabut pisau tajam itu dari tubuh Dobby, kemudian melepaskan jaketnya dan
menutupi tubuh Dobby dengannya seperti selimut.
Laut menghantam karang disuatu tempat yang dekat; Harry mendengarkannya sementara
yang lain berbicara mendiskusikan masalah yang tidak dapat diperhatikannya, membuat
keputusan, Dean membawa Griphook yang terluka ke dalam rumah, Fleur mengikuti
mereka; sekarang Bill mengerti apa yang dia katakan, ketika dia melakukannya, dia
memAndang kebawah pada tubuh kecil itu, dan lukanya menjadi sakit dan serasa
terbakar, dan di salah satu bagian pikirannya, seperti memAndang dari ujung teleskop
yang salah, dia melihat Voldemort menghukum mereka yang tinggal di rumah Keluarga
Malfoy. Kemarahannya sangat mengerikan dan belakangan Harry bersyukur pada Dobby
yang kelihatannya menyebabkannya, sehingga itu menjadi sebuah badai yang jauh dan
menggapai Harry dari seberang laut, lautan yang sunyi.
“Aku ingin melakukannya sendiri,” adalah kata pertama yang diucapkan Harry ketika dia
benar-benar sadar, “tidak dengan sihir, apakah kau punya sekop?” dan tak lama kemudian
dia mulai bekerja, sendirian, menggali kubur di tempat yang ditunjukkan Bill di pinggir
kebun, diantara semak. Dia menggali dengan sedikit kemarahan, melampiaskannya pada
kerja moral, membanggakan nonsihir di dalamnya, pada tiap tetes keringatnya dan tiap
lepuh merasakan duka cita bagi peri yang telah menyelamatkan nyawa mereka.
Bekas lukanya terasa terbakar, tapi dia menguasai sakitnya, dia merasakannya, masih
belum jauh darinya. Dia akhirnya belajar bagaimana mengendalikannya, belajar menutup
pikirannya dari Voldemort, sesuatu Dumbledore inginkan ia pelajari dari Snape. Hanya
karena Voldemort tidak mampu menguasai Harry ketika Harry dipenuhi duka untuk
Sirius, sehingga dia berpikir bahwa Voldemort tidak mampu menguasai pikirannya
sekarang ketika dia berduka atas Dobby. Duka cita kelihatannya membuat Voldemort
kalah… yang menurut Dumbledore, tentunya, bisa dikatakan sebagai cinta.
Dalam penggalian Harry, dalam dan lebih dalam lagi ke tanah yang dingin dan keras,
menumpahkan duka citanya dalam keringat, mengabaikan sakit di bekas lukanya.
Dikegelapan, dengan kesunyian setelah suara napasnya dan deburan laut yang tetap
menemaninya, sesuatu yang terjadi di rumah Malfoy teringat lagi, sesuatu yang dia
dengar kembali lagi padanya, dan pengertian terbentuk di kegelapan.
Irama tetap dari gerakan tangannya beriringan dengan pikirannya, Hallows… Horcrux…
Hallows… Horcrux… tak lama kemudian terbakar dalam keanehan itu, obsesi yang
panjang. Rasa kehilangan dan ketakutan menyedotnya, dia merasa bahwa dia tersentak
bangun lagi.
Lebih dalam dan lebih dalam lagi Harry menggali kedalam makam, dan dia tahu dimana
Voldemort sebelumnya malam ini, dan siapa yang telah dibunuhnya di sel paling atas
Numengard, dan sebabnya… Dan dia memikirkan Wormtail, meski karena dorongan tak
sadar sebuah belas kasihan… Dumbledore telah meramalkannya… berapa banyak lagi
yang dia tahu?
Harry kehilangan ukuran waktu, yang dia tahu hanya kegelapan telah merebak semakin
gelap ketika Dean dan Ron datang menenaminya lagi.
“Bagaimana Hermione?”
“Lebih baik” kata Ron, “Fleur sedang menjaganya.”
Harry telah mempersiapkan alasan jika mereka menanyakan mengapa dia tidak membuat
makam yang lebih baik dengan sihir, tapi dia tidak membutuhkannya. Mereka berdua
meloncat kedalam lubang yang Harry buat dengan sekop dan mereka bekerja bersama
dalam diam hingga lubang itu kelihatannya sudah cukup dalam. Harry menyelimuti peri
itu lebih rapi dengan jaketnya, Ron duduk di pinggiran lubang dan melepaskan sepatu
dan kaus kakinya yang lalu dipakaikannya di kaki telanjang si peri, Dean memberikan
topi wol, yang Harry pakaikan dengan hati-hati diatas kepala Dobby, menutupi telinga
kalelawarnya. “Kita seharusnya menutup matanya.”
Harry tidak mendengar yang lain datang dalam kegelapan. Bill memakai jubah
perjalanannya, Fleur memakai sebuah celemek lebar berwarna putih; dari sakunya
muncul sebuah ujung botol, yang Harry kenali sebagai Skele-Gro. Hermione terbungkus
gaun panjang pinjaman, dengan wajah pucat, dan berdiri sedikit goyah diatas kakinya;
Ron meletakkan sebelah tangannya, merangkulnya ketika dia mendekati Ron. Luna, yang
memakai salah satu mantel Fleur, membungkuk dan meletakkan jemarinya dengan
perlahan di atas kelopak mata Dobby, menutupnya di atas tatapan kosong. “Begitulah,”
katanya lembut, “sekarang dia dapat tertidur”.
Harry meletakkan Dobby ke dalam makam, mengatur kaki kecilnya sehingga dia
kelihatannya seperti beristirahat, lalu memanjat keluar dan memandang untuk terakhir
kalinya kepada tubuh kecil itu. Harry berusaha tidak kecewa ketika mengingat acara
pemakaman Dumbledore, baris demi baris kursi emas, dan mentri sihir di deretan paling
depan, pidato tentang penghargaan kepada Dumbledore, makam marmer putih yang
indah. Dia merasa Dobby layak mendapatkan acara pemakaman yang lebih baik dari ini,
tapi kenyataannya di sini terbaring peri itu dalam sebuah lubang kasar dalam tanah
diantara semak. “Kupikir kita harus mengucapkan sesuatu,” Luna mulai bicara, “aku
yang pertama, boleh?”
Dan ketika semua orang melihat padanya, dia memAndang jasad peri di dasar lubang itu.
“Terima kasih banyak, Dobby, karena telah menyelamatkan kami dari penjara itu. Sangat
tidak adil kau meninggal karena kau sangat berani dan baik. Aku akan selalu mengingat
apa yang kau lakukan untuk kami. Kuharap kau bahagia sekarang.”
Dia berpaling dan menatap dengan penuh harap kepada Ron, yang membasahi
tenggorokannya dan berbicara dalam suara yang kecil, “Yeah… terima kasih, Dobby.”
“Terima kasih,” gumam Dean.
Harry melanjutkan, “Selamat tinggal, Dobby.” dia mengatakannya dengan susah payah,
tapi Luna telah mengatakan semuanya untuk Dobby. Bill mengangkat tongkatnya, dan
gundukan tanah disamping makam terangkat ke udara dan menutup perlahan diatasnya,
sebuah tanah merah yang kecil.
Mereka menggumamkan kata-kata yang tidak dapat didengar Harry; dia merasakan
tepukan halus pada punggungnya, dan mereka semua berbalik untuk berjalan ke pondok
lagi, meninggalkan Harry sendirian di samping si peri.
Dia melihat berkeliling: ada beberapa batu lebar berwarna putih, dihaluskan oleh laut,
menandai batas untuk tempat tumbuh bunga. Dia mengambil satu yang terlebar dan
meletakkannya, seperti bantal, di atas tempat dimana kepala Dobby beristirahat sekarang.
Kemudian dia mengambil tongkat yang ada di sakunya. Ada dua tongkat. Dia telah lupa;
sepertinya dia telah menyambar tongkat-tongkat itu dari tangan seseorang. Dia memilih
tongkat yang lebih pendek, yang terasa akrab di tangannya. Ketika Harry berdiri lagi, di
batu itu tertulis:
DISINI TERBARING DOBBY, PERI YANG BEBAS
Dia memandang hasil pekerjaan tangannya beberapa saat; lalu berjalan pergi, bekas
lukanya masih berdenyut sedikit, dan pikirannya dipenuhi suatu pikiran yang
didapatkannya ketika di makam tadi, rencana yang menjadi tajam di kegelapan tadi,
rencana yang sangat menarik dan sekaligus menakutkan.
Yang lain sedang duduk di ruang duduk ketika dia masuk ke dalam ruang depan yang
kecil, perhatian mereka terpusat pada Bill, yang sedang berbicara. Ruangan itu berwarna
cerah, indah, dengan api kecil dari kayu api yang terbakar riang di perapian. Harry tidak
mau menjatuhkan lumpur di atas karpet, sehingga dia berdiri di pintu masuk, ikut
mendengarkan.
“…Beruntung Ginny sedang liburan. Jika dia sedang berada di Hogwarts, mereka dapat
menangkapnya sebelum kita berhasil membawanya. Sekarang kita tahu dia aman juga.”
Dia memandang berkeliling dan melihat Harry berdiri disana.
“Aku telah memindahkan mereka semua dari the Burrow,” dia menjelaskan.
“Memindahkan mereka ke rumah bibi Muriel.” Para pelahap maut sekarang tahu Ron ada
bersamamu, mereka bermaksud membatasi gerak keluarga… Jangan minta maaf,” dia
menambahkan pada ekspresi Harry. “ini hanya masalah waktu, Dad telah mengatakannya
berbulan-bulan yang lalu. Kami adalah keluarga berdarah pengkhianat paling besar yang
pernah ada.”
"Bagaimana melindungi mereka?” tanya Harry.
“Mantra Fidelius.” Kata Bill. “Dad Penjaga Rahasianya. Dan kami melakukannya untuk
pondok ini juga; aku adalah Penjaga Rahasia di sini. Tak ada seorang pun diantara kami
yang bisa pergi bekerja, tapi hal ini adalah yang terpenting untuk saat ini. Begitu
Ollivander dan Griphook sudak cukup sehat, kami akan memindahkannya juga ke rumah
Muriel. Tak ada cukup kamar di sini, tapi di rumah Muriel ada banyak. Kaki Griphook
sedang diperbaiki. Fleur memberinya Skele-Gro… kita mungkin dapat memindahkan
mereka sekitar satu jam lagi atau…”
“Tidak,” kata Harry dan Bill berpaling padanya. ”Aku membutuhkan mereka berdua di
sini. Aku ingin berbicara dengan mereka. Ini penting.” Dia mendengar kekuasaan dalam
suaranya, suara yang meyakinkan, suara dari rencana yang telah datang padanya ketika
dia menggali makam Dobby. Wajah mereka semua yang melihatnya penuh tanda tanya.
“Aku ingin membersihkan diri,” Harry berkata pada Bill sambil melihat pada tangannya
yang masih ditutupi oleh lumpur dan darah Dobby. “Kemudian aku ingin bertemu
mereka, langsung.” Dia berjalan ke dalam dapur yang kecil, ke sebuah baskom di bawah
jendela yang berpemandangan laut. Fajar sedang merekah di cakrawala, berwarna merah
jambu dan emas, ketika dia mencuci, dia memeriksa lagi rangkaian pikiran yang telah
datang padanya dalam kegelapan di kebun tadi…
Dobby mungkin tidak akan pernah dapat memberitahu mereka siapa yang telah
mengirimkannya ke penjara itu, tapi Harry tahu apa yang telah dilihatnya. Sebuah kilatan
mata berwarna biru telah melihatnya dari pecahan cermin, dan kemudian bantuan datang.
Bantuan akan selalu diberikan di Hogwarts untuk mereka yang membutuhkannya.
Harry mengeringkan tangannya, tertarik pada keindahan pemandangan di luar jendela
dan pada gumaman yang lain di ruang duduk. Dia melihat pada laut di luar sana dan
merasa dekat, fajar ini, lebih dekat di hatinya lebih dari kapan pun.
Dan bekas lukanya masih tetap berdenyut, dan dia tahu Voldemort ada di sana juga.
Harry sudah mengerti dan belum mengerti pada saat bersamaan. Perasaannya
mengatakan suatu hal, tapi otaknya mengatakan lain. Dumbledore dalam pikiran Harry
tersenyum, meneliti Harry di atas jari-jarinya, yang menelengkup seperti sedang
berdoa…
Kau memberi Ron Deluminator… Kau memahaminya… Kau memberinya jalan untuk
kembali…
Dan kau juga mengerti Wormtail… Kau tahu ada sedikit penyesalan di sana, di suatu
tempat…
Dan jika kau memahami mereka… Apa yang kau pahami tentangku, Dumbledore?
Apa ini berarti aku hanya boleh tahu dan bukannya untuk mencari? Apakah kau tahu
betapa sulit merasakannya? Apakah itu sebabnya kau membuat ini menjadi sulit?
Sehingga aku perlu waktu untuk mengerjakannya?
Harry berdiri diam, melihat pemandangan, mengamati tempat dimana sinar keemasan
matahari yang cerah terbit di cakrawala. Kemudian dia melihat ke bawah pada tangannya
yang sudah bersih dan sedikit terkejut melihat pakaian yang ia genggam. Dia
meletakkannya dan kembali ke ruang depan, dan ketika dia melakukannya, dia
merasakan bekas lukanya berdenyut marah, dan kemudian kilatan melewati pikirannya,
cepat seperti bayangan capung di atas air, sebuah bentuk bangunan yang dia kenal dengan
baik.
Bill dan Fleur berdiri di kaki tangga.
“Aku ingin bebicara dengan Griphook dan Ollivander.” kata Harry.
“Tidak,” kata Fleur. “kau ‘arus menunggu, ‘Arry. Mereka berdua sangat kelela’an…”
“Aku minta maaf,” dia berbicara dengan tenang, ”tapi aku tidak dapat menunggu. Aku
perlu berbicara dengan mereka sekarang, sendirian… dan terpisah. Ini penting.”
“Harry, apa yang terjadi?” tanya Bill. “Kau datang kemari dengan seorang peri rumah
yang mati dan goblin yang setengah sadar, Hermione seperti telah kena siksa, dan Ron
menolak untuk memberitahuku apapun…”
“Kami tidak dapat memberitahumu apa yang kami lakukan,” kata Harry datar. “Kau di
Orde, Bill. Kau tahu Dumbledore memberikan kami sebuah tugas. Kami tidak seharusnya
memberitahu orang lain tentang ini.”
Fleur mengeluarkan suara tidak sabar, tapi Bill tidak melihat padanya; dia memandang
Harry. Wajahnya yang terluka yang dipenuhi bekas luka dalam sulit untuk dibaca.
Akhirnya, Bill berkata, “Baiklah, siapa yang ingin kau ajak bicara lebih dahulu?”
Harry bimbang. Dia tahu apa yang menggantung dalam keputusannya. Tak banyak waktu
yang tersisa; sekarang adalah waktunya untuk memutuskan: Horcrux atau Hallows?
“Griphook,” Harry berkata. “Aku akan berbicara dengan Griphook lebih dahulu.”
Jantungnya bedegup kencang seakan dia telah berlari kencang dan telah menyelesaikan
rintangan yang besar.
“Ke atas sini, kalau begitu.” Kata Bill, memimpin jalan.
Harry telah melangkah ke atas beberapa langkah sebelum dia berhenti dan melihat ke
belakang.
“Aku membutuhkan kalian berdua,” dia memanggil Ron dan Hermione, yang telah
menyelinap, setengah tersembunyi di pintu ruang duduk.
Mereka bergerak ke dalam cahaya, melihat dengan sedikit aneh.
“Bagaimana keadaanmu?” Harry bertanya pada Hermione. “Kau luar biasa bisa bertahan
dengan cerita itu ketika dia menyakitimu seperti itu…”
Hermione tersenyum lemah ketika Ron meremas sebelah lengannya.
“Apa yang kita lakukan sekarang, Harry?” Ron bertanya.
“Kau akan tahu, ayo”
Harry, Ron dan Hermione mengikuti Bill naik ke tangga keatas ruangan yang sempit.
Ada tiga pintu disana.
“Di dalam sini.” Kata Bill, membuka pintu ruang kamarnya dan Fleur, ruangan itu
mempunyai pemandangan laut, yang sekarang dipenuhi warna keemasan sinar matahari.
Harry bergerak ke jendela, membalik punggungnya ke pemandangan luar biasa itu, dan
menunggu, lengannya terlipat, bekas lukanya berdenyut. Hermione duduk di kursi
disamping meja rias, Ron duduk di lengan kursinya.
Bill datang lagi, menggendong seorang goblin kecil, yang diletakkannya dengan hati-hati
di atas tempat tidur. Griphook mengucapkan terima kasih, dan Bill pergi, menutup pintu
di depan mereka.
“Aku minta maaf mengganggu istirahatmu,” kata Harry. “Bagaimana keadaan kakimu?”
“Sakit,” jawab si goblin. “tapi membaik.”
Dia masih memegang pedang Gryffindor, dan kelihatan aneh, setengah galak, setengah
licik. Harry memperhatikan kulitnya yang pucat, jari-jarinya yang kurus panjang, mata
hitamnya. Fleur telah melepas sepatunya; telapak kakinya yang panjang kotor. Dia sedikit
lebih besar daripada peri rumah, tapi tidak terlalu. Kepala bulatnya sedikit lebih besar
dari kepala manusia.
“Mungkin kau tidak ingat…” Harry memulai.
“—bahwa aku adalah goblin yang menuntunmu ke ruang penyimpananmu, pada saat
pertama kalinya kau mengunjungi Gringotts?” kata Griphook. “Aku ingat, Harry Potter.
Bahkan diantara para goblin, kau sangat terkenal.”
Harry dan goblin itu saling bertatapan, saling menilai. Bekas luka Harry masih berdenyut.
Dia ingin menyelesaikan pembicaraan ini dengan cepat, dan pada saat bersamaan merasa
takut telah melakukan kesalahan. Sementara dia memutuskan cara terbaik untuk
menyampaikan permintaannya, goblin itu memecah kesunyian.
“Kau menguburkan peri itu,” dia berkata, kedengaran seperti tanpa belas kasihan yang
tidak terduga.
“Ya,” kata Harry.
Griphook memandangnya lewat sudut matanya yang hitam.
“Kau penyihir yang tidak biasa, Harry Potter.”
“Dibagian mana?” kata Harry, menggosok bekas lukanya
“Kau menggali sebuah makam.”
“Jadi?”
Griphook tidak menjawab. Harry berpikir bahwa goblin itu mencemoohnya karena
berbuat seperti muggle, tapi itu bukan masalah apakah Griphook menyetujui makam
Dobby atau tidak. Dia mempersiapkan dirinya untuk menyerang.
“Griphook, aku ingin bertanya…”
“Kau juga menyelamatkan goblin.”
“Apa?”
“Kau membawaku kemari. Menyelamatkanku.”
“Well, kurasa kau tidak menyesal?” kata Harry sedikit tidak sabar.
“Tidak, Harry Potter,” kata Griphook, dan dengan satu jari dia memilin janggut kecil di
dagunya, “tapi kau penyihir yang sangat aneh.”
“Baiklah.” kata Harry. “Well, aku membutuhkan beberapa pertolongan, Griphook, dan
kau dapat memberikannya.”
Goblin itu tidak memperlihatkan ketertarikan, tetapi masih melanjutkan memandang
Harry seakan dia belum pernah melihat sesuatu sepertinya.
“Aku ingin menerobos ke dalam ruang penyimpanan Gringgots.”
Harry tidak bermaksud mengatakannya begitu buruk; kata-kata yang terucap darinya
ketika rasa sakit terasa di bekas lukanya dan dia melihat, lagi, bentuk bangunan
Hogwarts. Dia menutup pikirannya. Dia butuh kesepakatan dengan Griphook terlebih
dahulu. Ron dan Hermione memandang Harry seperti dia sudah gila.
“Harry—” kata Hermione, tapi dia dipotong oleh Griphook.
“Menerobos ke ruang penyimpanan Gringotts?” ulang si goblin, mengernyit sedikit
ketika dia berubah posisi di atas tempat tidur. “Itu tidak mungkin.”
“Tidak, itu tidak benar,” Ron menentangnya, “itu sudah pernah dilakukan.”
“Yeah,” kata Harry, “pada hari yang sama ketika aku bertemu denganmu, Griphook. Saat
ulang tahunku, tujuh tahun yang lalu.”
“Ruang penyimpanan yang kalian maksud sudah dikosongkan pada hari itu juga.” timpal
si goblin, dan Harry mengerti bahwa meskipun Griphook telah meninggalkan Gringotts,
dia tertahan pada rencana untuk melanggar pertahanannya. “pengamanan ruang itu
minimal.”
“Well, ruang penyimpanan yang kami inginkan tidak kosong, dan aku rasa
pengamanannya akan sangat kuat,” kata Harry. “Ruang itu milik keluarga Lestrange.”
Dia melihat Ron dan Hermione saling berpandangan, keheranan, tapi ada banyak waktu
untuk menjelaskan setelah Griphook telah memberikan jawabannya.
“Kau tidak memiliki kesempatan,” kata Griphook datar. “Tak ada kemungkinan sama
sekali. Jika kau mencari dibawah lantai kami, harta yang tak berhak kaumiliki…"
“Pencuri, kau telah diperingatkan, waspadalah… yeah, aku tahu, aku ingat,” kata Harry.
“Tapi aku bukan mencoba mengambil harta apapun untukku, aku tidak bermaksud
mendapatkan keuntungan pribadi. Dapatkah kau mempercayainya?”
Goblin itu memandang condong ke Harry, dan bekas luka sambaran kilat di dahi Harry
berdenyut, tapi dia mengacuhkannya, menolak untuk merasakan sakitnya atau
undangannya.
“Jika ada penyihir yang dapat aku percaya bahwa mereka tidak mencari keuntungan
pribadi,” akhirnya Griphook berkata, “itu adalah kau, Harry Potter. Para goblin dan peri
belum pernah mendapatkan perlindungan dan penghormatan seperti yang kau tunjukkan
malam ini. Tidak dari para pembawa-tongkat.”
“Pembawa-tongkat.” Ulang Harry: istilah itu kedengaran aneh di telinganya ketika bekas
lukanya berdenyut, ketika Voldemort melayangkan pikirannya ke utara, dan ketika Harry
merencanakan pertanyaan untuk Ollivanders di pintu selanjutnya.
“Kesepakatan untuk mempunyai sebuah tongkat sihir,” kata si goblin dengan pelan,
“telah dibuat lama sebelumnya diantara para penyihir dan goblin.”
“Well, para goblin dapat melakukan sihir tanpa tongkat sihir,” kata Ron.
“Bukan itu masalahnya! Para penyihir menolak untuk berbagi rahasia pembuatan tongkat
dengan mahluk sihir lainnya, mereka mengira kami bermaksud untuk memperkuat
kekuatan kami!”
“Well, para goblin juga tidak mau membagikan rahasia mereka,” kata Ron, “Kau tidak
mau memberitahu kami bagaimana membuat pedang-pedang dan pakaian perang seperti
yang kalian lakukan. Para goblin tahu bagaimana bekerja dengan logam dengan cara
yang para penyihir tidak…”
“Itu tidak masalah,” kata Harry, memperhatikan perubahan warna Griphook. “Ini bukan
tentang para penyihir lawan para goblin atau jenis mahluk sihir lainnya…”
Griphook tertawa tidak menyenangkan.
“Tapi ini memang benar, ini masalah sebenarnya! Ketika Penguasa Kegelapan menjadi
lebih kuat, ras kalian berada lebih tinggi di atas kami! Gingotts tunduk di bawah
peraturan penyihir, peri rumah dijadikan budak, dan siapa diantara para pembawa-tongkat
yang keberatan?”
“Kami!” kata Hermoine. Dia telah duduk tegak, matanya bersinar. “Kami keberatan! Dan
aku diburu seperti setiap goblin dan peri rumah, Griphook! Aku adalah Darah Lumpur!”
“Jangan sebut dirimu…” Ron bergumam.
“Kenapa tidak?” kata Hermione. “Darah Lumpur, dan aku bangga karenanya! Aku tidak
memiliki posisi yang lebih tinggi dari pada kau sekarang, Griphook! Aku yang mereka
pilih untuk disiksa, di rumah Malfoy!”
Sementara dia berbicara, dia mendorong ke samping gaun di lehernya kesamping untuk
menunjukkan goresan kecil yang telah dibuat Bellatrix, bekas luka di atas
tenggorokannya.
“Apakah kau tahu bahwa Harry lah yang membebaskan Dobby?” dia bertanya. “Apakah
kau tahu kami memperjuangkan kebebasan peri selama bertahun-tahun?”(Ron bergerak
tidak nyaman di lengan kursi Hermione) “Kau tidak ingin Kau-Tahu-Siapa menghalangi
apa yang kami lakukan, Griphook!”
Goblin itu memandang Hermione dengan pandangan aneh yang sama seperti yang
diberikannya pada Harry.
“Apa yang kau cari di ruang penyimpanan keluarga Lestrange?” dia tiba-tiba bertanya.
“Pedang yang ada di ruang penyimpanan itu palsu. Ini yang asli.” Dia melihat mereka
satu per satu. “Aku rasa kau telah mengetahui ini. Kau memintaku berbohong pada
waktu di sana.”
“Tapi pedang yang palsu itu bukan satu-satunya benda yang ada di sana, kan?” tanya
Harry. “Mungkin kau pernah melihat benda lain di sana?”
Jantungnya berdetak lebih cepat dari pada kapanpun. Dia melipatgandakan keinginannya
untuk mengacuhkan denyutan di bekas lukanya.
Goblin itu memilin lagi janggut di dagunya.
“Itu melanggar peraturan kami jika berbicara rahasia Gringotts pada yang lain. Kami
adalah penjaga harta-harta berharga. Kami mempunyai tugas untuk memelihara benda
yang ada pada kami, yang mana seringkali, dibuat oleh jari-jari kami.”
Goblin itu memandang pedang, dan mata hitamnya berpaling dari Harry ke Hermione ke
Ron lalu kembali memandang pedang lagi.
“Sangat muda,” akhirnya dia berkata, “untuk bertarung dengan keras.”
“Maukah kau menolong kami?” kata Harry. “Kami tidak memiliki harapan menerobos
tanpa bantuan goblin. Kau satu-satunya kesempatan kami.”
“Aku akan… memikirkannya.” Kata Griphook dengan lambat.
“Tapi…” Ron mulai marah; Hermione menyodok rusuknya.
“Terima kasih.” kata Harry.
Goblin itu menundukkan kepalanya dengan penghormatan, kemudian memegang kaki
pendeknya.
“Kurasa,” dia berkata, mengatur dirinya dengan sok di atas tempat tidur Bill dan Fleur,
“Skele-Gro telah selesai bekerja. Akhirnya aku dapat tidur. Maafkan aku…”
“Yeah, tentu saja,” kata Harry, tapi sebelum meninggalkan ruangan dia membungkuk ke
depan dan mengambil pedang Gryfinddor dari samping goblin itu. Griphook tidak
keberatan, tapi Harry mengira dia melihat kemarahan di mata goblin itu ketika dia
menutup pintu di depannya.
“Iblis kecil,” bisik Ron. “Dia menikmati telah menggantung keadaan kita.”
“Harry,” bisik Hermione, mendorong mereka berdua jauh dari pintu, ke tengah ruangan
yang masih gelap, “apakah kau berpikir sama dengan yang aku pikirkan? Kau mengira
ada sebuah Horcrux di dalam ruang penyimpanan Lestrange?”
“Ya,” kata Harry. “Bellatrix ketakutan ketika dia mengira kita pernah berada di sana, dia
seperti bukan dirinya. Mengapa? Apa yang dia kira kita cari, apa lagi yang dia pikir
mungkin kita ambil? Sesuatu yang dia tidak ingin Kau-Tahu-Siapa mengetahuinya.”
“Tapi kukira kita mencari di tempat dimana Kau-Tahu-Siapa pernah tinggal, tempat
dimana dia melakukan sesuatu yang penting?” kata Ron, terlihat heran. “Apakah dia
pernah berada dalam ruang penyimpanan Lestrange?”
“Aku tidak tahu apakah dia pernah berada di dalam Gringotts,” kata Harry. “Dia tidak
pernah mempunyai emas di sana ketika dia masih muda, karena tak ada yang
memberinya. Dia mungkin pernah melihat bank itu dari luar, kupikir, pada saat pertama
kali dia pergi ke Diagon Alley.”
Bekas luka Harry berdenyut, tapi dia mengacuhkannya; dia ingin Ron dan Hermione
untuk mengerti tentang Gringotts sebelum mereka berbicara pada Ollivander.
“Kurasa dia bisa mencari seseorang yang mempunyai kunci ke sebuah ruang
penyimpanan Gringotts. Aku rasa dia telah melihat bangunan itu sebagai salah satu
simbol yang dimiliki oleh Dunia Sihir. Dan jangan lupa, dia mempercayai Bellatrix dan
suaminya. Mereka adalah abdinya yang paling setia sebelum dia jatuh, dan mereka yang
mencoba mencarinya setelah dia menghilang. Dia mengatakan itu pada saat dia kembali,
aku mendengarnya.”
Harry menggosok bekas lukanya.
“Aku tidak berpikir dia memberitahu Bellatrix bahwa benda itu sebuah horcrux. Dia tidak
pernah memberitahu Lucius kebenaran tentang buku harian. Kemungkinan dia
memberitahunya itu adalah sebuah harta berharga dan memintanya untuk menyimpannya
di ruang penyimpananya. Tempat teraman di dunia untuk menyembunyikan sesuatu…
kecuali Hogwarts.”
Ketika Harry selesai bicara, Ron menganggukkan kepala.
“Kau sangat mengerti dia.”
“Sedikit tentangnya,” kata Harry. “Sedikit… Aku hanya berharap aku memahami
Dumbledore sama banyaknya. Tapi kita lihat saja. Ayo… sekarang Ollivander.”
Ron dan Hermione terlihat cemas tapi sangat tertarik ketika mereka mengikutinya
melintasi lantai kecil itu dan mengetuk pintu yang ada di seberang kamar Bill dan Fleur.
Suara “Silahkan masuk!” lemah terdengar menjawab.
Pembuat tongkat itu berbaring di atas salah satu tempat tidur kembar yang paling jauh
dari jendela. Dia telah berada di penjara lebih dari satu tahun, dan disiksa, Harry tahu,
dalam lebih dari satu kesempatan. Dia terlihat memprihatinkan, tulang di wajah kurusnya
terlihat tajam di bawah kulitnya yang pucat kekuningan. Mata abu-abunya yang besar
terlihat menonjol di kelopak mata berkantung. Tangan yang terbaring di atas selimut itu
menyerupai tulang. Harry duduk diatas tempat tidur kosong, disamping Ron dan
Hermione. Matahari yang sedang terbit tidak terlihat dari sini. Ruangan ini menghadap
bagian atas kebun karang dan makam yang masih basah.
“Mr. Ollivander, saya minta maaf telah mengganggu Anda,” Harry berkata.
“Anakku sayang,” Suara Ollivander terdengar bergetar. “Kau menyelamatkan kami, aku
pikir kami akan mati di tempat itu, aku tidak pernah bisa berterima kasih… tak pernah
bisa cukup berterima kasih….”
Bekas luka Harry berdenyut. Dia tahu, dia dapat memastikan, bahwa hanya ada sedikit
waktu tersisa yang bisa digunakan untuk melawan Voldemort mendapatkan
keinginannya, atau paling tidak mencoba menggagalkannya. Dia merasakan sedikit
kepanikan… sebelumnya dia telah membuat keputusan ketika dia memilih untuk
berbicara dengan Griphook terlebih dahulu. Berpura-pura tenang seperti yang tidak dia
rasakan, dia merogoh ke dalam kantong di lehernya dan mengeluarkan potongan
tongkatnya yang terbelah dua.
“Mr. Ollivander, Saya butuh sedikit bantuan.”
“Katakan saja. Katakan saja.” Kata pembuat tongkat itu dengan lemah.
“Dapatkah Anda memperbaiki ini? Apakah mungkin?”
Ollivander mengadahkan tangan, dan Harry meletakkan tongkat yang nyaris terputus itu
di telapak tangannya.
“Kayu holly dan bulu phoenix,” kata Ollivander dalam suaranya yang gemetar. “sebelas
inci, bagus dan fleksibel.”
“Ya.” Kata Harry. “Dapatkah Anda…?”
“Tidak,” bisik Ollivander. “Aku menyesal, sangat menyesal. Tapi sebuah tongkat yang
telah menderita kerusakan seperti ini tidak dapat diperbaiki oleh kemampuan yang aku
miliki.”
Harry telah mencoba bertahan mendengarnya, tapi itu terbang hilang. Dia mengambil
tongkat yang hampir terbelah dua itu dan meletakkannya di katong disekeliling lehernya.
Ollivander memandang tempat di mana tongkat yang rusak itu menghilang, dan tidak
memalingkan wajah sampai Harry mengambil dari sakunya dua tongkat yang dia bawa
dari rumah Malfoy.
“Dapatkah Anda mengenali ini?” Harry bertanya.
Pembuat tongkat itu mengambil tongkat yang pertama dan memegangnya dekat mata
pudarnya, memutarnya diantara jarinya yang kurus kering, memperhatikan bayangannya.
“Kayu kenari dan pembuluh jantung naga,” katanya. “dua puluh tiga-per-empat inci,
keras hati. Tongkat ini milik Bellatrix Lestrange.”
“Dan yang satu ini?”
Ollivander melakukan pengujian yang sama.
“Hawthorn dan rambut unicorn. Tepat sepuluh inci. Elastis. Ini tongkat milik Draco
Malfoy.”
“Miliknya?” ulang Harry. “Masih miliknyakah?”
“Mungkin tidak, jika kau mengambilnya.”
“… aku melakukannya.”
“… kalau begitu ini milikmu. Tentu saja, manusia sering melakukannya. Seringkali
tergantung pada tongkatnya. Pada umumnya, bagaimanapun, jika sebuah tongkat telah
dimenangkan, kepemilikannya akan berubah.”
Ada kesunyian di ruangan itu, kecuali desiran di laut.
“Anda berbicara seolah tongkat memiliki perasaan,” kata Harry. “ Sepertinya mereka
dapat berpikir sendiri.”
“Tongkat yang memilih penyihir,” kata Ollivander. “inilah hal yang sudah lama kami
percayai sebagai orang yang mempelajari pembuatan tongkat.”
“Mesikupun begitu, masihkah seseorang dapat menggunakan tongkat yang tidak memilih
mereka?” kata Harry.
“Oh ya, kau dan setiap penyihir lainnya dapat menyalurkan sihir melalui benda apapun.
Meskipun demikian, hasil terbaik pasti selalu datang keterikatan terkuat antara penyihir
dan tongkat sihir. Hubungan ini rumit. Sebuah pertunjukan awal dan kemudian saling
mencari pengalaman, penyihir belajar dari tongkatnya, dan tongkatnya belajar dari
penyihirnya.”
Lautan menyembur ke depan dan ke belakang: seperti suara gumaman.
“Saya mengambil ini dari Draco Malfoy dalam pertempuran,” kata Harry. “Dapatkah
saya menggunakannya dengan aman?”
“Aku rasa demikian. Berdasarkan Hukum Kepemilikan Tongkat Sihir, tongkat sihir hasil
pertempuran biasanya akan membelokkan kemauannya pada penguasa barunya.”
“Jadi bisakah saya menggunakan yang satu ini?” kata Ron, menarik tongkat Wormtail
dari dalam sakunya dan menyerahkannya pada Ollivander.
“Kastanye dan pembuluh jantung naga. Sembilan setengah inci. Rapuh. Aku
diperintahkan membuat tongkat ini dengan cepat setelah diculik, untuk Peter Pettigrew.
Ya, jika kau memenangkannya, tongkat ini lebih suka melakukan kehendakmu, dan
melakukannya dengan baik, dari pada tongkat yang lain.”
“Dan kejadian ini juga berlaku untuk semua tongkat sihir, kan?” tanya Harry.
“Kurasa demikian,” jawab Ollivander, matanya yang menonjol terpaku pada wajah
Harry. “Kau menanyakan pertanyaan yang dalam, Mr Potter. Pembuatan Tongkat itu
salah satu cabang ilmu sihir yang misterius dan rumit.”
“Jadi, apakah tidak perlu membunuh pemilik tongkat sihir yang sebelumnya untuk
mengambil kepemilikan sebuah tongkat sihir?” tanya Harry.
Ollivander menelan ludah.
“Perlu? Tidak, aku seharusnya tidak mengatakan perlu untuk membunuh.”
“Saya kira ada sebuah legenda,” kata Harry, dan seketika jantungnya berdegup kencang,
rasa sakit dibekas lukanya semakin menjadi; dia menjadi yakin bahwa Voldemort telah
memutuskan menjalankan rencananya. “Legenda tentang sebuah tongkat sihir… atau
tongkat-tongkat sihir… yang diturunkan dari tangan ke tangan melalui pembunuhan.”
Ollivander menjadi pucat. Berlawanan dengan bantalnya yang berwarna salju, dia
berwarna kelabu, dan matanya membesar, merah darah, dan menonjol dengan apa yang
kelihatannya seperti rasa takut.
“Hanya satu tongkat, kurasa,” dia berbisik.
“Dan Kau-Tahu-Siapa tertarik padanya, bukan?” tanya Harry.
“Aku… bagaimana?” kata Ollivander parau, dan dia memandang Ron dan Hermione
dengan pandangan minta tolong. “Bagaimana kau tahu tentang ini?”
“Dia meminta Anda untuk memberitahunya bagaimana hubungan antara tongkat sihir
kami,” kata Harry.
Ollivander terlihat ketakutan.
“Dia menyiksaku, kau harus mengerti! Kutukan Cruciatus, Aku… aku tidak punya
pilihan lain selain memberitahunya apa yang kutahu, apa yang kuperkirakan!”
“Saya mengerti.” Kata Harry. “Anda memberitahunya tentang inti kembar? Anda
mengatakan dia hanya perlu meminjam tongkat sihir penyihir lain?”
Ollivander ketakutan, membatu, dengan banyaknya hal yang diketahui Harry. Dia
mengangguk perlahan.
“Tapi itu tidak berhasil.” Harry melanjutkan. “Tongkat saya tetap menghancurkan
tongkat pinjaman itu. Apakah Anda tahu mengapa itu terjadi?”
Ollivander menggelengkan kepalanya kepalanya dengan perlahan seperti dia
mengangguk tadi.
“Aku…tidak pernah mendengar sesuatu yang seperti itu. Tongkatmu melakukan sesuatu
yang unik malam itu. Hubungan inti yang kembar sangat jarang terjadi, aku belum
mengerti bagaimana tongkat sihirmu dapat menghancurkan tongkat pinjaman itu…”
“Kita berbicara tentang tongkat yang lain, tongkat yang berpindah tangan dengan
pembunuhan. Ketika Kau-Tahu-Siapa menyadari tongkat saya telah melakukan suatu
yang aneh, dia kembali dan menanyakan tentang tongkat yang lain, kan?”
“Bagaimana kau tahu tentang ini?”
Harry tidak menjawab.
“Ya, dia bertanya,” bisik Ollivander. “Dia ingin tahu semua yang dapat kukatakan
tentang tongkat sihir yang sering disebut sebagai Tongkat Kematian, Tongkat Sihir
Nasib, atau Tongkat Elder.”
Harry memandang ke samping pada Hermione. Dia terlihat sangat keheranan.
“Penguasa kegelapan,” kata Ollivander dalam suara bisikan dan ketakutan, “selalu puas
dengan tongkat yang aku buatkan untuknya…Cemara dan bulu phoenix, tiga belas
setengah inci… sampai akhirnya dia mengetahui tentang hubungan inti kembar. Sekarang
dia mencari yang lain, tongkat sihir yang lebih kuat, untuk mengalahkan tongkat
sihirmu.”
“Tapi dia akan segera tahu, jika dia belum mengetahuinya, bahwa tongkat saya yang
rusak tidak dapat diperbaiki,” kata Harry pelan.
“Tidak!” kata Hermione, terdengar ketakutan. “Dia tidak dapat mengetahuinya, Harry,
bagaimana bisa…”
“Priori Incantatem,” kata Harry. “kita meninggalkan tongkat sihirmu dan tongkat sihir
blackthorn di rumah Malfoy, Hermione. Jika mereka menguji tongkat itu dengan baik,
membuat tongkat-tongkat itu menunjukkan kembali mantra terakhir yang dilontarkan,
mereka akan melihat tongkatmu merusak tongkatku, mereka akan melihat bahwa kau
berusaha dan gagal untuk memperbaikinya, dan mereka akan sadar bahwa aku telah
menggunakan tongkat blackthorn sejak itu.”
Sedikit warna yang telah timbul sejak kedatangan mereka telah menghilang dari wajah
Hermione. Ron memberikan Harry tatapan mencela, dan berkata, “Mari kita tidak usah
menghawatirkan itu sekarang…”
Tetapi Mr. Ollivander menyela.
“Penguasa kegelapan tidak hanya mencari Tongkat Elder untuk kehancuranmu, Mr.
Potter. Dia berkeinginan untuk memilikinya karena dia percaya tongkat itu membuatnya
sangat kebal.”
“Dan mungkinkah itu?”
“Pemilik Tongkat Elder pasti takut diserang,” kata Ollivander, “tapi rencana Penguasa
Kegelapan untuk memiliki Tongkat kematian adalah, kalau boleh kukatakan…hebat.”
Harry tiba-tiba ingat betapa tidak yakinnya dia, ketika mereka bertemu pertama kali,
berapa besar dia menyukai Ollivander. Bahkan sekarang, setelah mendapat siksaan dan
ditahan oleh Voldemort, rencana Penyihir Hitam yang ingin memiliki tongkat ini
kelihatannya mempesonakannya sama besarnya dengan penolakannya terhadap
Voldemort.
“Anda… Anda benar-benar berpikir tongkat ini ada, kalau begitu, Mr. Ollivander?” tanya
Hermione.
“Oh ya,” kata Ollivander. “Ya, sangat mungkin sekali untuk menjejaki tongkat itu
berdasarkan sejarah. Ada celah, tentu saja, dan panjang, saat tongkat itu menghilang dari
penglihatan, hilang sementara atau disembunyikan; tapi tongkat itu masih ada. Tongkat
itu memiliki karakteristik yang dikenal oleh siapa saja yang telah mempelajari
pengenalan pembuatan tongkat sihir. Ada catatan tertulis, beberapa samar-samar, yang
aku dan pembuat tongkat lainnya buat menjadi urusan yang dipelajari. Mereka
mempunyai lingkaran tertulis”
“Jadi Anda… Anda tidak berpikir ini hanya cerita dongeng atau mitos?” Hermione
berkata penuh harap.
“Tidak,” kata Ollivander. “Mekipun aku tidak tahu tongkat itu beralih dengan
pembunuhan. Sejarah tongkat itu berdarah, tapi itu mungkin merupakan nasib wajar bagi
tongkat yang nyata sangat diinginkan, dan menimbulkan minat para penyihir.
Kekuatannya yang luas, berbahaya di tangan yang salah, dan sebuah benda yang luar
biasa mengagumkan bagi kami semua yang mempelajari kekuatan tongkat sihir.”
“Mr. Ollivander,” kata Harry, “Anda memberi tahu Kau-Tahu-Siapa bahwa Gregorovitch
memiliki Tongkat Elder, kan?”
Ollivander menjadi, jika mungkin, lebih pucat. Dia terlihat seperti hantu ketika dia
menelan ludah.
“Tapi bagaimana… bagaimana kau…?”
“Tidak peduli bagaimana saya mengetahuinya,” kata Harry, menutup matanya sebentar
ketika bekas lukanya serasa terbakar dan dia melihat, untuk beberapa saat, sebuah
penglihatan jalan utama Hogsmeade, masih gelap, karena tempat itu berada lebih di utara.
“Anda memberitahu Kau-Tahu-Siapa bahwa Gregorovitch mempunyai tongkat itu?”
“Itu hanya sebuah rumor,” bisik Ollivander. “Sebuah rumor, bertahun-tahun yang lalu,
jauh sebelum kau lahir, aku yakin Gregorovitch yang memulainya. Kau dapat melihat
betapa bagusnya itu untuk bisnis; bahwa dia mempelajari dan menduplikasi kualitas
Tongkat Elder.”
“Ya, saya menyadarinya,” kata Harry. Dia berdiri “Mr. Ollivander, satu hal lagi, dan
kami akan membiarkan Anda beristirahat. Apa yang Anda ketahui tentang Benda Suci
sang Maut—Deathly Hallows?”
“Benda… benda apa?” tanya sang pembuat tongkat, terlihat benar-benar keheranan.
“Benda Suci sang Maut.”
“Aku takut aku tidak mengetahui apa yang kau bicarakan. Apakah ini masih sesuatu yang
berkaitan dengan tongkat sihir?”
Harry memandang wajah kurus itu dan percaya bahwa Ollivander tidak berdusta. Dia
tidak mengetahui tentang Benda Suci itu.
“Terima kasih,” kata Harry, “Terima kasih banyak, kami meninggalkan Anda agar dapat
beristirahat sekarang.”
Ollivander terlihat terpukul.
“Dia menyiksaku!” dia terengah. “Kutukan Cruciatus… kau tidak mengerti…”
“Saya mengerti,” kata Harry, “Saya sangat mengerti, saya mohon beristirahatlah. Terima
kasih telah menjelaskan semua ini kepada kami.”
Harry memimpin Ron dan Hermione menuruni tangga. Harry melihat sekilas Bill, Fleur,
Luna, dan Dean duduk di depan meja di dapur, cangkir teh di depan mereka. Mereka
melihat Harry ketika dia muncul di ambang pintu, tapi dia mengangguk pelan pada
mereka dan melanjutkan berjalan ke kebun. Ron dan Hermione di belakangnya.
Gundukan tanah merah yang menutupi Dobby terhampar di depan, dan Harry berjalan ke
arahnya, ketika sakit di kepalanya menjadi lebih terasa. Dibutuhkan usaha yang kuat
sekarang untuk menutup penglihatan yang didorong mereka padanya, tapi dia tahu bahwa
usahanya hanya dapat bertahan sebentar. Dia bisa segera berhasil, karena dia perlu
mengetahui apakah teorinya benar. dia hanya perlu membuat satu usaha kecil, sehingga
dia dapat menjelaskannya kepada Ron dan Hermione.
“Gregorovitch mempunyai Tongkat Elder pada masa lalu,” dia berkata, “Aku melihat
Kau-Tahu-Siapa mencoba menemuinya. Ketika dia bertemu dengan Gregorovitch, Kau-
Tahu-Siapa menemukan bahwa dia sudah tidak memilikinya: tongkat itu telah dicuri
darinya oleh Grindelwald. Bagaimana Grindelwald mengetahui bahwa Gregorovicth
memilikinya, aku tidak tahu… tapi jika Gregorovitch cukup bodoh dengan menyebarkan
rumor, ini tidak jadi terlalu sulit.”
Voldemort telah berada di gerbang Hogwarts: Harry dapat melihatnya berdiri di sana, dan
melihat juga lampu berkelip saat subuh, dekat dan semakin dekat.
“Dan Grindelwald menggunakan Tongkat Tertua untuk menjadi kuat. Dan dia ada di
puncak kekuasaannya, ketika Dumbledore menyadari hanya dia yang dapat
menghentikannya, dia berduel dengan Grindelwald dan mengalahkannya, dan mengambil
Tongkat Elder.”
“Dumbeldore memiliki Tongkat Elder?” kata Ron. “Tapi dimana tongkat itu sekarang?”
“Di Hogwarts,” kata Harry, berusaha bertahan dengan mereka di kebun di atas puncak
karang.
“Kalau begitu, ayo!” kata Ron segera. “Harry, ayo pergi dan mendapatkannya sebelum
dia!”
“Sangat terlambat untuk itu,” kata Harry. Dia tidak dapat menolong dirinya sendiri, tapi
memegang kepalanya, berusaha membantunya bertahan. “Dia tahu dimana tongkat itu,
dia ada di sana sekarang.”
“Harry!” Ron berkata putus asa. “Berapa lama kau tahu soal ini… mengapa kau
membuang-buang waktu? Mengapa kau berbicara dengan Griphook duluan? Kita bisa
kehilangan—kita masih bisa pergi—”
“Tidak,” kata Harry, dan dia berlutut di rumput. “Hermione benar. Dumbledore tidak
menginginkan aku memilikinya. Dia tidak ingin aku mengambilnya. Dia ingin aku
memusnahkan Horcrux.”
“Itu tongkat sihir yang tak terkalahkan, Harry.” Ratap Ron.
“Aku tidak seharusnya… aku seharusnya menghancurkan Horcrux…”
Dan sekarang semuanya dingin dan gelap: matahari telah terlihat jelas di cakrawala
ketika memandang melewati Snape, naik dari tanah ke danau.
“Aku akan menemuimu di kastil segera,” dia berkata dengan suaranya yang tinggi dan
dingin. “tinggalkan aku sekarang.”
Snape membungkuk dan berjalan pergi, jubah hitamnya melambai di belakangnya. Harry
berjalan perlahan, menunggu sosok Snape menghilang. Tidak perlu didepan Snape, atau
orang lain, untuk melihatnya kemana dia pergi. Tapi tidak ada cahaya di jendela-jendela
kastil, dan dia dapat meyakinkan dirinya…dan beberapa saat dia melontarkan Mantra
Ilusi di atasnya yang menyembunyikan tubuhnya bahkan dari matanya sendiri.
Dan dia berjalan terus, mengelilingi pinggir danau, memandang bentuk kastilnya tercinta,
kerajaannya yang pertama, warisannya…
Dan itu dia, di samping danau, tercermin di air kelam. Makam marmer putih, tinta kotor
yang tidak perlu diatas pemandangan yang akrab. Dia merasa berjalan dengan cepat yang
dikendalikan oleh euphoria, yang terasa memabukkan dari keinginan dalam
menghancurkan. Dia mengangkat tongkat cemaranya yang lama: betapa menyedihkannya
bahwa ini menjadi pekerjaan hebat terakhir tongkat sihirnya.
Makam itu bergeser terbuka dari kepala ke bagian kaki. Sosok terselubung itu masih
sekurus ketika dia masuh hidup. Dia mengangkat tongkatnya lagi.
Selubung itu terbuka. Wajah itu tembus cahaya, pucat, seperti tenggelam, tapi hampir
awet sempurna. Mereka meninggalkan kacamata di atas hidung bengkoknya: dia tertawa
mengejek. Tangan Dumbledore terlipat diatas dadanya, dan di sana tongkat itu terbaring,
tergenggam diantaranya, terkubur bersamanya.
Apakah orang tua bodoh ini mengira marmer dan kematian dapat melindungi tongkat
sihir itu? Apakah dia berpikir bahwa Penguasa Kegelapan akan takut mengganggu
makamnya? Tangan yang seperti laba-laba itu menjangkau dan menarik tongkat sihir dari
genggaman Dumbledore, dan ketika dia mengambilnya, semburan bunga api memancar
dari ujungnya, berkelip di atas jasad pemiliknya yang lama, akhirnya siap untuk melayani
tuannya yang baru.
Chapter Dua Puluh Lima
Shell Cottage*
Pondok Kerang
Pondok Bill dan Fleur berdiri sendiri di atas jurang yang menghadap ke laut, pada
dindingnya melekat kerang dan air kapur. Tempat yang sunyi dan indah. Kemanapun
Harry pergi, ke pondok kecil atau tamannya, dia dapat mendengar serapan dan aliran air
laut, seperti nafas beberapa raksasa yang tidur. Ia menghabiskan waktunya sepanjang
minggu membuat alasan untuk melarikan diri dari pondok yang ramai itu, berharap
supaya bisa memandang ketinggian langit terbuka, laut, merasakan dingin dan angin asin
di wajahnya.
Besarnya keputusan untuk tidak bersaing dengan Voldemort memperebutkan tongkat
yang membuatnya khawatir. Sebelumnya Harry tidak dapat mengingat kenapa ia memilih
untuk tidak bertindak. Dia dipenuhi keraguan, keraguan bahwa Ron tidak dapat
membantunya sewaktu mereka membahasnya.
“Bagaimana jika Dumbledore menginginkan kita untuk mencari tahu tentang simbol itu
daripada mendapatkan tongkat?” “Bagaimana jika ketika mencari tahu simbol tersebut
maka berarti membuat dirimu layak untuk mendapatkan Hallows?" “Harry, jika itu
memang benar Tongkat Elder, bagaimana seharusnya cara kita membunuh Kau-Tahu-
Siapa.”
Harry tidak mempunyai jawabannya: Ada beberapa saat ketika dia bertanya-tanya apakah
itu telah menjadi sebuah kegilaan karena tidak mencoba untuk mencegah Voldemort
yang membongkar kuburan Dumbledore. Dia bahkan tidak bisa menjelaskannya secara
memuaskan, mengapa dia telah memutuskan untuk menolaknya: Setiap kali dia berusaha
untuk menyusun kembali alasan-alasan dalam dirinya yang sudah membuat keputusan
itu, alasan itu terdengar lemah baginya.
Hal aneh yang terjadi adalah bahwa dukungan Hermione hanya membuat Harry merasa
bingung seperti keraguan Ron. Sekarang, menolak untuk menerima bahwa Tongkat Elder
sebenarnya nyata, Hermione beranggapan bahwa itu adalah benda jahat, dan bahwa cara
Voldemort telah memilikinya tidaklah perlu dipikirkan.
"Kau tidak akan pernah melakukan itu, Harry," Hermione mengatakannya berkali-kali.
"Kau tidak dapat merusak makam Dumbledore."
Tetapi ide dari jenazah Dumbledore, menggetarkan Harry, melebihi kemungkinan bahwa
dia mungkin telah salah mengerti dari tujuan hidup Dumbledore. Dia merasa bahwa dia
masih meraba-raba; dia telah memilih jalurnya tetapi tetap melihat ke belakang, berpikir
jikalau dia salah membaca tanda, jikalau dia seharusnya tidak mengambil jalan yang lain.
Dari waktu ke waktu, kemarahan pada Dumbledore merasukinya lagi, kekuatan
gelombang menghempas melawan karang terjal di bawah pondok, kemarahan bahwa
Dumbledore tidak menjelaskannya sebelum ia meninggal.
"Tetapi apakah dia meninggal?" kata Ron, tiga hari setelah mereka tiba di pondok. Harry
sedang menatap keluar dinding di luar yang memisahkan kebun pondok dari jurang
ketika Ron dan Hermione telah menemukannya; Harry berharap mereka tidak
menemukannya, berharap tidak bergabung di perdebatan mereka.
“Ya, dia meninggal. Ron, Tolong jangan memulainya lagi!”
“Lihat faktanya, Hermione.” Kata Ron, berbicara di seberang Harry yang melanjutkan
memandang langit. “Pemecahan dari kijang. Pedang. Mata yang Harry lihat di cermin ...."
“Harry mengaku dia mungkin membayangkan mata itu! Benarkan, Harry?”
“Aku mungin melakukannya,” kata Harry tanpa melihat Hermione.
“Tetapi kau tidak berpikir melakukannya, kan?” tanya Ron.
“Tidak,” kata Harry
“Itu dia!” sambung Ron, sebelum Hermione dapat mengelaknya.” Jika itu bukan
Dumbledore, coba jelaskan bagaimana Dobby tahu kita berada di bawah tanah,
Hermione?”
“Aku tidak bisa – tapi dapatkah kau jelaskan bagaimana Dumbledore mengirim Dobby
kepada kita jika dia terbaring di kuburan Hogwarts?”
“Aku tidak tahu, itu bisa saja hantunya!”
“Dumbledore tidak akan kembali menjadi hantu,” kata Harry. Ada beberapa hal kecil
tentang Dumbledore yang ia yakini sekarang, tetapi dia tahu lebih banyak. “Dia telah
pergi.”
”Apa yang kau maksud, 'telah pergi’?” Tanya Ron, tetapi sebelum Harry dapat
mengatakan sesuatu, ada suara dibelakangnya, “’Arry?”
Fleur telah keluar dari pondok, rambut perak panjangnya berkibar dihembus angin.
“’Arry, Grip’ook ingin berbicara denganmu. Dia b’rada di kamar tidur terkecil, dia
berkata dia tidak ingin ada yang men’engar.”
Ketidaksukaannya karena Goblin menyuruhnya untuk mengirimkan pesan terlihat jelas;
dia terlihat jengkel saat berbalik ke dalam pondok.
Griphook telah menunggu mereka, seperti yang Fleur katakan, di kamar terkecil dari tiga
kamar yang ada di pondok, tempat dimana Hermione dan Luna menginap semalam. Dia
telah menggambar warna merah tirai katun, langit berawan yang terang yang memberikan
kesan kamar dengan cahaya yang berapi-api di pondok peristirahatan yang berangin.
”Aku telah memutuskan, Harry Potter,” kata goblin, yang duduk menyilangkan kakinya
di kursi pendek, berdendang pada kakinya dengan menggunakan jarinya. “Meskipun
goblin Gringotts akan menyadari penyelundupan, aku telah memutuskan untuk
membantumu ...”
“Itu bagus!” kata Harry, sentakan kelegaan menyelimutinya. ”Griphook, terima kasih,
kami sangat ...”
“... dengan imbalan,” goblin berkata dengan tegas, “sebagai bayaran.”
Terdorong ke belakang, Harry ragu-ragu.
“Berapa banyak yang kau inginkan? Aku punya emas.”
“Bukan emas,” kata Griphook. “Aku punya emas.”
Mata hitamnya berbinar; tidak ada warna putih di matanya.
“Aku menginginkan pedang. Pedang Godric Griffindor.”
Semangat Harry menurun.
“Kau tidak bisa memilikinya,” kata Harry. “Maaf.”
“Lalu,” kata gobblin lembut, “kita punya masalah.”
“Kami bisa memberimu sesuatu yang lain,” kata Ron tak sabar. “ Aku bertaruh keluarga
Lestange mempunyai banyak barang-barang, kau dapat mengambilnya ketika kita masuk
ke dalam lemari besi.”
Ron telah mengatakan hal yang salah. Griphook menjadi marah.
“Aku bukan pencuri, nak! Aku tidak mencoba memperoleh harta yang bukan hakku!”
“Pedang itu milik kami –“
“Tidak,” kata goblin.
“Kami Gryffindor, dan itu dulu kepunyaan Godric Gryffindor –“
“Dan sebelumnya, kepunyaan siapa?” tuntut goblin yang duduk tegak.
“Bukan siapa-siapa,” kata Ron. “ Itu dibuat untuknya, kan?”
“Tidak!” teriak goblin, dipenuhi dengan kemarahan, jari panjangnya menunjuk Ron.
“Kearoganan penyihir lagi! Pedang itu dulu milik Ragnuk, diambil oleh Godric
Gryffindor! Itu adalah harta yang hilang, karya besar goblin! Itu kepunyaan goblin.
Pedang adalah harga dari bayaranku, ambil atau tinggalkan!”
Griphook menatap mereka. Harry melirik yang lain, kemudian berkata, “Kami perlu
mendiskusikan ini, Griphook, jika boleh. Bisakah kau memberi kami beberapa menit?”
Goblin mengangguk, terlihat masam.
Di ruang duduk lantai dasar yang kosong, Harry berjalan menuju perapian, mengerutkan
alis, mencoba untuk berpikir apa yang harus dilakukan. Di sampingnya, Ron berkata,
“Dia bercanda. Kita tidak bisa membiarkan dia mendapatkan pedang itu.”
“Apakah itu benar?” Harry bertanya kepada Hermione. “Apakah pedang itu dicuri
Gryffindor?”
“Aku tidak tahu,” dia berkata tanpa harapan. “Sejarah sihir sering menghindari apa yang
penyihir lakukan kepada ras sihir lainnya, tetapi tidak ada catatan yang aku tahu yang
mengatakan Gryffindor mencuri pedang.”
“Itu akan terdapat di cerita goblin,” kata Ron, “tentang bagaimana penyihir selalu
mencoba mengambil kepunyaan mereka. Aku mengira kita harus memikirkan
keberuntungan kita, dia belum meminta salah satu tongkat kita.”
“Goblin mempunyai alasan bagus untuk tidak menyukai penyihir, Ron.” Kata Hermione.
“Dahulu mereka telah diperlakukan kasar.”
“Goblin tidak seperti kelinci kecil yang lembut, kan?” kata Ron. “Mereka telah
membunuh banyak dari kita. Mereka bermain kotor juga.”
“Tetapi berdebat dengan Griphook tentang siapa ras yang paling curang dan kasar
tidaklah membuat ia menolong kita, kan?”
Ada kesunyian ketika mereka mencoba memikirkan jalan keluar tentang masalah ini.
Harry melihat keluar jendela, pada kuburan Dobby. Luna sedang menata bunga lavender
laut di guci kesukaran di samping batu kubur.
“Oke,” kata Ron, dan Harry berbalik kepadanya, “Bagaimana bila? Kita beritahu
Griphook kita memerlukan pedang hingga kita masuk ke dalam lemari besi dan dia dapat
memilikinya. Ada yang pedang palsu, kan? Kita tukar dan memberinya yang palsu.”
“Ron, dia lebih tahu perbedaannya dari pada kita!” kata Hermione. “Hanya dia yang
menyadari bila tertukar!”
“Yeah, tapi kita bisa kabur sebelum dia menyadarinya …”
Ron takut akan pandangan Hermione padanya.
“Itu,” kata Hermione pelan, “adalah perbuatan hina. Meminta pertolongannya, kemudian
memperdayanya? Dan kau ingin tahu kenapa goblin tidak menyukai penyihir, Ron?”
Telinga Ron berubah merah.
“Baiklah, baiklah! Hanya hal itu yang dapat kupikirkan! Lalu, apa solusimu?”
“Kita perlu menawarkan sesuatu yang lain, sesuatu yang berharga.”
“Hebat, aku akan pergi dan mendapatkan salah satu pedang buatan goblin kepunyaan
leluhur kita dan kau bisa membungkusnya.”
Kesunyian menyelimuti mereka lagi. Harry yakin bahwa goblin tidak menginginkan hal
yang lain melainkan pedang itu, jika mereka mendapatkan suatu yang berharga untuk
ditawarkan. Namun, pedang mereka sangat diperlukan untuk menghancurkan horcrux-
horcrux.
Harry menutup matanya sekejap dan mendengar deburan ombak. Ide bahwa Gryffindor
mungkin mencuri pedang tak menyenangkannya: dia selalu bangga menjadi Gryffindor,
Gryffindor telah membela kelahiran Muggle, penyihir yang berselisih dengan pecinta
darah murni, Slytherin ….
“Mungkin dia berbohong,” Harry berkata, membuka matanya kembali. “Griphook.
Mungkin Gryffindor tidak mengambil pedang itu. Bagaimana kita tahu versi sejarah
goblin, kan?”
“Apakah itu membuat perbedaan?” Tanya Hermione.
“Merubah perasaanku tentang ini,” kata Harry.
Dia mengambil napas panjang. “Kita akan memberitahu dia dapat memiliki padang
setelah dia menolong kita masuk ke dalam lemari besi -- tapi kita akan berhati-hati,
menghindari dalam memberitahu hal yang sebenarnya kapan dia dapat memilikinya.”
Ron perlahan menyeringai. Namun, Hermione terlihat waspada.
“Harry, kita tidak bisa ….”
“Dia dapat memilikinya,” Harry meneruskan, “setelah kita menggunakannya untuk
semua Horcrux. Aku akan pastikan ia mendapatkannya. Aku akan menyimpan katakataku.”
“Tapi itu bisa bertahun-tahun!” kata Hermione.
“Aku tahu, tapi dia tidak memerlukannya. Aku tidak akan berbohong … sungguh.”
Mata Harry dan Hermione bertemu dengan campuran menantang dan malu. Dia ingat
kata-kata yang terukir di pintu gerbang menuju Nurmengard : UNTUK YANG
TERBAIK. Dia menyingkirkan idenya. Apa pilihan yang mereka punya?
“Aku tidak menyukainya,” kata Hermione.
“Aku juga,” Harry menambahkan.
“Yah, Aku kira ini jenius, “ kata Ron yang berdiri kembali. “Mari beritahu dia.”
Kembali di kamar terkecil, Harry membuat penawaran dan dengan hati-hati
mengatakannya seperti tidak memberikan sesuatu yang pasti tentang kapan saat
perpindahan pedang. Hermione mengerutkan dahi ke lantai ketika Harry berbicara; Harry
terganggu karenanya, khawatir bila Hermione mungkin akan menghancurkannya.
Namun, Griphook hanya menatap Harry.
“Aku memegang kata-katamu, Harry Potter, bahwa kau akan memberikan aku pedang
Gryffindor jika aku menolongmu?”
“Ya,” kata Harry.
“Lalu jabat tangan,” kata goblin mengeluarkan tangannya. Harry menerimanya dan
menjabat tangan. Dia bertanya-tanya apakah mata hitam itu melihat kekhawatiran
dirinya. Lalu Griphook melepaskan tangan Harry, dan berkata, ”Jadi. Kita mulai!”
Seperti rencana menyelundup ke Kementrian dimulai lagi. Mereka mengatur untuk
bekerja di ruangan kecil agar aman seperti keinginan Griphook dengan cahaya redup.
“Aku hanya sekali mengunjungi lemari besi Lestrange,” Griphook memberitahu mereka,
“Pada peristiwa aku diberitahu tentang tempat yang di dalamnya terdapat pedang palsu.
Tempat itu adalah salah satu kamar paling kuno. Keluarga penyihir tertua menyimpan
harta mereka di level terdalam, tempat dimana lemari besi terbesar dengan perlindungan
terbaik....”
Mereka seperti dikurung di lemari yang mirip kamar selama berjam-jam. Perlahan-lahan
hari-hari berganti menjadi minggu-minggu. Ada masalah yang datang silih berganti,
seperti ketika persediaan ramuan Polyjuice mereka yang cepat kosong.
“Hanya cukup satu yang tersisa untuk salah satu dari kita,” kata Hermione, memiringkan
mud kental yang seperti ramuan pada cahaya lampu.
“Itu sudah cukup,” kata Harry yang memeriksa tangan Griphook yang menggambar peta
jalan di level terdalam. Penghuni shell cottage pasti dapat menyadari ada sesuatu yang
terjadi, walaupun Harry sering merasa mata Bill mengamati mereka bertiga ketika di
meja makan.
Semakin lama mereka menghabiskan waktu bersama-sama, Harry menyadari bahwa dia
tidak begitu menyukai goblin. Griphook tidak disangka-sangka haus akan darah, tertawa
pada ide yang menyakiti makhluk lain dan terlihat suka pada kemungkinan bahwa
mereka mungkin harus menyakiti penyihir lain untuk sampai ke lemari besi keluarga
Lestrange. Harry bisa tahu bahwa kebenciannya dipunyai yang sama dengan Ron dan
Hermione, tetapi mereka tidak membicarakannya. Mereka membutuhkan Griphook.
Goblin enggan makan bersama mereka. Sesudah kakinya sembuh, dia terus meminta
nampan makanan dibawa ke kamarnya, seperti Ollivander yang tak bergerak-ringkih,
sampai Bill (mengikuti ledakan marah dari Fleur) bermaksud ke atas mengatakan
kepadanya bahwa kebiasaan itu tidak bisa berlanjut. Sesudah itu, Griphook bergabung
dengan mereka di meja makan yang penuh-sesak, meskipun dia menolak untuk makan
makanan yang sama, benar-benar, malahan, ingin benjolan daging mentah, akar, dan
berbagai jamur.
Harry merasa bertanggung jawab: itu ialah, bagaimanapun juga, dia yang sudah
bersikeras bahwa goblin itu harus tinggal di Shell Cottage agar dia dapat bertanya;
kesalahannya bahwa semua anggota keluarga Weasley harus bersembunyi, dan bahwa
Bill, Fred, George, dan Mr Weasley tidak dapat bekerja kembali.
“Maafkan aku,” katanya kepada Fleur, di suatu April sore ketika dia membantu Fleur
menyiapkan makan malam. "Aku tidak pernah bermaksud kau mesti menangani
pekerjaan ini."
Dia baru saja telah menyusun beberapa pisau untuk bekerja, menyumbing bistik untuk
Griphook dan Bill yang lebih memilih daging yang masih berdarah sejak ia diserang oleh
Greyback. Ketika pisau diiris di sebelahnya, ucapannya yang agak cepat-marah melunak.
“’Arry, kau menyelamatkan hidup adikku, Aku tidak melupakannya.”
Ini bukan kejadian yang sebenarnya, tetapi Harry memutuskan untuk tidak
mengingatkannya bahwa sebenarnya Gabrielle tidak pernah berada dalam situasi yang
berbahaya.
"Bagaimanapun juga," Fleur melanjutkan, melambaikan tongkatnya ke pot saus di atas
kompor yang mulai bergelegak sekarang, "Mr. Ollivander pergi ke tempat Muriel, itu
akan memudahkan. Ze goblin," dia memberengut sedikit ketika mengatakannya, "bisa
pindah ke bawah dan kau, Ron, dan Dean bisa mengambil kamar itu."
“Kami tidak berkeberatan tidur di ruang tamu, “ kata Harry yang tahu bahwa Griphook
akan berpikir sangat rendah karena tidur di sofa; membuat Griphook senang adalah salah
satu rencana mereka. “Jangan menghawatirkan kami.” Dan ketika Fleur mencoba untuk
protes, “Kami akan jauh darimu juga, Ron, Hermione, dan aku. Kami tidak akan tinggal
lama-lama disini.”
“Tapi, apa maksudmu? dia berkata, mengerutkan dahi pada Harry, melambaikan
tongkatnya ke casserole dish* yang menggantung di udara. “Tentu saja kau akan tetap
disini, kalian aman di sini!” Dia terlihat seperti Mrs. Weasley ketika mengatakannya, dan
Harry merasa senang seketika itu pintu dibelakannya terbuka. Luna dan Dean masuk,
rambut mereka basah kuyup akibat hujan diluar dan tangan mereka dipenuhi oleh
driftwood*.
"... dan telinga sedikit kecil," Luna sedang berkata, "sedikit seperti kuda nil, Ayah
mengatakan bahwa hanya warna ungu dan berbulu. Dan jika kau ingin memanggil
mereka, kau harus bersenandung; mereka menyukai musik waltz, tidak terlalu cepat ...."
Terlihat gelisah, Dean mengangkat bahu pada Harry ketika ia lewat, mengikuti Luna ke
dalam yang gabungan ruang makan dan ruang duduk dimana Ron dan Hermione sedang
meletakkan meja makan malam. Mengambil kesempatan agar lepas dari pertanyaan
Fleur, Harry merebut dua kendi sari buah semacam labu dan mengikuti mereka. "... dan
jika kamu pernah datang ke rumah kami, aku akan menunjukkan kau sebuah tanduk,
Ayah menulis padaku tentang tanduk itu tetapi aku belum pernah melihatnya, sebab
Pelahap Maut mengambilku dari Hogwarts Express dan aku tidak pernah tiba di rumah
untuk Natal," Luna sedang berkata, ketika dia dan Dean menyalakan kembali api.
"Luna, kami sudah memberitahumu," Hermione memanggilnya. " Tanduk itu meledak.
Itu berasal dari Erumpent, bukan Tanduk-Kisut Snorkack ..."
"Tidak, itu sudah pasti tanduk Snorkack." kata Luna dengan jelas, " Ayah
membertitahuku. Kau tahu, tanduk itu mungkin akan berubah bentuk sekarang, mereka
memerbaiki diri mereka sendiri."
Hermione terkejut dengan apa yang ia dengar dan melanjutkan berbaring ketika Bill
muncul, diikuti Mr. Ollivander yang menuruni tangga. Pembuat tongkat itu masih terlihat
lemah dan bersandar pada lengan Bill yang membantunya mengangkat kopor besar.
“Aku akan merindukanmu, Mr. Ollivander,” kata Luna menghampiri lelaki tua itu.
"Dan kau, sayangku," kata Ollivander menepuk bahu Fleur.
“Kau adalah rasa nyaman yang tak dapat dilukiskan untukku dari tempat yang
mengerikan itu."
"Kalau begitu, au revoir*, Mr. Ollivander," kata Fleur yang mencium kedua pipinya.
"Dan Aku ingin tahu apakah kau dapat membantuku mengirimkan paket untuk bibi Bill,
bibi Muriel? Aku tidak pernah mengganti tiara."
"Itu adalah suatu kehormatan," kata Ollivander sambil membungkuk, "hal yang paling
terakhir yang aku dapat lakukan untuk membalas keramah-tamahanmu."
Fleur mnegeluarkan beludru usang dari peti, yang dia buka untuk diperlihatkan kepada
pembuat tongkat itu. Ada sebuah tiara bercahaya dan berkelip pada cahaya lampu yang
bergantung rendah.
"Batu-Bulan dan Intan," Griphook berkata, yang telah berjalan menyamping pelan-pelan
ke dalam ruang tanpa Harry menyadarinya. "Kupikir, dibuat oleh goblin?"
"Dan dibayar oleh penyihir," Bill berkata dengan tenang dan goblin memberikan tatapan,
keduanya diam-diam saling menantang.
Angin kuat berhembus melawan jendela pondok ketika Bill dan Ollivander akan pergi
malam itu. Sisa dari mereka berjejal di sekeliling meja; siku ke siku dan dengan ruang
yang cukup untuk bergerak, saat mereka mulai untuk makan. Suara arang api patah dan
meletup di samping mereka. Harry menyadari Fleur hanya memainkan makanannya, dia
mengerling ke jendela setiap beberapa menit, bagaimanapun, Bill kembali sebelum
mereka telah menyelesaikan course* pertama mereka, rambut panjang Bill kusut oleh
angin.
"Semuanya baik," ia berkata pada Fleur. "Ollivander telah diurus, Mum dan Dad
memberi salam. Ginny mengirimkan kau semua cintanya, Fred dan George sedang
mengemudikan Muriel keatas, mereka masih menjalankan bisnis pengiriman pesan
burung hantu di kamar tersembunyi. mempunyai tiaranya kembali telah membuatnya
ceria, meskipun. Dia berkata dia pikir kita telah telah mencurinya."
"Ah, dia eez charmant*, bibimu," Fleur berkata dengan marah, melambaikan tongkatnya
dan mengakibatkan plat yang kotor naik dan membentuk suatu tumpukan di udara. Dia
menangkapnya dan berbaris ke luar dari ruang itu.
"Ayahku membuat suatu tiara," Luna yang mulai buka mulut, "yeah, sebenarnya lebih
bisa disebut sebagai mahkota."
Ron menangkap mata Harry dan menyeringai, Harry tahu bahwa ia sedang mengingat
hiasan kepala yang lucu dan menggelikan, yang mereka lihat saat mereka mengunjungi
Xenophilius.
"Ya, dia mencoba untuk membuat ulang diadem Ravenclaw yang hilang. Dia berpikir,
dia mengidentifikasi elemen-elemen pentingnya sekarang. Dengan menambahkan sayap
billywig sangat membuat perbedaan ..."
Ada suara bantingan pintu di pintu depan. Kepala semua orang memutar ke arah itu.
Terlihat tegang, Fleur datang sambil berlari dari dapur, Bill melompati makanannya dan
tongkatnya langsung diarahkan ke pintu, Harry, Ron, dan Hermione melakukan yang
sama. Dengan diam Griphook menyelipkan ke bawah meja, tak terlihat lagi.
"Siapa itu?" Bill teriak.
"Ini Aku, Remus John Lupin!" teriak suara itu melawan suara angin yang menderu. Harry
merasakan ketegangan, apa yang terjadi? "Aku adalah manusia-serigala, menikah dengan
Nymphadora Tonks, dan kau, penjaga rahasia dari shell cottage, memberitahuku alamat
dan memintaku datang bila keadaan darurat!"
Lupin keluar dari ambang pintu. Ia pucat pasi, terbungkus dengan jubah bepergian,
rambutnya yang beruban tersapu angin. Dia berdiri tegak, melihat-lihat ruangan itu,
memastikan siapa yang ada di sana, kemudian berteriak dengan suara keras, "anak lakilaki!
Kami menamainya Ted, setelah bapak Dora!"
Hermione menjerit.
"Apa --? Tonks -- Tonks telah mempunyai bayi?"
"Ya, ya, dia sudah melahirkan!" teriak Lupin. Semua orang di meja menangis bahagia,
bernafas lega: Hermione Dan Fleur kedua-duanya memekik, "Selamat!" dan Ron berkata,
"Blimey, seorang bayi!" seperti dia tidak pernah mendengar hal seperti itu sebelumnya.
"Ya -- ya -- laki-laki," sahut Lupin lagi yang terlihat ling-lung oleh kebahagaiaannya. Dia
melangkah mengelilingi meja dan memeluk Harry, pemandangan di ruang bawah tanah
di Grimmauld Place seperti tidak pernah terjadi.
“Kau akan menjadi ayah angkat?”
“A..ku?” Harry terbata-bata.
“Kau, iya, tentu saja…Dora sangat setuju, tidak ada yang lebih baik …”
"Aku -- yeah -- blimey --"
Harry merasa diliputi keheranan dan kegembiraan, sekarang Bill sedang terburu-buru
mengambil anggur, dan Fleur sedang membujuk Lupin agar bergabung dengan mereka
untuk minum.
“Aku tidak bisa berlama-lama, Aku harus kembali,” kata Lupin ... Dia terlihat lebih muda
dari yang pernah Harry lihat. ”Terima Kasih, terima kasih, Bill”
Bill telah mengisi piala mereka, mereka paham dan mengangkat piala dengan tinggi
untuk bersulang.
“Untuk Teddy Remus Lupin,” kata Lupin. ”penyihir hebat yang telah lahir!"
"S’perti apa dia?" selidik Fleur.
"Aku pikir ia mirip Dora, tetapi Dora pikir ia mirip aku. Tidak banyak mempunyai
rambut. Rambutnya terlihat hitam ketika ia telah dilahirkan, tetapi aku bersumpah
rambutnya berubah jingga sejak satu jam yang lalu. Mungkin pirang saat aku kembali.
Andromeda berkata rambut Tonks mulai berubah warna sehari ia telah dilahirkan." Ia
meminum pialanya. "Oh, ayolah tambah lagi, hanya satu lagi," ia menambahkan dengan
keras ketika Bill mengisi lagi.
Angin menghembuskan pondok kecil dan api yang bagaikan melompat-lompat dan
membuat suara retakan, dan Bill segera membuka botol anggur lain. Berita Lupin yang
nampak telah membuat mereka keluar dari diri mereka sendiri, dipindahkan sebentar dari
keadaan mereka yang sedang terkepung: Kabar kehidupan baru sangat menggembirakan.
Hanya goblin yang nampak tidak disentuh oleh atmosfer yang tiba-tiba berubah menjadi
suatu perayaan, dan sesaat kemudian ia menyelinap kembali ke dalam kamar tidur dan
sekarang sendirian. Harry berpikir hanya ia satu-satunya yang sadar akan hal ini, sampai
ia melihat mata Bill mengikuti goblin yang naik tangga.
"Tidak... tidak... Aku harus segera kembali," akhirnya Lupin berkata, menolak piala lain
yang berisi anggur. Dia berdiri dan menarik jubah bepergiannya menutupi dirinya.
"Selamat tinggal, selamat tinggal... Aku akan mencoba membawa beberapa foto di hari
lain... Mereka akan sangat senang mengetahui bahwa Aku menemui kalian.... "
Ia mengikat jubahnya dan mengucap selamat tinggal dengan memeluk para perempuan
dan berjabat tangan dengan laki-laki, kemudian kembali ke dalam malam yang liar.
“Ayah angkat, Harry!” kata Bill ketika mereka berjalan menuju dapur bersama-sama,
membantu membersihkan meja. “Suatu kehormatan! Selamat!"
Ketika Harry membereskan piala yang kosong yang ia bawa, Bill menarik pintu di
belakang hingga menutup, mencegah pembicaraan terdengar oleh yang lain yang masih
terus merayakannya bahkan setelah Lupin pergi.
“Sebenarnya aku ingin bicara secara pribadi, Harry. Tidak mudah mempunyai
kesempatan saat pondok ini penuh dengan orang.”
Bill ragu-ragu.
“Harry, kau merencanakan sesuatu dengan Griphook.”
Itu adalah sebuah pernyataan buka pertanyaan dan Harry tidak bersusah payah untuk
menyangkalnya. Dia hanya menatap Bill, menunggu.
“Aku tahu goblin,” kata Bill. “ Aku telah bekerja untuk Gringrots setelah lulus dari
Hogwarts. Selama bisa berteman antara penyihir dan goblin, Aku mempunyai teman
goblin – atau, setidaknya goblin yang aku kenal dekat, dan suka.” Sekali lagi Bill raguragu.
“Harry, apakah yang kau inginkan dari Griphook dan apa kau menjanjikan sesuatu
kepadanya sebagai imbalan?”
“Aku tidak dapat memberitahumu,” kata Harry. “Maaf, Bill.”
Pintu dapur terbuka di sebelah mereka; Fleur mencoba membawa banyak piala kosong.
“Tunggu,” Bill memberitahunya. “ Sebentar saja.”
Fleur keluar dan Bill menutup pintu lagi.
“Lalu Aku harus mengatakan ini,” Bill melanjutkan. “ Jika kau melakukan berbagai
penawaran dengan Griphook, dan biasanya sekali jika penawaran itu termasuk harta, kau
harus sangat berhati-hati. Pendapat Goblin terhadap kepunyaan, pembayaran, dan
pengembalian tidaklah sama dengan manusia. ”
Harry merasakan sesuatu yang sedikit menggeliatkan ketidaknyamanan, seolah-olah ada
ular kecil yang bergerak di dalam dirinya.
"Apa maksudmu?" Harry bertanya.
"Kita membicarakan tentang keturunan yang berbeda," Bill berkata. "Perjanjian antara
penyihir dan goblin telah dihawatirkan selama berabad-abad... tetapi kau akan tahu
semuanya dari Sejarah Sihir. Telah terdapat kesalahpahaman di kedua sisi, aku tidak
pernah akan menganggap bahwa penyihir tidak bersalah. Bagaimanapun, ada suatu
kepercayaan antar beberapa goblin, dan mereka yang ada di Gringotts barangkali paling
cenderung akan itu, penyihir itu tidak bisa dipercaya dalam berbagai hal seperti emas dan
harta benda, bahwa penyihir tidak punya rasa hormat untuk kepemilikan goblin."
”Aku menghormati--" Harry memulai, tetapi Bill menggelengkan kepalanya.
“Kau tidak paham, Harry, tidak seorangpun dapat mengerti jika tidak hidup bersama
goblin. Bagi goblin, hal yang paling benar dan pemilik dari semua benda adalah
pembuatnya, bukan pembeli. Benda buatan goblin adalah, di mata goblin, menjadi hak
milik mereka."
"Tapi itu sudah dibeli ..."
"-- kemudian mereka akan menganggap itu disewakan kepada seseorang yang telah
membayar dengan uang. Bagaimanapun, mereka punya kesukaran besar dengan ide atas
benda buatan goblin yang pindah dari penyihir ke penyihir. Kau lihat wajah Griphook
ketika tiara yang lewat di bawah matanya. Ia menentang. Aku percaya ia berpikir, seperti
sesamanya yang sengit, bahwa tiara itu seharusnya telah dikembalikan kepada goblin
ketika pembeli yang asli meninggal. Mereka menganggap kebiasaan kita memelihara
benda buatan goblin, sesuatu yang dilewati dari mereka dari penyihir ke penyihir tanpa
pembayaran lebih lanjut, sedikit lebih banyak seperti pencuri."
Harry mempunyai suatu perasaan tidak menyenangkan sekarang, ia heran apakah Bill
mengira lebih dari apa yang ia perkirakan.
“Semua yang kukatakan,” kata Bill, memegang gagang pintu di belakangnya yang
menuju ke ruang duduk, "Berhati-hatilah atas apa yang kau janjikan kepada goblin,
Harry. Tidak akan lebih berbahaya menerobos Gringotts bila dibandingkan dengan
mengingkari janji pada goblin."
“Baiklah,” kata Harry ketika Bill membuka pintu, “Yeah. Terima Kasih. Aku akan
mengingatnya.”
Dia mengikuti Bill kembali ke yang lainnya dengan pikiran cemas yang datang
kepadanya, tidak ragu-ragu dia telah mabuk. Harry nampak ditetapkan pada posisi yang
sama sebagai ayah angkat yang nekat untuk Teddy Lupin sama seperti ketika Sirius
Black kepadanya.
______________________________________________________________________
* au revoir dalam bahasa Indonesia berarti sampai jumpa.
* driftwood
* charmant dalam bahasa Indonesia berarti punya daya tarik
Chapter 26
Gringotts
Rencana telah disusun, persiapan sudah lengkap; di kamar tidur yang paling kecil, sehelai
rambut panjang dan kasar (dicabut dari sweater yang Hermione kenakan saat di
Kediaman Malfoy) bergulung dalam botol kaca kecil di rak atas perapian.
“Dan kau akan memakai tongkat aslinya,” kata Harry, mengangguk ke arah tongkat
walnut, “jadi menurutku kau akan sangat meyakinkan.”
Hermione tampak ketakutan seolah tongkat itu akan menyengat atau menggigit ketika dia
mengambilnya.
“Aku benci benda itu,” katanya pelan. “Aku benar-benar membencinya. Rasanya serba
salah, tidak berfungsi dengan baik untukku…seperti ada sedikit bagian dari dirinya.”
Mau tak mau Harry mengingat bagaimana dulu Hermione mengabaikan keengganannya
terhadap tongkat blackthorn, ngotot kalau cuma khayalan Harry sajalah tongkat itu tidak
berfungsi sebaik miliknya sendiri, menasehatinya untuk terus berlatih. Harry memilih
untuk tidak membalas Hermione dengan nasehatnya sendiri, bagaimanapun, malam
sebelum serangan mereka ke Gringotts bukanlah waktu yang tepat untuk berseberangan
dengannya.
“Tapi itu mungkin bisa membantumu mendalami karakter,” kata Ron, “pikirkan apa yang
telah dilakukan tongkat itu!”
“Justru itu maksudku!” kata Hermione. “Ini tongkat yang menyiksa ayah dan ibu
Neville, dan siapa yang tahu ada berapa banyak lagi? Ini tongkat yang membunuh
Sirius!”
Harry tidak memikirkan itu sebelumnya: dia memandang tongkat itu dan diliputi
keinginan kuat untuk mematahkan, memotongnya dengan pedang Gryffindor, yang
bersandar di dinding sampingnya.
“Aku rindu tongkatku,” ujar Hermione sedih. “Kuharap Tuan Ollivander akan
membuatkan satu untukku juga.“
Tuan Ollivander telah mengirimkan satu tongkat baru untuk Luna pagi itu. Sekarang dia
sedang berada di padang rumput belakang, menguji kemampuan tongkat itu di bawah
sinar matahari sore. Dean, yang kehilangan tongkatnya di tangan para Perampas,
memandang dengan muram.
Harry memandang tongkat Hawthorn yang sebelumnya milik Draco Malfoy. Dia
terkejut, tapi senang mengetahui bahwa tongkat itu berfungsi dengan baik untuknya,
setidaknya sebaik tongkat Hermione. Mengingat kata-kata Ollivander tentang rahasia
cara kerja tongkat, Harry merasa tahu apa masalah Hermione: Dia tidak memenangkan
kesetiaan tongkat walnut dari Bellatrix pribadi.
Pintu kamar terbuka dan Griphook masuk. Secara refleks, Harry meraih pangkal pedang
dan menariknya mendekat, tapi segera menyesali tindakannya. Dia menyadari bahwa
sang Goblin memperhatikan. Berusaha menutupi situasi yang tidak enak, dia berkata,
“Kami baru saja memeriksa persiapan terakhir, Griphook. Kami sudah bilang Bill dan
Fleur bahwa kita pergi besok dan kami juga berpesan bahwa mereka tak perlu bangun
untuk melihat kita berangkat.”
Mereka telah menegaskan poin ini, karena Hermione harus menjadi Bellatrix sebelum
mereka pergi, dan semakin sedikit Bill dan Fleur tahu apa yang akan mereka lakukan,
semakin baik.
Mereka juga sudah menjelaskan bahwa kemungkinan besar mereka tidak akan kembali.
Setelah kehilangan tenda tua Perkins pada malam para Perampas menangkap mereka, Bill
telah meminjamkan tenda yang lain. Tenda itu sekarang terbungkus dalam tas manikmanik,
yang, membuat Harry terkesan, telah diamankan Hermione dari para Perampas
dengan gagasan sederhana yaitu menjejalkannya di bagian bawah kaos kakinya.
Walaupun dia akan merindukan Bill, Fleur, Luna dan Dean, belum lagi kenyamanan
rumah yang mereka nikmati selama beberapa minggu terakhir, Harry telah menunggununggu
saat untuk keluar dari keterbatasan di Pondok Kerang. Dia sudah capek terusmenerus
berusaha memastikan bahwa mereka tidak dicuri-dengar, capek terkurung dalam
kamar yang kecil dan gelap itu. Yang terpenting, dia ingin sekali terbebas dari
Griphook. Akan tetapi, tepatnya bagaimana dan kapan mereka bakal terpisah dari sang
Goblin tanpa menyerahkan pedang Gryffindor merupakan pertanyaan yang tidak bisa
dijawab Harry. Tak mungkin memutuskan bagaimana cara mereka akan melakukannya,
karena sang Goblin jarang sekali meninggalkan Harry, Ron dan Hermione bertiga saja
lebih dari 5 menit: “Dia bisa memberi pelajaran pada ibuku,” keluh Ron, ketika jari-jari
panjang sang Goblin terus-menerus muncul di daun pintu. Dengan peringatan Bill dalam
otaknya, mau tak mau Harry mencurigai bahwa Griphook waspada terhadap
kemungkinan adanya tipuan. Hermione sungguh-sungguh tidak menyetujui rencana
pengkhianatan sehingga Harry menyerah dalam usaha meminta pendapatnya tentang cara
terbaik bagaimana melakukan itu: Ron, menggunakan kesempatan bebas-Griphook yang
jarang-jarang, memberi usul yang tidak lebih baik dari sekedar, “Kita cuma harus
membawanya kabur, teman.”
Harry sulit tidur malam itu. Berbaring lebih awal, Harry memikirkan apa yang dulu ia
rasakan pada malam sebelum mereka menyusup ke Kementerian Sihir, dan teringat suatu
tekad yang kuat, bahkan hampir-hampir perasaan gembira. Sekarang dia merasakan
guncangan keraguan yang menggelisahkan dan mengganggu: dia tidak bisa membuang
rasa takut bahwa semuanya akan kacau. Dia terus-menerus meyakinkan diri bawa
rencana mereka sudah bagus, bahwa Griphook tahu apa yang mereka hadapi, bahwa
mereka sudah mempersiapkan diri dengan baik menghadapi segala kesulitan yang
mungkin terjadi, tapi dia masih juga merasa resah. Sesekali dia mendengar Ron
bergerak, dan dia yakin Ron pun masih terjaga, tetapi mereka berbagi ruang keluarga
dengan Dean, jadi Harry tidak berkata apa-apa.
Sangat melegakan ketika tiba jam 6 pagi dan mereka bisa keluar dari kantong tidur,
berpakaian dalam kondisi setengah-gelap lalu berjalan pelan menuju kebun, dimana
seharusnya mereka bertemu Hermione dan Griphook. Fajar terasa dingin, tapi agak
berangin mengingat ini bulan Mei. Harry mendongak menatap bintang-bintang yang
berkilau pucat di langit gelap dan mendengar gemuruh ombak menyapu sisi-sisi tebing.
Dia akan merindukan suara-suara itu. Tunas-tunas hijau kecil tumbuh dengan cepat
menembus tanah merah di makam Dobby sekarang, dalam setahun gundukan tanah itu
akan dipenuhi bunga-bunga. Batu putih dengan ukiran nama peri rumah itu mulai luntur
dimakan cuaca. Dia menyadari bahwa mereka tidak mungkin mengistirahatkan Dobby di
tempat yang lebih indah dari itu, tapi Harry merasa pedih memikirkan akan
meninggalkannya di sana. Memandang makam, dia masih bertanya-tanya bagaimana si
peri rumah tahu harus pergi kemana untuk menyelamatkannya. Tanpa sadar jarinya
bergerak menyentuh kantong yang tergantung di lehernya, menyeluruh hingga dia bisa
merasakan pecahan kaca yang tidak rata dimana ia merasa yakin telah melihat mata
Dumbledore. Kemudian dia berputar ketika mendengar suara pintu dibuka.
Bellatrix Lestrange berjalan melintasi padang rumput ke arah mereka, ditemani oleh
Griphook. Sambil berjalan, dia melipat tas manik-manik kecil dan memasukkan ke saku
bagian dalam jubah tua yang mereka ambil dari Grimmauld Place. Meskipun Harry tahu
pasti kalau itu Hermione, dia tidak bisa menahan getaran kebencian. Bellatrix lebih
tinggi daripada Harry, rambut hitam panjang berombak dipunggungnya, kelopak matanya
yang berat tampak menghina ketika memandangnya, tapi lalu ia bicara, dan dia
mendengar Hermione melalui suara Bellatrix yang dalam.
“Rasanya menjijikkan, lebih parah dari akar Gurdy! Oke, Ron, kemarilah jadi aku bisa
me....“
“Baik, tapi ingat, aku tak suka jenggot yang terlalu panjang.“
“Oh, demi Tuhan, ini bukan tentang tampil keren!“
“Bukan begitu, itu menghalangi jalanku! Tapi aku suka hidungku lebih kecil, cobalah
seperti yang terakhir kau lakukan dulu.“
Hermione menghela nafas dan mulai bekerja, bergumam seiring nafasnya sembari
mengubah beberapa aspek dari penampilan Ron. Dia telah menjadi seseorang yang
benar-benar palsu, dan mereka mempercayakan aura kedengkian Bellatrix untuk
melindunginya, sementara Harry dan Griphook tersembunyi dibawah jubah gaib.
“Sudah,“ kata Hermione, “bagaimana penampilannya, Harry?“
Jelas tak mungkin mengenali Ron dibalik penyamarannya, hanya karena Harry benarbenar
mengenalnya dengan baik sajalah ia bisa membedakan. Rambut Ron sekarang
panjang dan berombak, jenggot dan kumisnya coklat lebat, wajahnya bersih tanpa bintikbintik,
hidungnya kecil dan lebar, alis matanya tebal.
“Well, dia bukan tipeku, tapi dia akan berhasil,“ kata Harry. “Bisakah kita pergi?“
Mereka bertiga memandang sekilas ke arah Pondok Kerang, gelap dan sunyi di bawah
bintang yang memudar, lalu memutar tubuh dan mulai berjalan menuju lokasi, di balik
dinding garis batas, dimana mantra Fidelius berhenti bekerja, dan mereka bisa berdisapparate.
Setelah melewati gerbang, Griphook berkata.
“Aku bisa naik sekarang, Harry Potter, kurasa?“
Harry berlutut dan sang Goblin memanjat punggungnya, tangannya bertaut di depan
kerongkongan Harry. Dia tidak berat, tapi Harry tidak suka perasaannya terhadap si
Goblin dan kekuatan mengejutkan eratnya pegangannya. Hermione menarik jubah gaib
dari tas manik-maniknya dan menutupi keduanya.
“Sempurna,“ katanya, berlutut untuk memeriksa kaki Harry, “Aku tidak bisa melihat apaapa.
Ayo pergi!“
Harry berputar di tempat, dengan Griphook di atas bahunya, sekuat mungkin
berkonsentrasi ke Leaky Cauldron, penginapan yang merupakan pintu masuk ke Diagon
Alley. Si Goblin berpegangan lebih erat ketika mereka bergerak memasuki kegelapan
yang menekan, dan beberapa detik kemudan kaki Harry menapaki trotoar kemudian saat
ia membuka matanya tampaklah jalan Charing Cross. Para muggle lewat dengan tergesagesa,
dengan ekspresi setengah hati pagi hari, tanpa menyadari keberadaan penginapan
kecil itu.
Bar Leaky Cauldron nyaris kosong. Tom, pemilik penginapan yang bungkuk dan
ompong, sedang mengelap gelas-gelas dibalik meja bar, sepasang penyihir bergumam
mengobrol di pojok yang jauh sambil memandang sekilas pada Hermione kemudian
menjauhkan diri kedalam kegelapan.
“Madam Lestrange,” Tom bergumam, dan ketika Hermione berhenti sejenak dia
menundukkan kepala dengan patuh.
”Selamat pagi,“ kata Hermione, dan ketika Harry bergerak cepat, masih menggendong
Griphook di bawah jubah gaib, dia melihat Tom terkejut.
”Terlalu sopan,“ Harry berbisik di telinga Hermione ketika mereka melangkah keluar dari
penginapan menuju halaman belakang yang kecil.
”Kau harus memperlakukan orang seolah mereka sampah.“
“Oke, oke!“
Hermione mengangkat tongkat Bellatrix dan mengetuk batu bata tertentu di dinding
depan mereka. Batu bata langsung berputar: Tampak lubang di tengah-tengahnya, yang
semakin melebar, akhirnya membentuk gerbang lengkung menuju jalan Cornblock
sempit yang merupakan Diagon Alley.
Masih sunyi, belum waktunya toko-toko buka, dan hampir tidak ada orang berbelanja.
Jalan cornblock berliku-liku itu telah banyak berubah sekarang dari tempat berisik yang
dikenal Harry bertahun-tahun yang lalu sebelum ia masuk Hogwarts. Lebih banyak lagi
toko ditutup daripada sebelumnya, meski beberapa toko baru yang beraliran sihir hitam
bermunculan sejak kunjungan terakhirnya. Wajah Harry sendiri memandangnya dari
poster yang tertempel di kaca-kaca, semuanya dengan tulisan YANG TIDAK
DIINGINKAN NOMOR SATU.
Beberapa orang berpakaian compang-camping duduk meringkuk di depan pintu. Dia
mendengar mereka mengemis kepada orang lewat, memohon uang emas, berusaha
meyakinkan bahwa mereka benar-benar penyihir. Tampak pula seorang laki-laki dengan
pembalut penuh darah yang menutupi matanya.
Ketika mereka mulai melangkah menuju jalan cornblock, pengemis-pengemis itu
memandang sekilas ke arah Hermione. Sepertinya mereka segera menghilang satu
persatu, menutupi wajah dengan kerudung, dan kabur secepat mungkin.
Hermione mengikuti mereka dengan pandangan mata yang aneh, hingga laki-laki dengan
pembalut penuh darah tiba-tiba menghalangi jalannya.
“Anak-anakku,“ dia berteriak sambil menunjuk Hermione. Suaranya pecah, bernada
tinggi, kedengaran bingung. “Dimana anak-anakku?” Apa yang dia lakukan pada
mereka? Kau tahu, kau tahu!”
“Aku—aku benar-benar—,“ Hermione tergagap.
Laki-laki itu sekonyong-konyong maju mendekatinya, dan berusaha mencekik lehernya.
Lalu, bersamaan dengan suara keras dan semburan cahaya merah dia terlempar ke
belakang, jatuh ke tanah tak sadarkan diri. Ron berdiri disana, tongkatnya masih
teracung dan ekspresi tegang terlihat dibalik jenggotnya.
Wajah-wajah muncul di balik kaca-kaca di sepanjang sisi jalan, sementara sekelompok
kecil orang lewat yang kelihatannya-orang-kaya saling bertaut jubah dan mulai menderap
langkah pelan, ingin sekali meninggalkan lokasi.
Kunjungan mereka ke Diagon Alley kemungkinan tidak pernah lebih menarik perhatian
daripada ini, sesaat Harry bertanya-tanya apakah sekarang sebaiknya pergi dan mencoba
memikirkan rencana lain. Tetapi sebelum mereka bisa bergerak atau saling
berkonsultasi, terdengar teriakan dari belakang.
“Kenapa, Madam Lestrange?“
Harry berputar dan Griphook mengeratkan pegangannya di leher Harry. Seorang
penyihir tinggi dan kurus dengan rambut abu-abu lebat dan hidung mancung yang tajam
berjalan dengan langkah panjang kearah mereka.
“Itu Travers,“ desis si Goblin di telinga Harry, tapi saat itu Harry tidak bisa berpikir siapa
Travers itu. Hermione sudah menegakkan diri dan berkata dengan sikap menghina yang
sebaik mungkin:
“Dan apa maumu?”
Travers berhenti berjalan, merasa terhina.
“Dia Pelahap Maut juga!” desah Griphook, dan Harry berjalan menyamping perlahan
untuk menyampaikan informasi itu ke telinga Hermione.
“Aku hanya mencoba menyapa,” kata Travers dingin, “tapi kalau kehadiranku tidak
diharapkan….”
Harry mengenali suaranya sekarang: Travers adalah salah satu Pelahap Maut yang
muncul dirumah Xenophilius.
“Tidak, tidak apa-apa, Travers,” kata Hermione segera, berusaha menutupi kesalahannya.
“Apa kabar?”
“Well, kuakui aku terkejut melihatmu pergi keluar, Bellatrix.”
“Oya? Kenapa?” tanya Hermione.
“Well,” Travers berdehem, “kudengar Penghuni Kediaman Malfoy dikurung dirumah itu,
setelah – ah….pelarian itu.”
Harry berharap Hermione tidak gugup. Jika berita ini benar, dan Bellatrix seharusnya
tidak muncul di hadapan publik….
“Pangeran Kegelapan memaafkan orang yang setia melayaninya di masa lalu,” kata
Hermione meniru sikap menghina Bellatrix secara luar biasa.
“Mungkin reputasimu tidak sebaik aku di matanya, Travers.”
Walaupun Pelahap Maut itu tampak tersinggung, dia juga tampak tidak terlalu curiga.
Dia memandang sekilas saja pada laki-laki yang baru saja dipingsankan Ron.
“Apa yang menyinggungmu?”
“Bukan apa-apa, takkan terjadi lagi,” kata Hermione dingin.
“Orang-orang tanpa tongkat memang bisa jadi masalah,” kata Travers. “Jika mereka
hanya mengemis aku tidak keberatan, tapi salah satu dari mereka benar-benar memintaku
untuk membela perkaranya di Kementerian minggu lalu. “Aku penyihir Tuan, aku
penyihir, ijinkanlah aku membuktikan kepada anda!” katanya sambil bercicit
menirukan. “Seolah-olah aku akan memberinya tongkatku —tapi tongkat siapa,“ tanya
Travers ingin tahu, “yang kau pakai sekarang Bellatrix? Kudengar punyamu sudah--”
“Ini tongkatku,” kata Hermione dingin, memegang tongkat Bellatrix. “Entah gosip apa
yang kaudengar, Travers, tapi sepertinya kau salah informasi.”
Travers kelihatan kaget mendengarnya, dan dia menoleh menghadap Ron.
“Siapa temanmu? Aku tidak mengenalnya.”
“Ini Dragomir Despard,” kata Hermione; mereka telah memutuskan bahwa tokoh fiksi
dari luar negeri adalah penyamaran yang paling aman untuk Ron. “Dia hanya bisa sedikit
Bahasa Inggris, tapi dia menaruh simpati pada tujuan Pangeran Kegelapan. Dia
berkunjung kemari dari Transilvania untuk melihat rezim baru kita.”
”Benarkah? Apa kabar Dragomir?“
”’’Abar baik,“ kata Ron, menjabat tangannya.
Travers mengulurkan dua jari dan menjabat tangan Ron seakan takut mengotori dirinya
sendiri.
“Jadi apa yang membawamu dan teman –ah- yang bersimpati ke Diagon Alley sepagi
ini?” Tanya Travers.
“Aku perlu ke Gringotts,” kata Hermione.
“Kebetulan, aku juga,” ujar Travers. “Emas, emas yang kotor! Kita tidak bisa hidup
tanpanya, kuakui aku menyesalkan keharusan bergaul dengan rekan berjari panjang kita.”
Harry merasa genggaman tangan Griphook mengencang sejenak di lehernya.
“Silakan,” Travers mengisyaratkan Hermione untuk berjalan duluan.
Hermione tak punya pilihan selain berjalan bersamanya dan menyusuri jalan berbatu
yang berliku-liku menuju gedung Gringotts yang seputih salju berdiri menjulang diantara
toko-toko kecil. Ron mengiringi di sampingnya, lalu Harry dan Griphook mengikuti.
Seorang Pelahap Maut yang waspada adalah hal terakhir yang mereka butuhkan, dan
yang paling parah adalah, dengan Travers berada di tempat yang ia yakini sebagai sisi
Bellatrix, tak ada kesempatan bagi Harry untuk berkomunikasi dengan Hermione atau
Ron. Dengan segera mereka sampai di kaki tangga pualam menuju pintu perunggu
besar. Sebagaimana yang telah diperingatkan Griphook, goblin-goblin berseragam yang
biasanya mengapit pintu masuk telah digantikan oleh 2 penyihir, memegang batang
logam emas yang panjang dan kurus.
“Ah, Detektor Kejujuran,” tunjuk Travers dibuat-buat, “Sangat kejam—tapi efektif!”
Dan dia melangkah naik tangga, mengangguk kepada kedua penyihir di sebelah kanan
dan kiri, yang mengangkat batang emas dan menggerakkannya keatas dan bawah
memeriksa seluruh tubuh Travers.
Detektor itu –Harry tahu- mendeteksi mantra dan barang-barang tersembunyi.
Menyadari waktunya hanya beberapa detik, Harry mengarahkan tongkat Draco
bergantian kearah kedua penjaga da bergumam “Confundo” dua kali. Tanpa disadari
oleh Travers, yang memandang pintu perunggu di aula dalam, kedua penjaga tersentak
ketika mantra mengenai mereka.
Rambut hitam panjang Hermine berombak di punggungnya ketika ia menaiki tangga.
“Sebentar, Madam!” kata si penjaga, mengangkat Detektor.
“Tapi kau baru saja melakukannya!“ kata Hermione dalam suara memerintah dan arogan
milik Bellatrix. Travers memandang sekeliling, alisnya terangkat. Si penjaga bingung.
Dia memandang Detektor emas kurus itu lalu memandang rekannya, yang berkata dengan
suara agak linglung.
“Yeah, kau sudah memeriksa mereka, Marius.”
Hermione kembali berjalan, Ron di sampingnya, Harry dan Griphook yang tidak tampak,
berlari di belakangnya, Harry memandang sekilas ke belakang saat mereka melalui
ambang pintu. Kedua penyihir sedang menggosok-gosok kepalanya.
Dua goblin berdiri di depan pintu dalam, yang terbuat dari perak dan membawa tulisan
peringatan tentang hukuman mengerikan bagi calon pencuri. Harry melihatnya, dan tibatiba
ingatan setajam-pisau muncul di kepalanya: Berdiri tepat di titik ini pada hari dia
berusia 11 tahun, ulang tahun terhebat dalam hidupnya, dan Hagrid berdiri di sampingnya
berujar, “Seperti kataku, m’reka gila klo’ coba m’rampoknya.” Gringotts tampaknya
tempat yang aneh hari itu, tempat penyimpanan sihir berisi segunung emas yang tak
pernah ia tahu telah dimilikinya, dan tak pernah sekejap pun dia bermimpi akan kembali
untuk mencuri…. Tapi dalam hitungan detik mereka sudah berdiri di aula bank berlantai
pualam yang sangat luas itu.
Meja kasir panjang dijaga oleh seorang Goblin yang duduk diatas kursi tak berlengan
yang sedang melayani pelanggan pertama hari itu. Hermione, Ron dan Travers
menghadapi goblin tua yang sedang memeriksa sebuah koin emas tebal melalui sebuah
kacamata. Hermione membiarkan Travers untuk melangkah lebih dulu dengan alasan
yang dibuat-buat, yaitu menjelaskan bagian-bagian ruangan kepada Ron.
Goblin itu melontarkan koin yang dipegangnya ke samping, berkata tidak kepada siapasiapa,
“Leprechaun,” dan lalu menyambut Travers, yang memberikan sebuah kunci emas
kecil, diperiksa, kemudian dikembalikan lagi padanya.
Hermione melangkah ke depan.
“Madam Lestrange!” kata sang Goblin, jelas sekali terkejut. “Astaga! Apa—apa yang
bisa saya bantu hari ini?“
“Aku ingin memasuki lemari besiku,” kata Hermione.
Sang Goblin tua tampak sedikit terlonjak. Harry memandang sekilas sekeliling. Tak
hanya Travers yang tidak bergerak, mengawasi, tapi beberapa goblin yang lain pun
mengangkat kepala dari pekerjaannya, memandang Hermione.
“Anda punya….identitas?” tanya sang goblin.
“Identitas? Aku—aku belum pernah dimintai identitas sebelumnya!” kata Hermione.
“Mereka tahu!” bisik Griphook di telinga Harry, “Mereka pasti telah diperingatkan akan
kemungkinan adanya penipu!”
“Tongkat anda akan membuktikannya, Madam,” ucap si goblin. Ia mengangkat tangan
yang gemetar, dan tiba-tiba dalam diri Harry muncul kesadaran yang mengkuatirkan, ia
menduga bahwa para goblin Gringotts pastilah telah diperingatkan bahwa tongkat
Bellatrix telah dicuri.
“Lakukan sesuatu, lakukan sesuatu!” bisik Griphook di telinga Harry. “Kutukan
Imperius!”
Harry mengangkat tongkat hawthorn dari dalam jubah, mengarahkan ke goblin tua, dan
berbisik, untuk yang pertama kali dalam hidupnya, “Imperio!”
Sebuah sensasi aneh menjalari lengan Harry, perasaan pedih, kehangatan yang sepertinya
mengalir dari pikirannya, turun ke otot dan pembuluh darah, menghubungkannya ke
tongkat dan kutukan yang baru saja dilancarkannya.
Goblin itu mengambil tongkat Bellatrix, memeriksanya dari dekat, lalu berkata, “Ah,
anda telah membuat tongkat baru, Madam Lestrange!”
“Apa?” ujar Hermione. “Tidak, tidak, itu milikku—“
“Tongkat baru?” tanya Travers, mendekat ke meja lagi; para goblin di sekitarnya masih
mengawasi. “Tapi bagaimana kau melakukannya? Siapa pembuat tongkat yang kau
pakai?”
Harry bertindak tanpa berpikir. Mengarahkan tongkat ke Travers, ia bergumam,
“Imperio!” sekali lagi.
“Oya, aku mengerti,” kata Travers, memandang tongkat Bellatrix, “Ya, sangat tampan,
dan berfungsi dengan baik? Aku selalu berpikir tongkat membutuhkan sedikit latihan,
bukan begitu?”
Hermione tampak benar-benar bingung, tapi mengingat kemungkinan bantuan dari Harry,
dia menerima saja perubahan peristiwa yang ganjil itu tanpa berkomentar.
Goblin di belakang meja menepuk tangan dan goblin yang lebih muda datang mendekat.
“Aku perlu Logam Gerincing*,“ ia berkata pada si goblin muda, yang bergerak cepat dan
kembali lagi sesaat kemudian membawa tas kulit yang tampaknya penuh logam-logam
gemerincing dan memberikannya pada sang senior. ”Bagus, bagus! Jadi, jika anda
berkenan mengikuti saya, Madam Lestrange,“ kata goblin tua, melompat turun dari kursi
tak berlengan dan menghilang dari pandangan, ”Saya akan mengantar anda ke lemari
besi.“
Dia muncul di ujung meja, berjalan dengan riang kearah mereka, isi tas kulit masih
gemerincing. Travers masih berdiri dengan mulut ternganga lebar. Ron memperhatikan
fenomena ganjil ini dan memandang Travers dengan bingung.
“Tunggu—Bogrod!“
Goblin yang lain datang tergesa-gesa menuju meja.
“Kita punya instruksi,“ katanya sambil menghormat kearah Hermione. “Maafkan saya,
Madam, tapi ada perintah khusus berkaitan dengan lemari besi keluarga Lestrange.“
Dia segera berbisik ke telinga Bogrod, tapi si goblin di bawah kutukan imperius itu
menggeleng.
“Aku mengerti instruksi itu, tapi Madam Lestrange perlu ke lemari besinya...keluarga
yang amat tua...klien lama...sebelah sini, silakan...“
Dan, masih gemerincing, dia bergegas menuju salah satu pintu di aula. Harry
memandang Travers lagi, yang masih terpaku di tempat, kelihatan bengong yang tidak
wajar, dan mengambil keputusan. Dengan sentilan tongkatnya ia membuat Travers
bergerak bersama mereka, berjalan dengan taat di belakang, sesampai mereka di pintu
dan memasuki jalan berbatu kasar dibaliknya, yang diterangi obor menyala.
“Kita dalam masalah, mereka curiga,“ kata Harry ketika pintu berdebam di belakangnya
dan ia menarik jubah gaib. Griphook melompat dari bahunya: baik Travers maupun
Bogrod tak menunjukkan keterkejutan pada pemunculan Harry Potter di tengah-tengah
mereka secara tiba-tiba. “Mereka dibawah kutukan Imperius,“ dia menambahkan,
sebagai respon atas kebingungan Hermione dan Ron terhadap Travers dan Bogrod, yang
keduanya berdiri dengan hampa. “Aku tak tahu apakah telah melakukannya dengan
cukup kuat, aku tak yakin...“
Dan ingatan lain tiba-tiba muncul di kepalanya, Bellatrix Lestrange yang asli berteriak
kepadanya saat pertama kali ia mencoba menggunakan Kutukan-Tak-Termaafkan: “Kau
harus benar-benar menginginkannya, Potter!“
“Apa yang harus kita lakukan?“ tanya Ron. ”Haruskah kita keluar sekarang, selagi masih
mungkin?“
“Kalau bisa,“ kata Hermione, menoleh ke belakang kearah pintu menuju aula utama,
dimana tak ada yang tahu apa yang sedang terjadi.
“Kita sudah sejauh ini, menurutku kita teruskan,“ usul Harry.
“Bagus!“ ujar Griphook. “Jadi kita perlu Bogrod untuk mengendalikan kereta; aku tidak
lagi mempunyai otoritas itu, tapi takkan ada tempat untuk penyihir.“
Harry mengarahkan tongkat pada Travers.“
“Imperio!“
Penyihir itu berputar dan mulai melangkah cepat sepanjang jalan gelap.
“Apa yang kau perintahkan padanya?”
”Bersembunyi,” kata Harry lalu mengarahkan tongkatnya pada Bogrod, yang bersiul
untuk memanggil kereta kecil yang datang menggelinding sepanjang jalur di depan
mereka, muncul dari kegelapan. Harry yakin telah mendengar teriakan di aula utama
belakang mereka ketika mereka semua memanjat dengan susah payah ke dalam kereta,
Bogrod di depan Griphook, sementara Harry, Ron dan Hermione berjejal di belakang.
Dengan satu sentakan kereta mulai berjalan, semakin menambah kecepatan: Mereka
melewati Travers dengan cepat, yang menggeliat menjejalkan diri kedalam retakan di
dinding, lalu kereta mulai berputar dan berbelok menuju jalan-jalan labirin, terusmenerus
miring ke bawah. Harry tak bisa mendengar apapun selain bunyi derak kereta
yang melaju di atas jalur: Rambutnya melambai di belakangnya ketika mereka berbelok
dengan tiba-tiba melewati stalagtit, semakin jauh kedalam bumi, tapi dia masih juga
terus-menerus mencuri pandang ke belakang. Mereka mungkin telah meninggalkan jejak
besar di belakang, semakin dia memikirkannya, semakin konyol rasanya penyamaran
Hermione sebagai Bellatrix, membawa-bawa tongkatnya, ketika para Pelahap Maut tahu
siapa yang mencurinya—
Mereka masuk lebih dalam daripada yang Harry pernah masuki; mereka melewati
tikungan tajam dengan cepat, dan melihat di depan mereka, dalam hitungan detik, air
terjun deras menghujani jalur kereta. Harry mendengar Griphook berteriak, “Tidak!” tapi
kereta tidak berhenti. Mereka terus bergerak dengan kecepatan tinggi memasukinya. Air
memenuhi mata dan mulut Harry: Dia tidak bisa melihat maupun bernafas.
Lalu, dengan goncangan tak karuan, kereta itu terbalik dan mereka semua terlempar
keluar. Harry mendengar kereta menabrak dinding dan hancur berkeping-keping,
mendengar Hermione meneriakkan sesuatu, dan merasakan dirinya sendiri meluncur
kembali ke tanah, seakan tak berbobot, mendarat di lantai berbatu tanpa rasa sakit.
“M—Mantra Pemantul**,” Hermione berbicara dengan gagap, Ron menariknya hingga
berdiri, tapi dengan ngeri Harry menyadari bahwa ia bukan lagi Bellatrix; sebagai
gantinya muncul Hermione dengan jubah terlalu besar, basah kuyup dan benar-benar
telah menjadi dirinya sendiri; Ron sudah berambut merah dan tanpa jenggot lagi. Mereka
menyadarinya ketika saling memandang, merasakan wajah mereka sendiri.
“Penghambat Pencuri***!” seru Griphook, berdiri dengan susah payah dan memandang
kembali air bah diatas rel kereta, yang, Harry sadari sekarang, ternyata tidak sekedar air.
“Itu membersihkan semua mantra dan sihir tersembunyi! Mereka tahu ada penyusup di
Gringotts, mereka telah memulai pertahanan melawan kita!”
Harry melihat Hermione sedang memeriksa tas manik-maniknya, dan ia sendiri segera
memasukkan tangan ke dalam jaket untuk memastikan ia tak kehilangan jubah gaib. Lalu
ia menoleh dan melihat Bogrod menggoyang-goyang kepalanya: Penghambat Pencuri
tampaknya telah mengangkat kutukan imperius dari dirinya.
“Kita butuh dia,” kata Griphook, “kita tidak bisa masuk lemari besi tanpa goblin
Gringotts. Dan kita perlu Logam Gerincing.”
“Imperio!” Harry memantrai lagi; suaranya bergema di jalan berbatu dan merasakan lagi
sensasi keras yang mengalir dari pikirannya ke tongkat. Bogrod patuh lagi pada
kemauannya, ekspresi bingungnya berubah menjadi sikap acuh tak acuh yang sopan, Ron
segera mengambilkan tas kulit berisi benda-benda logam.
“Harry, kurasa aku mendengar orang datang,” kata Hermione dan dia mengarahkan
tongkat Bellatrix pada air terjun dan berteriak, “Protego!”. Mereka melihat Mantra
Pelindung membelah aliran air sihir itu saat mengguyur jalan.
“Ide yang bagus,” kata Harry, “Tunjukkan jalannya, Griphook!”
“Bagaimana caranya kita keluar lagi?” tanya Ron saat mereka bergegas berjalan kaki ke
dalam kegelapan mengikuti Griphook, Bogrod terengah-engah di belakang mereka
seperti anjing tua.
“Kita pikirkan nanti saja kalau sudah saatnya,” kata Harry. Dia mencoba mendengarkan:
Ia merasa mendengar sesuatu bergerincing dan bergerak dekat di sekitar mereka.
“Griphook, apa masih jauh?”
“Tak jauh, Harry Potter, tak jauh….”
Mereka berbelok di pojok dan melihat sesuatu yang sebenarnya Harry sudah bersiap diri,
tapi masih juga mereka mendadak berhenti.
Seekor naga raksasa terikat rantai ke lantai di tanah depan mereka, menghalangi jalan
masuk menuju empat atau lima lemari besi terdalam di tempat itu. Sisik makhluk itu
berubah pucat dan pecah-pecah selama pengurungan yang begitu lama di bawah tanah,
matanya memucat merah jambu; kedua kaki belakangnya dipasangi semacam manset
berat yang dihubungkan rantai dengan pasak sangat besar yang terpancang jauh ke dalam
lantai berbatu. Sayapnya yang besar, terlipat di dekat tubuhnya, akan memenuhi ruangan
jika ia merentangkannya, dan ketika ia menolehkan kepalanya ke arah mereka, ia berkoar
dengan suara ribut yang membuat batu-batu bergetar, lalu ia membuka mulut, dan
menyemburkan api yang membuat mereka semua berlari kembali ke jalan naik.
“Ia setengah buta,” kata Griphook terengah-engah, “tapi itu justru membuatnya lebih
buas. Bagaimanapun kita diharuskan mengendalikannya. Ia telah mengetahui apa yang
menantinya ketika Logam Gerincing datang. Berikan padaku Logamnya.“
Ron memberikan tas kepada Griphook, dan goblin itu mengambil beberapa alat-alat
logam kecil yang jika digerakkan menimbulkan suara gemerincing yang panjang seperti
miniatur palu pada landasan besi tempa. Griphook membagi-bagikannya, Bogrod
menerimanya dengan patuh.
“Kalian tahu apa yang harus dilakukan,“ Griphook berkata pada Harry, Ron dan
Hermione. “Mungkin akan terasa sakit ketika mendengar suaranya, tapi ia akan mundur
dan Bogrod harus meletakkan tangannya pada pintu lemari besi.“
Mereka bergerak maju di sekitar tikungan lagi, menggoyangkan kunci-kunci dan
suaranya bergema di dinding berbatu, semakin besar sampai-sampai isi tengkorak Harry
seperti ikut bergetar bersama ruangan. Naga itu meraung lagi, lalu mundur. Harry bisa
melihatnya gemetar, dan saat mereka mendekat dia melihat bekas luka karena sayatan
yang jelek di wajah naga itu dan menduga ia pasti diajar untuk takut pada pedang panas
ketika mendengar suara Logam Gerincing.
“Suruh dia menekan tangannya pada pintu,“ Griphook mengingatkan Harry, yang segera
mengarahkan tongkatnya lagi pada Bogrod. Goblin tua itu menurut, menekan telapak
tangannya pada pintu kayu, dan pintu lemari besi meleleh menampilkan ruangan seperti
gua yang penuh berjejalan koin-koin emas dan piala-piala, baju besi perak, kulit
makhluk-makhluk aneh –beberapa dengan duri-duri panjang, lainnya dengan sayap-sayap
rontok—ramuan dalam botol berkilau dan sebuah tengkorak yang masih memakai
mahkota.
“Cepat, cari!“ kata Harry saat mereka bergegas masuk ke dalamnya. Dia telah
menggambarkan bentuk Piala Hufflepuff kepada Ron dan Hermione, tapi jika itu yang
lain, Horcrux tak diketahui yang terdapat di ruangan ini, ia tak tahu seperti apa
bentuknya. Bagaimanapun Harry hampir tak punya waktu untuk memandang sekeliling,
sebelum suara bising menutup dari belakang mereka: Pintu telah muncul kembali,
mengunci mereka di dalam lemari besi dan mereka terjebak dalam kegelapan total.
“Jangan kuatir, Bogrod akan mengeluarkan kita!“ kata Griphook ketika Ron berteriak
terkejut. “Nyalakan tongkat kalian, bisa kan? Dan cepatlah, waktu kita hanya sedikit!“
“Lumos!“
Harry menyinari sekitar lemari besi dengan tongkatnya yang menyala. Cahayanya
menerpa perhiasan yang berkilau; dia melihat pedang Gryffindor palsu tergeletak diatas
rak tinggi diantara rantai yang campur aduk. Ron dan Hermione juga menyalakan
tongkat mereka, dan sekarang sedang memeriksa tumpukan benda-benda di sekitar
mereka.
“Harry, apakah ini --? Aahh!“
Hermione menjerit kesakitan, Harry langsung mengarahkan tongkat kepadanya dan
melihat piala permata berguling dari pegangannya. Tapi saat piala itu jatuh, ia
membelah, berubah menjadi hujan piala, sehingga sedetik kemudan, dengan bunyi
gemerincing yang berisik, lantai tertutup piala-piala identik di semua penjuru, yang asli
tak mungkin dibedakan lagi.
“Piala itu membakarku!“ rintih Hermione, mengibas-ngibaskan tangan yang melepuh.
“Mereka pasti menambahkan Kutukan Penumbuh dan Pembakar****,“ kata Griphook.
“Semua yang kau sentuh akan terbakar dan menjadi banyak, tapi tiruannya tidak
berharga—jika kalian meneruskan memegang harta, kalian akhirnya akan hancur menuju
kematian karena tertimbun emas yang terus bertambah.“
“Oke, jangan menyentuh apapun!“ kata Harry putus asa, tapi bahkan saat ia
mengatakannya, Ron tak sengaja menyentuh salah satu piala dengan kakinya, dan
duapuluh piala lagi muncul ketika Ron melompat di tempat, sebagian sepatunya terbakar
karena bersentuhan dengan logam panas.
“Tetap disitu, jangan bergerak!“ kata Hermione sambil mencengkeram Ron.
“Cukup lihat saja sekeliling!“ kata Harry. “Ingat piala itu kecil dan emas, ada lambang
terukir di atasnya, dua pegangan –lihat juga barangkali kalian menemukan lambang
Ravenclaw di suatu tempat, elang—.“
Mereka mengarahkan tongkat ke setiap sudut dan celah, berputar di tempat dengan hatihati.
Sangat tidak mungkin tidak menyentuh apapun: Harry menambahkan segunung
galleon palsu bersama piala-piala, dan sekarang sulit sekali mendapatkan tempat untuk
kaki mereka, dan emas berkilau menyala karena panas, sehingga lemari besi itu terasa
seperti tungku. Nyala tongkat Harry melewati pelindung dan helm buatan-goblin
tergeletak dirak yang tergantung di langit-langit; ia mengangkat sinar semakin tinggi,
hingga akhirnya ia menemukan sebuah benda yang membuat jantungnya berdegup
kencang dan tangannya berkeringat.
“Itu dia, di atas sana!“
Ron dan Hermioe mengarahkan tongkat mereka kesana juga, sehingga piala emas kecil
itu berkilau diterpa sinar-tiga-penjuru: piala yang merupakan milik Helga Hufflepuff,
yang berpindah menjadi milik Hebzibah Smith, dari siapa Tom Riddle telah mencurinya.
”Dan bagaimana kita bisa naik ke sana tanpa menyentuh apapun?” tanya Ron.
“Accio piala!” raung Hermione, yang karena putus asa telah melupakan kata-kata
Griphook saat sesi perencanaan.
“Tak ada gunanya, tak ada gunanya!” teriak Griphook.
“Lalu apa yang harus kita lakukan?” tanya Harry, memandang dengan marah kepada si
Goblin, “Jika kau ingin pedang itu, Griphook, kau harus membantu kami lebih dari –
tunggu! Bisakah aku memegang benda dengan pedang itu? Hermione, berikan
pedangnya!“
Hermione meraba ke dalam jubahnya, menarik keluar tas manik-manik, menggeledah
sebentar, lalu memindahkan pedang berkilau. Harry menangkap pangkal pedang yang
berwarna merah tua itu dan menyentuhkan ujung mata pedangnya ke sebuah botol besar
perak di dekatnya, yang ternyata tidak bertambah banyak.
“Kalau aku bisa menusukkan pedang melalui pegangan piala –tapi bagaimana aku bisa
naik kesana?“
Rak tempat piala itu bertengger sangat jauh dari jangkauan mereka, bahkan juga Ron,
yang tubuhnya paling tinggi. Panas dari harta karun sihir itu semakin membumbung ke
angkasa. Keringat membanjiri wajah dan punggung Harry saat dia berusaha memikirkan
cara untuk naik menuju piala; lalu dia mendengar sang naga meraung di sisi lain pintu
lemari besi, dan suara gemerincing terdengar semakin keras.
Mereka benar-benar terjebak sekarang: Tak ada jalan lain kecuali lewat pintu, dan
sekelompok goblin tampaknya semakin mendekat di balik pintu. Harry memandang Ron
dan Hermione dan terlihat ekspresi ngeri di wajah keduanya.
“Hermione,“ panggil Harry, ketika suara gemerincing semakin dekat. “Aku harus naik
kesana, kita harus membebaskan diri dari ini—“
Hermione mengangkat tongkatnya, mengarahkannya pada Harry dan berbisik,
“Levicorpus.”
Tergantung terbalik di pergelangan kakinya, Harry terangkat ke udara, menabrak setelan
baju besi dan tiruannya menyembur keluar seprti tubuh-tubuh putih panas, berjejalan
mengisi ruangan. Dengan teriakan kesakitan, Ron, Hermione dan kedua goblin terdorong
kesamping mengenai benda-benda lain, yang juga mulai berduplikasi.
Setengah terkubur dalam gunungan arus harta yang panas memerah, mereka berjuang dan
berteriak, Harry menusukkan pedang melalui pegangan piala Hufflepuff, mengaitkannya
ke mata pedang.
“Impervius!” jerit Hermione berusaha melindungi dirinya, Ron dan kedua goblin dari
logam yang membara. Lalu jeritan yang sangat mengerikan membuat Harry memandang
ke bawah: Ron dan Hermione tenggelam sebatas pinggang, berjuang mencegah Bogrod
agar tidak terkubur dalam gunungan harta, tapi Griphook sudah tidak kelihatan; hanya
sedikit ujung jari panjangnya yang terlihat.
Harry menangkap jari Griphook dan menariknya. Goblin yang melepuh itu muncul
sedikit demi sedikit, melolong.
“Liberatocorpus!” teriak Harry, dan dengan dentuman keras ia dan Griphook mendarat
di permukaan harta yang terus membengkak, lalu pedang Gryffindor lepas dari tangan
Harry.
“Ambil itu!” Harry berteriak, melawan rasa sakit di kulitnya karena panas logam, ketika
Griphook memanjat ke bahunya lagi, berusaha menghindar dari benda-benda panas
kemerahan yang terus-menerus bertambah. “Dimana pedangnya? Ada pialanya!”
Suara gemerincing di balik pintu semkin memekakkan telinga –sudah terlambat--.
“Disana!”
Griphooklah yang melihatnya dan dia jugalah yang sekonyong-konyong bergerak cepat,
dengan segera Harry menyadari bahwa goblin itu tak pernah mengharapkan mereka
memegang janjinya. Satu tangan berpegang kuat pada segenggam rambut Harry, untuk
memastikan dia tidak jatuh ke dalam lautan emas membara, Griphook menangkap gagang
pedang dan mengayunkannya tinggi di atas jangkauan Harry. Piala emas kecil, yang
pegangannya ditusuk mata pedang itu, terlempar ke udara. Goblin itu duduk
mengangkangi Harry, Harry menukik dan menangkap piala, dan walaupun ia bisa
merasakannya membakar dagingnya, ia tak mau melepaskan, bahkan ketika tak terhitung
banyaknya piala Hufflepuff menyembur dari genggamannya, membanjirinya ketika pintu
masuk lemari besi terbuka lagi dan ia merasakan dirinya terlincir tak terkendali diatas
longsoran emas dan perak menyala-menyala yang terus membengkak dan mendorong
dia, Ron dan Hermione keluar ruangan.
Hampir tak menyadari rasa sakit yang membakar tubuhnya, dan masih bergerak bersama
duplikat harta yang terus membengkak, Harry memasukkan piala ke dalam sakunya,
meraih-raih untuk mendapatkan kembali pedang Gryffindor, tapi Griphook telah
menghilang. Meluncur dari bahu Harry saat ia masih sempat, Griphook berlari untuk
berlindung diantara goblin yang mengelilinginya, mengayunkan pedang dan berteriak,
“Pencuri! Pencur! Tolong! Pencuri!” Dia menghilang di tengah kerumunan yang
mendekat, yang semuanya memegang pisau belati dan yang langsung bersedia
menerimanya tanpa bertanya-tanya.
Tergelincir di logam panas, Harry berusaha untuk berdiri dan menyadari bahwa satusatunya
jalan keluar adalah melewati mereka.
“Stupefy!” ia berteriak, Ron dan Hermione bergabung: kilatan cahaya merah
berkelebatan diantara kerumunan goblin, beberapa tumbang tapi lainnya bertahan, dan
Harry melihat beberapa penyihir berjaga di sekitar tikungan.
Sang naga yang terikat meraung, dan api menyembur ke arah goblin; para penyihir
melarikan diri, menunduk, kembali menuju jalan masuk, dan sebuah inspirasi, atau
kegilaan, muncul di kepala Harry. Mengarahkan tongkatnya pada manset tebal yang
mengikat makhluk itu ke lantai, dia berteriak, “Relashio!”
Manset itu pecah dengan suara keras.
“Sebelah sini!” teriak Harry, dan masih melancarkan Mantra Pemingsan ke arah goblin
yang mendekat, dia berlari ke arah naga buta.
“Harry –Harry—apa yang kau lakukan?” jerit Hermione.
“Naik sini, ayo, cepat—“
Naga itu tak menyadari kebebasannya: Kaki Harry merasakan lekukan kaki belakang
naga dan dia memanjat ke punggungnya. Sisiknya sekeras baja; makhluk itu bahkan
seperti tidak merasakan kehadirannya. Harry merentangkan lengan; Hermione
menaikkan tubuhnya ke atas; Ron memanjat di belakangnya, dan sedetik kemudian sang
naga menyadari ia tak lagi terikat.
Dengan satu raungan dia berdiri di kaki belakangnya: Harry menekan lututnya,
berpegangan seerat mungkin pada sisik yang menonjol ketika sayap-sayapnya membuka,
menyapu ke samping goblin-goblin yang menjerit-jerit, bagaikan bowling, dan
membumbung tinggi ke udara. Harry, Ron dan Hermione, menunduk di punggungya,
bergesekan dengan langit-langit ketika makhluk itu meluncur ke arah jalan yang terbuka,
sementara goblin-goblin yang mengejar melempari pisau belati yang hanya memantul di
sisi-sisi tubuhnya.
“Kita takkan pernah bisa keluar, ini terlalu besar!” jerit Hermione, tapi sang naga
membuka mulutnya dan menyemburkan api lagi, meledakkan terowongan, yang lantai
dan langit-langitnya retak dan ambruk. Dengan sedikit kekuatan, naga itu mencakarcakar
dan berusaha mencari jalan keluar. Mata Harry terpejam karena panas dan debu:
Telinganya pekak oleh bunyi pecahan batu dan raungan naga, dia hanya bisa
berpegangan pada punggung makhluk itu, berharap bisa melepaskan diri pada saat yang
tepat, lalu ia mendengar Hermione berteriak, “Defodio!”
Dia sedang berusaha membantu sang naga memperbesar jalan keluar, menjebol langitlangit
saat makhluk itu berjuang naik menuju udara segar, jauh dari goblin yang
berteriak-teriak dan gemerincing: Harry dan Ron menirunya, meledakkan langit-langit
dengan lebih banyak mantra pencungkil. Mereka melewati danau bawah tanah, dan
akhirnya makhluk besar yang merangkak dan menggeram itu tampaknya merasakan
kebebasan dan ruang gerak, dan di belakang mereka jalan yang tadi dilalui penuh dengan
sampah, ekor berduri, reruntuhan batu, pecahan stalagtit raksasa, dan suara gemerincing
goblin tampak semakin menjauh, sementara di depan, api sang naga memastikan gerak
mereka selanjutnya lancar—
Dan akhirnya, kombinasi antara usaha mantra-mantra mereka dan kekuatan brutal sang
naga, mereka telah meledakkan jalan keluar menuju aula pualam. Goblin dan penyihir
menjerit-jerit dan berlarian mencari perlindungan, dan akhirnya sang naga mempunyai
ruang untuk merentangkan sayapnya: Mengangkat kepala bertanduk ke arah udara
dingin luar yang bisa dirasakannya melalui jalan masuk, ia melambung, dan dengan
Harry, Ron dan Hermione masih berpegangan di punggungnya, makhluk itu mendobrak
jalan melalui pintu logam, meninggalkannya terkait dan tergantung di engselnya, ketika
ia terbang terhuyung-huyung melewati Diagon Alley dan melambung tinggi ke angkasa.
-=-=-=-=--=-=-=-=-=
* Clankers
**Chusioning Charm
***The Thief’s Downfall
****Germino and Flagrante Curses
Chapter 27
The Final Hiding Place
Tempat Persembunyian Terakhir
Tak ada cara untuk mengendalikan sang naga; naga itu tak dapat melihat kemana ia pergi,
dan Harry tahu bahwa jika naga itu berbelok dengan tajam atau berputar di udara, maka
tidak mungkin bagi mereka untuk berpegangan ke punggungnya yang lebar. Meskipun
demikian, saat mereka terbang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi, London terbentang di
bawah mereka seperti peta berwarna abu-abu dan hijau, perasaan gembira Harry yang
meluap adalah suatu bentuk syukur atas sebuah pelarian yang nampak tidak mungkin. Ia
membungkukkan badannya di atas leher naga itu, berpegang erat pada sisik-sisik metalik,
dan angin sepoi-sepoi yang sejuk terasa menenangkan di kulitnya yang terbakar dan
melepuh, sayap naga itu berkepak di udara seperti putaran kincir angin. Di belakangnya,
apakah karena takut atau gembira Harry tidak tahu, namun Ron tak henti-hentinya
menyerukan sumpah-serapah sekuat yang ia bisa, dan Hermione kelihatan menangis
tersedu-sedu.
Setelah lima menit atau lebih, Harry kehilangan sebagian rasa takut bahwa naga itu akan
melemparkan mereka dari punggungnya, karena naga itu kelihatannya tidak bermaksud
apapun kecuali pergi sejauh mungkin dari penjara bawah tanah; walaupun begitu
pertanyaan tentang bagaimana dan kapan mereka akan turun masih terasa agak
menakutkan. Harry tidak tahu berapa lama seekor naga dapat terbang tanpa mendarat,
atau bagaimana naga ini, yang nyaris tak dapat melihat, dapat menemukan tempat yang
baik untuk mendarat. Ia melihat keadaan sekitar terus-menerus, dan membayangkan
bahwa ia dapat merasakan tempat ia duduk menusuknya.
Berapa lama lagi waktu yang tersisa sebelum Voldemort mengetahui bahwa mereka telah
menerobos masuk ke brankas penyimpanan* milik Lestrange? Seberapa cepat para goblin
dari Gringgots melaporkannya kepada Bellatrix? Seberapa cepat mereka menyadari apa
yang telah diambil? Lalu, kapan mereka akan menyadari bahwa piala emas telah hilang?
Voldemort akan tahu, pada akhirnya, bahwa mereka sedang berburu Horcrux.
Sang naga sepertinya menginginkan udara yang lebih sejuk dan segar. Ia terbang terusmenerus,
hingga mereka terbang melalui gumpalan awan yang dingin, dan Harry tak bisa
lagi melihat titik-titik kecil beraneka warna yang sebenarnya adalah mobil yang keluarmasuk
ibu kota di bawah mereka. Mereka terus terbang, di atas daerah pedesaan yang
tampak seperti sebidang kain penuh tambalan berwarna hijau dan coklat, melintasi jalanjalan
dan sungai-sungai yang meliuk-liuk melalui pemandangan seperti potonganpotongan
pita, baik yang pudar maupun mengkilap.
“Menurutmu, apa yang dicarinya?” Ron berteriak saat mereka terbang lebih jauh dan
lebih jauh lagi ke utara.
“Entahlah,” Harry berteriak kembali kepada Ron. Tangannya terasa kebas karena dingin,
tetapi ia tak berani untuk mencoba melepaskan genggamannya. Harry membayangkan
apa yang akan mereka lakukan bila mereka melintasi garis pantai di bawah mereka, jika
sang naga menuju ke laut lepas. Belum lagi dengan keadaan naga itu yang kelaparan dan
kehausan. Kapan, Harry bertanya-tanya dalam hati, makhluk ini terakhir kali makan?
Tentu saja ia akan membutuhkan makanan tak lama lagi? Dan bagaimana jika, pada suatu
saat, ia menyadari bahwa ada tiga orang manusia yang dapat dimakan sedang duduk di
punggungnya?
Matahari mulai tergelincir di langit, yang berubah warna menjadi nila; dan naga itu masih
terbang, kota besar dan kecil di bawah mereka melintas cepat, sejenak tampak dan
sejenak tak terlihat lagi, bayangan naga yang sangat besar itu meluncur di atas bumi
bagaikan awan hitam raksasa. Semua bagian tubuh Harry terasa sakit karena usahanya
untuk berpegangan pada punggung naga itu.
“Apakah ini hanya perasaanku,” teriak Ron setelah beberapa saat dalam kesunyian, “atau
kita memang kehilangan ketinggian?”
Harry menoleh ke bawah dan melihat pegunungan dan danau yang hijau, sedikit
berwarna tembaga saat matahari terbenam. Pemandangannya kelihatan lebih besar dan
jelas ketika ia melihatnya melalui bagian samping tubuh sang naga, dan Harry
membayangkan apakah sang naga telah meramalkan adanya air segar dengan kilasankilasan
pantulan cahaya matahari.
Naga itu terbang lebih rendah dan lebih rendah lagi, berputar-putar membentuk lingkaran
yang sangat besar, semakin mendekat ke atas permukaan sebuah danau kecil.
“Menurutku kita harus melompat begitu naga ini terbang cukup rendah!” Harry berkata
pada yang lain, “Langsung ke dalam air sebelum ia menyadari kita di sini!”
Mereka menyetujuinya, Hermione sedikit pucat, sekarang Harry dapat melihat perut
bagian bawah naga yang lebar dan berwarna kuning berdesir di atas permukaan air.
“SEKARANG!”
Ia merayap di atas punggung naga dan terjun ke danau dengan kaki terlebih dahulu;
dengan jarak yang ternyata lebih jauh daripada yang ia perkirakan dan ia menghantam air
dengan sangat keras, jatuh bagaikan sebuah batu ke dalam dunia yang sangat dingin,
hijau, dan dipenuhi alang-alang. Ia berenang ke arah permukaan dan muncul, terengahengah,
untuk melihat riak membulat yang sangat besar, di tempat Ron dan Hermione
jatuh. Naga itu kelihatannya tidak menyadari apapun, ia telah pergi sejauh lima puluh
kaki, menukik rendah di atas danau untuk mengambil air dengan moncongnya yang
berluka. Ketika Ron dan Hermione muncul, gemetar dan terengah-engah, dari kedalaman
danau, naga itu terbang lagi, sayapnya mengepak sangat keras, dan akhirnya mendarat di
tepi danau yang jauh.
Harry, Ron, dan Hermione berenang menuju ke pantai yang berlawanan dengan sang
naga. Danaunya tak nampak dalam. Tidak berapa lama kemudian mereka tidak lagi
berenang, akan tetapi lebih mirip bergumul dengan alang-alang dan lumpur, namun pada
akhirnya mereka berhasil naik ke rumput yang licin dengan keadaan basah kuyup dan
kelelahan. Hermione jatuh, batuk-batuk dan ketakutan. Meskipun Harry dapat berbaring
dan tidur dengan gembira, ia berdiri terhuyung-huyung di atas kakinya, mengeluarkan
tongkat, dan mulai memasang mantra pelindung seperti biasa di sekitar mereka.
Ketika ia telah selesai, ia bergabung dengan yang lain. Itu adalah kali pertama Harry
melihat wajah kedua temannya sejak mereka melarikan diri dari brankas penyimpanan*
Gringgots. Wajah mereka berdua merah terbakar di mana-mana, dan pakaiannya terbakar
pula di beberapa tempat. Mereka bergerenyit kesakitan ketika mereka mengoleskan sari
dittany ke atas luka-luka mereka yang banyak. Hermione memberikan botol sari dittany
tersebut kepada Harry, lalu ia mengambil tiga botol jus labu yang dibawanya dari Pondok
Kerang dan jubah yang bersih, dan kering untuk mereka bertiga. Mereka berganti jubah,
kemudian meneguk habis jus labu itu.
"Yah, berita baiknya," kata Ron akhirnya, yang sedang duduk sambil melihat kulit di
tangannya tumbuh kembali,"kita mendapatkan Horcrux itu. Berita buruknya -"
"-- tidak ada pedang," potong Harry dengan gigi bergeretak, sambil meneteskan sari
dittany melalui lubang bekas terbakar pada celana jeansnya ke atas luka bakar yang besar
di bawahnya.
"Tidak ada pedang," ulang Ron. "Pengkhianat kecil tukang tipu itu..."
Harry menarik Horcrux itu keluar dari saku jaketnya yang basah, yang baru ia lepas dan
tergeletak di atas rumput di depan mereka. Benda itu berkilau ditimpa cahaya matahari,
dan menarik perhatian mereka sembari mereka meneguk botol-botol jus labu mereka.
"Setidaknya kita tak bisa memakainya kali ini, benda itu pasti akan kelihatan aneh jika
bergantung di leher kita," kata Ron, seraya menyeka mulut dengan punggung tangannya.
Hermione melihat ke seberang danau, ke tepi yang jauh dari mereka di mana naga itu
masih minum.
“Apakah kau memikirkan apa yang akan terjadi pada naga itu nanti?” ia bertanya,
“Apakah ia akan baik-baik saja?’
“Kau mulai kedengaran seperti Hagrid,” kata Ron, “Ia seekor naga, Hermione, ia bisa
menjaga dirinya sendiri. Kau seharusnya lebih mengkhawatirkan tentang kita.”
“Apa maksudmu?”
“Yah, aku tak tahu bagaimana menjelaskan hal ini padamu,” kata Ron “Tapi kurasa
mereka mungkin sudah tahu kalau kita mengacau di Gringgots.”
Mereka bertiga mulai tertawa, dan begitu mulai, sulit untuk berhenti. Tulang rusuk Harry
terasa sakit, ia merasa pusing karena kelaparan, namun ia kembali berbaring di rumput, di
bawah langit yang mulai kemerahan dan terus tertawa hingga kerongkongannya terasa
kering.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?' kata Hermione akhirnya, berusaha untuk kembali
serius. "Ia akan tahu kan? Kau-Tahu-Siapa akan mengetahui bahwa kita tahu mengenai
Horcrux-Horcrux nya!"
“Mungkin mereka akan terlalu takut untuk mengatakan padanya!” kata Ron penuh harap,
“Mungkin mereka akan menutup-nutupi --”
Langit, bau air danau, dan suara Ron, lenyap. Sakit membelah kepala Harry seperti
sebuah tebasan pedang. Ia sedang berdiri di dalam ruangan bercahaya temaram, dan
dikelilingi oleh penyihir-penyihir yang membentuk setengah lingkaran, dan di lantai tepat
di kakinya sedang berlutut seorang makhluk kecil, yang sedang gemetar.
"Apa kau bilang tadi?" Suaranya tinggi dan dingin, namun amarah dan rasa takut
membara dalam dirinya. Satu-satunya hal yang ditakutinya - tapi ini tidak mungkin benar,
ia tidak mengerti bagaimana ini bisa terjadi...
Goblin itu gemetaran, tidak berani menatap mata yang merah di atasnya.
“Katakan lagi!” bisik Voldemort. “Katakan lagi!”
“T-Tuanku,”goblin itu tergagap, matanya yang hitam terbelalak ketakutan, “T-Tuanku…
Kami m-mencoba untuk me-menghentikan mereka… Pa-para penyamar itu, Tuanku…
menerobos – menerobos masuk ke dalam – ke dalam brankas penyimpanan milik
Lestrange…”
“Penyamar? Penyamar apa? Aku kira Gringgots mempunyai cara membongkar
penyamaran dan penipuan? Siapa mereka?”
“Mereka adalah… mereka adalah… b-bocah P-Potter dan k-kedua orang temannya…”
“Dan apa yang mereka ambil?” katanya, suaranya meninggi, ia ketakutan luar biasa,
“Katakan padaku! Apa yang telah mereka ambil?”
“Sebuah.. Sebuah p-piala emas k-kecil T-Tuanku…”
Teriakan amarah dan pengkhianatan meninggalkan raganya bak diteriakkan bukan
olehnya. Ia telah dibuat gila, dan kebingungan, itu tidak mungkin benar, itu tidak
mungkin, tak ada yang tahu mengenai hal ini. Bagaimana mungkin anak itu mengetahui
rahasianya?
Tongkat Elder terayun membelah udara dan mengeluarkan sinar hijau yang melintasi
ruangan; goblin yang berlutut itu mati tergelimpang; para penyihir yang menyaksikan
dari depannya menyebar, ketakutan. Bellatrix dan Lucius Malfoy melemparkan goblin
yang berada di belakang mereka dalam usaha mereka menuju pintu, berulang-ulang kali
tongkatnya teracung, dan semua goblin yang tersisa dibunuh karena membawa berita
tentang hilangnya piala emas itu -
Sendirian di tengah-tengah mayat para goblin itu ia menghentak-hentakkan kakinya, dan
bayangan-bayangan tersebut menghampirinya: harta bendanya, pelindungnya, jangkarnya
menuju keabadian - buku harian itu telah hancur dan piala itu telah dicuri. Bagaimana
jika, bagaimana jika, anak itu tahu tentang yang lainnya? Tahukah ia, sudahkah ia
bertindak, apakah ia telah menemukan Horcrux lainnya? Apakah Dumbledore dalang dari
semua ini? Dumbledore yang selalu mencurigainya; Dumbledore, yang telah mati karena
perintahnya; Dumbledore, yang tongkatnya menjadi miliknya sekarang, yang juga
menjangkaunya dari balik kematian, melalui anak itu, anak itu -.
Akan tetapi jika anak itu benar-benar telah menghancurkan salah satu dari Horcruxnya,
pastinya ia, Lord Voldemort, akan mengetahuinya, akan merasakannya? Ia, penyihir
terhebat di dunia; ia, penyihir terkuat; ia, pembunuh Dumbledore dan banyak orangorang
tak dikenal dan tak berharga lainnya. Bagaimana mungkin Lord Voldemort tidak
tahu, jika ia, ia sendiri, penyihir yang paling penting dan berharga, telah diserang,
dirusakkan?
Memang benar, ia tidak merasakan apa-apa pada saat buku harian itu dihancurkan, tetapi
ia berpikir itu karena saat itu ia tidak mempunyai tubuh untuk merasakan, tidak lebih dari
hantu... Tidak, pasti, yang lainnya aman… Horcrux yang lain pasti masih utuh...
Tetapi ia harus tahu, ia harus memastikannya... Ia melangkah meninggalkan ruangan,
menendang mayat goblin ketika ia melewatinya, dan bayangan-bayangan yang samar
melintas di otaknya yang terasa mendidih: danau, pondok, dan Hogwarts -
Sebuah pikiran yang menenangkan amarahnya muncul tiba-tiba. Bagaimana mungkin
anak itu mengetahui bahwa ia menyembunyikan cincin di pondok Gaunt? Tak ada
seorang pun yang tahu kalau ia punya hubungan dengan keluarga Gaunt, ia telah
menyembunyikan hubungan tersebut, pembunuhan itu tak pernah dilacak sampai pada
dirinya. Cincin itu, pasti, masih aman.
Dan bagaimana mungkin anak itu, atau orang lain, mengetahui tentang gua itu atau
menembus perlindungannya? Pemikiran tentang kalung itu telah dicuri tak terlintas di
benaknya…
Dan mengenai yang di Hogwarts: Hanya ia yang tahu di mana ia menyimpan Horcrux itu,
karena ia lah yang menyusun rahasia tempat itu...
Dan masih ada Nagini, yang harus selalu berada di dekatnya mulai saat ini, tak akan
disuruh untuk melakukan apa-apa lagi, selalu berada di bawah pengawasannya …
Tetapi untuk memastikannya, untuk benar-benar memastikannya, ia harus kembali ke
masing-masing tempat persembunyiannya, ia harus menggandakan perlindungan di
sekitar Horcrux-Horcrux nya... Suatu pekerjaan yang harus ia lakukan sendiri, seperti saat
ia mencari Tongkat Elder...
Tapi yang mana yang harus ia kunjungi terlebih dahulu, yang mana yang berada dalam
bahaya yang terbesar? Sebuah kekhawatiran lama terlintas di benaknya. Dumbledore
mengetahui nama tengahnya... Dumbledore pasti mengetahui hubungannya dengan para
anggota keluarga Gaunt itu... Pondok itu mungkin yang paling berpotensi untuk
ditemukan oleh mereka, kesanalah ia harus pergi terlebih dahulu...
Danau itu, pasti tidak mungkin... meskipun ada sedikit kemungkinan Dumbledore
mengetahui beberapa kelakuan buruknya di masa lalu, melalui panti asuhan itu.
Dan Hogwarts.. meskipun begitu, ia yakin kalau Horcrux-nya yang disembunyikan di
Hogwarts aman; tidak mungkin bagi Potter untuk masuk ke Hogsmeade tanpa ketahuan,
jadi biarkanlah yang di Hogwarts. Meskipun demikian, ada baiknya untuk memperingati
Snape mengenai kemungkinan anak itu akan mencoba masuk ke kastil. … Untuk
mengatakan kepada Snape mengapa anak itu mungkin kembali, tentu adalah ide bodoh;
ia telah membuat kesalahan yang sangat fatal dengan mempercayai Bellatrix dan Malfoy.
Bukankah kebodohan dan kecerobohan mereka telah membuktikan betapa tidak
bijaksananya untuk mempercayakan rahasianya kepada orang lain?
Ia akan pergi ke pondok Gaunt terlebih dahulu, dan membawa Nagini bersamanya. Ia tak
akan berpisah dari ular itu lagi... dan ia meninggalkan ruangan itu, melalui aula, dan
menuju ke kebun yang gelap di mana terdapat air mancur yang sedang memancurkan air;
ia memanggil Nagini dengan Parseltongue dan ular itu merayap mengikutinya seperti
sebuah bayangan yang panjang…
Mata Harry mendadak terbuka saat ia kembali ke dirinya sendiri. Ia sedang berbaring di
tepi danau sambil menatap matahari yang sedang terbenam, Ron dan Hermione menatap
ke arahnya. Menilai dari wajah khawatir mereka, dan bekas lukanya yang masih sakit,
penglihatan yang mendadak ke dalam pikiran Voldemort tadi sepertinya diketahui oleh
mereka. Ia bangkit dengan susah payah, gemetar, merasa terkejut karena mendapati
pakaian dan kulitnya masih basah, dan melihat piala itu tergeletak di rumput di dekatnya,
dan danau, berwarna biru keemasan di saat matahari tenggelam.
"Ia tahu." Suaranya sendiri terdengar aneh dan rendah setelah tadi ia mendengar teriakan
tinggi milik Voldemort keluar dari mulutnya. "Ia mengetahuinya dan akan segera
memeriksa Horcrux lainnya, dan yang terakhir," ia telah berdiri, "ada di Hogwarts. Aku
tahu. Aku tahu."
"Apa?"
Ron menatap heran ke arah Harry; Hermione duduk tegak, kelihatan khawatir.
“Tapi apa yang kau lihat tadi? Bagaimana kau tahu?”
"Aku melihat ia mengetahui tentang piala itu, Aku - aku berada di dalam kepalanya, Ia" -
Harry mengingat tentang pembunuhan itu - "Ia benar-benar marah, dan juga takut, ia
tidak mengerti bagaimana kita tahu, dan sekarang ia sedang memeriksa apakah Horcrux
lainnya aman, cincin itu terlebih dahulu. Ia mengira kalau yang di Hogwarts adalah yang
paling aman, karena ada Snape di sana, dan akan sangat sulit bagi kita untuk bisa masuk
ke sana tanpa diketahui orang lain. Aku rasa ia akan memeriksa yang di Hogwarts
belakangan, tapi ia masih bisa ke sana dalam beberapa jam – "
"Apakah kau melihat di bagian mana dari Hogwarts benda itu berada?" tanya Ron, yang
sekarang juga berusaha berdiri.
“Tidak, ia berkonsentrasi untuk memberi peringatan kepada Snape, ia tidak memikirkan
di mana tepatnya Horcrux itu berada - ”
"Tunggu, tunggu!" jerit Hermione ketika Ron menyambar Horcrux itu dan Harry
mengambil Jubah Gaib lagi. "Kita tidak bisa pergi begitu saja, kita belum mempunyai
rencana, kita harus - "
"Kita harus pergi," kata Harry dengan suara keras. Ia sangat ingin tidur di dalam tenda
baru mereka, tetapi itu tidak mungkin sekarang, "Dapatkah kau bayangkan apa yang akan
ia lakukan ketika ia menyadari bahwa cincin dan liontin itu telah hilang? Bagaimana jika
ia memindahkan Horcrux yang berada di Hogwarts karena menganggap tempat itu tidak
cukup aman?
"Tapi bagaimana cara kita masuk ke sana?"
"Kita akan pergi ke Hogsmeade," kata Harry, "dan mencoba melakukan sesuatu ketika
kita sudah melihat perlindungan seperti apa yang dilakukan oleh para DE di sekolah.
Masuk ke bawah Jubah, Hermione, aku ingin kita tetap bersama sekarang."
“Tapi kita tidak benar-benar cukup –“
“Hari sudah gelap,tak akan ada yang dapat melihat kaki kita.”
Suara kepakan sayap yang sangat besar menggema dari seberang danau yang gelap. Naga
itu sudah puas minum dan kini akan terbang lagi. Mereka berhenti sesaat dari
kesibukannya untuk memperhatikan naga itu terbang meninggi, hingga menembus awan
yang hitam dan menghilang di balik pegunungan. Lalu Hermione berjalan menuju ke
arah kedua orang temannya dan berdiri di tengah-tengah, Harry menarik Jubah Gaib
sejauh yang ia bisa, dan mereka pun berputar di titik itu bersama-sama berjalan menuju
kegelapan.
* kata vault (atau storage vault) umumnya digunakan sebagai kata untuk menunjukkan
tempat untuk menyimpan barang berharga dalam jumlah yang besar. Bentuknya
bermacam-macam, namun tidak selalu membentuk kubah. Bila ingin melihat bentuk
umum dari vault, maka dapat menonton film Ocean’s Eleven, atau membaca komik
Donal Bebek (ya, Gudang Uang Paman Gober adalah contoh bagus untuk storage vault).
Bab 28
The Missing Mirror
Cermin yang Hilang
Kaki Harry menyentuh jalan. Ia melihat pemandangan yang menyakitkan, Jalan Utama
Hogsmeade yang dikenalnya: bagian depan toko-toko yang gelap, garis bentuk
pegunungan yang gelap di belakang desa, belokan jalan di depan yang menuju Hogwarts,
cahaya yang tercurah dari jendela Three Broomstick, dan dengan sentakan di jantungnya,
diingatnya, dengan ketepatan yang menusuk, bagaimana dia pernah mendarat di sini,
nyaris setahun lalu, memapah Dumbledore yang lemah; kesemuanya dalam sedetik, saat
mendarat—kemudian, saat ia mengendurkan pegangan pada lengan Ron dan Hermione,
hal itu terjadi.
Udara terbelah oleh jeritan yang terdengar seperti jeritan Voldemort saat Voldemort
menyadari piala sudah dicuri; mengoyak tiap helai syaraf di tubuh Harry, dan ia segera
tahu bahwa kemunculan merekalah penyebabnya. Saat Harry memandang kedua
temannya di bawah Jubah, pintu Three Broomstick terbuka cepat, selusin Pelahap Maut
berjubah dan bertudung menghambur ke jalan, tongkat mereka teracung.
Harry menangkap pergelangan tangan Ron saat ia mengangkat tongkat. Terlalu banyak
untuk bisa di-Pingsankan; bahkan mencobanya berarti memberitahu dengan sukarela
pada para Pelahap Maut di mana mereka berada. Salah satu Pelahap Maut mengayunkan
tongkat dan jeritan itu berhenti, masih menggema di pegunugan yang jauh.
"Accio Jubah!" raung salah satu Pelahap Maut.
Harry menahan lipatannya, tapi Jubah itu tak bergerak: Mantra Panggil tak mempan.
"Kau tidak sedang di bawah selubungmu, kalau begitu , Potter?" teriak Pelahap Maut
yang mencoba mantra itu, lalu pada rekannya, "Berpencar. Dia di sini."
Enam Pelahap Maut berlari ke arah mereka: Harry, Ron, dan Hermione mundur secepat
mereka bisa, ke sisi jalan kecil, dan nyaris terlanggar para Pelahap Maut, luput beberapa
inci. Mereka menunggu dalam kegelapan, mendengar-dengar langkah kaki ke sana ke
mari, sorot cahaya bersilangan di jalanan dari tongkat para Pelahap Maut yang sedang
mencari.
"Mari kita pergi saja!" bisik Hermione, "Disapparate sekarang!"
"Gagasan yang bagus," sahut Ron, tapi sebelum Harry bisa menjawab, seorang Pelahap
Maut berseru, "Kami tahu kau di sini, Potter, dan jangan coba-coba pergi! Kami akan
menemukanmu!"
"Mereka sudah bersiaga," bisik Harry. "Mereka merancang mantra yang bisa
memberitahu kalau kita datang. Kuperhitungkan mereka sudah berbuat sesuatu untuk
menjaga kita tetap di sini, memerangkap kita—"
"Bagaimana kalau kita pakai Dementor?" seru Pelahap Maut yang lain, "Lepaskan
kekang mereka, mereka bisa cepat menemukannya."
"Pangeran Kegelapan ingin membunh Potter, tidak oleh orang lain, tapi oleh tangannya
..."
"—sesosok Dementor tidak akan membunuhnya. Pangeran Kegelapan menginginkan
nyawa Potter, bukan jiwanya. Dia akan lebih mudah dibunuh jika dikecup dulu!"
Suara-suara menyetujui terdengar. Rasa takut menyelimuti Harry: untuk mengusir
Dementior mereka harus membuat Patronus yang akan segera membuka rahasia mereka
ada di mana.
"Kita harus mencoba Disapparate, Harry!" bisik Hermione.
Saat Hermione masih bicara, Harry sudah mulai merasa dingin yang tak wajar
menyelimuti seluruh jalanan. Cahaya disedot dari mulai lingkungan sekeliling hingga ke
atas ke bintang-bintang. Dalam kegelapan ia merasa Hermione memegang tangannya dan
bersama, mereka berputar.
Udara yang mereka perlukan untuk bergerak seakan memadat: mereka tidak dapat ber-
Disapparate: para Pelahap Maut sudah merapal mantranya dengan baik. Rasa dingin itu
makin lama makin menusuk daging Harry. Ia, Ron, dan Hermione mundur ke sisi jalan
kecil, meraba-raba jalan sepanjang tembok, berusaha tidak menimbulkan suara. Lalu dari
sudut meluncur tanpa suara, datanglah Dementor, sepuluh atau lebih, dapat terlihat
karena Dementor itu lebih padat gelapnya dari lingkungan sekelilingnya, dengan jubah
hitam mereka, dengan tangan berkeropeng dan membusuk. Dapatkah mereka merasakan
ketakutan di sekitarnya? Harry yakin: mereka seperti datang lebih cepat, napas yang
terseret-seret, bergemeretuk, yang ia benci, merasakan keputusasaan di udara,
mengepung—
Harry mengacungkan tongkatnya: ia tidak mau, tidak akan, menderita kecupan
Dementor, apapun yang terjadi setelahnya. Ia memikirkan Ron dan Hermione saat ia
berbisik, "Expecto patronum!"
Rusa jantan perak meluncur dari tongkatnya dan menyerang: Dementor-Dementor bubar
bertemperasan, lalu ada teriakan kemenangan entah dari mana.
"Itu dia, di sebelah sana, sebelah sana, aku lihat Patronusnya, seekor rusa jantan!"
Para Dementor sudah mundur, bintang-bintang muncul kembali, dan langkah-langkah
kaki para Pelahap Maut semakin keras: tapi sebelum Harry yang panik bisa memutuskan
apa yang harus dilakukan, ada bunyi gemerincing gerendel pintu dekat-dekat sini, sebuah
pintu terbuka di sebelah kiri jalan yang sempit, dan suara yang kasar berkata, "Potter, ke
sini, cepat!"
Harry menurut tanpa ragu: ketiganya meluncur cepat-cepat melalui pintu terbuka.
"Ke atas, tetap pakai Jubah, dan diam!" gumam sesosok tinggi, melewati mereka menuju
ke jalanan dan membanting pintu di depannya.
Tadinya Harry tidak tahu ia ada di mana, tapi sekarang dia melihat, dengan cahaya
remang-remang dari sebuah lilin, tempat yang kotor bertaburan serbuk kayu, bar Hog's
Head. Mereka berlari di belakang tempat kasir, melalui pintu kedua menuju tangga kayu
yang berderak-derak, mereka naik secepat mereka bisa. Tangga menuju ruang duduk
dengan karpet usang dan perapian kecil, di atasnya tergantung sebuah lukisan cat minyak
besar, seorang gadis pirang yang memandang ruangan dengan manis tetapi hampa.
Teriakan-teriakan terdengar dari jalanan di bawah. Masih menggunakan Jubah Gaib,
mereka bergerak diam-diam ke jendela dan memandang ke bawah. Penyelamat mereka,
yang Harry kenal sebagai pemilik bar Hog's Head, merupakan satu-satunya orang yang
tidak memakai tudung.
"Terus kenapa?" teriaknya pada salah satu wajah yang bertudung. "Terus kenapa? Kau
mengirim Dementor ke jalanku, aku mengirim Patronus balik! Mereka nggak ada dekatdekat
sini, sudah kubilang aku nggak dekat-dekat mereka!"
"Itu bukan Patronusmu!" sahut seorang Pelahap Maut, "Itu seekor rusa jantan, itu milik
Potter!"
"Rusa jantan!" raung pemilik bar, dan ia mencabut tongkat, "Rusa jantan! Kau bodoh—
expecto patronum!"
Sesuatu yang besar dan bertanduk muncul dari tongkat: kepala di bawah ia keluar menuju
Jalan Utama dan menghilang dari pandangan.
"Itu bukan yang kulihat—" sahut Pelahap Maut itu, walau tak begitu yakin.
"Jam malam dilanggar, kau dengar suara," satu dari temannya berkata pada pemilik bar
itu. "Seseorang ada di luar, di jalan melanggar peraturan—"
"Kalau aku mau mengeluarkan kucingku, aku akan, peduli apa dengan jam malam?"
"Kau yang menjadikan Mantra Caterwauling berbunyi?"
"Emangnya kenapa? Mau mengirimku ke Azkaban? Membunuhku karena aku
mengeluarkan hidungku di depan pintuku sendiri? Lakukan saja kalau kau mau! Asal,
demi kepentinganmu sendiri, kau belum memencet Tanda Kegelapan kecilmu dan
memanggil dia. Dia tidak akan suka dipanggil ke sini gara-gara aku dan kucing tuaku,
kan?"
"Jangan mengkhawatirkan kami," sahut salah satau Pelahap Maut, "khawatirkan dirimu
sendiri saja, melanggar jam malam!"
"Dan ke mana kalian akan bertransaksi Ramuan dan Racun kalau pubku ditutup?
Bagaimana dengan usaha sampinganmu?"
"Kau mengancam—"
"Mulutku tertutup, itu makanya kau bertransaksi lewatku, iya kan?"
"Aku masih yakin kalau itu Patronus rusa jantan!" seru Pelahap Maut yang pertama.
"Rusa jantan?" raung pemilik bar, "Itu kambing, tolol!"
"Ya sudah, kita salah," sahut Pelahap Maut kedua, "melanggar jam malam lagi dan kami
tidak akan bermurah hati!"
Para Pelahap Maut berjalan kembali ke Jalan Utama. Hermione mengerang lega, keluar
dari Jubah dan terhenyak di kursi reyot. Harry menarik tirai hingga tertutup rapat, lalu
menarik Jubah dari dirinya sendiri dan Ron. Mereka bisa mendengar pemilik bar di
bawah, menggembok pintu bar, lalu menaiki tangga.
Perhatian Harry terpecah pada sesuatu di rak di atas perapian: sebuah cermin kecil
segiempat ditopang di atasnya, tepat di bawah lukisan gadis itu.
Pemilik bar itu memasuki kamar.
"Kalian benar-benar bodoh sekali," ucapnya kasar, menatap mereka satu persatu, "Apa
yang kalian pikirkan, datang kemari?"
"Terima kasih," sahut Harry, "terima kasih kami tak akan cukup. Kau menyelamatkan
hidup kami."
Pemilik bar itu menggerutu. Harry mendekatinya, menatap wajahnya, mencoba
mengamati lewat rambutnya yang panjang, berserabut, kasar beruban dan janggutnya. Ia
memakai kacamata. Di balik lensanya yang kotor, matanya menusuk, biru cemerlang.
"Jadi matamu yang kulihat di cermin?"
Hening di kamar itu. Harry dan pemilik bar itu saling berpandangan.
"Kau mengirim Dobby?"
Pemilik bar itu mengangguk dan mencari-cari si peri rumah.
"Kukira, ia bersamamu. Di mana kau tinggalkan dia?"
"Dia sudah mati," sahut Harry, "Bellatrix Lestrange membunuhnya."
Wajah pemilik bar itu tidak menunjukkan perasaan. Setelah beberapa saat ia berkata,
"Aku turut berduka. Aku suka peri rumah itu."
Ia memalingkan diri, menyalakan lampu dengan jentikan tongkatnya, tidak menatap
satupun di antara mereka.
"Kau Aberforth," sahut Harry pada punggung orang itu.
Ia tidak mengiyakan atau menyangkal, tapi membungkuk menyalakan api.
"Bagaimana kau dapat ini?" tanya Harry, berjalan menyeberangi kamar menuju cermin
Sirius, pasangan dari cermin yang telah ia pecahkan nyaris dua tahun lalu.
"Beli dari Dung sekitar tahun lalu," sahut Aberforth, "Albus kasih tahu itu apa. Terus
mencoba mengamatimu."
Ron menahan napas.
"Rusa betina perak itu!" katanya bergairah. "Itu kau juga?"
"Apa yang kaubicarakan?" tanya Aberforth.
"Seseorang mengirimkan Patronus rusa betina pada kami!"
"Otak macam begitu, kau bisa jadi Pelahap Maut, nak. Kan sudah kubuktikan bahwa
Patronusku kambing?"
"Oh," sahut Ron, "Yeah ... well, aku lapar!" Ia menambahkan memberi alasan, karena
perutnya berkeruyuk keras.
"Aku punya makanan," sahut Aberforth, dan menyelinap keluar dari kamar, muncul lagi
beberapa saat kemudian dengan sebongkah besar roti, keju, dan sekendi mead,
disimpannya di meja kecil di depan perapian. Mereka makan dengan rakus, dan untuk
sementara suasana hening kecuali suara gemeretak api, dentingan piala dan suara
mengunyah.
"Sekarang," saht Aberforth, saat mereka sudah kenyang, Harry dan Ron duduk merosot
mengantuk di kursi mereka. "Kita harus memikirkan jalan terbaik untuk mengeluarkan
kalian dari sini. Tidak bisa malam-malam, kau tahu apa yang terjadi bila kalian bergerak
di luar saat gelap: Mantra Caterwauling terpasang, mereka akan langsung menyergapmu
seperti Bowtruckles pada telur-telur Doxy. Kukira aku tidak akan bisa lagi pura-pura rusa
jantan adalah kambing, untuk kedua kalinya. Tunggu sampai terang, jam malam dicabut,
pakai lagi Jubah kalian dan pergilah dengan jalan kaki. Keluar dari Hogsmeade, naik ke
pegunungan, dan kalian bisa ber-Disapparate dari sana. Mungkin ketemu Hagrid. Dia
sembunyi di gua dengan Grawp sejak mereka mencoba menangkapnya.
"Kami tidak akan pergi," sahut Harry, "Kami harus masuk ke Hogwarts."
"Jangan bodoh, nak," sahut Aberforth.
"Kami harus," sahut Harry.
"Yang harus kalian lakukan," sahut Aberforth, duduk maju, "adalah menjauh dari sini
sejauh yang kalian bisa."
"Kau tak mengerti. Tak ada waktu lagi. Kami harus masuk ke kastil. Dumbledore—
maksudku, kakakmu—menginginkan kami—"
Cahaya api membuat lensa buram kacamata Aberforth sejenak tak tembus pandang, putih
cemerlang, dan Harry ingat mata buta laba-laba raksasa, Aragog.
"Kakakku Albus menginginkan banyak hal," sahut Aberforth, "dan orang biasanya
terluka saat dia menjalankan rencana besarnya. Kau pergilah menjauh, Potter, ke luar
negeri kalau bisa. Lupakan kakakku dan rencana besarnya. Dia sudah pergi, tak ada
satupun yang bisa melakukannya, dan kau tak berhutang apapun padanya."
"Kau tak mengerti," sahut Harry.
"Oh, aku tidak mengerti?" sahut Aberforth tenang. "Kau mengira aku tidak mengerti
kakakku sendiri? Kau kira kau lebih tahu tentang Albus daripadaku?"
"Aku tak bermaksud begitu," sahut Harry, otaknya terasa melempem karena lelah dan
kekenyangan makanan dan anggur. "Dia ... dia meninggalkan pekerjaan untukku."
"Yang benar?" sahut Aberforth. "Pekerjaan yang bagus, kuharap? Menyenangkan?
Mudah? Macam yang bisa dikerjakan oleh penyihir anak tak berpengalaman tanpa
memaksakan diri?"
Ron tertawa suram, Hermione terlihat tegang.
"Aku—tidak mudah, tidak," sahut Harry. "Tapi aku harus—"
"'Harus'? Kenapa 'harus'? Dia kan sudah mati, ya kan?" sahut Aberforth kasar. "Biarkan
saja, nak, kalau tidak kau akan menyusulnya! Selamatkan dirimu!:
"Aku tidak bisa."
"Kenapa tidak?"
"Aku—" Harry merasa kewalahan; ia tidak bisa menjelaskan, jadi terpaksa dia
menyerang, "Tapi kau juga berjuang, kau anggota Orde Phoenix—"
"Dulunya," sahut Aberforth. "Orde Phoenix sudah tamat. Kau-Tahu-Siapa menang, sudah
berlalu, dan siapapun yang berpura-pura bahwa dia berbeda, dia sedang mempermainkan
dirinya sendiri. Tak akan pernah aman kalau kau di sini, Potter, dia menginginkanmu
sekali. Jadi, pergilah ke luar negeri, bersembunyi, selamatkanlah dirimu. Paling baik
kalau sekalian bawa keduanya," ia menyentakkan jempolnya pada Ron dan Hermione.
"Mereka ada dalam bahaya selama berada denganmu, setiap orang tahu mereka bekerja
sama denganmu."
"Aku tak bisa pergi," sahut Harry. "Aku ada kerjaan—"
"Berikan saja pada orang lain!"
"Aku tak bisa. Harus aku yang melakukannya. Dumbledore menjelaskannya padaku—"
"Oh, benarkah? Dan apakah dia menjelaskan semuanya, apakah dia jujur padamu?"
Harry ingin menjawab 'ya' dengan segenap hatinya, tapi bagaimanapun kata yang
sederhana itu tidak keluar dari bibirnya. Aberforth seperti tahu apa yang dipikirkannya.
"Aku tahu siapa kakakku, Potter. Ia belajar berahasia sedari kecil. Rahasia dan dusta,
begitulah kami tumbuh, dan Albus ... dia memang sepantasnya."
Mata lelaki tua itu mengembara ke lukisan gadis di rak di atas perapian. Lukisan itu,
sekarang Harry mengamati baik-baik, adalah satu-satunya lukisan dalam ruangan. Tak
ada foto Albus Dumbledore, juga siapapun.
"Mr Dumbledore," sahut Hermione agak takut-takut. "Apakah itu saudari Anda?
Ariana?"
"Ya," sahut Aberforth pendek. "Habis baca Rita Skeeter, ya, Nona?"
Meski hanya disinari oleh cahaya kemerahan dari perapian, nampak jelas bahwa
Hermione merona wajahnya.
"Elphias Doge menyebutnya pada kami," sahut Harry mencoba membela Hermione.
"Bodoh tua itu," gumam Aberforth, meneguk meadnya. "Dia berpikir apapun yang keluar
dari mulut Albus pasti yang bagus-bagus. Well, kebanyakan orang juga begitu, kalian
bertiga termasuk, sepertinya."
Harry terdiam. Dia tidak mau mengeluarkan keraguan dan kebimbangan mengenai
Dumbledore yang telah menjadi teka-teki baginya selama berbulan-bulan ini. Ia sudah
membuat pilihan saat menggali kuburan Dobby, dia sudah memutuskan untuk
melanjutkan sepanjang jalan yang berliku dan berbahaya yang sudah ditunjukkan oleh
Albus Dumbledore baginya, untuk menerima bahwa ia tidak diberitahu semua yang ingin
ketahui, tapi sederhana: hanya percaya. Dia tidak punya keinginan untuk ragu lagi, dia
tidak ingin mendengar apa-apa yang bisa membelokkannya dari tujuan. Ia bertemu
dengan pandangan Aberforth yang mirip sekali dengan pandangan kakaknya: mata biru
cemerlang yang memberi kesan yang sama bahwa mata itu sedang mengawasi setajam
sinar-X, dan Harry mengira bahwa Aberforth tahu apa yang ia pikirkan,dan
memandangnya rendah karenanya.
"Profesor Dumbledore memperhatikan Harry, sangat memperhatikan," sahut Hermione
dalam suara rendah.
"Apa benar?" sahut Aberforth. "Lucunya, banyak orang yang kakakku sangat perhatikan,
berakhir dengan keadaan yang lebih buruk dibandingkan kalau dia tidak ikut campur."
"Apa maksud Anda?" tanya Hermione menahan napas.
"Tidak usah peduli," sahut Aberforth.
"Tapi itu hal yang serius untuk dibicarakan," sahut Hermione. "Apa Anda—apa Anda
berbicara tentang saudari Anda?"
Aberforth memandanginya; bibirnya bergerak seperti mengunyah kata-kata yang ia tak
jadi ucapkan. Lalu ia tiba-tiba berbicara.
"Waktu saudariku baru enam tahun, ia diserang, dirancang oleh tiga anak laki-laki
Muggle. Mereka pernah melihat saudariku melakukan sihir, memata-matainya lewat
pagar tanaman taman belakang; dia masih anak kecil, dia tidak bisa mengendalikannya,
tak ada penyihir yang bisa mengendalikan sihir seusianya. Kukira apa yang anak-anak
Muggle itu lihat, membuat mereka takut. Mereka memaksakan kehendak mereka sampai
ke pagar tanaman, dan saat saudariku tak bisa menunjukkan muslihatnya, mereka jadi
keterlaluan, mencoba menghentikan anak aneh itu."
Mata Hermione terlihat besar di cahaya api, Ron terlihat agak muak. Aberforth berdiri,
jangkung seperti Albus, tiba-tiba jadi mengerikan dalam kemarahan dan rasa nyeri.
"Itu menghancurkannya, apa yang mereka lakukan: saudariku tidak pernah pulih lagi. Dia
tidak mau menggunakan sihir, tapi dia tidak dapat menghalaunya; masuk ke dalam
batinnya dan membuatnya gila, meledak keluar saat ia tak bisa mengendalikannya, saat
itu ia aneh dan berbahaya. Tapi sebetulnya dia itu manis, ketakutan, dan tak berbahaya."
"Dan ayahku mencari para bajingan yang berbuat ini," sahut Aberforth, "dan menyerang
mereka. Ayahku ditahan di Azkaban karenanya. Ayah tak pernah bilang mengapa ia
melakukannya, karena kalau Kementrian tahu jadi apa sekarang Ariana, dia akan dikunci
di St Mungo untuk selamanya. Mereka melihatnya sebagai ancaman serius bagi Undang-
Undang Kerahasiaan Sihir Internasional, jika tidak seimbang seperti dia, dengan sihir
meledak keluar darinya setiap saat, saat ia tidak menahannya lebih lama."
"Kami harus menjaganya agar dia aman dan tenang. Kami pindah rumah, pura-pura dia
sakit, ibu kami menjaganya, mencoba membuat dia tenang dan bahagia."
"Dia sangat menyukaiku," sahut Aberforth, saat ia mengatakannya, sosok seorang pelajar
yang kotor membayang dari janggutnya yang kusut. "Bukan Albus, dia selalu ada di
kamar saat di rumah, membaca buku-bukunya, menghitung penghargaanpenghargaannya,
berkorespondensi dengan 'nama-nama yang paling terkemuka di dunia
sihir saat ini'," Aberforth menyeringai, "dia tidak mau diusik soal saudarinya. Ariana
paling menyukaiku. Aku bisa membuatnya makan kalau dia tak mau makan kalau
disuruh oleh ibu, aku bisa menenangkannya saat ia sedang mengamuk, dan saat ia sedang
tenang biasanya ia membantuku memberi makan kambing-kambingku."
"Lalu, saat ia berusia empat belas ... lihat, aku sedang tidak di rumah," sahut Aberforth.
"Kalau aku ada di rumah, aku akan bisa menenangkannya. Dia mengamuk, dan ibuku
tidak semuda dulu, dan ... itu kecelakaan. Ariana tidak bisa mengendalikannya. Tapi
ibuku terbunuh."
Harry merasa ada campuran yang mengerikan antara rasa kasihan dan jijik; dia tak mau
mendengar lagi, tapi Aberforth terus berbicara dan Harry bertanya-tanya kapan terakhir ia
bicara tentang hal ini; atau sebenarnya, pernahkah Aberforth membicarakan hal ini.
"Dan hal ini membatalkan perjalanan Albus keliling dunia bersama Doge kecil. Mereka
berdua pulang saat pemakaman ibu, Doge lalu pergi lagi sendirian dan Albus ditetapkan
sebagai kepala keluarga. Ha!"
Aberforth meludah ke perapian.
"Aku akan bisa merawat Ariana, sudah kubilang, aku tidak peduli soal sekolah, aku akan
tinggal di rumah dan melakukannya. Albus bilang aku harus menyelesaikan pendidikan
dan dia yang akan mengambil alih tugas ibu. Penurunan untuk Mr Brilliant, tak ada
penghargaan untuk mengurus adik yang setengah gila, mencegahnya meledakkan rumah
tiap dua hari sekali. Tapi untuk beberapa minggu semua baik-baik saja … sampai dia
datang."
Dan sekarang raut yang benar-benar berbahaya merayap di wajah Aberforth.
"Grindelwald. Akhirnya kakakku punya mitra setara untuk berbicara, seseorang yang
cemerlang dan berbakat seperti dia dulu. Merawat Ariana merupakan suatu kemunduran,
sementara mereka merencanakan semua rancangan untuk tata kepenyihiran baru, dan
mencari Hallows dan entah apalagi yang menarik perhatian mereka. Rencana besar untuk
keuntungan seluruh masyarakat sihir, dan jika ada seorang gadis muda diabaikan,
memangnya kenapa, kan Albus sedang bekerja untuk the greater good?"
Tapi beberapa minggu sesudahnya, kukira cukup sudah. Sudah waktunya aku kembali ke
Hogwarts, jadi kukatakan pada mereka, keduanya, berhadap-hadapan, seperti aku dan
kau sekarang," dan Aberforth memandang Harry, dan diperlukan sedikit imajinasi untuk
melihatnya sebagai remaja kurus tapi kuat, dan marah, berhadapan dengan kakak lakilakinya.
"Kubilang, kau menyerah saja, sekarang. Kau tak bisa membuatnya berpindah-
pindah, dia tidak dalam kondisi baik, kau takkan bisa membawanya denganmu ke
manapun yang kau rencanakan, saat kau berpidato mencoba menyiapkan seorang
pengikut. Dia tak menyukainya," sahut Aberforth, dan matanya terhalang sejenak oleh
cahaya perapian di lensa kacamatanya: bersinar putih dan buta lagi. "Grindelwald sana
sekali tidak menyukainya. Ia marah. Dia bilang padaku bahwa aku hanya anak kecil
bodoh, mencoba menghalangi jalannya dan kakak laki-lakiku yang brillian … tidakkah
aku mengerti, saudariku yang malang tidak harus disembunyikan jika mereka sudah
mengubah dunia, menuntun para penyihir keluar dari persembunyian dan mengajarkan
pada para Muggle di mana sebenarnya tempat mereka?"
"Lalu terjadilah adu pendapat … aku mencabut tongkatku, ia mencabut tongkatnya, dan
aku terkena Kutukan Cruciatus yang dirapal oleh teman baik kakakku—dan Albus
mencoba menghentikannya, kami bertiga berduel, cahaya berkilatan dan ledakan
membuat Ariana siaga, dia tidak bisa menahannya—"
Warna lenyap dari wajah Aberforth seperti dia telah menderita luka yang mematikan.
"—dan kukira Ariana mau melerai, tapi dia tidak benar-benar tahu apa yang sedang ia
lakukan, dan aku tidak tahu siapa di antara kami yang melakukannya, bisa siapa saja—
dan Ariana tewas."
Suaranya berhenti di kata terakhir, dan dia jatuh di kursi terdekat. Wajah Hermione basah
oleh air mata dan Ron nyaris sama pucatnya dengan Aberfoth. Harry tak merasakan apaapa
kecuali kejijikan: ia berharap ia tidak harus mendengar ini, berharap bisa mencuci
benaknya.
"Aku sangat … sangat menyesal," Hermione berbisik.
"Pergi," sahut Aberforth. "Pergi selamanya."
Ia menyeka hidungnya dengan manset lengan bajunya dan berdeham.
"Tentu saja Grindelwald lari ketakutan. Dia sudah punya catatan jelek di negaranya, dan
ia tidak mau Ariana dimasukkan ke dalam catatannya. Dan Albus bebas, iya kan? Bebas
dari beban saudarinya, bebas untuk menjadi penyihir terhebat se—"
"Dia tak pernah bisa bebas," sahut Harry.
"Maaf?" sela Aberforth.
"Tak pernah," sahut Harry. "Malam kakakmu meninggal, ia meminum ramuan yang
membuatnya kehilangan pikiran. Ia mulai berteriak, memohon pada seseorang yang tak
ada di sana. 'Jangan sakiti mereka, please ... sakiti aku saja'"
Ron dan Hermione menatap Harry. Harry tak pernah menceritakan secara rinci tentang
apa yang terjadi di pulau di danau: peristiwa yang terjadi setelah ia dan Dumbledore
kembali ke Hogwarts sudah menutupi kesemuanya.
"Ia kira ia kembali ke masa di mana ia bersamamu dan Grindelwald, aku tahu itu," sahut
Harry mengenang Dumbledore merengek, memohon. "Ia kira ia sedang menyaksikan
Grindelwald menyakitimu dan Ariana … itu siksaan untuknya. Kalau kau melihat dia
saat itu, kau tak akan mengatakan bahwa ia sudah bebas."
Aberforth seolah tersesat dalam renungan atas tangannya yang berburik-burik. Setelah
jeda yang panjang, ia berkata, "Bagaimana kau bisa yakin, Potter, bahwa kakakku tidak
lebih tertarik pada the greater good daripada dirimu? Bagaimana kau yakin kau tidak
mudah dibuang, seperti adik kecilku?"
Sepotong es menurih jantung Harry.
"Aku tak percaya. Dumbledore mencintai Harry," sahut Hermione.
"Kenapa dia tidak menyuruh Harry untuk bersembunyi, kalau begitu?" sergah Aberforth
balik. "Kenapa dia tidak bilang pada Harry, pedulikan dirimu sendiri, begini caranya
untuk selamat?"
"Karena," sahut Harry, sebelum Hermione sempat menjawab, "kadang-kadang kau harus
berpikir lebih jauh dari keselamatanmu sendiri! Kadang kau harus berpikir tentang the
greater good! Ini perang!"
"Kau baru tujuh belas tahun, nak!"
"Aku sudah akil balig, dan aku akan terus berjuang walau kau sudah menyerah!"
"Siapa bilang aku menyerah?"
"'Orde Phoenix sudah tamat,'" Harry mengulang, "'Kau-Tahu-Siapa menang, sudah
berlalu, dan siapapun yang berpura-pura bahwa dia berbeda, dia sedang mempermainkan
dirinya sendiri.'"
"Aku tidak bilang aku menyukainya, tapi itu kenyataan!"
"Tidak, itu bukan kenyataan,' sahut Harry. "Kakakmu tahu bagaimana cara melenyapkan
Kau-Tahu-Siapa dan dia menurunkan pengetahuannya padaku. Aku akan terus berusaha
sampai aku berhasil—atau aku mati. Jangan kira aku tak tahu bagaimana akhirnya semua
ini. Aku sudah tahu bertahun-tahun."
Harry menunggu Aberforth mencemooh atau mendebat, tetapi dia tidak melakukannya.
Dia hanya mengerutkan dahi.
"Kami perlu masuk ke Hogwarts," sahut harry lagi. "Kalau kau tak bisa menolong kami,
kami akan menunggu terang, meninggalkanmu dengan damai dan mencoba mencari jalan
masuk sendiri. Kalau kau bisa menolong kami—well, sekarang akan jadi waktu yang
bagus untuk mengatakannya."
Aberforth tetap diam di kursinya, memandang Harry dengan mata yang luarbiasa mirip
dengan kakaknya. Akhirnya ia berdeham, berdiri, berjalan memutar meja kecil dan
mendekati lukisan Ariana.
"Kau tahu apa yang harus kau lakukan," sahutnya.
Ariana tersenyum, berbalik dan berjalan menjauh, tidak seperti biasanya orang dalam
lukisan, keluar dari sisi bingkai, yang ini berjalan sepanjang apa yang nampak seperti
terowongan panjang yang dilukiskan di belakangnya. Mereka mengamati sosok
langsingnya mundur sampai akhirnya lenyap di telan kegelapan.
"Er—apa—" Ron mulai.
"Hanya ada satu jalan masuk," sahut Aberforth. "Kau harus tahu mereka menjaga semua
jalan masuk rahasia yang lama di kedua ujungnya, Dementor di seluruh tembok
perbatasan, berpatroli teratur di dalam sekolah menurut sumberku. Tempat ini belum
pernah dijaga ketat begini. Bagaimana kau bisa mengharapkan bisa berbuat sesuatu sekali
kau di dalam, dengan Snape berkuasa dan Carrow bersaudara sebagai wakil-wakilnya ...
well, itu yang kau cari kan? Kau bilang kau sudah bersiap untuk mati."
"Tapi apa ..." sahut Hermione, keningnya berkerut pada lukisan Ariana.
Sebuah titik putih kecil muncul kembali di ujung lukisan terowongan, dan sekarang
Ariana berjalan kembali ke arah mereka, makin lama makin besar. Tapi ada seseorang
bersamanya sekarang, seseorang yang lebih tinggi dari Ariana, berjalan terpincangpincang
nampak bergairah. Rambutnya lebih panjang dari apa yang biasa Harry lihat: dia
nampak sudah menderita beberapa luka di wajah, pakaiannya robek. Makin lama makin
besar dua sosok itu, hingga hanya kepala dan bahu mereka yang mengisi lukisan itu. Lalu
kesemuanya berayun di dinding seperti pintu kecil, dan jalan masuk ke terowongan yang
nyata terbukalah. Keluar dari situ, rambut panjang, wajah penuh luka, jubahnya sobek,
memanjatlah Neville Longbottom yang nyata, meraung girang, melompat turun dari rak
di atas perapian dan berteriak, "Aku tahu kau akan datang! Aku tahu, Harry!"
Chapter 29
Lost Diadem
Diadem yang Hilang
[Note: sama dengan bab 30, tadinya diadem akan diterjemahkan menjadi mahkota, meski
bentuknya berbeda, tapi ternyata diadem juga ada dalam bahasa Indonesia, ada di Kamus
Besar Bahasa Indonesia dan Tesaurus Bahasa Indonesia – penerjemah]
“Neville—apa yang—bagaimana?”
Tapi Neville juga melihat Ron dan Hermione, memeluk mereka juga dengan teriakan
kegembiraan. Makin lama Harry mengamati Neville, makin jelek kelihatannya: satu mata
bengkak, kuning dan ungu, ada tanda tercungkil di wajahnya, keadaannya tak terurus
mengisyaratkan bahwa dia selama ini hidup keras. Tapi roman mukanya bersinar-sinar
dengan kebahagiaan saat ia melepas Hermione, dan berkata lagi, ”Aku tahu kau akan
datang! Aku terus bilang pada Seamus, ini hanyalah masalah waktu!”
”Neville, apa yang terjadi padamu?”
”Apa? Ini?” Neville mengabaikan luka-lukanya dengan satu goyangan kepala. ”Ini bukan
apa-apa. Seamus lebih buruk. Kau lihat saja nanti. Kita pergi sekarang? Oh,” ia menoleh
pada Aberforth, ”Ab, mungkin akan ada beberapa orang lagi yang akan datang.”
”Beberapa lagi?” ulang Aberforth tak senang. “Apa maksudmu, beberapa lagi,
Longbottom? Ada jam malam dan Mantra Caterwauling diterapkan di seluruh desa!”
“Aku tahu, makanya mereka akan ber-Apparate langsung ke dalam bar,” sahut Neville.
“Langsung kirim saja mereka ke jalan tembus kalau mereka sudah di sini, ya? Makasih
banyak!”
Neville memegang tangan Hermione dan membantunya memanjat rak di atas tungku
masuk ke terowongan; Ron mengikuti, lalu Neville. Harry berkata pada Aberforth.
“Aku tak tahu bagaimana berterimakasih padamu. Kau menyelamatkan kami, dua kali.”
”Jaga mereka, kalau begitu.” sahut Aberforth keras, ”Aku mungkin tidak bisa
menyelamatkan mereka untuk ketiga kalinya.”
Harry merangkak naik ke rak di atas tungku dan menuju lubang di belakang lukisan
Ariana. Ada undakan batu yang halus di sisi sebelah sana, sepertinya jalan tembus itu
sudah ada selama bertahun-tahun. Lampu kuningan tergantung di dinding, lantai berbau
tanah, licin dan halus; saat mereka berjalan bayangan mereka bergetar, membesar,
sepanjang dinding.
“Sudah berapa lama ini ada di sini?” Ron bertanya saat mereka mulai berjalan. ”Tidak
ada di Peta Perompak, kan Harry? Kukira hanya ada tujuh jalan tembus di dalam dan di
luar sekolah?”
”Mereka menyegel semuanya sebelum sekolah mulai,” sahut Neville, ”tidak mungkin
bisa melewatinya sekarang, dengan berbagai kutukan di pintu masuknya, para Pelahap
Maut dan para Dementor menunggu di pintu keluarnya.” Ia berjalan mundur, bercahaya
matanya melihat mereka. ”Tak usah meributkan soal itu ... apakah betul? Kalian
menerobos Gringotts? Melarikan diri pakai naga? Di mana-mana tiap orang
membicarakan itu. Terry Boot dipukuli Carrow karena meneriakkan itu di Aula Besar
saat makan.”
”Yeah, itu memang betul,” sahut Harry.
Neville tertawa gembira.
“Apa yang kalian lakukan dengan naga itu?”
”Melepaskannya ke alam bebas,” sahut Ron, ”Hermione ingin memeliharanya—”
”Jangan melebih-lebihkan, Ron—”
”Tapi apa yang sedang kalian lakukan? Orang-orang bilang kalian sedang dalam pelarian,
Harry, tapi kukira tidak. Aku pikir kalian punya tujuan.”
”Kau benar,” sahut Harry, ”tapi ceritakan dulu tentang Hogwarts, Neville, kami belum
mendengar apa-apa.”
“Hogwarts … well, Hogwarts sudah tidak seperti dulu lagi,” sahut Neville, senyum
lenyap dari wajahnya. “Kalian tahu tentang Carrow bersaudara?”
“Dua Pelahap Maut yang mengajar di sini?”
”Lebih dari mengajar,” ujar Neville, ”Tugas mereka mengawasi disiplin. Mereka suka
memberi hukuman, Carrow bersaudara ini.”
”Seperti Umbridge?”
”Nah, mereka membuat Umbridge kelihatan jinak. Guru-guru lain seharusnya
melaporkan kami pada Carrow bersaudara kalau kami berbuat salah. Tentu saja mereka
tidak melakukannya jika mereka bisa menghindarinya. Kau bisa bilang para guru
membenci mereka sama seperti kami.”
”Amycus, orang itu, dia mengajar apa yang biasanya disebut Pertahanan Terhadap Ilmu
Hitam, kecuali bahwa sekarang menjadi Ilmu Hitam saja. Kami harus berlatih Kutukan
Cruciatus pada orang-orang yang mendapat detensi—”
“Apa?”
Suara Harry, Ron, dan Hermione berbarengan bergema di jalan tembus itu.
“Yeah,” sahut Neville, “Itulah makanya aku dapat ini,” ia menunjuk pada bekas luka
yang dalam di pipi. “Aku menolak melakukannya. Tapi sebagian orang suka: Crabbe dan
Goyle suka sekali. Untuk pertama kalinya mereka bisa berada di posisi atas, kupikir.”
”Alecto, saudarinya, mengajar Telaah Muggle, yang wajib untuk semua. Kami harus
mendengar penjelasannya bahwa Muggle itu seperti binatang, bodoh dan kotor, dan
bagaimana Muggle menjadikan para penyihir terpaksa bersembunyi karena Muggle
berbuat keji pada mereka, dan bagaimana hukum alam disusun ulang. Aku dapat ini,” ia
menunjukkan luka lain di wajahnya, ”karena aku menanyakan seberapa banyak ia dan
saudaranya punya darah Muggle.”
”Blimey, Neville,” sahut Ron, ”ada waktu dan tempat di mana orang mesti pintar-pintar
ngomong.”
”Kau tidak mendengarnya.” sahut Neville, ”Kau juga tak akan tahan. Masalahnya, kalau
ada yang berdiri menentang mereka, berarti memberi harapan bagi semua. Aku
perhatikan itu waktu dulu kau melakukannya, Harry!”
”Tapi mereka memperlakukanmu seperti asahan pisau,” sahut Ron, mengernyit saat
mereka melewati lampu dan luka-luka Neville terlihat jelas.
Neville mengangkat bahu.
”Nggak masalah. Mereka tidak mau terlalu banyak menumpahkan Darah Murni, jadi
mereka menyiksa kami sedikit bila sedang kesal tapi mereka tidak ingin membunuh
kami.”
Harry tidak tahu mana yang lebih buruk, hal-hal yang Neville katakan atau nada
kebenaran yang ia katakan.
”Satu-satunya yang benar-benar dalam bahaya ialah bila kau punya teman atau saudara
yang menyulitkan. Mereka mengambilmu sebagai sandera. Xeno Lovegood tua ngomong
macam-macam di The Quibbler, jadi mereka menangkap Luna di kereta saat pulang
Natal.
”Neville, dia baik-baik saja, kami bertemu dengannya—”
“Yeah, aku tahu, dia berhasil mengirimkan pesan padaku.”
Dari sakunya ia mengeluarkan koin emas, dan Harry mengenalinya sebagai Galleon palsu
yang dipakai Laskar Dumbledore untuk saling berkirim pesan.
”Ini keren,” sahut Neville, wajahnya berseri-seri pada Hermione, ”Carrow bersaudara
tidak pernah berhasil membongkar bagaimana cara kami berkomunikasi, itu membuat
mereka marah. Kami biasa menyelinap di malam hari, menulis grafiti di dinding: Laskar
Dumbledore, Masih Membuka Lowongan, hal-hal seperti itu. Snape membenci itu.”
”Kau biasa?” sahut Harry, memperhatikan bentuk lampau dalam ucapan Neville.
”Well, lama-lama makin sulit,” sahut Neville, ”Kami kehilangan Luna, dan Ginny juga
tidak kembali sesudah Paskah, biasanya kami bertiga menjadi semacam pimpinan.
Carrow bersaudara nampaknya tahu aku ada di belakang banyak hal, jadi mereka mulai
keras padaku, lalu Michael Corner ketangkap basah sedang membebaskan anak kelas satu
yang mereka rantai, jadi mereka menyiksanya cukup berat. Itu membuat orang-orang
takut.”
”Yang betul,” gumam Ron saat jalan tembus mulai menanjak.
”Yeah, well, aku tak dapat meminta orang lain untuk menjalani apa yang dilakukan
Michael, jadi kami menghentikan kelakuan-kelakuan semacam itu. Tapi kami masih
berjuang, melakukan hal-hal bawah tanah, sampai beberapa minggu lalu. Saat mereka
memutuskan bahwa hanya ada satu hal untuk menghentikanku, kurasa, dan mereka akan
menangkap Nenek.”
”Mereka apa?” sahut Harry, Ron, dan Hermione berbarengan.
“Yeah,” sahut Neville, sedikit terengah-engah sekarang karena jalan tembusnya
menanjak curam, “Well, kau bisa melihat apa yang mereka pikirkan. Biasanya bekerja
baik, culik anak agar keluarganya berkelakuan baik, cuma soal waktu agar mereka
melakukan yang sebaliknya. Masalahnya,” ia berbalik menghadap mereka, dan Harry
heran melihat Neville nyengir, “mereka salah kira tentang Nenek. Penyihir wanita tua
kecil hidup sendiri, mereka pikir tak usah kirim orang yang cukup kuat. Hasilnya,”
Neville tertawa, “Dawlish masih di St Mungo, dan Nenek dalam pelarian. Dia
mengirimiku surat,” ia menepukkan tangan di saku dada jubahnya, “bilang bangga
padaku, bahwa aku benar-benar putra orangtuaku, dan agar aku terus berjuang.”
“Keren,” sahut Ron.
“Yeah,” Neville bahagia, “Satu hal, saat mereka menyadari mereka tidak punya sandera
untukku, mereka memutuskan Hogwarts bisa terus tanpaku. Aku tidak tahu apakah
mereka merencanakan untuk membunuhku atau mengirimku ke Azkaban, yang manapun,
tapi aku tahu ini waktunya untuk menghilang.”
”Tapi,” Ron terlihat bingung, ”bukankah kita langsung tembus ke Hogwarts?”
“Tentu,” sahut Neville. “Kau akan lihat. Kita di sini.”
Mereka membelok dan di depan mereka akhir dari jalan tembus itu. Seperangkat undakan
menuju pintu persis seperti yang tersembunyi di belakang lukisan Ariana. Neville
mendorong pintunya dan memanjat naik. Saat Harry mengikuti, ia mendengar Neville
berseru pada orang-orang yang tak terlihat: “Lihat ini siapa! Sudah kubilang, kan?”
Saat Harry muncul di ruangan di balik jalan tembus, terdengar jeritan dan pekikan :
”HARRY!” ”Itu Potter, itu POTTER!” ”Ron!” ”Hermione!”
Harry dibuat bingung dengan gantungan-gantungan berwarna-warni, lampu, dan
banyaknya wajah. Saat berikutnya ia, Ron, dan Hermione diterjang, dipeluk, dipukulpukul
punggungnya, rambut diacak-acak, tangan dijabat oleh nampaknya lebih dari 20
orang: seperti baru habis memenangkan final Quidditch saja.
“OK, OK, tenang,” seru Neville, dan saat kerumunan itu mundur, Harry bisa melihat
sekelilingnya.
Ia tak mengenali ruangan ini sama sekali. Besar, dan interiornya seperti rumah pohon
yang mewah atau kabin kapal raksasa. Tempat tidur gantung warna-warni diikatkan dari
langit-langit dan dari balkon yang mengitari dinding berpanel kayu gelap tanpa jendela,
yang ditutupi hiasan gantung berwarna cerah, Harry melihat singa emas Gryffindor
berhias merah, luak hitam Hufflepuff dihias kuning, elang perunggu Ravenclaw dalam
warna biru. Silver dan hijau Slytherin satu-satunya yang tidak ada. Ada rak-rak buku
yang penuh sesak, beberapa sapu terbang disandarkan di dinding, dan di sudut sebuah
radio besar tanpa kabel berbingkai kayu.
”Di mana kita?”
”Kamar Kebutuhan, tentu saja,” sahut Neville. ”Melebihi apa yang kita harapkan, kan?
Carrow bersaudara mengejarku, aku tahu hanya punya satu kesempatan: aku berhasil
mencapai pintunya, dan seperti ini yang kutemukan. Well, tak seperti ini waktu aku
datang, jauh lebih kecil, hanya satu tempat tidur gantung dan hanya ada gantungan
Gryffindor. Tapi jadi makin besar saat lebih banyak anak Laskar Dumbledore tiba.”
“Dan Carrow bersaudara tidak bisa masuk?” tanya Harry mencari adanya pintu.
“Tidak,” sahut Seamus, yang tidak Harry kenali hingga dia bicara; wajah Seamus lebam
dan bengkak, “Persembunyian yang baik, selama kita tinggal di sini, mereka tidak dapat
menemukan kita, pintunya tidak membuka. Terserah Neville. Ia benar-benar
mendapatkan Kamar ini. Kau harus meminta tepat apa yang kaubutuhkan—seperti ‘aku
tak mau pendukung Carrow bisa masuk’—dan kamar ini akan melakukannya. Asal kau
yakin menutup semua kesempatan! Neville memang orangnya!”
“Terus terang, sebenarnya,” sahut Neville rendah hati, “Aku sudah sehari setengah di
sini, benar-benar lapar, dan berharap mendapat sesuatu untuk dimakan, dan saat itulah
jalan tembus ke Hog’s Head membuka. Aku menyusurinya, dan bertemu dengan
Aberforth. Ia menyediakan makanan untuk kami, sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh
Kamar.”
”Yeah, well, makanan adalah satu dari lima pengecualian terhadap Hukum Gamp tentang
Asas Transfigurasi,” sahut Ron, menyebabkan semua heran.
”Jadi kami bersembunyi di sini sudah hampir dua minggu,” sahut Seamus, ”dan Kamar
membuat lebih banyak tempat tidur gantung tiap saat kami memerlukan, dan bahkan
memunculkan sebuah kamar mandi yang bagus saat para gadis juga datang—”
”—dan berpikir bahwa mereka suka membersihkan diri, ya,” sahut Lavender Brown,
yang tak terperhatikan oleh Harry hingga saat itu. Sekarang dia melihat ke sekeliling, ia
mengenali banyak wajah, kedua kembar Patil ada, seperti juga Terry Boot, Ernie
Macmillan, Anthony Goldstein, dan Michael Corner.
”Ceritakan apa yang terjadi dengan dirimu,” sahut Ernie, ”banyak sekali kabar burung,
kami mencoba mengikuti berita tentangmu di Potterwatch,” ia menunjuk pada radio
tanpa kabel, ”Kau tak menerobos ke Gringotts?”
”Mereka memang menerobos!” sahut Neville, ”Dan cerita naga itu benar juga!”
Tepuk tangan dan beberapa teriakan: Ron menerima hormat dengan membungkukkan
badan.
”Apa yang kau cari?” Seamus ingin tahu.
Sebelum siapapun bisa menjawab pertanyaan itu, Harry merasa nyeri yang
menghanguskan, yang mengerikan, pada bekas lukanya. Saat ia menoleh tergesa pada
wajah-wajah yang ingin tahu, Kamar Kebutuhan menghilang, dan ia berdiri di dalam
sebuah gubuk batu yang sudah hancur, lantai yang lapuk terbuka di kakinya, sebuah
kotak emas baru digali, terbuka kosong di dekat lubang, dan teriakan kemarahan
Voldemort bergema di dalam kepalanya.
Dengan susah payah Harry menarik diri dari pikiran Voldemort, kembali ke tempat di
mana ia berdiri, terhuyung-huyung di Kamar Kebutuhan, keringat bercucuran dan Ron
menahannya.
”Kau baik-baik saja, Harry?” Neville sedang bertanya, ”Mau duduk? Kukira kau lelah,
apakah—“
“Tidak,” sahut Harry. Ia menatap Ron dan Hermione, mencoba memberitahu tanpa kata
pada mereka bahwa Voldemort baru saja mengetahui salah satu Horcruxnya sudah
hancur. Waktu berjalan cepat: jika Voldemort memilih untuk mengunjungi Hogwarts
sekarang, maka mereka akan kehilangan kesempatan.
“Kita harus berjalan terus,” kata Harry dan raut wajah Ron serta Hermione mengatakan
bahwa mereka mengerti.
”Apa yang akan kita lakukan, Harry?” tanya Seamus, ”apa rencanamu?”
”Rencana?” ulang Harry. Ia mengerahkan semua kemampuannya untuk menghalangi
dirinya tergoda lagi ke dalam kemarahan Voldemort, bekas lukanya masih membara.
”Ada sesuatu yang harus kami—Ron, Hermione, dan aku—perlu kerjakan, dan setelah itu
kami keluar dari sini.”
Tak ada tawa atau pekikan lagi, Neville nampak bingung.
”Apa yang kau maksud ’keluar dari sini’?”
”Kami tidak kembali untuk tinggal,” sahut Harry, mengusap bekas lukanya, mencoba
mengurangi nyerinya, ”Ada sesuatu yang penting yang harus kami lakukan—”
”Apa itu?”
”Aku—aku tak bisa bilang.”
Gumam-gumam keheranan, alis Neville berkerut.
”Kenapa tidak bisa bilang pada kami? Sesuatu untuk melawan Kau-Tahu-Siapa, kan?”
”Well, ya—”
”Kalau begitu, kami akan menolongmu.”
Anggota Laskar Dumbledore yang lain menganggukkan kepala, beberapa antusias,
beberapa lagi serius. Beberapa dari mereka bangkit dari kursinya untuk menunjukkan
keinginan mereka bertindak saat itu juga.
”Kau tidak mengerti,” Harry nampak sudah mengatakannya berkali-kali dalam beberapa
jam terakhir ini. ”Kami—kami tidak bisa bilang. Kami harus mengerjakannya—sendiri.”
”Kenapa?” tanya Neville.
”Karena ...” dalam keputusasaan untuk mencari Horcrus yang hilang, atau paling tidak
bisa atau tidak mendiskusikannya dengan Ron dan Hermione bagaimana mereka bisa
memulai pencarian, Harry menemui kesulitan untuk mengumpulkan pikirannya. Bekas
lukanya masih terbakar. ”Dumbledore meninggalkan pekerjaan untuk kami bertiga,”
sahutnya hati-hati, ”dan kami seharusnya mengatakan—maksudku, ia menginginkan
kami untuk melakukannya, hanya kami bertiga.”
”Kami Laskar-nya,” sahut Neville, ”Laskar Dumbledore. Kami selalu bersama, kami
selalu melawan walau saat kalian bertiga sedang tak ada—”
”Kami bukan sedang piknik, sobat,” sahut Ron.
”Aku tidak bilang begitu, tapi aku tidak melihat alasan mengapa kalian tidak bisa
mempercayai kami. Tiap orang di Kamar Kebutuhan ini berjuang, dan mereka ada di sini
karena Carrow bersaudara mengejar mereka semua. Semua di sini sudah terbukti setia
pada Dumbledore—setia padamu.”
”Begini,” Harry mulai, tanpa tahu apa yang akan ia katakan, tetapi itu tak jadi soal, pintu
terowongan membuka di belakangnya.
”Kami dapat pesanmu, Neville! Hello kalian bertiga, kupikir kalian pasti ada di sini!”
Luna dan Dean. Seamus meraung gembira dan lari memeluk sobat baiknya itu.
“Hai, semuanya!” sahut Luna gembira, “Oh, senangnya bisa kembali!”
”Luna,” Harry merasa teralihkan, ”apa yang sedang kau lakukan di sini? Bagaimana
bisa—?”
”Aku beritahu dia,” sahut Neville, mengacungkan Galleon palsunya, ”Aku janji padanya
dan Ginny, kalau kau muncul mereka akan kuberitahu. Kami semua berpikir jika kau
kembali, itu artinya revolusi. Bahwa kita akan menyingkirkan Snape dan Carrow
bersaudara.”
”Tentu saja artinya memang demikian,” sahut Luna berseri-seri. ”Iya, kan, Harry? Kita
berjuang mengeluarkan mereka dari Hogwarts?”
”Dengar,” sahut Harry, mulai panik, ”Maaf, tapi bukan untuk itu kami kembali. Ada yang
harus kami kerjakan, lalu—”
”Kau akan meninggalkan kami dalam situasi seperti ini?” tuntut Michael Corner.
”Bukan!” sahut Ron, ”Apa yang kami kerjakan akan menguntungkan bagi semua orang,
itu berkaitan dengan menyingkirkan Kau-Tahu-Siapa—”
”Kalau begitu, biarkan kami menolong!” sahut Neville marah, ”Kami ingin menjadi
bagian!”
Ada suara lagi di belakang, dan Harry menoleh. Jantungnya nampaknya akan berhenti:
Ginny sedang memanjat lubang di dinding, disusul Fred, George, dan Lee Jordan. Ginny
tersenyum berseri-seri pada Harry: Harry sudah lupa atau tak pernah benar-benar
menghargai, betapa cantiknya dia, tapi dia senang sekali bertemu Ginny.
“Aberforth mulai sedikit nampak seperti tikus,” sahut Fred mengangkat tangannya
membalas beberapa teriakan menyambutnya, “dia tidak bisa tidur katanya, dan barnya
berubah nenjadi stasiun kereta api!”
Mulut Harry terbuka. Tepat di belakang Lee Jordan, datang pacar lama Harry, Cho
Chang. Dia tersenyum pada Harry.
“Aku dapat pesan,” sahutnya mengangkat Galleonnya, dan dia terus berjalan untuk duduk
di samping Michael Corner.
“Jadi, apa rencananya, Harry?” tanya George.
“Tidak ada rencana,” sahut Harry, masih bingung dengan kemunculan tiba-tiba orangorang
ini, belum bisa mengerti saat bekas lukanya masih membakar dengan ganas.
“Biarkan saja berjalan sendiri, kan? Kesukaanku!” sahut Fred.
”Kau harus menghentikan ini!” sahut Harry pada Neville. ”Kenapa kau memanggil
mereka? Kau gila—”
”Kita akan bertempur, kan?” sahut Dean, mengacungkan Galleon palsunya, ”Pesannya
berbunyi Harry kembali, dan kita akan bertempur. Walau aku harus mendapat tongkat
dulu—”
”Kau belum dapat tongkat—” Seamus mulai.
Ron tiba-tiba berbalik pada Harry.
“Kenapa mereka tidak bisa menolong?”
”Apa?”
”Mereka bisa menolong.” Ia menurunkan suaranya sehingga tidak ada orang lain yang
bisa mendengarnya kecuali Hermione, yang berdiri di antara mereka. ”Kita tidak tahu
Horcrux itu ada di mana. Kita harus mencarinya cepat. Kita tidak usah bilang kalau itu
Horcrux.”
Harry memandang Ron lalu Hermione yang bergumam, ”Kupikir Ron benar. Kita bahkan
tidak tahu apa yang kita cari, kita memerlukan mereka.” Dan saat Harry nampak tidak
yakin, ”Kau tidak harus mengerjakan semua sendirian, Harry.”
Harry berpikir cepat, bekas lukanya masih berdenyut, kepalanya seperti mau pecah lagi.
Dumbledore sudah memperingatkan agar dia jangan mengatakan pada siapapun kecuali
Ron dan Hermione. Rahasia dan dusta, begitulah kami tumbuh, dan Albus ... dia memang
sepantasnya ... Apakah dia sudah berubah menjadi Dumbledore, menyimpan semua
rahasia di dadanya, takut mempercayai orang lain? Tetapi Dumbledore percaya pada
Snape, dan kemana akhirnya? Dibunuh di atas menara tertinggi ...
”Baiklah,” ujarnya pelan pada kedua temannya, ”OK,” serunya ke seluruh Kamar, dan
semua suara berhenti: Fred dan George yang sedang menertawakan suatu lelucon
langsung terdiam, dan semua waspada, bergairah.
”Ada sesuatu yang harus kami temukan,” sahut Harry, ”Sesuatu—sesuatu yang akan
membantu kita menyingkirkan Kau-Tahu-Siapa. Ada di sini di Hogwarts, tapi kami tak
tahu di mana. Mungkin kepunyaan Ravenclaw. Apakah ada yang pernah mendengar
benda semacam itu? Misalnya, apa ada yang pernah melihat sesuatu dengan elang
Ravenclaw padanya?”
Ia menatap berharap pada sekelompok kecil Ravenclaw, pada Padma, Michael, Terry,
dan Cho, tapi Luna yang menjawab, bertengger di lengan kursi Ginny.
“Well, ada diademnya yang hilang. Aku pernah bilang tentangnya, inget kan, Harry?
Diadem Ravenclaw yang hilang? Daddy sedang berusaha menirunya.”
“Yeah, tapi diadem yang hilang itu,” sahut Michael Corner memutar matanya, “sudah
hilang, Luna. Itu masalahnya.”
“Kapan hilangnya?” tanya Harry.
“Kata mereka sih berabad-abad lalu,” sahut Cho, dan jantung Harry terbenam. “Profesor
Flitwick bilang, diadem itu lenyap bersamaan dengan Ravenclaw sendiri. Orang-orang
sudah mencari, tapi,” Cho memandang rekan-rekan Ravenclawnya mencari dukungan,
“tak seorangpun yang pernah menemukan bahkan jejaknya, benar kan?”
Teman-temannya menggeleng.
“Sori, diadem itu apa?” tanya Ron.
”Semacam mahkota,” sahut Terry Boot, ”Ravenclaw seharusnya memiliki benda sihir,
meningkatkan kebijaksanaan si pemakai.”
”Ya, pipa Wrackspurt Daddy—”
Tapi Harry memotong percakapan Luna.
“Dan tak ada dari kalian yang pernah melihat sesuatu yang mirip dengan itu?”
Anak-anak Ravenclaw itu menggeleng lagi. Harry memandang Ron dan Hermione,
kekecewaannya tercermin pada wajah mereka juga. Sebuah benda, yang sudah hilang
sedemikian lama, dan jelas-jelas tanpa jejak, nampaknya bukan kandidat yang baik untuk
Horcrux yang tersembunyi di kastil … sebelum dia berhasil merumuskan pertanyaan
baru, Cho berbicara lagi.
“Kalau kau mau lihat seperti apa diadem itu, aku bisa membawamu ke Ruang Rekreasi
kami dan memperlihatkannya padamu, Harry? Patung Ravenclaw memakainya.”
Bekas luka Harry membara lagi: untuk sesaat Kamar Kebutuhan lenyap di hadapannya,
sebagai gantinya ia melihat dunia gelap terbentang di bawahnya, ia merasa ular besar
melilit di pundaknya. Voldemort sedang terbang lagi, entah ke danau bawah tanah atau
ke sini, ia tidak tahu: ke manapun waktu yang tersisa sangat sedikit.
“Ia sudah bergerak lagi,” kata Harry pelan pada Ron dan Hermione. Ia memandang Cho
lalu pada yang lain. “Dengar, mungkin aku tidak banyak memberikan petunjuk, tapi aku
akan pergi dan melihat patung itu, paling tidak melihat diadem itu seperti apa. Tunggu di
sini dan jaga diri kalian baik-baik.”
Cho sudah hendak berdiri, tapi Ginny menyahut galak, “Tidak, mending Luna yang pergi
dengan Harry, iya kan, Luna?”
“Ooh, iya, aku mau,” sahut Luna gembira, dan Cho duduk lagi, agak kecewa.
“Bagaimana kami keluar?” tanya Harry pada Neville.
”Sebelah sini.”
Ia memimpin Harry dan Luna ke sebuah sudut, di mana sebuah lemari kecil membuka ke
sebuah tangga.
”Keluarnya berbeda-beda setiap hari, jadi mereka tidak dapat menemukan Kamar ini,”
ujarnya. ”Masalahnya, kita juga tak tahu keluarnya di mana. Hati-hati Harry, mereka
berpatroli di koridor malam-malam.”
”Tidak masalah,” sahut Harry, ”Sampai ketemu lagi.”
Ia dan Luna bergegas ke tangga, panjang, diterangi obor, dan membelok di tempat-tempat
yang tak terduga. Akhirnya mereka tiba di suatu tempat yang nampak seperti dinding
padat.
“Ke bawah sini,” sahut Harry pada Luna, mengeluarkan Jubah Gaib dan
mengerudungkannya ke atas mereka berdua. Ia mendorong dinding sedikit.
Dindingnya meleleh saat disentuh dan mereka menyelinap keluar: Harry melirik ke
belakang dan melihat dindingnya menutup kembali seketika. Mereka berdiri di koridor
yang gelap: Harry menarik Luna mundur ke kegelapan bayangan, meraba-raba kantong di
sekeliling lehernya dan mengeluarkan Peta Perompak. Dipegangnya dekat hidung, ia
mencari titik dengan namanya dan nama Luna.
”Kita di lantai lima,” bisiknya, mengamati Filch bergerak menjauh dari mereka, satu
koridor ke depan. ”Ayo, ke sini.”
Mereka mengendap-endap.
Harry sudah sering berkeliling kastil di malam hari, namun jantungnya belum pernah
berdetak sekencang ini, belum pernah sebegitu bergantungnya ia pada jalan yang aman di
tempat ini. Melewati tempat bercahaya bulan di lantai, melewati perangkat baju besi yang
helmnya berderak saat langkah kaki mereka berbunyi halus, melewati sudut di mana
siapa yang bisa tahu ada siapa bersembunyi, Harry dan Luna berjalan, sesekali
memeriksa Peta Perompak manakala cahaya memungkinkannya, dua kali berhenti untuk
membiarkan [seorang, sebuah, selembar, sehelai?] hantu lewat sehingga mereka tidak
menarik perhatian. Ia berjaga-jaga jangan sampai ada halangan tiap saat: ketakutan
terbesarnya adalah Peeves, ia menajamkan telinganya dalam tiap langkah agar bisa
mendengar setiap tanda jika si pembuka rahasia itu mendekat.
”Ke sini, Harry,” Luna berbisik, menarik lengan baju Harry ke arah tangga melingkar.
Mereka naik di lingkaran yang sempit dan memusingkan; Harry belum pernah ke sini
sebelumnya. Akhirnya mereka mencapai sebuah pintu. Tak ada pegangan pintu, tak ada
lubang kunci: tak ada apa-apa hanya pintu polos dari kayu tua dan pengetuk pintu
perunggu berbentuk elang.
Luna mengulurkan tangannya yang pucat, kelihatannya menakutkan melayang di tengah
udara, tak terhubung dengan lengan atau tubuh. Ia mengetuk sekali, dalam keheningan
kedengarannya seperti ledakan meriam. Paruh elang membuka, tapi alih-alih suara
burung, malah suara lembut bagai musik berujar, ”Mana yang duluan, phoenix atau nyala
api?”
”Hm ... kau pikir apa, Harry?” sahut Luna, nampak bijak.
”Apa? Bukannya ada kata kuncinya?”
”Oh, tidak, kau harus menjawab pertanyaan,” sahut Luna.
”Bagaimana kalau salah?”
”Well, kau harus menunggu seseorang menjawab dengan benar,” ujar Luna, ”dengan
demikian kita jadi belajar.”
”Yeah ... masalahnya, kita tidak bisa menunggu orang lain, Luna.”
”Aku tahu apa maksudmu,” sahut Luna serius, ”Baiklah, kurasa jawabannya adalah
sebuah lingkaran tak berawal.”
”Cukup beralasan,” sahut suara itu, dan pintu berayun membuka.
Ruang Rekreasi Ravenclaw yang ditinggalkan itu adalah sebuah ruangan yang luas,
bundar, lebih sejuk daripada yang pernah Harry rasakan di Hogwarts. Jendela
melengkung yang anggun di dinding, digantungi sutra biru dan perunggu; di siang hari
para Ravenclaw punya pemandangan yang indah dengan gunung-gunung yang
melingkar. Langit-langit berbentuk kubah dilukisi bintang-bintang, serasi dengan karpet
biru tengah malam. Ada meja-meja, kursi, rak-rak buku dan di relung berseberangan
dengan pintu berdiri sebuah patung tinggi dari marmer putih.
Harry mengenal Rowena Ravenclaw dari patung sedada yang ia lihat di rumah Luna.
Patung itu berdiri di samping pintu ke, ia perkirakan, ke kamar-kamar asrama di atas. Ia
melangkah mendekati wanita marmer itu, nampak dia memandang balik padanya dengan
pandangan aneh. Setengah senyum pada wajahnya, cantik tapi sedikit menakutkan.
Sebuah lingkaran yang kelihatannya lembut dibuat tiruannya dari marmer di atas
kepalanya. Mirip tiara yang dipakai Fleur di hari pernikahannya. Ada kata-kata kecil
dipahatkan di situ. Harry melangkah keluar dari kerudungan Jubah, menaiki standar
patung Ravenclaw itu untuk membacanya.
Bijak melampaui ukuran adalah kekayaan terbesar manusia
”Yang akan membuatmu cukup miskin, dungu!” sebuah suara berkotek.
Harry berbalik cepat, terpeleset dari standar patung dan mendarat di lantai. Sosok
berbahu miring, Alecto Carrow, berdiri di hadapannya, dan saat Harry mengangkat
tongkatnya, Alecto menekankan jari telunjuknya yang pendek gemuk pada tanda
tengkorak dan ular di lengannya.
Chapter 30
The Sacking of Severus Snape
PEMECATAN SEVERUS SNAPE
Saat jari Alecto menyentuh Tanda, bekas luka Harry terasa terbakar liar, ruang berbintang
tiba-tiba lenyap dari pandangan, dan Harry berdiri di atas puncak potongan batu di bawah
sebuah karang, ombak laut bergulung di sekitarnya, dan kemenangan di hatinya—mereka
mendapatkan anak itu.
Sebuah letusan keras membawa Harry kembali ke tempat ia berdiri: bingung, ia
mengangkat tongkatnya, tapi penyihir di hadapannya segera terjatuh ke depan, ia
menabrak lantai sedemikian keras sampai-sampai kaca-kaca di rak buku bergemerincing.
“Aku belum pernah Memingsankan orang kecuali dalam pelajaran LD kita,” sahut Luna,
terdengar agak tertarik. “Lebih berisik dari yang kuduga.”
Sudah barang tentu, langit-langit mulai bergetar. Langkah kaki bergegas, bergema,
terdengar lebih keras di balik pintu menuju asrama; mantra Luna membangunkan para
murid Ravenclaw yang tidur di lantai atas.
“Luna, kau di mana? Aku harus masuk ke bawah Jubah!”
Kaki Luna muncul entah dari mana; Harry bergegas berdiri ke sebelahnya dan Luna
membiarkan Jubah jatuh kembali mengerudungi mereka berdua saat pintu terbuka dan
sebarisan Ravenclaw, semua dalam pakaian tidur, membanjiri Ruang Rekreasi. Ada yang
menahan napas, ada yang menjerit, terkejut saat melihat Alecto tergeletak tak sadarkan
diri. Pelan-pelan, takut-takut mereka mengelilingi Alecto, seperti seekor binatang buas
yang bisa bangun kapan saja dan menyerang mereka. Lalu seorang anak kelas satu, kecil
tapi pemberani maju mendekati Alecto, menusuk punggung Alecto dengan jari kakinya.
”Kukira dia sudah mati!” teriak anak itu kegirangan.
”Oh, lihat,” bisik Luna gembira, saat para Ravenclaw mengerumuni Alecto, ”mereka
senang!”
”Yeah ... hebat ...”
Harry menutup matanya, dan saat bekas lukanya berdenyut-denyut ia memilih untuk
terbenam lagi ke dalam pikiran Voldemort ... Voldemort sedang bergerak sepanjang
terowongan ke dalam gua pertama ... Voldemort telah memilih untuk meyakinkan dulu
bahwa leontin itu masih ada sebelum datang ke mari ... tapi itu tidak akan lama ...
Terdengar ketukan di pintu Ruang Rekreasi dan tiap murid Ravenclaw membeku. Dari
sisi yang lain Harry mendengar suara halus seperti nyanyian, yang dikeluarkan oleh elang
pengetuk pintu: ”Ke manakah perginya barang-barang yang menghilang?”
”Ga tau, ’napa? Diam!” geram suara kasar yang Harry kenal sebagai Amycus, saudara
laki-laki Carrow, ”Alecto? Alecto? Kau disitu? Kau sudah menangkapnya? Buka
pintunya!”
Para Ravenclaw berbisik-bisik sesama mereka, ketakutan. Lalu tanpa peringatan,
serangkaian ledakan keras datang, seakan seseorang sedang menembaki pintu.
”ALECTO!. Kalau dia datang, dan kita belum menangkap Potter—kau mau bernasib
sama seperti Malfoy? JAWAB!” Amycus berteriak, mengguncang pintu sekuat ia bisa,
tapi tetap saja tak terbuka. Anak-anak Ravenclaw mundur, karena takut sampai ada yang
melarikan diri lewat tangga ke ruang tidur. Saat Harry sedang mempertimbangkan apakah
ia sebaiknya membuka pintu saja dan Memingsankan Amycus sebelum Pelahap Maut itu
dapat melakukan hal lain, ternyata sedetik kemudian sebuah suara yang paling dikenalnya
terdengar dari balik pintu.
”Boleh kutahu apa yang sedang Anda lakukan, Profesor Carrow?”
“Mencoba—melewati—pintu—terkutuk ini!” teriak Amycus. ”Pergi dan cari Flitwick!
Suruh dia buka ini, sekarang!”
“Tapi bukankah saudarimu di dalam?” ujar Profesor McGonagall, “bukankah Profesor
Flitwick mengijinkannya masuk tadi, atas permintaanmu yang mendesak? Mungkin dia
bisa membukakan pintu untukmu? Sehingga kau tidak perlu membangunkan setengah
kastil.”
“Dia tidak menjawab, kau sapu tua! Kau yang buka kalau begitu! Lakukan, sekarang!
“Tentu saja, bila kau menginginkannya,” sahut Profesor McGonagall sangat dingin. Ia
mengetuk dengan santun, dan suara beralun itu bertanya lagi, “Ke manakah perginya
barang-barang yang hilang?”
“Ke ketiadaan, atau dengan kata lain, keseluruhan,” jawab Profesor McGonagall.
”Pengungkapan dengan susunan yang baik,” balas elang pengetuk pintu itu, dan pintu itu
mengayun membuka.
Anak-anak Ravenclaw yang masih tersisa, segera lari ke tangga begitu Amycus
menyerbu masuk dari ambang pintu, mengacungkan tongkatnya. Badannya bungkuk
seperti saudarinya, Amycus punya wajah pucat gemuk dan mata yang kecil, mata yang
langsung menatap pada Alecto, yang tergeletak tak bergerak. Ia berteriak marah sekaligus
ketakutan.
”Apa yang mereka lakukan, binatang kecil?” Amycus berteriak. ”Akan ku-Crucio mereka
sampai mereka mengatakan siapa yang melakukannya—dan apa yang akan dikatakan
oleh Pangeran Kegelapan?” ia memekik, berdiri dekat saudarinya, memukul keningnya
sendiri dengan tinjunya. ”Kita tidak menangkap anak itu, mereka sudah menyiksa dan
membunuh Alecto!”
“Dia hanya Dipingsankan,” sahut Profesor McGonagall tak sabar, membungkuk
memeriksa Alecto. “Dia akan baik-baik saja.”
“Dia tidak akan baik-baik saja!” teriak Amycus. “Tidak setelah Pangeran Kegelapan
menghubunginya. Ia disuruh mencari dia, aku rasa Tanda-ku terbakar dan dia kira kami
menangkap Potter!”
”Menangkap Potter?” tanya Profesor McGonagall tajam, ”apa maksudmu ’menangkap
Potter’?”
”Pangeran Kegelapan mengatakan pada kami bahwa Potter akan mencoba memasuki
Menara Ravenclaw, dan meminta kami mengirim kabar padanya bila kami
menangkapnya!”
”Untuk apa Harry Potter memasuki Menara Ravenclaw? Potter adalah anggota
asramaku!”
Di bawah rasa tak percaya dan amarah, Harry merasa ada sejumput kebanggaan pada
suara Profesor McGonagall, dan rasa sayang pada Minerva McGonagall memancar dari
dalam diri Harry.
”Kami diberi tahu dia mungkin masuk ke sini!” sahut Carrow, ”’ga tau, kan?”
Profesor McGonagall berdiri dan mata manik-maniknya menyapu ruangan. Dua kali mata
itu melalui tempat Harry dan Luna berdiri.
”Kita bisa menyalahkan anak-anak,” sahut Amycus, wajah-babinya tiba-tiba bersinar.
”Yeah, itu yang akan kita lakukan. Kita akan bilang Alecto diserang oleh anak-anak,
anak-anak ini,” ia memandang langit-langit berbintang di atas asrama, ”dan kita bilang
mereka memaksa Alecto untuk menekan Tanda, dan karena itulah Pangeran Kegelapan
mendapat tanda peringatan palsu ... Pangeran Kegelapan dapat menghukum mereka.
Beberapa anak, apa bedanya?”
”Hanya perbedaan antara kebenaran dan dusta, keberanian dan kepengecutan,” sahut
Profesor McGonagall yang sudah berubah pucat, ”suatu perbedaan, singkatnya, yang
tidak bisa dihargai olehmu dan saudarimu. Tapi biarkan aku menjelaskannya, sangat
jelas. Kau tidak akan menerapkan tindakanmu yang bodoh pada siswa-siswa di
Hogwarts. Aku tidak akan mengijinkannya.”
”Apa kau bilang?”
Amycus maju mendekati Profesor McGonagall, wajahnya hanya beberapa inci dari
Profesor McGonagall. Profesor McGonagall menolak mundur, memandang rendah pada
Amycus seakan dia itu sesuatu yang menjijikkan yang ditemukan di toilet.
”Bukan masalah apa yang kau ijinkan, Minerva McGonagall. Waktumu sudah habis.
Kami sekarang yang bertugas di sini, kau mendukung kami, atau kau harus
membayarnya.”
Dan Amycus meludahinya.
Harry membuka Jubahnya, mengangkat tongkatnya dan berucap, “Kau seharusnya tidak
boleh melakukan itu.”
Saat Amycus berputar menoleh, Harry berseru “Crucio!”
Pelahap Maut itu terangkat kakinya, menggeliat nyeri di udara seperti orang tenggelam,
menggelepar, melolong kesakitan, dan dengan suara kaca pecah ia terlempar ke depan rak
buku, dan jatuh pingsan di lantai.
“Aku paham maksud Bellatrix sekarang,” sahut Harry, darah menggelegak di benaknya,
“kau harus benar-benar berniat untuk itu.”
“Potter!” bisik Profesor McGonagall menenangkan jantungnya, “Potter—kau disini!
Apa—? Bagaimana—?” ia berjuang menguasai diri, ”Potter, itu bodoh!”
”Ia meludahi Anda,” sahut Harry.
”Potter, aku—kau sangat—sangat gagah berani—tapi tidakkah kau sadari—?”
”Ya, aku sadar.” Harry meyakinkan Profesor McGonagall. Kepanikan Profesor
McGonagall membuat Harry percaya diri. “Profesor McGonagall, Voldemort sedang
dalam perjalanan ke sini.”
“Oh, apakah sekarang kita boleh menyebut namanya?” tanya Luna dengan wajah tertarik,
melepaskan Jubah Gaib. Kemunculan kedua murid yang hilang ini nampaknya membuat
Profesor McGonagall kewalahan, terhuyung mundur, jatuh di kursi terdekat,
mencengkeram leher baju tidur kotak-kotaknya.
“Kukira tak ada bedanya kita memanggil dia apa,” Harry berkata pada Luna, “dia sudah
tahu aku ada di mana.”
Bagian yang jauh dari benak Harry, bagian yang terhubung dengan bekas luka yang
membara, marah, ia dapat melihat Voldemort berperahu cepat di danau gelap, dengan
perahu hijau remang-remang ... ia sudah nyaris mencapai pulau di mana baskom batu itu
berada ...
”Kau harus pergi Potter,” bisik Profesor McGonagall, ”Sekarang, Potter, secepat kau
bisa!”
”Aku tidak bisa,” sahut Harry. ”Ada yang harus kulakukan. Profesor, tahukah Anda di
mana beradanya diadem Ravenclaw?”
“D-diadem Ravenclaw? Tentu saja tidak—bukankah itu sudah berabad-abad hilang?”
Profesor McGonagall duduk tegak, “Potter, ini gila, benar-benar gila, untuk memasuki
kastil ini—“
“Saya harus,” sahut Harry, “Profesor, ada sesuatu yang tersembunyi di sini yang harus
saya temukan, dan mungkin diadem itu—kalau saja saya dapat berbicara dengan Profesor
Flitwick—“
Ada suara gerakan, kaca berdenting: Amycus sadar. Sebelum Harry atau Amycus
bertindak, Profesor McGonagall berdiri, mengarahkan tongkatnya pada Pelahap Maut
yang terhuyung-huyung itu dan berucap: Imperio.
Amycus berdiri, berjalan ke arah saudarinya, memungut tongkat Alecto, berjalan dengan
kaki terseret dengan patuh ia menuju Profesor McGonagall, dan menyerahkan tongkat
Alecto beserta tongkatnya sendiri. Lalu ia berbaring di sisi Alecto. Profesor McGonagall
mengayunkan tongkatnya lagi, seutas tali keperakan mengilap muncul dari udara,
menyusup melingkari kedua Carrow, mengikat mereka berdua erat-erat.
“Potter,” sahut Profesor McGonagall, menoleh pada Harry lagi, sangat mengacuhkan
penderitaan kedua Carrow, “jika Dia-Yang-Namanya-Tidak-Boleh-Disebut benar-benar
tahu kau ada di sini—“
Saat profesor McGonagall menucapkan ini, kemurkaan yang meyerang fisiknya melanda
Harry, seakan menyalakan api di bekas lukanya, dan dalam sedetik ia sudah memandang
pada baskom itu, yang Ramuannya sudah habis, sudah tak ada leontin emas tergeletak di
sana—”
“Potter, kau baik-baik saja?” sahut sebuah suara, dan Harry kembali: dia sedang
mencengkeram bahu Luna untuk menyeimbangkan dirinya.
“Waktu berjalan terus, Voldemort semakin mendekat. Profesor, saya bertindak atas
perintah Dumbledore, saya harus menemukan apa yang ia inginkan untuk saya temukan.
Tapi kita harus mengeluarkan para siswa dulu saat saya mencari—Voldemort
menginginkan saya, tapi ia tidak akan peduli membunuh lebih banyak atau lebih sedikit,
tidak sekarang—” Tidak sekarang setelah ia tahu aku menghancurkan Horcruxesnya,
Harry menyelesaikan kalimat di dalam kepalanya.
”Kau bertindak atas perintah Dumbledore?” Profesor McGonagall mengulangi, dengan
tatapan keheranan. Ia membenahi diri.
“Kita akan mengamankan sekolah ini dari Dia Yang Namanya Tidak Boleh Disebut saat
kau mencari benda—benda ini.”
“Mungkinkah?”
“Kukira ya,” sahut Profesor McGonagall datar dan kering, “kami guru-guru punya sihir
yang cukup baik, kau tahu. Aku yakin kita bisa menahan dia untuk beberapa lama bila
kami mengerahkan segala daya upaya. Tentu saja sesuatu harus dilakukan pada Profesor
Snape—”
”Biarkan saya—”
”—dan jika Hogwarts memang akan memasuki keadaan siaga, dengan Pangeran
Kegelapan di pintu gerbang, tentu saja harus diupayakan sebanyak mungkin orang yang
tak bersalah, tak terlibat. Dengan Jaringan Floo diawasi dan tak mungkin menggunakan
Apparate di daerah ini—”
“Ada caranya,” sahut Harry cepat, dan ia menjelaskan jalan masuk yang mengarah ke
Hog’s Head.
“Potter, kita bicara tentang ratusan siswa—“
“Saya tahu, Profesor, tapi jika Voldemort dan para Pelahap Maut berkonsentrasi pada
tapal batas sekolah, mereka tidak akan tertarik pada siapapun yang ber-DisApparate dari
Hog’s Head.
“Boleh juga,” Profesor McGonagall setuju. Ia menunjukkan tongkatnya pada kedua
Carrow, dan jaring perak jatuh di atas tubuh mereka yang terikat, menyimpul sendiri dan
menggantung kedua bersaudara itu di udara, terayun-ayun di bawah langit-langit biru dan
keemasan, seperti dua binatang yang jelek dan besar. “Ayo, kita harus memperingatkan
Kepala–Kepala Asrama yang lain. Kalian lebih baik memakai Jubah itu lagi.”
Ia berjalan gagah menuju pintu, sambil mengangkat tongkatnya. Dari ujung tongkatnya
muncul tiga ekor kucing perak dengan tanda seperti kacamata di sekeliling mata mereka.
Para Patronus itu berlari mendahului, mengilap, mengisi tangga spiral dengan cahaya
keperakan, saat Profesor McGonagall, Harry, dan Luna bergegas turun.
Sepanjang koridor para Patronus itu berlomba, dan satu demi satu meninggalkan mereka,
gaun tidur kotak-kotak Profesor McGonagall menyapu lantai, Harry dan Luna berlari di
belakangnya di bawah naungan Jubah.
Mereka sudah menuruni dua lantai saat terdengar langkah sepasang kaki pelan. Harry
yang bekas lukanya masih menusuk-nusuk, mendengarnya duluan, ia merasa dalam
kantong jubahnya ada Peta Perompak, tapi sebelum ia mengeluarkannya, McGonagall
nampaknya sudah waspada juga. Ia berhenti, mengangkat tongkatnya siap berduel, dan
berkata, ”Siapa itu?”
”Ini aku,” sahut sebuah suara rendah.
Dari belakang seperangkat baju besi melangkahlah Severus Snape.
Kebencian menggelora begitu Harry melihatnya; ia sudah lupa rincian penampilan Snape
dengan kejahatannya, lupa bagaimana rambutnya yang hitam dan berminyak tergantung
seperti tirai membingkai wajahnya yang kurus, bagaimana mata hitamnya punya tatapan
yang dingin mematikan. Snape tidak memakai baju tidur tapi mengenakan jubah
hitamnya yang biasa, dan dia juga sedang memegang tongkatnya siap bertempur.
”Di mana Carrow bersaudara?” tanyanya tenang.
“Kurasa berada di tempat yang kau suruh, Severus,” sahut Profesor McGonagall.
Snape melangkah mendekat dan matanya melihat berganti-ganti antara pada Profesor
McGonagall dan ke udara di sekitarnya, sepertinya ia bisa tahu bahwa Harry ada di situ.
Harry mengangkat tongkatnya juga, siap menyerang.
“Aku mendapat kesan,” sahut Snape, “bahwa Alecto berhasil menemukan seorang
penyelundup.”
“Benarkah?” tanya Profesor McGonagall, “Dan apakah yang membuatmu mempunyai
kesan demikian?”
Snape membuat gerakan kecil pada tangan kirinya, di mana Tanda Kegelapan diterakan.
”Oh, tapi itu wajar,” sahut Profesor McGonagall, ”Kalian para Pelahap Maut punya
sarana komunikasi sendiri, aku lupa.”
Snape pura-pura tak mendengar. Matanya masih memeriksa udara di sekitar Profesor
McGonagall, dan Snape bergerak mendekat perlahan seperti tak memerhatikan apa yang
sedang dia lakukan.
“Aku tak tahu malam ini giliranmu mengawasi koridor, Minerva.”
”Kau keberatan?”
”Aku heran apa yang bisa membuatmu keluar kamar selarut ini?”
”Kukira aku mendengar keributan,” sahut Profesor McGonagall.
”Benarkah? Tapi semua seperti tenang.”
Snape memandang mata Profesor McGonagall.
“Apakah kau melihat Harry Potter, Minerva? Karena kalau kau melihat, aku terpaksa—“
*
Profesor McGonagall bergerak lebih cepat dari apa yang bisa Harry percayai: tongkatnya
megiris udara dan untuk sedetik Harry mengira Snape telah rubuh, tak sadar, tapi dengan
kecepatan Mantra Pelindungnya, justru McGonagall yang kehilangan keseimbangan.
McGonagall mengarahkannya tongkatnya pada sebuah obor di dinding dan obor itu
melayang dari standarnya; Harry, nyaris merapal kutukan pada Snape, terpaksa menarik
Luna agar tidak terkena nyala api, yang kemudian menjadi cincin api yang memenuhi
koridor dan terbang seperti laso menuju Snape.
Sekarang bukan lagi api, tapi ular hitam dan besar yang diledakkan McGonagall menjadi
asap, lalu berubah bentuk dan mengeras dalam hitungan detik menjadi sekumpulan belati
yang mengejar; Snape menghindarinya dengan menarik baju besi ke hadapannya, dengan
suara logam berbenturan, belati itu terbenam satu demi satu di bagian dada—
“Minerva!” seru suara mencicit, dan di belakangnya, masih melindungi Luna dari mantra
terbang, Harry melihat Profesor Flitwick dan Profesor Sprout berlari menyusuri koridor
mendekati mereka masih memakai pakaian tidur, dengan Profesor Slughorn terengahengah
di belakangnya.
“Tidak!” Flitwick memekik, mengangkat tongkatnya, “Kau tidak boleh membunuh lagi
di Hogwarts!”
Mantra Flitwick membentur baju besi yang digunakan Snape untuk perlindungan; dengan
suara berisik baju besi itu hidup. Snape berjuang melepaskan diri dari tangan besi yang
meremukkan, dan mengirimnya terbang kembali pada penyerangnya; Harry dan Luna
harus menunduk ke samping untuk menghindarinya, dan tangan besi itu terhempas ke
dinding dan hancur. Saat Harry melihat lagi, Snape sudah benar-benar melarikan diri,
McGonagall, Flitwick, dan Sprout segera mengejarnya; Snape meluncur lewat pintu kelas
dan sesaat kemudian Harry mendengar McGonagall berteriak: “Pengecut! PENGECUT!”
“Apa yang terjadi? Apa yang terjadi?” tanya Luna.
Harry menariknya agar berdiri dan mereka berlomba sepanjang koridor, menyeret Jubah
di belakang mereka, menuju kelas kosong di mana Profesor McGonagall, Flitwick, dan
Sprout berdiri di dekat jendela pecah.
”Ia melompat,” sahut Profesor McGonagall, saat Harry dan Luna lari memasuki ruangan.
”Anda pikir dia mati?” Harry berlari ke jendela, mengacuhkan teriakan kaget Flitwick
dan Sprout atas kemunculan Harry yang tiba-tiba..
“Tidak, dia tidak mati,” sahut McGonagall pahit, “Tidak seperti Dumbledore, dia masih
memegang tongkat … dan dia nampaknya mempelajari kiat-kiat dari gurunya.”
Dengan perasaan ngeri, Harry melihat dari kejauhan bentuk seperti kelelawar besar
terbang melalui kegelapan menuju tembok perbatasan.
Suara kaki yang berat dan napas terengah-engah terdengar di belakang mereka: Slughorn
baru saja menyusul.
“Harry!” ia terengah-engah, mengurut dadanya yang besar di bawah piama sutra hijau
zamrud. “Anakku … kejutan … Minerva, tolong jelaskan … Severus … apa …?”
“Kepala Sekolah kita mengambil jalan pintas,” sahut Profesor McGonagall, menunjuk
lubang sebesar-Snape di jendela.
“Profesor!” Harry berteriak, kedua tangan di keningnya. Ia dapat melihat danau yang
penuh-Inferi, meluncur di bawahnya, ia merasa perahu hijau remang-remang membentur
pantai bawah tanah, Voldemort melompat dari perahu dengan niat membunuh di hatinya
…
“Profesor, kita harus membuat barikade di sekolah, ia datang sekarang!”
“Baiklah. Dia Yang Namanya Tidak Boleh Disebut datang,” Profesor McGonagall
berkata pada guru-guru lain. Sprout dan Flitwick menahan napas; Slughorn mengerang
pelan. “Ada pekerjaan yang harus dilakukan oleh Potter di kastil ini, atas perintah
Dumbledore. Kita harus melindungi tempat ini sebisa kita, saat Potter mengerjakan apa
yang harus dikerjakan.”
”Kau sadar tentu saja, bahwa tidak ada yang bisa kita kerjakan untuk mencegah Kau
Tahu Siapa masuk selamanya?” cicit Flitwick.
”Tapi kita bisa menahannya,” sahut Sprout.
”Terima kasih, Pomona,” sahut Profesor McGonagall, dan di antara keduanya terjalin
kesepahaman yang kuat. ”Aku menyarankan kita membangun perlindungan dasar di
sekitar tempat ini, mengumpulkan siswa-siswa dan berkumpul di Aula Besar. Sebagian
besar tentu saja harus dievakuasi, walau jika ada yang sudah cukup umur ingin tinggal
dan bertempur, kukira mereka harus diberi kesempatan.”
”Setuju,” sahut Profesor Sprout, sudah bergegas menuju pintu. “Aku akan bertemu lagi
dengan kalian di Aula Besar dalam 20 menit dengan anggota asramaku.”
Dan selagi ia berjalan keluar tak terlihat lagi, mereka masih bisa mendengar ia
menggumam. ”Tentakula. Jerat Setan. Dan Kacang Snargaluffs ... ya aku ingin melihat
Pelahap Maut bertempur dengan mereka.”
”Aku bisa mulai dari sini,” sahut Flitwick, dan walau ia tak bisa melihat keluar jendela
pecah itu, ia menunjukkan tongkatnya dan menggumamkan mantra yang sangat rumit.
Harry mendengar suara gemuruh yang aneh, seperti Flitwick sudah melepaskan kekuatan
angin pada tanah.
”Profesor,” sahut Harry, mendekati ahli Mantra yang badannya kecil ini, ”Profesor, maaf
menyela, tapi ini penting. Apakah Anda tahu di manakah diadem Ravenclaw?”
”... Protego horribilis—diadem Ravenclaw?” cicit Flitwick, “sedikit tambahan kebijakan
tak pernah keliru, Potter, tapi kukira tidak akan banyak berguna dalam keadaan ini!”
“Saya hanya bermaksud—tahukah Anda di mana? Pernahkah Anda melihatnya?”
“Melihatnya? Tak ada orang yang masih hidup yang mengingatnya. Sudah lama hilang,
nak!”
Harry merasa campuran antara kekecewaan dan panik. Jadi, apa dong Horcruxnya?
”Kami akan bertemu denganmu dan anak-anak Ravenclaw-mu di Aula Besar, Filius!”
sahut Profesor McGonagall, memberi isyarat pada Harry dan Luna untuk mengikutinya.
Mereka baru saja mencapai pintu saat Slughorn berbicara tak keruan.
”Kubilang,” ia menghembuskan napas, pucat dan berkeringat, kumis anjing lautnya
menggigil, ”Apa yang mau dilakukan? Aku tak yakin ini bijak, Minerva. Dia pasti
mencari jalan masuk, kau tahu, dan siapapun yang mencoba melambatkannya, akan
berada dalam bahaya yang menyedihkan.”
”Aku mengharapkan kau dan para Slytherin di Aula Besar dalam 20 menit juga,” sahut
Profesor McGonagall, ”kalau kau ingin pergi dengan siswa-siswa, kami tak akan
menghentikanmu. Tapi kalau kau mencoba untuk menyabotase pertahanan kami, atau
mengangkat senjata melawan kami dalam kastil ini, maka, Horace, kita akan duel sampai
mati.”
”Minerva!” Horace terperanjat.
”Waktunya tiba untuk Asrama Slytherin untuk memutuskan di mana kesetiaannya
berada,” sela Profesor McGonagall. ”Pergi dan bangunkan siswa-siswamu, Horace!”
Harry tak berdiam diri menyaksikan Slughorn merepet: ia dan Luna bergegas mengejar
Profesor McGonagall, yang sudah bersiaga di tengah koridor dan mengangkat
tongkatnya.
”Piertotum—oh, ya ampun, Filch, tidak sekarang—”
Penjaga sekolah yang sudah berumur itu baru saja datang terpincang-pincang, berseru,
“Anak-anak bangun! Anak-anak di koridor!”
“Mereka memang harus bangun, bodoh!” seru McGonagall, ‘sekarang pergi dan lakukan
sesuatu yang berguna! Cari Peeves!”
“P-Peeves?” gagap Filch, seperti dia tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya.
‘Ya, Peeves, bodoh, Peeves! Bukankah kau selalu mengeluh tentangnya selama
seperempat abad? Cari dan jemput dia sekarang juga!”
Filch jelas-jelas mengira McGonagall sudah kehilangan akal, tapi pergi juga dengan
langkah terpincang-pincang, bahu membungkuk, komat-kamit.
”Dan sekarang—piertetum locomotor!” teriak Profesor McGonagall.
Sepanjang koridor patung-patung dan baju besi melompat keluar dari tempatnya, dan dari
suara yang bergema dari lantai-lantai di atas dan di bawah, Harry tahu bahwa temanteman
sesama patung dan baju besi di seluruh kastil melakukan hal yang sama.
“Hogwarts terancam!” seru Profesor McGonagall, “Mereka yang di perbatasan, lindungi
kami, lakukan tugas kalian untuk sekolah kita!”
Berkelontangan dan berteriak, pasukan patung bergerak melampaui Harry; sebagian dari
mereka berukuran kecil sebagian lagi berukuran besar. Ada juga binatang-binatang dan
baju besi yang berkelontangan menghunus pedang mereka beserta bola-bola berpaku
berantai.
“Sekarang, Potter,” sahut McGonagall, “ kau dan Miss Lovegood lebih baik kembali
pada teman-temanmu dan bawa mereka ke Aula Besar—aku akan membangunkan para
Gryffindor yang lain.”
Mereka berpisah di puncak tangga berikutnya: Harry dan Luna berlari menuju pintu
masuk Kamar Kebutuhan. Saat mereka berlari, mereka bertemu kerumunan siswa,
sebagian besar memakai jubah bepergian di atas piama mereka, diarahkan ke Aula Besar
oleh guru-guru dan para prefek.
“Itu Harry Potter!”
“Harry Potter!”
“Itu dia, aku bersumpah, aku barusan lihat dia!”
Tapi Harry tak menoleh-noleh lagi, akhirnya mereka sampai di pintu Kamar Kebutuhan.
Harry menyelinap di dinding yang sudah dimantrai, yang membuka mengijinkan mereka
masuk, dia dan Luna menuruni tangga dengan cepat.
’Ap—”
Saat ruangan terlihat jelas, Harry terpeleset beberapa anak tangga saking terkejutnya.
Ruangan itu penuh sesak dibandingkan saat mereka pergi tadi. Kingsley dan Lupin
memandang mereka, seperti juga Oliver Wood, Katie Bell, Angelina Johnson, dan Alicia
Spinnet, Bill dan Fleur, Mr dan Mrs Weasley.
“Harry, apa yang terjadi?” tanya Lupin di kaki tangga.
”Voldemort sedang dalam perjalanan ke mari, guru-guru sedang membuat pertahanan di
sekolah—Snape melarikan diri—apa yang sedang kalian lakukan? Bagaimana kalian
tahu?”
”Kami mengirim pesan pada seluruh Laskar Dumbledore,” Fred menjelaskan, ”kau tak
bisa mengharapkan bahwa mereka akan senang ketinggalan sesuatu yang seru, Harry, dan
para LD memberi tahu Orde Phoenix, dan begitulah... menggelinding membesar seperti
bola salju.”
”Sekarang apa yang duluan, Harry?” tanya George, ”apa yang terjadi?”
“Guru-guru sedang mengevakuasi anak-anak yang lebih muda, dan semua orang
berkumpul di Aula Besar agar mudah mengorganisirnya,” sahut Harry, “kita akan
bertempur.”
Suara gemuruh membahana melanda kaki tangga, Harry terpepet ke dinding saat mereka
berlari melewatinya, campuran anggota Orde Phoenix, Laskar Dumbledore, tim
Quidditch lama Harry, semua dengan tongkat teracung siaga, menuju ke bagian utama
kastil.
“Ayo, Luna!” Dean memanggil saat ia melewatinya, mengulurkan tangannya yang
kosong, Luna menyambutnya dan berdua berpegang tangan menaiki tangga.
Kerumunan itu menyusut, tinggal sedikit sisanya di Kamar Kebutuhan, dan Harry
bergabung. Mrs Weasley sedang beradu pendapat dengan Ginny dikelilingi Lupin, Fred,
George, Bill dan Fleur.
“Kau masih di bawah umur!” Mrs Weasley berseru pada anak perempuannya saat Harry
mendekat. “Aku tidak akan mengijinkanmu. Anak laki-laki boleh, tapi kau harus
pulang!”
”Aku tidak mau!”
Rambut Ginny bertemperasan saat ia menarik lengannya dari cengkeraman ibunya.
”Aku anggota LD—”
”—kelompok anak belasan tahun—”
”Kelompok anak belasan tahun yang akan menghadapi dia, di mana tak ada orang lain
yang berani!” sahut Fred.
”Dia baru enambelas tahun,” jerit Mrs Weasley, ”Dia belum cukup umur! Apa yang
kalian berdua pikirkan, membawanya dengan kalian—“
Fred dan George nampak agak malu dengan diri mereka sendiri.
“Mum benar, Ginny,” sahut Bill lembut, “Kau belum boleh. Setiap yang belum cukup
umur harus pergi, itu baru benar.”
“Aku tak bisa pulang!” Ginny berseru, air mata kemarahan berkilat di matanya, “Seluruh
keluargaku di sini, aku tak bisa menunggu sendiri, dan tak tahu apa-apa, dan—“
Matanya bertemu dengan mata Harry untuk pertama kali. Ia menatap Harry, memohon,
tapi Harry menggelengkan kepalanya, dan Ginny memalingkan wajahnya, pedih.
“Baiklah,” sahutnya, menatap jalan ke terowongan kembali ke Hog’s Head. “Selamat
tinggal kalau begitu, dan—“
Ada suara keributan, lalu suara gedebuk keras; seseorang merangkak keluar dari
terowongan, kehilangan keseimbangan sedikit dan terjatuh. Ia berpegangan di kursi
terdekat lalu berdiri, melihat sekeliling lewat kacamata bingkai tanduk yang miring dan
berkata, “Apa aku terlambat? Sudah mulai? Aku baru tahu, jadi aku—aku—“
Percy merepet lalu berhenti. Jelas-jelas dia tak berharap akan bertemu dengan
keluarganya sebanyak ini.
Mereka terdiam heran untuk waktu yang lama, dipecahkan oleh Fleur menoleh pada
Lupin dan berkata, yang kelihatan sekali bermaksud untuk memecahkan ketegangan,
“Jadi—b’gimana zee kecheel Teddy?”
Lupin mengejapkan mata pada Fleur, bingung. Keheningan di antara Weasley
nampaknya membeku seperti es.
”Aku—oh ya—dia baik!” Lupin berkata keras-keras, ”Ya, Tonks bersamanya—di rumah
ibunya.”
Percy dan Weasley lainnya masih saling pandang, membeku.
“Ini, aku punya potretnya!” Lupin berseru, mengeluarkan selembar foto dari balik
jaketnya dan memperlihatkannya pada Fleur dan Harry, yang melihat seorang bayi kecil
dengan seberkas rambut tosca terang melambaikan tinjunya yang gemuk pada kamera.
“Aku bodoh!” Percy meraung, begitu kerasnya hingga Lupin nyaris menjatuhkan
fotonya. “Aku tolol, aku brengsek sombong, aku—aku—“
“Pecinta-Kementrian, penolak-keluarga, pandir haus-kekuasaan,” sahut Fred.
Percy menelan ludah.
”Ya, memang!”
”Well, kau takkan bisa ngomong lebih baik lagi dari itu,” sahut Fred, mengulurkan
tangan pada Percy.
Mrs Weasley bercucuran airmata. Ia berlari mendekat, mendorong Fred ke sisi dan
menarik Percy ke dalam pelukan yang mencekik, sementara Percy menepuk-nepuk
punggung ibunya, matanya tertuju pada ayahnya.
“Maafkan aku, Dad,” sahut Percy.
Mr Weasley mengerjap cepat, kemudian dia juga bergegas memeluk anaknya.
“Apa yang membuatmu sadar, Perce?” George mengusut.
“Sudah timbul agak lama,” sahut Percy, menghapus air matanya di bawah kacamata
dengan ujung jubah bepergiannya. “Tapi aku harus mencari jalan keluar, dan itu tidak
mudah, di Kementrian mereka memenjarakan pengkhianat setiap saat. Aku berhasil
menghubungi Aberforth dan dia memberi peringatan padaku sepuluh menit lalu bahwa
Hogwarts akan bertempur, jadi inilah aku.”
”Well, kami memang membutuhkan para prefek untuk memimpin pada saat seperti
sekarang,” sahut George sambil menirukan gaya Percy yang paling angkuh, ”Sekarang
ayo kita naik dan bertempur, kalau tidak nanti kita tidak kebagian Pelahap Maut.”
”Jadi kau kakak iparku sekarang?” sahut Percy, berjabat tangan dengan Fleur saat mereka
bergegas menuju tangga bersama Bill, Fred dan George.
“Ginny!” hardik Mrs Weasley.
Ginny sudah mencoba, diselubungi perdamaian, untuk menyelinap naik tangga juga.
“Molly, bagaimana kalau begini,” sahut Lupin, “Kenapa Ginny tidak tinggal di sini saja,
sehingga paling tidak dia ada di tempat kejadian dan tahu apa yang terjadi, tapi dia tak
terlibat dalam pertempuran?”
“Aku—“
“Gagasan yang bagus,” sahut Mr Weasley teguh, “Ginny, kau tinggal di kamar ini, kau
dengar?”
Ginny nampaknya tak begitu menyukai gagasan itu, tapi di bawah tatapan mata ayahnya
yang tidak biasanya, keras, ia mengangguk. Mr dan Mrs Weasley beserta Lupin menuju
tangga juga.
“Ron mana?” tanya Harry, “Hermione mana?”
“Mereka pasti sudah naik ke Aula Besar,” Mr Weasley berkata lewat bahunya.
“Aku tidak melihat mereka melewatiku,” sahut Harry.
”Mereka tadi ngomong sesuatu tentang kamar mandi,” sahut Ginny, ”tak lama setelah
kau pergi.”
”Kamar mandi?”
Harry menyeberangi Kamar menuju sebuah pintu yang terbuka di bagian awal Kamar
Kebutuhan dan memeriksa kamar mandi yang ada di sana. Kosong.
”Kau yakin mereka bilang kamar—”
Tapi kemudian bekas lukanya terbakar, Kamar Kebutuhan menghilang: ia sedang
memeriksa gerbang yang tinggi, terbuat dari besi tempa, dengan babi-bersayap di tiang di
tiap sisi, memeriksa tanah yang gelap menuju ke kastil terang benderang. Nagini
melingkar di bahunya. Ia sudah kerasukan perasaan dingin dan kejam yang melebihi
pembunuhan.
Beberapa pesan Ambu :
*[Reff, pernahkah membayangkan adegan ini? Severus, mungkinkah sedang membaca
pikiran Minerva? Tapi katanya kalau Legilimens pasti kerasa sakit ^^. Trus, kalau
Severus dibiarkan menyelesaikan kalimatnya, kalimat seperti apa yang mau dikatakan?
Lalu, kalau dia dibiarkan bicara, dan karena sesuatu hal dia bisa bertemu dengan Harry
saat ini, apa yang mau dilakukan? Bilang apa? Apakah Harry akan percaya kalau Severus
bilang seperti yang disuruh Dumbledore? Apakah Severus akan bicara langsung, ataukah
pakai metode tertentu, Legilimens misalnya? Hehe, if dan if, dan if...]
Catatan editor:
Btw, ada yang mau ngasih saran judul dari Chapter 30 ini? Mungkin ada yang lebih
cocok daripada 'Pemecatan Severus Snape'?
Chapter 31
The Battle of Hogwarts
PERTEMPURAN HOGWARTS
Langit-langit sihiran di Aula Besar terlihat gelap dan bertabur bintang, dibawahnya empat
meja asrama berjajar dikelilingi siswa-siswi yang berkerumun tak beraturan, beberapa
mengenakan jubah bepergian, yang lain memakai baju rumah. Disana-sini terlihat
kilauan seputih mutiara hantu-hantu sekolah. Setiap mata, hidup dan mati, tertuju pada
Prof. McGonagall, yang berbicara dari podium di depan aula. Disampingnya berdiri
guru-guru yang tersisa, termasuk sang centaurus, Firenze, dan para anggota Orde Phoenix
yang datang untuk bertempur.
“Evakuasi akan dipandu oleh Mr. Filch dan Madam Pomfrey. Prefek, jika kuberi
komando, atur asrama kalian dan pimpin dengan rapi seperti biasa menuju titik
evakuasi.”
Banyak diantara siswa yang terlihat ketakutan. Tiba-tiba, ketika Harry menyusuri
dinding, mencari Ron dan Hermione di meja Gryffindor, ErnieMcMillan berdiri diatas
meja Hufflepuff dan berteriak; “Bagaimana jika kami ingin tinggal dan bertarung?”
Terdengar gemuruh tepuk tangan.
“Jika usiamu cukup, kau boleh tinggal,” ucap Prof. McGonagall.
“Bagaimana dengan barang-barang kami?” tanya seorang gadis di meja Ravenclaw.
“Kopor dan burung hantu kami?”
“Kita tidak punya waktu untuk untuk mengumpulkan barang-barang,” kata Prof.
McGonagall.
“Yang terpenting adalah mengeluarkan kalian dari sini dengan selamat.”
“Dimana Prof. Snape?” teriak seorang gadis di meja Slytherin.
“Dia sedang -menggunakan bahasa umum- bersembunyi di kolong tempat tidur,” jawab
Prof. McGonagall yang disambut sorak-sorai dari anggota asrama Gryffindor, Hufflepuff
dan Ravenclaw.
Harry bergerak di aula sepanjang meja Gryffidor, masih mencari Ron dan Hermione.
Ketika dia lewat, wajah-wajah menoleh memandangnya, dan suara bisik-bisik memecah
perhatiannya.
“Kami telah membuat perlindungan di sekitar kastil,” Prof. McGonagall berkata, ”tapi
sepertinya tidak bisa bertahan lama kecuali kita memperkuatnya. Oleh karena itu, aku
meminta kalian, untuk bergerak cepat dan tenang, dan lakukan seperti prefek kalian—“
Tetapi kata terakhirnya tenggelam ketika suara lain bergema di seluruh aula. Suara yang
tinggi, dingin dan jelas. Tak diketahui darimana asalnya. Tampaknya keluar dari dinding
itu sendiri. Seperti monster yang pernah dikuasainya, suara itu mungkin telah berada
disana selama berabad-abad.
“Aku tahu kalian bersiap untuk bertempur.” Terdengar jeritan diantara siswa-siswa,
beberapa diantaranya saling mencengkeram, mencari-cari sumber suara dalam
kengerian. “Usaha kalian sia-sia, kalian tidak bisa melawanku. Aku tidak ingin
membunuh kalian. Aku sangat menghormati guru-guru Hogwarts. Aku tidak ingin
menumpahkan darah sihir.”
Aula sunyi senyap sekarang, kesunyian yang menantang gendang telinga, yang terlalu
berat untuk disangga oleh dinding.
“Berikan Harry Potter padaku,” kata suara Voldemort, “dan mereka tak akan disakiti.
Berikan Harry Potter padaku, dan aku akan meninggalkan sekolah tanpa menyentuhnya.
Berikan Harry Potter padaku dan kalian akan diberi penghargaan.”
“Kalian mempunyai waktu hingga tengah malam.”
Kesunyian kembali menelan mereka. Setiap kepala menoleh, setiap mata tampaknya
berusaha mencari Harry, membuat Harry membeku dalam ribuan tatapan mata. Lalu
sesosok tubuh bangkit dari meja Slytherin dan Harry mengenali Pansy Parkinson ketika
ia mengangkat tangannya yang gemetar dan menjerit, “Tapi ia disini! Potter disini!
Tangkap dia!”
Sebelum Harry bisa berkata-kata, tampak terbentuk gerakan besar-besaran. Anak –anak
Gryffindor di depannya berdiri dan menghadang, bukan Harry, tetapi anak-anak
Slytherin. Kemudian anak-anak Hufflepuff berdiri, dan hampir bersamaan, anak-anak
Ravenclaw, mereka semua membelakangi Harry, semuanya malah menghadap Pansy,
dan Harry, yang terpesona dan gembira, melihat tongkat muncul dimana-mana, ditarik
dari dalam jubah dan lengan baju.
“Terima kasih, Nona Parkinson,” kata Prof. McGonagall dengan suara tercekat.
“Kau boleh meninggalkan aula duluan bersama Mr. Filch, jika anggota asramamu
sanggup mengikuti.”
Harry mendengar derit suara bangku-bangku dan mendengar suara anak-anak Slyhterin di
sisi lain aula mulai berjalan keluar.
“Ravenclaw, selanjutnya!” perintah Prof. McGonagall.
Perlahan keempat meja mulai kosong. Meja Slytherin telah kosong, tetapi beberapa anak
Ravenclaw yang lebih tua tetap duduk sementara teman-temannya berderet keluar;
bahkan lebih banyak lagi anak Hufflepuff yang tetap tinggal, dan separuh Gryffindor
tetap di tempatnya, mengharuskan Prof. McGonagall turun dari podium guru untuk
memandu siswa di bawah umur untuk mengikuti yang lain.
“Tidak boleh, Creevey, ayo! Kau juga Peakes!”
Harry bergegas menuju keluarga Weasley, yang semuanya duduk di meja Gryffindor.
“Dimana Ron dan Hermione?”
“Kau belum menemukan—?“ Mr. Weasley terlihat cemas.
Tapi kalimatnya terhenti ketika Kingsley menaiki podium untuk berbicara kepada semua
yang tetap tinggal di aula.
“Kita hanya punya waktu setengah jam hingga tengah malam, jadi kita harus bergerak
cepat. Rencana pertempuran telah disetujui antara guru-guru Hogwarts dengan Orde
Phoenix. Prof. Flitwick, Sprout dan Mc. Gonagall akan memimpin kelompok-kelompok
pejuang naik ke tiga menara tertinggi –Ravenclaw, Astronomi dan Gryffindor— yang
sudut pandangnya paling bagus, posisi yang sempurna untuk melancarkan mantra.
Sementara Remus” –dia menunjuk Lupin— “Arthur” menunjuk Mr. Weasley yang duduk
di meja Gryffindor—“ dan aku, akan memimpin kelompok di bawah. Kita perlu
seseorang untuk mengorganisir pertahanan di pintu-pintu masuk atau jalan tembus
menuju sekolah—“
“Kedengarannya seperti pekerjaan untuk kita,” kata Fred, menunjuk dirinya dan George,
dan Kingsley mengangguk setuju.
“Baiklah, para pemimpin kesini dan kita akan memencar pasukan!”
“Potter,” ujar Prof. McGonagall, bergegas mendekatinya, ketika siswa-siswa memenuhi
podium, menempatkan diri, dan menerima perintah, “Bukankah kau seharusnya mencari
sesuatu?”
“Apa? Oh” ucap Harry, “Oh, yeah!”
Dia hampir melupakan Horcrux, hampir lupa bahwa pertempuran akan digelar supaya dia
bisa mencarinya: Ketiadaan Ron dan Hermione yang tidak jelas sementara telah
membuang pikiran lain dari kepalanya.
“Pergilah Potter, ayo!”
“Benar—yeah—“
Dia merasakan berpasang-pasang mata memandang ketika ia berlari keluar lagi dari aula
besar menuju aula depan yang penuh sesak dengan siswa-siswa yang dievakuasi. Ia
membiarkan dirinya terbawa rombongan mereka menuju tangga pualam, tapi sampai
diatas ia bergegas menyusuri koridor yang sunyi. Rasa takut dan panik membuatnya sulit
berpikir. Ia berusaha menenangkan diri, berkonsentrasi untuk menemukan Horcrux, tapi
pikirannya simpang siur, kalut dan bingung seperti lebah yang terjebak diantara kaca.
Tanpa Ron dan Hermione yang membantunya, tampaknya ia kesulitan menyusun
rencana. Dia melambat di tengah koridor, duduk di alas sebuah patung retak dan
mengambil Peta Perompak dari kantong yang tergantung di lehernya. Tidak terlihat
nama Ron dan Hermione dimanapun, walaupun padatnya titik yang sekarang menuju ke
Kamar Kebutuhan, pikirnya, mungkin saja menyembunyikan mereka. Dia meletakkan
peta, menutup wajah dengan tangannya, terpejam, dan mencoba untuk konsentrasi.
Voldemort mengira aku pergi ke menara Ravenclaw.
Itu dia, petunjuk jelas dari mana harus memulai. Voldemort telah menempatkan Alecto
Carrow di ruang rekreasi Ravenclaw, dan pasti hanya ada satu penjelasan; Voldemort
kuatir Harry sudah tahu Horcruxnya berhubungan dengan asrama itu.
Tapi tampaknya satu-satunya benda yang dihubungkan dengan asrama itu oleh semua
orang hanyalah diadem yang hilang… dan bagaimana mungkin Horcruxnya adalah
diadem itu? Apa mungkin Voldemort, anak Slytherin, bisa menemukan diadem yang
tidak diketahui oleh bergenerasi anggota Ravenclaw? Siapa yang bisa memberitahunya
dimana harus mencari, ketika tidak ada orang yang pernah melihatnya yang masih hidup?
Yang masih hidup….
Mata Harry terbuka kembali di sela-sela jarinya. Dia melompat bangun dari alas patung
dan bergegas berbalik arah kembali ke jalan yang telah ia lalui, mengejar harapan satusatunya.
Suara ratusan orang yang bergerak kearah Kamar Kebutuhan terdengar semakin
jelas ketika ia kembali ke tangga pualam. Para Prefek meneriakkan instruksi, berusaha
menjaga para siswa tetap di jalur asramanya, semakin banyak dorongan dan teriakan;
Harry melihat Zacharias Smith meluncur cepat menuju antrian depan; disana-sini
terdengar isak tangis siswa-siswa yang lebih muda, sementara yang lebih tua saling
memanggil teman dan saudara dengan putus asa.
Harry menangkap kilau sosok seputih mutiara melayang melewati pintu masuk aula dan
berteriak sekeras mungkin di tengah keramaian.
“Nick! NICK! Aku harus bicara denganmu!”
Dia menerobos kerumunan siswa, hingga sampai di dasar tangga, dimana Nick si
Kepala-Nyaris-Putus, hantu Gryffidor, berdiri menunggunya.
“Harry! Anakku!”
Nick berusaha meraih tangan Harry; membuat Harry merasa seperti masuk ke dalam air
es.
“Nick, kau harus membantuku. Siapa hantu menara Ravenclaw?”
Nick si Kepala-Nyaris-Putus kelihatan terkejut dan sedikit tersinggung.
“Grey Lady, tentu saja; tapi jika layanan hantu yang kau perlukan—“
“Itu pasti dia—kau tahu dimana dia?”
“Coba kulihat…”
Kepala Nick bergoyang diatas rimpelnya ketika ia berputar kesana kemari, mengintip dari
balik kepala siswa-siswa yang berkerumun.
“Itu dia disana, Harry. Wanita muda yang berambut panjang.”
Harry melihat kearah yang ditunjuk jari Nick yang transparan, dan menemukan hantu
tinggi yang menyadari bahwa Harry sedang memandangnya, ia mengangkat alis, dan
melayang melalui dinding yang padat.
“Hei—tunggu—kembali!”
Ia mau berhenti, melayang beberapa inci dari lantai. Menurut Harry ia cantik, dengan
rambut panjang sepinggang dan jubah panjang menyentuh lantai, tapi ia juga terlihat
angkuh dan berbangga diri. Semakin dekat, Harry segera mengenalinya sebagai hantu
yang sering berpapasan dengannya di koridor, tapi ia tak pernah bicara dengannya.
“Kau Grey Lady?”
Ia mengangguk tapi tak bicara.
“Hantu menara Ravenclaw?”
“Itu benar.”
Nadanya tak meyakinkan.
“Tolonglah, aku butuh bantuan. Tolong katakan padaku semua yang kau ketahui tentang
diadem yang hilang.”
Senyum dingin terbentuk di bibirnya.
“Sayangnya,” ujarnya, berputar menjauh, “aku tidak bisa membantumu.”
“TUNGGU!”
Dia tidak bermaksud berteriak, tapi kepanikan dan kemarahan menguasainya. Harry
melirik jamnya sekilas ketika Grey Lady melayang di depannya. Seperempat jam lagi
tengah malam.
“Ini penting,” ia berkata keras. “Jika diadem itu di Hogwarts, kita harus segera
menemukannya.”
“Kau bukan siswa pertama yang mendambakan diadem itu,” katanya menghina.
“Bergenerasi siswa telah mendesakku—“
“Ini bukan tentang mendapatkan nama baik!” Harry berteriak padanya, “ini tentang
Voldemort –mengalahkan Voldemort—atau kau tidak tertarik?”
Bukannya merona, pipinya yang transparan berubah menjadi buram dan suaranya
memanas ketika ia menjawab, “Tentu saja aku—betapa beraninya kau mengatakan—“
“Kalau begitu, bantulah aku!”
Dia mulai tidak tenang.
“Itu—itu bukan pertanyaan yang—“ dia menjawab gagap, “diadem ibuku—“
“Ibumu?”
Dia kelihatan marah pada dirinya sendiri.
“Ketika aku masih hidup,” katanya kaku, “aku Helena Ravenclaw.”
“Kau putrinya? Tapi, kau pasti mengetahui apa yang terjadi pada diadem itu.”
“Diadem itu melimpahkan kearifan,” katanya berusaha menguasai diri, “aku ragu benda
itu bisa memerbesar kesempatanmu mengalahkan penyihir yang menamai dirinya sendiri
Lord—“
“Sudah kubilang aku tidak tertarik memakainya!” kata Harry bersikeras; “Tak ada waktu
untuk menjelaskan—tapi kalau kau peduli dengan Hogwarts, kalau kau ingin melihat
Voldemort berakhir, kau harus memberitahuku semua yang kau tahu tentang diadem itu!”
Dia masih membisu, melayang di udara, memandang Harry dan rasa putus asa melanda
Harry. Tentu saja, jika ia tahu sesuatu, ia tentu sudah mengatakannya pada Flitwick atau
Dumbledore, yang pasti sudah pernah menanyakan hal yang sama. Dia menggelengkan
kepala dan berpaling ketika berbicara dengan suara pelan.
“Aku mencuri diadem itu dari ibuku.”
“Kau—kau apa?”
“Aku mencuri diadem itu,” ulang Helena Ravenclaw dalam bisikan. “Aku mencoba
membuat diriku lebih pintar, lebih penting daripada ibuku. Aku kabur dengan diadem
itu.”
Harry tidak tahu bagaimana dia berhasil mendapatkan kepercayaannya dan tidak
bertanya, ia hanya mendengarkan, baik-baik, ketika Helena melanjutkan.
“Ibuku, mereka bilang, tak pernah mengakui bahwa diademnya hilang, melainkan
berpura-pura masih memilikinya. Beliau menyembunyikan kenyataan tentang hilangnya
diadem itu, juga pengkhianatanku yang menyakitkan, bahkan dari para pendiri Hogwarts
yang lain.”
“Kemudian ibuku sakit—sakit parah. Walaupun aku berkhianat, beliau mati-matian
berusaha menemuiku sekali lagi. Beliau mengirim orang yang sangat mencintaiku,
walaupun aku menolak rayuannya, untuk menemukanku. Beliau tahu bahwa laki-laki itu
tidak akan berhenti hingga berhasil.”
Harry menunggu. Wanita itu menghela nafas dan menoleh kebelakang.
“Dia melacakku hingga ke hutan tempatku bersembunyi. Ketika aku menolak untuk
pulang bersamanya, ia menjadi kejam. Baron memang selalu gampang naik darah.
Berang karena penolakanku, cemburu pada kebebasanku, ia lalu menusukku.”
“Baron? Maksudmu—“
“Baron Berdarah,ya,” ujar Grey Lady, dan dia menyibakkan jubahnya untuk
memperlihatkan satu luka gelap di dada putihnya. “Ketika dia menyadari apa yang telah
dilakukannya, dia sangat menyesal. Dia mengambil senjata yang telah membunuhku, dan
menggunakannya untuk bunuh diri. Selama berabad-abad kemudian ia mengenakan
rantainya sebagai bukti penyesalannya…. jika dia bisa,” ia menambahkan dengan sengit.
“Dan—dan diademnya?”
“Masih berada di tempat aku menyembunyikannya ketika kudengar Baron memasuki
hutan mendekatiku. Tersimpan di dalam lubang pohon.”
“Lubang pohon?” ulang Harry. “Pohon apa? Dimana tempatnya?”
“Hutan di Albania. Tempat sunyi yang menurutku cukup jauh dari jangkauan ibuku.”
“Albania,” ulang Harry. Secara menakjubkan, kebingungan berubah menjadi pengertian,
dan sekarang ia memahami kenapa wanita itu berterus terang padanya tentang hal yang
tak mau ia jelaskan pada Dumbledore dan Flitwick. “Kau pernah menceritakan hal ini
pada seseorang, ya kan? Siswa lain?”
Ia memejamkan mata dan mengangguk.
“Aku… tak tahu… ia menyanjungku. Tampaknya ia… memahami… bersimpati.”
Ya, pikir Harry. Tom Riddle pasti memahami keinginan Helena Ravenclaw untuk
memiliki benda luar biasa yang sebenarnya bukan haknya.
“Well, kau bukan orang pertama yang terpedaya oleh Riddle,” Harry bergumam. “Dia
bisa sangat menarik jika dia mau.”
Jadi Voldemort telah berhasil memancing informasi tentang lokasi diadem yang hilang
dari Grey Lady. Ia telah berkelana ke hutan yang jauh dan mengambil diadem kembali
dari tempat persembunyiannya, mungkin segera setelah ia meninggalkan Hogwarts,
bahkan sebelum ia mulai bekerja di Borgin and Burkes.
Dan bukankah hutan terpencil Albania itu tampaknya merupakan tempat berlindung yang
bagus ketika, lama sesudahnya, Voldemort memerlukan tempat untuk menyembunyikan
diri, tidak terganggu, selama 10 tahun?
Tapi diadem itu, setelah menjadi Horcruxnya yang berharga, tidak ditinggalkan di pohon
rendah itu… Tidak, diadem itu telah dikembalikan secara diam-diam, ke rumah yang
sebenarnya, dan Voldemort pasti telah meletakkannya disana—
“—malam dia melamar pekerjaan!” kata Harry, menghentikan penalarannya.
“Maaf?”
“Dia menyembunyikan diadem di kastil, di malam ia melamar pekerjaan sebagai guru
kepada Dumbledore!” ujar Harry. Berteriak membuatnya lebih memahami semuanya.
“Dia pasti telah menyembunyikan diadem itu dalam perjalanannya menuju, atau setelah
dari, kantor Dumbledore! Lumayan juga usahanya melamar pekerjaan—jadi dia juga
punya kesempatan mengecek pedang Gryffindor—terima kasih banyak!”
Harry meninggalkannya melayang di udara, tampak benar-benar bingung. Sambil
berbelok di ujung kembali ke aula depan, ia mengecek jam. Lima menit sebelum tengah
malam, dan walaupun ia tahu apa Horcrux terakhir, ia masih belum menemukan dimana
tempatnya…
Bergenerasi siswa gagal menemukan diadem itu; menandakan tempatnya bukan di
menara Ravenclaw—tapi bila bukan disana, dimana? Tempat bersembunyi apa yang Tom
Riddle temukan di dalam kastil Hogwarts, yang; dia yakin akan menyimpan rahasia
selamanya?
Bingung dengan spekulasi tanpa harapan, Harry berbelok di pojok, tapi baru berjalan
beberapa langkah di koridor baru, tiba-tiba jendela di sebelah kirinya pecah memekakkan
telinga, hancur berkeping-keping. Ketika ia melompat kesamping, sesosok tubuh ukuran
raksasa melayang masuk jendela dan menabrak dinding di seberangnya.
Sesuatu yang besar dan berbulu berdiri, merengek, melepaskan diri dari sang pendatang
dan melemparkan dirinya kepada Harry.
“Hagrid!” Harry berteriak, melepaskan diri dari perhatian yang berlebihan dari Fang si
anjing pemburu babi hutan, ketika seseorang seukuran beruang berusaha berdiri dengan
susah payah. “Apa yang--?”
“Harry, kau d’sini! Kau d’sini!”
Hagrid membungkuk, menghadiahi Harry dengan pelukan sekilas yang meremukkan
tulang iga, lalu berlari menuju jendela yang pecah.
“Anak pintar, Grawpy!” dia berteriak di jendela yang berlubang. “Kutemui kau sebentar
lagi, itu baru anak baik!”
Di belakang Hagrid, melalui kegelapan malam, Harry melihat kilatan cahaya di kejauhan
dan mendengar jerit ratapan yang aneh. Dia melihat jamnya: Ini tengah malam,
pertempuran dimulai.
“Ya ampun, Harry,” kata Hagrid dengan nafas terengah-engah, ”ini dia, kan? Waktunya
bertarung?”
“Hagrid, kau dari mana?”
“Dengar Kau-Tahu-Siapa dari gua kami,” kata Hagrid tegar, “suara terbawa, kan?
‘Kalian punya waktu sampai tengah malam ‘tuk serahkan Potter.’ Tau kau pasti disini,
tau ini pasti terjadi. Menunduk, Fang. Jadi kami kesini ‘tuk bergabung, aku dan Grawpy
dan Fang. Mendobrak jalan lewat perbatasan dekat hutan, Grawpy bawa kami, Fang dan
aku. Bilang dia ‘tuk turunkan aku di kastil, jadi dia lemparkanku lewat jendela, semoga
dia diberkati. Tidak terlalu tepat sih, tapi – dimana Ron dan Hermione?”
“Itu,” ujar Harry, “pertanyaan yang bagus. Ayo.”
Mereka bergegas menyusuri koridor, Fang menjulurkan lidah mengiringi mereka. Harry
bisa mendengar gerakan dimana-mana melalui koridor: langkah kaki berlarian, teriakan;
melalui jendela ia bisa melihat kilatan cahaya di tanah yang gelap.
“Kemana kita?” Hagrid terengah-engah, berdebam di belakang Harry, menciptakan
gempa di permukaan lantai.
“Aku belum tahu pasti,” ucap Harry, menoleh kesana-kemari, “tapi Ron dan Hermione
pasti di suatu tempat di sekitar sini…”
Korban pertama pertempuran sudah berserakan tepat di lorong depan mereka: dua
gargoyle batu yang biasanya menjaga pintu masuk ruangan staf telah hancur lebur karena
mantra yang masuk melalui jendela pecah di sisi yang lain. Sisa-sisanya bergoyang
lemah di lantai, dan ketika Harry melompati salah satu kepala yang sudah tak berbentuk,
gargoyle itu merintih lemah, “Oh, jangan pedulikan aku… aku akan tetap disini dan
hancur…”
Wajah batunya yang jelek tiba-tiba mengingatkan Harry pada patung dada pualam
Rowena Ravenclaw di rumah Xenophilius, mengenakan hiasan kepala gila itu –dan
kemudian pada patung di menara Ravenclaw, dengan diadem batu diatas rambut putih
keritingnya….
Dan ketika ia sampai di ujung lorong, ingatan akan patung batu ketiga tiba-tiba muncul di
pikirannya; penyihir tua jelek, yang kepalanya Harry pasangi wig dan topi tua. Rasa
terkejut meliputi Harry, seperti terkena panasnya Wiski Api, sampai membuatnya hampir
tersandung.
Dia tahu, akhirnya, dimana Horcrux telah menunggunya…..
Tom Riddle, yang tidak mempercayai siapapun dan bergerak sendirian, mungkin cukup
sombong untuk mengira bahwa ia, dan hanya ia, telah menjelajahi misteri terdalam Kastil
Hogwarts. Tentu saja, Dumbledore dan Flitwick, tipe murid demikian, tidak pernah
menginjakkan kaki di tempat semacam itu, tapi dia, Harry, telah berkeliaran sepanjang
hidupnya di sekolah dan menguasai jalur-jalur rahasia. Paling tidak, ini wilayah rahasia
yang sama-sama diketahuinya dan Voldemort, yang Dumbledore tak pernah menemukan-
-.
Ia disadarkan oleh Prof. Sprout yang bergerak cepat diikuti Neville dan setengah lusin
yang lain, semuanya mengenakan pelindung telinga dan membawa sesuatu seperti
tumbuhan besar dalam pot.
“Mandrake!” Neville berteriak kepada Harry seraya berlari, “untuk dilemparkan kepada
mereka lewat dinding—mereka tak akan suka ini!”
Harry sekarang mengerti harus pergi kemana. Ia mempercepat langkah, dengan Hagrid
dan Fang berlari kencang mengiringinya. Mereka melewati lukisan demi lukisan, dan
sosok-sosok dalam lukisan ikut berlari bersama mereka, penyihir pria dan wanita dalam
balutan kerah berenda dan celana panjang, baju besi dan jubah, saling menjejalkan diri ke
dalam kanvas rekannya, meneriakkan berita dari bagian lain kastil. Ketika mereka
sampai di ujung koridor, seluruh kastil bergetar, dan Harry tahu, ketika sebuah vas
raksasa terbang dengan kekuatan yang bisa meledakkan, bahwa itu disihir dengan parah,
tak mungkin dari para guru atau anggota Orde.
“Tak apa, Fang—tak apa!” teriak Hagrid, tapi anjing pemburu babi hutan besar itu telah
kabur secepat potongan kayu Cina melayang seperti granat, dan Hagrid mengikuti anjing
yang ketakutan itu dengan langkah besarnya meninggalkan Harry sendirian.
Ia maju perlahan melalui jalan yang bergetar, dengan tongkat siap, dan sepanjang satu
koridor lukisan ksatria kecil, Sir Cadrigan, berlari dari lukisan ke lukisan di sebelahnya,
baju besinya berkelontangan, meneriakkan semangat, kuda poni gemuknya berjalan
mengikutinya dengan santai.
“Pembual dan bajingan, anjing dan bangsat, usir mereka, Harry Potter, hadapi mereka!”
Harry berbelok di pojok dan bertemu Fred bersama sejumlah siswa, termasuk Lee Jordan
dan Hannah Abbot, berdiri disamping alas kosong yang lain, yang mana patungnya telah
menutup jalan rahasia.
Tongkat mereka turun dan mereka sedang mendengarkan lubang yang tertutup.
“Malam yang indah untuk melakukan ini!” Fred berteriak, ketika kastil bergoyang lagi,
dan Harry melesat dengan perasaan takut dan bahagia yang bercampur aduk. Sepanjang
koridor selanjutnya ia berlari cepat, burung-burung hantu dimana-mana, Mrs. Norris
berdesis dan berusaha mengusir mereka dengan cakarnya, pasti untuk mengembalikan
mereka ke tempatnya…
“Potter!”
Aberforth Dumbledore berdiri menutupi koridor selanjutnya, tongkatnya tergenggam
siap.
“Ratusan anak melewat pub-ku , Potter!”
“Aku tahu, kami mengevakuasi,” kata Harry, “Voldemort—“
“—menyerang karena belum mendapatkanmu, yeah—“ ujar Aberforth, “Aku tidak tuli,
seluruh Hogsmeade mendengarnya. Dan tak pernah terpikir oleh kalian untuk menahan
sedikit anak Slytherin sebagai sandera? Anak-anak Pelahap Maut yang kalian
selamatkan. Bukankah lebih cerdik bila mereka tetap disini?”
“Itu tak akan menghalangi Voldemort,” ucap Harry, “dan kakak anda tidak akan pernah
melakukannya.”
Aberforth menggerutu dan pergi kearah berlawanan.
Kakak anda tidak akan pernah melakukannya…. Ya, itu memang benar, pikir Harry
ketika ia mulai berlari lagi: Dumbledore, yang begitu lama mempertahankan Snape,
tidak akan pernah menyandera siswa…
Dan ketika ia sampai di pojok terakhir, dengan campuran teriakan antara lega dan marah
ia melihat mereka: Ron dan Hermione; keduanya dengan lengan penuh benda kuning
yang besar, melengkung dan kotor, Ron dengan sapu terbang di bawah lengannya.
“Dari mana saja kalian?” Harry berteriak.
“Kamar Rahasia,” jawab Ron.
“Kamar—apa?” ujar Harry, tertegun.
“Itu ide Ron, semuanya ide Ron,” kata Hermione terengah-engah. “Bukankah itu brilian?
Disanalah kami, setelah kita pergi, dan aku bilang Ron, walaupun kita menemukan yang
satu lagi, bagaimana kita akan menghancurkannya? Kita masih belum bisa
menghancurkan piala! Dan lalu dia ingat! Basilisk!”
“Apa yang--?”
“Sesuatu untuk menghancurkan Horcrux,” kata Ron tenang.
Mata Harry terpaku pada benda di lengan Ron dan Hermione: gigi taring besar
melengkung: terpotong, sekarang dia mengenali, berasal dari tengkorak basilisk mati.
“Bagaimana kalian bisa masuk kedalam?” tanya Harry, mengalihkan pandangan dari gigi
taring ke Ron. “Kau harus berbicara Parseltongue!”
“Dia bisa,” bisik Hermione. “Tunjukkan Ron!” Ron membuat suara berdesis yang aneh.
“Itu yang kau lakukan ketika membuka liontin,” Ron menjelaskan pada Harry dengan
agak menyesal. “Tapi aku harus mencoba beberapa kali sampai menemukan yang
benar,” katanya merendah, “akhirnya kami sampai di dalam.”
“Dia luar biasa!” kata Hermione.
“Luar biasa!”
“Jadi…” Harry berusaha melanjutkan. “Jadi…?”
“Jadi satu Horcrux sudah beres,” ujar Ron, dan dari dalam jaketnya ia menarik sisa-sisa
piala Hufflepuff yang terkoyak. “Hermione menusuknya. Untunglah dia berhasil. Dia
sama sekali tidak menikmatinya.”
“Jenius!” Harry berteriak.
“Itu bukan apa-apa,” ucap Ron, walaupun dia kelihatan puas dengan dirinya. “Jadi,
bagaimana denganmu?”
Bersamaan dengan itu, ledakan terdengar diatas: mereka bertiga melihat keatas ketika
debu berjatuhan dari langit-langit dan mendengar teriakan di kejauhan.
“Aku tahu seperti apa diademnya dan aku tahu tempatnya,” kata Harry dengan cepat.
“Dia menyembunyikannya di tempat aku menyimpan buku Ramuan lamaku, dimana
semua orang menyimpan barang-barang sejak berabad-abad. Dia menyangka hanya dia
yang tahu. Ayo.”
Ketika dinding bergetar lagi, Harry memimpin kedua rekannya kembali melewati pintu
masuk yang tersembunyi dan menuruni tangga menuju Kamar Kebutuhan. Ruangan itu
hanya berisi tiga orang wanita: Ginny, Tonks dan penyihir tua yang mengenakan topi
yang dimakan ngengat, yang segera dikenali Harry sebagai nenek Neville.
“Ah, Potter,” dia berkata renyah, seakan-akan dia memang menunggu Harry, “kau bisa
menceritakan apa yang terjadi.”
“Semua baik-baik saja?” tanya Ginny dan Tonks bersamaan.
“Setahu kami begitu,” jawab Harry. “Apa masih ada orang di jalan menuju Hog’s
Head?” Dia tahu ruangan tidak akan bertransformasi jika masih ada orang di dalamnya.
“Aku yang terakhir,” kata Mrs. Longbottom, “Aku menyegelnya. Kurasa tidak baik
meninggalkannya terbuka ketika Aberforth tidak di pub-nya. Kau melihat cucuku?”
“Dia bertarung,” ucap Harry.
“Sudah selayaknya,” kata wanita tua itu bangga. “Permisi, aku harus pergi dan
mendampinginya.” Dengan kecepatan yang mengejutkan dia pergi dengan langkah
berderap di lantai batu.
Harry memandang Tonks.
“Kukira kau seharusnya bersama Teddy di rumah ibumu?”
“Aku tak tahan jika tidak tahu—,“ Tonks tampak menderita. ”Ibuku akan merawatnya—
kau melihat Remus?”
“Dia berencana memimpin sekelompok pejuang menuju ke dasar—“
Tanpa berkata-kata, Tonks melesat pergi.
“Ginny, ujar Harry, “maaf, tapi kami perlu kau keluar juga. Sebentar saja. Lalu kau bisa
masuk lagi.”
Ginny tampak senang meninggalkan tempat perlindungannya.
“Nanti kau bisa masuk lagi!” Harry berteriak ketika Ginny berlari menyusul Tonks. “Kau
harus masuk lagi!”
“Tunggu sebentar!” kata Ron tajam. “Kita lupa seseorang!”
“Siapa?” tanya Hermione.
“Para peri rumah, mereka di dapur kan?”
“Maksudmu kita minta mereka bertarung?” tanya Harry.
“Tidak,” kata Ron serius. “Maksudku kita harus menyuruh mereka keluar. Kita tidak
mengharapkan Dobby-Dobby yang lain, kan? Kita tidak bisa meminta mereka mati
untuk kita—“
Taring basilisk di lengan Hermione jatuh berkelontangan. Berlari kearah Ron, kedua
lengannya memeluk leher Ron dan ia mencium Ron penuh di mulutnya. Ron membuang
taring dan sapu terbang yang dipegangnya, menyambut dengan penuh antusias dan
mengangkat tubuh Hermione dari lantai.
“Apa harus sekarang?” Harry bertanya lemah, dan ketika tak ada yang terjadi kecuali Ron
dan Hermione berpelukan semakin erat dan berayun di tempat, dia berteriak, “Oi! Ada
perang!” Ron dan Hermione berpisah, masih saling mengalungkan lengan.
“Aku tahu, teman,” kata Ron, yang terlihat seperti kepalanya baru saja terhantam
Bludger, “sekarang atau tidak sama sekali, ya kan?”
“Tidak masalah, tapi bagaimana dengan Horcruxnya?” Harry berteriak. “Apa kalian bisa
me—menundanya sampai kita dapat diademnya?”
“Yeah—benar—maaf,” kata Ron. Dia dan Hermione memungut kembali taring-taring
yang jatuh, keduanya dengan wajah merona merah jambu.
Jelas sekali, ketika mereka bertiga melangkah ke koridor atas, bahwa dalam waktu yang
mereka habiskan di Kamar Kebutuhan, suasana di kastil telah bertambah buruk: dinding
dan langit-langit bergetar lebih hebat dari sebelumnya; debu memenuhi udara, dan dari
jendela terdekat, Harry melihat kilatan cahaya hijau dan merah sangat dekat di kaki kastil
sehingga dia tahu para Pelahap Maut pastilah sudah sangat dekat dengan pintu masuk.
Menengok ke bawah, Harry melihat Grawp si Raksasa lewat meliuk-liuk, mengayunkan
sesuatu yang tampak seperti gargoyle batu yang lepas dari atap dan dia meraung tak
senang.
“Mari kita berharap semoga dia menginjak beberapa dari mereka,” ucap Ron ketika lebih
banyak jeritan bergema dari bawah.
“Asal bukan pihak kita,” terdengar satu suara: Harry menoleh dan melihat Ginny dan
Tonks, keduanya dengan tongkat terarah ke sasaran melalui jendela sebelah, yang sudah
kehilangan beberapa kacanya. Bahkan saat Harry memandang, Ginny bisa
menembakkan mantra dengan sangat baik kearah kerumunan petarung dibawah.
“Gadis pintar!” koar seseorang yang berlari menembus debu kearah mereka, dan Harry
melihat Aberforth lagi, rambut abu-abunya melambai ketika ia lewat sambil memimpin
sekelompok siswa. “Tampaknya mereka mungkin menembus menara utara, mereka juga
membawa raksasa.”
“Anda lihat Remus?” Tonks bertanya kepadanya.
“DIa melawan Dolohov,” teriak Aberforth, “belum lihat lagi.”
“Tonks,” panggil Ginny. “Tonks, aku yakin dia baik-baik saja—“
Tapi Tonks sudah berlari ke dalam debu menyusul Aberforth.
Ginny berputar, tak berdaya, menuju Harry, Ron dan Hermione.
“Mereka akan baik-baik saja,” kata Harry, walaupun sadar kedengarannya hampa.
“Ginny, kami akan segera kembali, menjauhlah, jaga diri—ayo!” kata Harry sambil
mengajak Ron dan Hermione, dan mereka berlari kembali menuju hamparan dinding
yang dibaliknya Kamar Kebutuhan menunggu permintaan selanjutnya.
Aku perlu tempat untuk menyembunyikan segalanya. Harry memohon di dalam
kepalanya dan pintu terbentuk setelah hilir mudik yang ketiga kali.
Kehebohan pertempuran tak terdengar lagi saat mereka memasuki ambang pintu dan
menutupnya: Sunyi. Mereka berada di tempat seluas katedral dengan pemandangan
sebuah kota, dindingnya yang tinggi terdiri dari berbagai benda yang disembunyikan oleh
ratusan siswa yang sudah lama lulus.
“Dan dia menyangka tak seorangpun bisa masuk?” ucap Ron, suaranya bergema dalam
kesunyian.
“Dikiranya hanya dia satu-satunya,” kata Harry. “Sayang baginya aku harus
menyembunyikan benda di masaku….kesini,” tambahnya. “Kurasa dibawah sini…”
mereka berjalan cepat melalui gang-gang yang berdampingan. Harry bisa mendengar
langkah-langkah kaki lain bergema melalui tumpukan tinggi benda-benda tak berguna:
botol, topi, peti kayu, kursi, buku, senjata, sapu, kelelawar…..
“Suatu tempat di sekitar sini,” Harry bergumam sendiri, ”suatu tempat….suatu
tempat…”
Dia masuk semakin jauh ke dalam labirin, mencari benda yang dikenalnya dari
perjalanan pertamanya masuk ke ruang itu. Nafasnya terdengar keras di telinga, dan
dirinya terasa menggigil. Dan itu dia, tepat di depannya, lemari besar melepu, tempat dia
menyimpan buku Ramuan tuanya, dan diatasnya, patung batu penyihir tua jelek yang
sudah gompal memakai wig tua berdebu dan sesuatu yang tampak seperti tiara kuno tak
berwarna.
Dia baru saja menjulurkan tangan, walaupun tinggal beberapa langkah, ketika suara di
belakangnya berkata, “Tahan, Potter.”
Dia berhenti dan berputar. Crabbe dan Goyle berdiri di belakangnya, berdampingan,
tongkat mengacung pada Harry. Melalui celah diantara kedua wajah mencemooh itu dia
melihat Draco Malfoy.
“Itu tongkatku yang kau pegang, Potter,” kata Malfoy, mengacungkan tongkatnya sendiri
melalui celah diantara Crabbe dan Goyle.
“Bukan lagi,” kata Harry terengah-engah, mempererat pegangannya di tongkat
Hawthorn. “Pemenang, pemegang, Malfoy.” “Siapa yang meminjamimu tongkat?”
“Ibuku,” jawab Draco.
Harry tertawa, walaupun tak ada yang lucu. Dia tidak bisa mendengar Ron dan
Hermione lagi. Telinga mereka mungkin kehilangan kepekaan, sibuk mencari diadem.
“Jadi kenapa kalian bertiga tidak bersama Voldemort?” tanya Harry.
“Kami akan mendapat penghargaan,” ucap Crabbe. Diluar dugaan, suaranya sangat
lembut untuk orang sebesar dia: Harry belum pernah mendengar dia bicara sebelumnya.
Crabbe bicara seperti seorang anak kecil yang dijanjikan sekantung besar permen.
“Kami kembali, Potter. Kami memutuskan tidak pergi. Memutuskan untuk
membawamu kepadanya.”
“Rencana yang bagus,” kata Harry pura-pura kagum. Rasanya tidak percaya sudah
sedekat ini, dan dihalangi oleh Malfoy, Crabbe dan Goyle. Dia mulai menepi, perlahan
mundur ke belakang menuju tempat Horcrux berada, yang miring diatas patung dada.
Jika dia bisa mengambilnya sebelum keributan pecah….
“Jadi bagaimana kalian bisa masuk kesini?” dia bertaya, mencoba mengalihkan perhatian.
“Aku berada di Ruang Benda Tersembunyi sepanjang tahun lalu,” kata Malfoy, suaranya
lemah. “Aku tahu bagaimana masuk kesini.”
“Kami bersembunyi di koridor luar,” gerutu Goyle. “Kami bisa melakukan Mantra
Menghilang sekarang! Dan lalu, “ wajahnya menyeringai,” kau berputar tepat di depan
kami dan berkata kau mencari sebuah die-dum! Apa itu die-dum?"
“Harry?” suara Ron tiba-tiba bergema dari dinding di sisi kanan Harry. “Apa kau bicara
dengan seseorang?”
Dalam gerakan cepat, Crabbe mengarahkan tongkatnya pada gunung 50 kaki yang terdiri
dari mebel tua, kopor rusak, buku lama dan jubah serta bermacam sampah tak jelas, dan
berteriak, “Descendo!”
Dinding mulai bergetar, lalu tiga tingkat teratas mulai ambruk ke gang di dekat Ron
berdiri.
“Ron!” Harry berteriak, ketika dari suatu tempat yang tak kelihatan terdengar teriakan
Hermione, dan Harry mendengar begitu banyak benda jatuh ke lantai di sisi lain dinding
yang rapuh: Dia mengarahkan tongkatnya ke benteng itu, berteriak, “Finite!” dan
akhirnya dinding tegak kembali.
“Jangan!” teriak Malfoy, memegangi lengan Crabbe untuk mencegahnya mengulangi
mantra, “jika kau menghancurkan ruangan kau mungkin mengubur diadem itu!”
“Lalu kenapa?” kata Crabbe,melepaskan diri. ”Potter-lah yang diinginkan Pangeran
Kegelapan, siapa peduli tentang die-dum?”
“Potter masuk kesini untuk mendapatkannya,” kata Malfoy, jengkel dan tidak sabar pada
pikiran lambat rekannya, “jadi itu artinya—“
“’Itu artinya’?” Crabbe menghadap Malfoy dengan kemarahan tak tertahan. “Siapa
peduli apa yang kau pikir? Aku tidak menerima perintahmu lagi, Draco. Kau dan
ayahmu sudah berakhir.”
“Harry?” teriak Ron lagi, dari sisi lain tumpukan sampah. “Ada apa?”
“Harry?” Crabbe menirukan. “Ada apa—tidak, Potter! Crucio!”
Harry menyerbu tiara; kutukan Crabbe luput tapi mengenai patung batu, yang terlempar
ke udara; diadem membumbung tinggi ke atas dan jatuh hilang dari pandangan di
tumpukan benda-benda dimana patung dada itu terjatuh.
“BERHENTI!” Malfoy berteriak pada Crabbe, suaranya bergema di ruang besar itu.
“Pangeran Kegelapan menginginkannya hidup-hidup—“
“Jadi? Aku tidak membunuhnya, kan?” teriak Crabbe, melepaskan diri dari lengan
Malfoy yang menahannya. “Tapi jika aku bisa, pasti aku bisa, Pangeran Kegelapan akan
membunuhnya juga kan, apa beda--?”
Kilatan cahaya merah tua melewati Harry beberapa inci: Hermione lari lewat pojok di
belakang Harry dan menembakkan Mantra Pemingsan kearah kepala Crabbe. Mantra itu
luput hanya karena Malfoy mendorongnya menjauh.
“Itu si Darah-Lumpur! Avada Kedavra!”
Harry melihat Hermione menukik kesamping, dan kemarahannya karena Crabbe berniat
membunuh telah membuat pikirannya yang lain tersapu. Dia menembakkan Mantra
Pemingsan pada Crabbe, yang segera berpindah, menyebabkan tongkat Malfoy terlepas;
tongkat itu berputar hilang dari pandangan diantara gunung mebel rusak dan tulang
belulang.
“Jangan bunuh dia! JANGAN BUNUH DIA!!” Malfoy berteriak pada Crabbe dan
Goyle, yang keduanya menyerang Harry: Sedetik keraguan merekalah yang dibutuhkan
Harry.
“Expelliarmus!”
Tongkat Goyle terlempar dari tangannya dan menghilang di tumpukan benda
disampingnya; Goyle dengan bodoh melompat kesana, mencoba meraihnya; Malfoy
melompat menjauh dari jangkauan Mantra Pemingsan Hermione, dan Ron, muncul tibatiba
di ujung dinding, menembakkan Kutukan-Ikat-Tubuh-Sempurna kepada Crabbe,
yang nyaris kena.
Crabbe berputar dan menjerit, ”Avada Kedavra!” lagi. Ron melompat kesamping untuk
menghindari kilatan cahaya hijau. Malfoy yang tanpa-tongkat berlindung dibalik lemari
tiga kaki ketika Hermione menyerang mereka, muncul sambil menembak Goyle dengan
Mantra Pemingsan.
“Disini di suatu tempat!” Harry berteriak padanya, menunjukk tumpukan sampah dimana
tiara tua itu jatuh. “Coba cari sementara aku pergi dan membantu R—“
“HARRY!” dia menjerit.
Suara ribut yang membahana dan bergelombang di belakangnya membuatnya waspada.
Dia menoleh dan melihat Ron dan Crabbe berlari secepat mungkin menuju gang di depan
mereka.
“Suka panas, kan?” gerung Crabbe sambil berlari.
Tapi tampakya ia kehilangan kendali . Kobaran api dengan ukuran yang tidak normal
mengejar mereka, menjilat sisi tumpukan sampah, yang langsung ambruk berjelaga.
“Aguamenti!” jerit Harry, tapi tembakan air yang keluar dari ujung tongkatnya menguap
di udara.
“LARI!”
Malfoy menyambar Goyle yang pingsan dan menariknya; Crabbe mendahului mereka
semua, sekarang terlihat ketakutan; Harry, Ron dan Hermione mengejar di belakangnya,
dan api juga mengejar mereka. Itu bukan api yang normal; Crabbe telah menggunakan
kutukan yang Harry belum pernah tahu. Ketika mereka berbelok di pojok, api mengejar
mereka seolah-olah hidup, mempunyai perasaan, berusaha membunuh mereka. Sekarang
api bertambah besar, membentuk makhluk buruk rupa raksasa yang panas: ular,
chimaera[1], dan naga berkobar, mereda dan berkobar lagi, dan benda-benda simpanan
berabad-abad yang menjadi makanan mereka, terlempar ke udara dan masuk ke mulut
bertaring, yang menjulang tinggi ditopang kaki bercakar, sebelum menjadi santapan api
neraka itu.
Malfoy, Crabbed dan Goyle telah menghilang dari pandangan: Harry, Ron dan Hermione
diam terpaku; monster api itu melingkupi mereka, dekat dan semakin dekat, cakar,
tanduk dan ekornya mengibas-ngibas dan panasnya terasa padat seperti dinding di sekitar
mereka.
“Apa yang bisa kita lakukan?” jerit Hermione mengatasi suara raungan api yang
memekakkan telinga. “Kita harus bagaimana?”
“Ini!”
Harry menyambar sepasang sapu terbang yang tampak berat dari gundukan sampah
terdekat dan melemparkan satu lepada Ron, yang menarik Hermione agar naik di
belakangnya. Harry mengayunkan kakinya di sapu kedua dan, dengan hentakan kuat ke
tanah, mereka membumbung tinggi ke udara, luput sejengkal dari paruh bertanduk
monster membara yang hampir menggigit mereka. Asap dan panas semakin bertambah
besar: di bawah mereka kobaran api kutukan telah melahap barang-barang yang
diselundupkan bergenerasi siswa, hasil dari ratusan eksperimen gagal, tak terhitung
banyaknya rahasia orang-orang yang mencari perlindungan di ruang tersebut. Harry
tidak bisa melihat tanda-tanda Malfoy, Crabbe dan Goyle dimana-mana. Dia menukik
rendah sebatas yang berani ia hadapi dari monster api yang mengancam itu, berusaha
menemukan mereka, tapi tak ada apapun selain api: sungguh cara yang mengerikan
untuk mati…..dia tak pernah menginginkan ini….
“Harry, ayo keluar, ayo keluar!” teriak Ron, walaupun mustahil untuk melihat dimana
letak pintunya karena asap begitu tebal.
Dan lalu Harry mendengar jeritan lemah dan memilukan dari tengah-tengah kekacauan
yang mengerikan dan gemuruh api yang menjilat-jilat itu.
“Itu—terlalu—berbahaya!” teriak Ron, tapi Harry tetap berputar di udara. Kacamatanya
membantu memberikan sedikit perlindungan dari asap tebal, dia menyapu badai api di
bawah, mencari tanda-tanda kehidupan, lengan atau wajah yang belum gosong seperti
kayu bakar.
Dan dia melihat mereka: Malfoy merangkul Goyle yang tidak sadar, mereka berdua
bertengger pada menara rapuh yang terdiri dari bangku-bangku hangus, dan Harry
menukik. Malfoy melihat kedatangannya dan mengangkat satu tangan, tapi bahkan
ketika Harry menyambar lengannya pun ia langsung tahu bahwa itu tak banyak gunanya.
Goyle terlalu berat dan tangan Malfoy, berkeringat, tergelincir lepas dari Harry—
”JIKA KITA MATI KARENA MEREKA, AKU AKAN MEMBUNUHMU, HARRY!“
raung Ron, dan, ketika bara chimaera bergerak menuju mereka, dia dan Hermione
menyeret Goyle keatas sapu mereka dan membumbung tinggi, berputar dan bergerak naik
turun di udara sekali lagi ketika Malfoy memanjat dengan susah payah ke belakang
Harry.
“Pintunya, cepat ke pintu!“ jerit Malfoy di telinga Harry, dan Harry melesat, mengikuti
Ron, Hermione dan Goyle melewati asap hitam bergelombang, bernafas dengan susah
payah: dan disekitar mereka beberapa benda tersisa yang belum terbakar oleh api yang
menjilat-jilat, terlempar ke udara ketika makhluk hasil api kutukan itu mengejar mereka
bagaikan sebuah perayaan besar: piala-piala dan perisai, sebuah kalung berkilat-kilat,
dan sebuah tiara tua yang luntur warnanya—
“Apa yang kau lakukan, apa yang kau lakukan, pintunya disana!“ jerit Malfoy, tapi
Harry membelok tiba-tiba, menikung dan menukik. Diadem itu tampaknya bergerak
dengan lambat, berputar dan berkilat ketika jatuh mendekati rongga mulut ular yang
menganga, dan ia mendapatkannya, menangkapnya di pergelangan tangan –
Harry menikung lagi ketika tiba-tiba ular itu mengarah kepadanya dengan cepat; dia
membumbung keatas dan melesat menuju tempat dimana -dia berdoa- pintu terbuka;
Ron, Hermione dan Goyle tak tampak; Malfoy menjerit-jerit dan memegangi Harry eraterat
sampai sakit rasanya. Lalu, menembus asap, Harry melihat bentuk bujursangkar di
dinding dan mengarahkan sapu kesana, dan sekejap kemudian udara bersih mengisi
kerongkongan dan dinding koridor muncul di hadapannya.
Malfoy turun dari sapu dan menunduk, terengah-engah, batuk-batuk, mengeluarkan suara
dari kerongkongan seperti mau muntah. Harry berputar dan menegakkan diri: PIntu
Kamar Kebutuhan telah menghilang, Ron dan Hermione duduk di lantai terengah-engah
disamping Goyle, yang masih tak sadar juga.
“C-Crabbe,” kata Malfoy tersedak ketika sudah bisa bicara lagi. “C-Crabbe…”
“Dia mati,” kata Ron tajam.
Semua terdiam, hanya terdengar suara nafas terengah-engah dan batuk-batuk. Lalu
beberapa dentuman besar menggetarkan kastil, dan iring-iringan sosok-sosok transparan
berkuda lewat dengan kencang, kepala-kepala mereka menjerit dengan darah menetes di
bawah lengan. Harry berdiri sempoyongan ketika Perburuan-Tanpa-Kepala telah lewat,
dan memandang sekeliling: Pertempuran masih berlangsung. Dia bisa mendengar jeritan
lebih banyak dibandingkan hantu-hantu tadi. Dia merasa panik.
“Dimana Ginny?” tanyanya. “Tadi dia disini. Seharusnya dia kembali ke Kamar
Kebutuhan.”
“Ya ampun, apa menurutmu kamar itu masih bisa digunakan setelah kebakaran tadi?”
tanya Ron, dia juga berdiri, menggosok dadanya dan menoleh kanan-kiri. “Apa kita
harus berpencar dan melihat--?”
“Tidak,” ujar Hermione, ikut berdiri. Malfoy dan Goyle masih merosot lemas di lantai
koridor, tak satupun yang memegang tongkat. “Tetap bersama-sama. Menurutku kita
pergi—Harry, apa itu ditanganmu?”
“Apa? Oh yeah—“
Dia menarik diadem dari pergelangan tangan dan mengangkatnya. Masih panas,
menghitam karena jelaga, tapi ketika dia melihat lebih dekat dia baru mengerti tulisan
yang terukir diatasnya; KEPINTARAN TAK TERHINGGA ADALAH HARTA
MANUSIA YANG PALING BERHARGA.
Substansi seperti darah, gelap dan lengket, tampak keluar dari diadem. Tiba-tiba Harry
merasa benda itu bergetar dengan kasar, lalu terbelah di tangannya, dan ketika itu terjadi,
rasanya ia mendengar teriakan kesakitan yang sangat dingin dan samar-samar, bergema
bukan dari dasar kastil, melainkan dari benda yang baru saja pecah di tangannya.
“Itu pasti Fiendfyre!” kata Hermione, menatap pecahan diadem.
“Apa?”
“Fiendfyre—api kutukan—salah satu substansi yang dapat menghancurkan Horcrux, tapi
aku tak akan pernah berani menggunakannya—sangat berbahaya—bagaimana Crabbe
bisa tahu cara--?”
“Pasti belajar dari Carrow bersaudara,” gerutu Harry.
“Sayang dia tidak memperhatikan ketika mereka menjelaskan bagaimana
menghentikannya,” ucap Ron, yang rambutnya, seperti Hermione, hangus, dan wajahnya
hitam penuh jelaga.
“Jika dia tidak mencoba membunuh kita semua, aku akan menyesal dia mati.”
“Tapi mengertikah kalian?” bisik Hermione, “ini artinya, jika kita bisa mendekati
ularnya—“
Tapi ia berhenti ketika teriakan-teriakan dan suara keras pertarungan memenuhi koridor.
Harry memandang sekeliling dan jantungnya hampir melorot: Pelahap Maut telah
berhasil masuk Hogwarts. Fred dan Percy muncul, keduanya melawan orang-orang
bertopeng dan bertudung.
Harry, Ron dan Hermione berlari kearah mereka untuk membantu: Kilatan cahaya
meluncur dimana-mana, dan orang yang bertarung dengan Percy mundur, cepat:
kemudian tudungnya terbuka dan mereka melihat dahi lebar dan rambut kaku.
“Halo, Pak Menteri!” teriak Percy, menembakkan mantra sederhana langsung kepada
Thicknesse, yang langsung menjatuhkan tongkat dan merobek bagian depan jubahnya,
tampak sangat tidak senang.
“Apa sudah kubilang aku mengundurkan diri?”
“Kau bercanda, Perce!“ teriak Fred ketika Pelahap Maut yang dilawannya pingsan
karena kekuatan tiga mantra pemingsan sekaligus. Thicknesse jatuh ke lantai dengan
paku-paku kecil muncul di sekujur tubuhnya; dia tampak berubah menjadi sesuatu yang
mirip landak laut. Fred memandang Percy dengan perasaan senang.
”Kau benar-benar bercanda, Perce....kurasa sudah lama kami tidak mendengarmu
bercanda sejak....“
Langit meledak. Mereka sedang berkumpul bersama-sama, Harry, Ron, Hermione, Fred
dan Percy, dua Pelahap Maut di kaki mereka, satu pingsan, satunya ber-transfigurasi; dan
dalam sekejap mata -ketika bahaya tampak sedikit terkendali- dunia seperti terpisah,
Harry merasa dirinya melayang di udara, dan yang bisa dilakukannya hanyalah
memegang erat-erat tongkat kayu kurus senjata satu-satunya, dan melindungi kepala
dengan lengannya: Dia mendengar jeritan dan teriakan rekan-rekannya tanpa berharap
mengetahui apa yang terjadi pada mereka—
Dan kemudian dunia terbagi menjadi rasa sakit dan kegelapan. Harry separuh terkubur
dalam reruntuhan koridor yang diserang dengan brutal. Udara dingin menandakan bahwa
sisi kastil telah hancur dan rasa panas di pipinya menunjukkan dia banyak mengeluarkan
darah. Lalu dia mendengar tangisan yang mengiris hatinya, ekspresi penderitaan yang
tidak mungkin disebabkan oleh api maupun kutukan, dan dia berdiri, sempoyongan, lebih
takut daripada yang telah dirasakannya hari itu, lebih takut, mungkin daripada yang
pernah dirasakan seumur hidupnya....
Dan Hermione berusaha berdiri di reruntuhan, dan tiga lelaki berambut merah berkumpul
di tanah dimana dinding hancur berkeping-keping. Harry meraih tangan Hermione ketika
mereka berjalan terhuyung-huyung dan tersandung batu serta kayu.
"Tidak—tidak—tidak!“ seseorang menjerit. “Tidak—Fred—tidak!”
Dan Percy mengguncang-guncang tubuh saudaranya, Ron berlutut disampingnya, dan
mata Fred terbuka dengan hampa, bayangan tawa terakhir masih terukir di wajahnya.
[1] chimaera = monster berkepala singa, bertubuh kambing dan berekor ular yang dapat
menghembuskan api (legenda Yunani)
Editor's note:
- Mengikuti chapter sebelumnya yang menggunakan istilah diadem, bukannya mahkota,
jadi saya mengganti tiap kata mahkota di chapter ini.
- Grey Lady, diterjemahkan secara harfiah jadi Wanita Kelabu. Kedengerannya aneh,
jadi tetep dalam English.. Lagipula Lady disini maksudnya gelar.
- Er~ ada yang tau Stunning Spell di buku jadi apa? Saya lupa nih...
- Credit to Aretha Luthien yang sudah membenarkan Kecerdasan Yang Luar Biasa
Adalah Harta Karun Terbesar Manusia menjadi Kepintaran Tak Terhingga Adalah Harta
Manusia Yang Paling Berharga yang telah dilihat berdasarkan buku kelima
Chapter 32
The Elder Wand [Tongkat Elder]
[tidak diterjemahkan, menunggu keputusan dari bab-bab sebelumnya bagaimana
menerjemahkan The Elder Wand]
Dunia sudah berakhir, jadi kenapa pertempuran tidak berhenti, kastil jadi terdiam dalam
kengerian, dan para pejuang meletakkan senjatanya? Benak Harry terjun bebas, berputar
tanpa kendali, tak mampu menangkap hal yang tak mungkin, karena Fred Weasley tak
mungkin mati, bukti-bukti yang diberikan oleh semua indranya pasti berbohong--
Lalu sesosok tubuh jatuh melewati lubang ledakan di sisi sekolah, dan kutukan-kutukan
berhamburan menuju mereka dari kegelapan, mengenai dinding di belakang kepalakepala
mereka.
“Tiarap!” seru Harry, saat makin lama kutukan semakin banyak menghujani mereka
melewati malam: ia dan Ron menangkap Hermione lalu menariknya bertiarap di lantai,
tapi Percy berbaring menutupi Fred, melindunginya dari bahaya, dan saat Harry berteriak,
”Percy, ayo, kita harus bergerak!” ia malah menggelengkan kepala.
“Percy!” Harry melihat bekas airmata membelah debu yang menutupi wajah Ron saat ia
meraih bahu kakak laki-lakinya, dan menariknya, tapi Percy bergeming. “Percy, kau
tidak dapat melakukan apapun untuknya. Kita akan—“
Hermione berteriak, dan Harry menoleh, tak perlu bertanya kenapa. Laba-laba yang besar
sekali seukuran mobil kecil mencoba memanjat lubang besar di dinding: salah satu
keturunan Aragog telah bergabung dalam pertempuran.
Ron dan Harry berseru bersamaan: mantra mereka bertabrakan dan monster itu dihajar
mundur, kaki-kakinya menyentak-nyentak mengerikan dan menghilang dalam kegelapan.
“Dia membawa teman!” Harry memberitahu yang lain, memandang sepintas tepi kastil
melalui lubang di dinding yang diledakkan oleh kutukan-kutukan: lebih banyak laba-laba
raksasa memanjat sisi bangunan, lepas dari Hutan Terlarang ke mana para Pelahap Maut
pasti telah meranjah. Harry menembakkan Mantra Pembius pada mereka, monster
pemimpinnya jatuh terguling menimpa rekannya. Jadi mereka merangkak menuruni
bangunan kembali dan lenyap. Lalu lebih banyak kutukan bertebaran di atas kepala
Harry, sangat dekat ia rasakan kekuatan mereka meniup rambutnya.
”Ayo bergerak, SEKARANG!”
Mendorong Hermione maju bersama Ron, Harry membungkuk meraih jenazah Fred dari
ketiaknya. Percy, menyadari apa yang sedang Harry coba lakukan, tak lagi menempel
pada jenazah, dan membantu; bersama, membungkuk rendah menghindari kutukan
melayang-layang dari tanah, mereka menyeret jenazah Fred.
“Di sini,” sahut Harry, dan mereka menempatkannya di sebuah ceruk yang tadinya
tempat seperangkat baju besi. Harry tak mampu memandang jenazah Fred lebih lama
lagi, dan setelah yakin bahwa jenazahnya disembunyikan dengan baik, ia mengejar Ron
dan Hermione. Malfoy dan Goyle sudah menghilang, tapi di ujung koridor, yang
sekarang penuh debu dan puing-puing, kaca sudah lenyap dari jendela, ia banyak melihat
banyak orang berlari ke sana ke mari, kawan atau lawan ia tak tahu. Membelok di sudut,
Percy meraung bagai banteng, ”ROOKWOOD!” dan berlari secepat ia bisa ke arah
seorang jangkung yang sedang mengejar sepasang siswa.
”Harry, sini!” Hermione berteriak.
Hermione sedang menarik Ron di belakang sebuah hiasan gantung. Mereka kelihatan
seperti orang yang sedang bergulat, dan untuk sedetik yang gila, Harry mengira mereka
berpelukan lagi; lalu dia melihat bahwa Hermione mencoba menahan Ron,
menghentikannya berlari mengikuti Percy.
“Dengarkan aku—DENGAR, RON!”
“Aku ingin menolong—aku ingin membunuh para Pelahap Maut—“
Wajahnya berubah, coreng-moreng debu dan asap, dan ia terguncang oleh kemarahan dan
kedukaan.
“Ron, hanya kita yang bisa menghentikan semua ini. Tolong—Ron—kita harus mencari
ular itu, kita harus membunuh ular itu!” sahut Hermione.
Tapi Harry tahu apa yang dirasakan Ron; mencari Horcrux tidak memenuhi hasrat untuk
membalas dendam; ia juga ingin bertempur, ingin menghukum mereka, orang-orang yang
membunuh Fred, dan dia ingin mencari anggota keluarga Weasley yang lain, dan di atas
segalanya, ingin yakin bahwa Ginny tidak—tapi dia tidak mengijinkan gagasan itu
terbentuk di benaknya.
“Kita akan bertempur,” sahut Hermione. “Kita harus mencapai ular itu! Tapi kita tidak
boleh kehilangan pandangan, akan apa yang harus kita l-lakukan! Hanya kita yang bisa
menghentikan ini!”
Hermione sedang menangis juga, ia mengusap wajahnya dengan lengan bajunya yang
sobek dan hangus, sambil bicara, menarik napas panjang untuk menenangkan diri, masih
memegang Ron erat-erat, dia menoleh pada Harry.
”Kau perlu menemukan di mana Voldemort, karena ularnya ada bersamanya, kan?
Lakukan, Harry—lihat dia!”
Mengapa hal itu tadinya begitu mudah? Karena bekas lukanya membara berjam-jam,
ingin memperlihatkan padanya pikiran-pikiran Voldemort? Ia menutup matanya atas
perintah Hermione, dan seketika itu juga jeritan-jeritan dan ledakan-ledakan dan suarasuara
peperangan terdengar sangat jauh, ia berdiri jauh, jauh sekali dari mereka ...
Ia berdiri di tengah ruangan yang sunyi tapi anehnya ia merasa kenal, dengan kertas
dinding yang mengelupas, semua jendela menutup kecuali satu. Suara-suara penyerangan
di kastil terdengar sayup-sayup dan jauh. Satu-satunya jendela yang terbuka
memperlihatkan cahaya kejauhan di mana kastil itu berdiri, tapi di dalam ruangan gelap
kecuali sebuah lampu minyak.
Ia memutar-mutar tongkatnya di antara jemarinya, mengamatinya, pikirannya ada pada
ruangan di dalam kastil, ruang rahasia yang hanya dia saja yang mengetahuinya, ruangan
--seperti Kamar Rahasia— yang memerlukan kecerdasan, kecerdikan dan rasa ingin tahu
untuk bisa menemukannya…dia yakin anak itu tidak dapat menemukan diadem tersebut.
walau boneka Dumbledore itu sudah berjalan lebih jauh dari apa yang ia perkirakan ...
terlalu jauh.
”Tuanku,” sahut sebuah suara, putus asa dan tak berdaya. Ia menoleh: Lucius Malfoy
duduk di sudut paling gelap, compang-camping, masih ada bekas-bekas hukuman yang ia
terima setelah pelarian terakhir anak itu. Satu matanya tertutup dan bengkak. ”Tuanku ...
Tolong ... anak saya ...”
”Kalau anakmu mati, Lucius, itu bukan salahku. Ia tidak datang bergabung seperti para
Slytherin yang lain. Mungkin dia memutuskan untuk berteman dengan Harry Potter?”
“Tidak—tidak pernah,” bisik Malfoy.
“Kau harus berharap ia tidak akan pernah.”
“Apakah—apakah kau tak takut, Tuanku, bahwa Potter bisa saja mati di tangan orang
lain selain tanganmu?” tanya Malfoy, suaranya terguncang. “Tidakkah lebih baik …
ampuni hamba … lebih bijaksana untuk menghentikan perang ini, masuk ke kastil dan
mencarinya s-sendiri?”
“Jangan berpura-pura, Lucius. Kau yang ingin agar perang ini berhenti supaya kau bisa
tahu apa yang terjadi dengan anakmu. Dan aku tidak perlu mencari Potter. Sebelum
malam berlalu, Potter yang akan mencariku.”
Voldemort menurunkan pandangan sekali lagi pada tongkat di jemarinya. Tongkat ini
menyusahkannya .. dan hal-hal yang menyusahkan Lord Voldemort harus dibereskan.
”Pergi dan jemput Snape.”
”Snape, T-Tuanku?”
”Snape. Sekarang. Aku perlu dia. Ada satu—pelayanan—yang kuperlukan darinya.
Pergi.”
Ketakutan, sedikit tersandung dalam kegelapan, Lucius meninggalkan ruangan.
Voldemort terus berdiri, memutar-mutar tongkat di jemarinya, memandanginya.
”Ini satu-satunya jalan. Nagini,” bisiknya, melihat sekeliling, di sana ada seekor ular
besar, gemuk tertahan di tengah-tengah udara, bergulung anggun dalam tempat yang
telah ia buat, dimantrai, dilindungi, antara kandang dan tangki, berkilat dan transparan.
Dengan napas tertahan, Harry menarik diri dan membuka matanya: saat yang bersamaan
telinganya diserbu suara jeritan, tangisan, bantingan dan ledakan peperangan.
”Dia ada di Shrieking Shack. Ularnya bersamanya, ular itu dilindungi oleh pelindung
sihir di sekelilingnya. Dia baru saja mengirim Lucius Malfoy untuk mencari Snape.”
”Voldemort duduk di Shrieking Shack?” sahut Hermione, seperti terhina, ”Dia tidak—dia
bahkan tidak bertempur?”
“Ia pikir tidak perlu bertempur,” sahut Harry, “Ia kira aku yang akan mendatanginya.”
“Tapi kenapa?”
“Dia tahu aku mencari Horcruxes—dia menjaga Nagini dekatnya—jelas aku harus pergi
padanya agar bisa mendekati ular itu—“
“Baik,” sahut Ron sambil menegakkan bahunya, “Jadi kau tak bisa pergi, itu yang dia
inginkan, yang dia harapkan. Kau tinggal di sini, jaga Hermione, aku akan pergi dan
mendapatkannya—”
Harry memotong Ron.
”Kalian berdua tinggal di sini. Aku pergi di bawah Jubah dan akan kembali segera setelah
aku—”
”Tidak,” sahut Hermione, ”lebih masuk akal kalau aku memakai Jubah dan—”
”Jangan coba-coba memikirkannya,” geram Ron pada Hermione.
Sebelum Hermione bisa lebih jauh dari, ”Ron, aku sama mampunya dengan—” hiasan
gantung di atas tangga di mana mereka berdiri, disobek terbuka.
”POTTER!”
Dua Pelahap Maut bertopeng berdiri di sana, tapi sebelum mereka mengacungkan
tongkat, Hermione berteriak, “Glisseo!”
Anak-anak tangga di bawah kaki mereka jadi rata seperti seluncuran. Hermione, Harry,
dan Ron meluncur ke bawah, tidak dapat mengendalikan kecepatannya tapi sedemikian
cepat sehingga Mantra Bius para Pelahap Maut meleset di atas kepala mereka. Mereka
terus meluncur melalui hiasan gantung yang tersembunyi di dasar tangga, berputar di
lantai, menubruk dinding.
”Duro!” jerit Hermione, menunjukkan tongkatnya pada hiasan gantung itu, dan terdengar
dua derakan yang menyakitkan dan keras saat hiasan itu berubah menjadi batu dan kedua
Pelahap Maut yang mengejar mereka terbentur di sana.
”Minggir!” seru Ron, dan dia, Hermione, dan Harry merapatkan diri di sebuah pintu di
saat sekawanan meja berderap riuh rendah melewati mereka, digembalakan oleh Profesor
McGonagall yang sedang berlari cepat. Dia nampaknya tidak memperhatikan mereka
bertiga: rambutnya acak-acakan, ada bekas luka di pipi. Saat ia membelok di tikungan,
mereka mendengar ia berteriak, ”CHARGE!”
“Harry, pakai Jubah,” sahut Hermione, “Jangan pedulikan kami—“
Tapi dia melemparkannya agar menutupi mereka bertiga: cukup besar untuk mereka
bertiga, dia ragu apakah ada orang yang bisa melihat kaki-kaki mereka melalui debu yang
menutupi udara, batu-batu yang terus berjatuhan, kilatan-kilatan mantra.
Mereka berlari turun di tangga berikutnya, menemkan koridor penuh dengan para
petarung. Lukisan di kedua sisi penuh dengan sosok-sosok, meneriakkan saran-saran dan
dukungan, di mana para Pelahap Maut bertopeng atau tidak bertarung dengan para siswa
dan guru. Dean sudah memperoleh tongkat, dia sedang bertarung dengan Dolohov,
Parvati dengan Travers. Harry, Ron, dan Hermione mengacungkan tongkat saat itu juga,
siap-siap menyerang, tapi para petarung sedang mengayunkan dan melontarkan manta
sedemikian rupa sehingga besar kemungkinan melukai salah satu dari pihak mereka
sendiri kalau mereka merapal mantra. Bahkan saat mereka berdiri terpaku, mencari
kesempatan untuk bertindak, terdengar suara keras, wheeeeeeeeeeee, dan saat Harry
melihat ke atas ia menemukan Peeves membubung ke udara menjatuhkan polong kacang
Snargaluff pada para Pelahap Maut, kepala-kepala mereka tiba-tiba ditelan umbi-umbian
hijau menggeliat-geliut sepeti cacing-cacing gemuk.
“Argh!”
Sekepalan umbi mengenai Jubah di kepala Ron, akar hijau berlendir tergantung di udara
saat Ron mencoba melepaskannya.
“Seseorang tak terlihat di sana!” teriak seorang Pelahap Maut menunjuk.
Dean menjadikan seorang Pelahap Maut yang teralih perhatiannya, menjatuhkannya
dengan Mantra Pembius: Dolohov mencoba membalas dendam dan Parvati
menembakkan Mantra Ikat Tubuh padanya.
“AYO!” Harry berteriak, dan dia, Ron, dan Hermione bersama di bawah Jubah lebih
rapat lagi, kepala dirundukkan di antara para petarung, terpeleset sedikit di kolam cairan
Snargaluff, menuju ke tangga marmer ke Pintu Masuk.
“Aku Draco Malfoy. Aku Draco,aku di pihakmu!”
Draco sedang di atas, memohon pada seorang Pelahap Maut bertopeng. Harry
meMingsankan Pelahap Maut itu saat mereka lewat: Malfoy mencari-cari, sambil berseriseri,
mencari penolongnya, dan Ron meninjunya dari bawah Jubah. Malfoy terjengkang
menindih Pelahap Maut yang tadi, mulutnya berdarah, benar-benar melongo.
“Dan itu kali kedua kami menyelamatkan hidupmu malam ini, dasar bajingan bermuka
dua!” Ron berteriak.
Lebih banyak lagi yang sedang bertempur di mana-mana, di tangga dan di Pintu Masuk,
Pelahap Maut di mana-mana yang Harry lihat: Yaxley dekat pintu depan bertarung
dengan Flitwick, seorang Pelahap Maut bertopeng berduel dengan Kingsley tepat di sisi
mereka. Siswa-siswa berlarian ke segala arah, beberapa membawa atau menyeret teman
yang luka. Harry mengarahkan Mantra Pembius pada Pelahap Maut bertopeng, luput tapi
nyaris kena Neville, yang muncul entah dari mana dan melepas sepemelukan Venomous
Tentacula yang berjungkir balik dengan gembira di sekitar Pelahap Maut terdekat dan
mulai menggulungnya.
Harry, Ron, dan Hermione berjalan cepat ke arah tangga pualam: pecahan kaca di kiri
mereka, jam pasir Slytherin yang menandai poin asrama, batu jamrudnya berceceran di
mana-mana, sehingga orang terpeleset dan berjalan terhuyung-huyung saat mereka berlari
di situ. Dua sosok jatuh dari balkon di atas saat mereka sampai ke atas dan Harry melihat
samar-samar seekor binatang berkaki empat berlari cepat melintas Aula untuk
menancapkan giginya pada yang jatuh.
”TIDAK!” jerit Hermione dan dengan ledakan yang menulikan dari tongkatnya, Fenrir
Greyback terlempar ke belakang dari tubuh Lavender Brown yang gerakannya sudah
lemah. Fenrir menabrak sandaran tangga marmer dan sedang berjuang untuk berdiri
kembali. Lalu dengan kilasan cahaya putih dan suara berderak, sebuah bola kristal jatuh
dari atas kepalanya, dia jatuh ke tanah dan tidak bergerak lagi.
“Aku masih punya lagi,” jerit Profesor Trelawney dari atas pegangan tangga. “Lebih
banyak untuk siapapun yang mau! Sini—“
Dengan gerakan seperti servis tenis, ia mengeluarkan bola kristal yang besarnya luar
biasa dari dalam tasnya, mengayunkan tongkatnya di udara dan menyebabkan bola itu
meluncur melintas aula dan pecah kena jendela. Pada saat yang sama, pintu depan dari
kayu yang berat tiba-tiba terbuka dan lebih banyak lagi laba-laba raksasa memaksa
masuk ke Pintu Masuk.
Teriakan ngeri memecah udara: yang sedang bertempur pun bertemperasan. Pelahap
Maut maupun penghuni Hogwarts sama saja, dan kilasan sinar merah dan hijau
beterbangan di tengah-tengah monster-monster yang datang, mengerikan, lebih
mengerikan dari apa yang ada.
“Bagaimana kita bisa keluar?” pekik Ron di antara jeritan-jeritan, tapi sebelum Harry
atau Hermione menjawab, mereka terpaksa menepi: Hagrid telah datang dari tangga
menenteng payung pink berbunga.
“Jangan sakiti mereka, jangan sakiti mereka!” ia berteriak.
”HAGRID, JANGAN!”
Harry lupa segalanya: ia berlari secepat ia bisa keluar dari Jubah, lari membungkuk untuk
menghindari Kutukan-kutukan yang membuat Aula terang benderang.
”HAGRID, KEMBALI!”
Tapi Harry bahkan belum setengah jalan saat ia melihatnya terjadi: Hagrid lenyap di
antara para laba-laba, yang berlari ke sana kemari, dengan gerakan mengerumuni, labalaba
itu mundur di bawah serangan gencar mantra, Hagrid terkubur di tengahnya.
”HAGRID!”
Harry mendengar seseorang memanggil namanya, tak tahu kawan atau lawan dia tak
peduli: ia berlari secepat ia bisa di tanah gelap dan laba-laba itu pergi dengan mangsanya,
dan ia tidak bisa melihat Hagrid sama sekali.
”HAGRID!”
Harry mengira dia bisa menciptakan tangan besar dari tengah kerumunan laba-laba; tapi
saat ia mengejar mereka, langkahnya terhenti dengan adanya kaki yang besar terayun dari
kegelapan membuat bumi tempat ia berdiri bergetar. Harry melihat ke atas: seorang
raksasa berdiri di hadapannya, tinggi duapuluh kaki, kepalanya tersembunyi di balik
bayangan, tak ada selain bahwa dia seperti pohon, rambut disinari cahaya dari pintu
kastil. Dengan satu gerakan brutal, raksasa itu menghunjamkan tinju pada jendela di atas
Harry, dan pecahan kaca menghujani Harry, memaksanya mundur dengan lindungan
pintu.
”Oh—” jerit Hermione, saat dia dan Ron mencapai Harry dan memandang ke atas ke
raksasa yang sedang mencoba menangkap orang dari jendela di atas.
”JANGAN!” Ron berteriak, menangkap tangan Hermione yang sudah mengacungkan
tongkatnya. “Pingsankan dia dan dia akan menghancurkan setengah kastil—“
“HAGGER?”
Grawp datang dengan tiba-tiba dari sudut kastil; baru sekarang Harry menyadari bahwa
Grawp memang raksasa berukuran mini. Monster yang besar sekali itu sedang mencoba
menghancurkan orang-orang di lantai atas, melihat sekeliling dan menggeram. Undakan
batu bergetar saat raksasa itu menghentakkan kaki pada sebangsanya yang lebih kecil dan
mulut miring Grawp terbuka, memperlihatkan gigi sebesar setengah batu bata dan
kuning, lalu mereka saling menyerang dengan kebuasan singa.
“LARI!” raung Harry; malam itu dipenuhi oleh teriakan-teriakan dan pukulan-pukulan
mengerikan saat kedua raksasa itu bergulat, Harry menangkap tangan Hermione dan
melangkahi undakan, Ron mengikuti. Harry tak kehilangan harapan untuk menemukan
dan menyelamatkan Hagrid; dia lari begitu cepatnya hingga mereka sudah setengah jalan
ke Hutan sebelum mereka sadar.
Udara di sekitarnya membeku: Harry tercekat dan dadanya memadat. Bentuk-bentuk
bergerak dalam kegelapan, sosok-sosok berputar hitam pekat, bergerak dalam gelombang
besar menuju kastil, wajahnya bertudung, napasnya gemeretak …
Ron dan Hermione mendekat ke sampingnya saat suara pertempuran di belakang tiba-tiba
terhenti, mati, karena keheningan hanya bisa diawa oleh Dementor, turun di malam hari
...
”Ayo, Harry!” sahut suara Hermione, dari suatu tempat yang rasanya jauh sekali.
”Patronus, Harry, ayo!”
Ia mengangkat tangannya, tapi rasa keputusasaan menyebar dalam dirinya: Fred sudah
pergi, Hagrid pasti sekarat atau bahkan sudah mati: berapa banyak lagi yang terbaring
mati yang dia belum tahu: ia merasa nyawanya seperti sudah setengah meninggalkan
tubuhnya ...
”HARRY, AYO!” pekik Hermione.
Seratus Dementor mendekat, meluncur menuju mereka, menghisap jalan keputusasaan
Harry, seperti janji untuk berpesta ...
Ia melihat anjing terrier perak milik Ron meluncur ke udara, bekelip lemah dan berlalu:
ia melihat berang-berang kepunyaan Hermione berputar di udara dan menghilang, dan
tongkatnya sendiri bergetar di tangannya, nyaris ia menyambut pelupaan yang sedang
datang, janji akan ketiadaan, tak ada rasa …
Lalu seekor kelinci perak, seekor babi hutan, dan seekor rubah melayang melampaui
kepala Harry, Ron, dan Hermione: Dementor-dementor itu mundur sebelum makhlukmakhluk
itu mendekat. Tiga orang datang dari kegelapan, berdiri di samping mereka,
tongkat mereka terulur, terus merapal Patronus mereka: Luna, Ernie, dan Seamus.
”Iya, betul,” sahut Luna memberi semangat, seperti saat mereka ada di Kamar Kebutuhan
dan ini hanyalah latihan mantra untuk Laskar Dumbledore, ”Itu betul, Harry ... ayo,
pikirkan sesuatu yang membahagiakan ...”
”Sesuatu yang membahagiakan?” sahutnya, suaranya tercekat.
”Kami masih di sini,” ia berbisik, ”kami masih bertempur. Ayo ...”
Lalu ada percikan api perak, lalu cahaya berkelap-kelip, lalu dengan usaha yang teramat
keras yang pernah dilakukan Harry, seekor rusa jantan meluncur keluar dari ujung
tongkat Harry. Rusa jantan itu maju miring, dan sekarang para Dementor benar-benar
tercerai berai, segera saja malam menjadi sejuk kembali, tapi suara-suara pertempuran
memekakkan telinga.
”Tak cukup rasa terima kasih,” sahut Ron masih gemetar, menoleh pada Luna, Ernie, dan
Seamus, ”Kalian menyelamatkan—”
Dengan raungan dan getar seperti gempa bumi, satu raksasa lain datang keluar dari
kegelapan dari arah Hutan menjinjing pentungan yang tingginya melebihi siapapun.
”LARI!” Harry berteriak lagi, tapi yang lain tka perlu diingatkan: mereka bertemperasan,
dan tak terlalu cepat karena kaki lebar makhluk itu jatuh berdebam tepat di mana tadi
mereka berdiri. Harry menoleh, Ron dan Hermione mengikutinya, tapi ketiga yang lain
telah menghilang kembali ke kancah pertempuran.
”Ayo keluar dari sini!” teriak Ron, saat raksasa itu mengayunkan pentungannya lagi, dan
bunyinya bergema memintasi malam, melintasi tanah di mana kilasan-kilasan merah dan
hijau menerangi kegelapan.
“Dedalu Perkasa!” sahut Harry. ”Ayo!”
Ia membentenginya tinggi-tinggi, menyimpannya di ruangan kecil yang tak dapat ia lihat
sekarang: pikiran tentang Fred dan Hagrid, dan ketakutannya akan orang-orang yang ia
cintai yng ada di dalam dan luar kastil, semua harus menunggu, karena mereka harus
berlari, harus mencapai ular itu, dan Voldemort karena itu seperti kata Hermione, satusatunya
jalan untuk mengakhirinya ...
Ia berlari, setengah percaya bahwa ia bisa meninggalkan kematian sendiri, mengacuhkan
kilasan cahaya dalam kegelapan di sekeliling, dan suara danau yang berombak bagai laut,
dan Hutan Terlarang berbunyi keriat-keriut walau malam itu tak berangin, melalui tanah
yang nampaknya bangkit dan memberontak, ia lari lebih cepat dari yang pernah ia
lakukan dalam hidupnya, dan dialah yang pertama melihat pohon besar itu, Dedalu yang
melindungi rahasia di akarnya dengan dahan-dahannya yang bagai cambuk.
Terengah-engah Harry berlari lebih pelan, menyusuri dahan-dahan Dedalu yang
mengayukan pukulan, memandang tajam lewat kegelapan melalui cabang-cabangnya
yang tebal, mencoba melihat tonjolan pada pohon tua yang akan melumpuhkannya. Ron
dan Hermione berhasil mengejarnya, Hermione benar-benar kehabisan napas, dia tak bisa
bicara.
“Bagai—bagaimana kita masuk?” sahut Ron terengah-engah, “Aku bisa—melihatnya—
kalau kita harus—Crookshanks lagi—”
“Crookshanks?” cuit Hermione, membungkuk mencengkeram dadanya. “Apa kau
penyihir, atau apa?”
”Oh—betul—yeah—”
Ron melihat sekeliling, lalu mengarahkan tongkatnya pada ranting di tanah dan berkata,
”Winggardium Leviosa!”. Ranting itu melayang dari tanah, berputar di udara seperti
diputarkan oleh angin, lalu meluncur tepat pada batang di mana dahan-dahan Dedalu
memukul. Ranting itu menusuk dekat akar, dan saat itu juga pohon yang menggeliat itu
terdiam.
”Sempurna,” sahut Hermione.
”Tunggu.”
Untuk sedetik, saat dentuman dan ledakan pertempuran mengisi udara, Harry ragu.
Voldemort menginginkan dia melakukannya, ingin ia datang ... apakah dia menuntun
Ron dan Hermione ke dalam perangkap?
Tapi kenyataan nampaknya menutupi segalanya, kejam dan perih: satu-satunya jalan
untuk maju adalah membunuh ular itu, dan ular itu berada di mana Voldemort ada, dan
Voldemort ada di ujung terowongan ...
”Harry, kami datang, ayo masuk,” sahut Ron, mendorongnya maju.
Harry turun ke jalan masuk tersembunyi di akar pohon. Lebih sesak dari waktu terakhir
mereka masuk ke situ. Terowongan itu berlangit-langit rendah: empat tahun yang lalu
mereka harus meringkuk untuk maju, sekarang terpaksa merangkak. Harry masuk
pertama, tongkatnya bercahaya, ia bersiaga akan adanya rintangan setiap saat, tapi tak
ada. Mereka bergerak dalam kesunyian, pandangan Harry terpancang pada cahaya di
ujung tongkat yang digenggamnya.
Akhirnya terowongan sampai pada tanjakan dan Harry melihat cahaya keperakan di
depan. Hermione menyentuh pergelangan kakinya.
”Jubah,” Hermione berbisik, ”Pakai Jubahnya!”
Harry meraba-raba di punggungnya, dan Hermione menjejalkan buntalan kain licin itu ke
tangan Harry yang kosong. Dengan kesulitan, ia mengerudungkan pad adirinya,
bergumam ‘Nox’ memadamkan cahaya tongkatnya, dan meratakan Jubah di tangan dan di
lututnya sesunyi mungkin, semua indranya tegang, bersiaga tiap saat bisa ketahuan,
bersiaga mendengar suara dingin dan jernih, bersiaga melihat kilasan cahaya hijau.
Lalu ia mendengar suara yang datang dari ruangan yang tepat di hadapan mereka, hanya
dihalangi oleh, nampaknya bukaan terowongan di ujung terowongan telah dihalangi oleh
sesuatu yang seperti peti mati. Nyaris tak berani bernapas, Harry maju ke bukaan dan
mengintip ke celah kecil di antara peti dan dinding.
Ruangan itu remang-remang, tapi dia bisa melihat Nagini, bergelung seperti ular bawah
air, aman dalam kurungannya yang sudah dimantrai, terapung tanpa penopang di tengah
udara. Ia bisa melihat tepi meja dan sebuah tangan putih berjari panjang memainkan
tongkat. Lalu Snape bicara, dan jantung Harry nyaris terlepas: Snape hanya beberapa inci
jauhnya dari tempat ia meringkuk bersembunyi.
”...Tuanku, perlawanan mereka buruk—”
”—dan sama saja tanpamu,” sahut Voldemort, dengan suaranya yang tinggi dan jernih.
”Penyihir dengan ketrampilan sepertimu, Severus, kupikir kau tak akan membuat banyak
perubahan. Kita hampir tiba ... hampir.”
”Biarkan aku menemukan anak itu. Biarkan aku membawa Potter. Aku tahu aku bisa
menemukannya, Tuanku. Please.”
Snape berjalan melewati celah, dan Harry begerak mundur sedikit, menjaga matanya
tetap pada Nagini, bertanya-tanya apakah ada mantra yang bisa menembus perlindungan
ular itu, tapi dia tak dapat memikirkannya. Satu percobaan saja gagal, sama saja dengan
dia membuka rahasia di mana ia berada.
Voldemort berdiri, Harry dapat melihatnya sekarang, melihat matanya yang merah,
wajahnya yang rata seperti ular, kepucatannya yang bersinar di ruangan setengah gelap.
”Aku ada masalah, Severus,” sahut Voldemort pelan.
”Tuanku?” sahut Snape.
Voldemort mengangkat Elder Wand, memegangnya dengan lembut, mirip sekali dengan
tongkat konduktor.
“Mengapa tongkat ini tidak bisa berfungsi untukku, Severus?”
Dalam kesunyian Harry membayangkan ia bisa mendengar ular itu mendesis pelan saat ia
bergelung, atau apakah itu suara keluhan Voldemort yang berdesis?
”Tu-Tuanku?” tanya Snape hampa. ”Aku tak mengerti. Anda—Anda telah menampilkan
sihir yang istimewa dengan tongkat itu.”
”Tidak,” sahut Voldemort. ”Aku hanya menampilkan sihir yang biasa. Aku memang
istimewa, tetapi tongkat ini ... tidak. Tongkat ini tidak menampilkan keistimewaan yang
dijanjikan.Aku tidak merasakan perbedaan antara tongkat ini dengan tingkat yang
kudapat dari Ollivander.”
Nada suara Voldemort seperti merenung, tenang, tapi bekas luka Harry mulai berdenyut,
nyeri sedang dibangun di keningnya dan dia bisa merasakan Voldemort mengendalikan
kemarahan di dalamnya.
”Tak ada perbedaan,” sahut Voldemort lagi.
Snape tidak bicara. Harry tidak dapat melihat wajahnya: ia ingin tahu apakah Snape bisa
mengendus adanya bahaya, dan mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk
menenangkan tuannya.
Voldemort mulai bergerak sekeliling ruangan. Harry kehilangan pandangan selama
beberapa detik saat Voldemort berputar, berbicara dengan suara yang terukur, saat nyeri
dan kemarahan memuncak di kepala Harry.
“Aku sudah berpikir lama dan keras, Severus, ... tahukah kau kenapa aku memanggilmu
kembali dari pertempuran?”
Dan untuk sesaat Harry bisa melihat sosok Severus: matanya terpancang pada ular yang
sedang bergelung di kandang bermantra.
“Tidak, Tuanku, tapi kumohon ijinkan aku kembali. Biarkan aku menemukan Potter.”
”Kau kedengaran seperti Lucius. Tak ada di antara kalian yang mengerti Potter sepertiku.
Dia tidak usah dicari. Potter yang akan datang padaku. Aku tahu kelemahannya, kau tahu,
satu kesalahannya yang besar. Ia akan benci melihat orang lain gugur di sekitarnya, tahu
bahwa itu terjadi untuknya. Ia akan menghentikannya dengan segala cara. Ia akan
datang.”
”Tapi, Tuanku, dia bisa saja tak sengaja terbunuh oleh orang lain selain dirimu—”
”Perintahku untuk para Pelahap Maut sudah jelas. Tangkap Potter. Bunuh temannyamakin
banyak makin baik—tapi jangan bunuh dia.”
“Tapi aku berbicara tentangmu, Severus, bukan Harry Potter. Kau sangat berharga
untukku. Sangat berharga.”
“Tuanku tahu aku hanya ingin melayanimu. Tapi—biarkan aku pergi dan mencari anak
itu, Tuanku. Biarkan kubawa dia padamu. Aku tahu aku bisa—”
”Sudah kukatakan, tidak!” sahut Voldemort dan Harry melihat kilatan merah pada
matanya saat ia menoleh lagi, dan kibasan jubahnya seperti ular merayap, dan ia
merasaka ketidaksabaran Voldemort di bekas lukanya yang membara. ”Perhatianku pada
saat ini Severus, adalah apa yang akan terjadi jika aku bertemu dengan anak itu.”
”Tuanku, kukira tak akan ada pertanyaan, tentulah—”
”—tapi memang ada pertanyaan, Severus. Memang ada.”
Voldemort berhenti, dan Harry dapat melihatnya lagi saat dia menyelipkan Elder Wand
di antara jari-jarinya yang putih, memandang Snape.
“Mengapa kedua tongkat yang kugunakan gagal saat aku arahkan pada Harry Potter?”
”Aku—aku tak bisa menjawabnya, Tuanku.”
”Tak dapatkah?”
Tikaman kemarahan terasa seperti sebuah paku ditancapkan ke kepala Harry: ia
memaksakan kepalan tinjunya ke dalam mulut agar ia tidak berteriak kesakitan. Ia
menutup matanya, dan tiba-tiba ia menjadi Voldemort, melihat wajah Snape yang pucat.
”Tongkatku yang dari kayu yew itu melakukan apapun yang kuminta, Severus, kecuali
membunuh Harry Potter. Dua kali ia gagal. Ollivander mengatakan padaku di bawah
siksaan tentang dua inti tongkat. Aku diminta menggunakan tongkat orang lain. Aku
melakukannya, tetapi tongkat Lucius malah hancur waktu bertemu Potter.”
”Aku—aku tak punya penjelasannya, Tuanku.”
Snape tidak sedang melihat pada Voldemort sekarang. Matanya yang gelap masih
terpancang pada ular yang melingkar dalam sangkar pelindungnya.
“Aku mencari tongkat ketiga, Severus. The Elder Wand, Tongkat Takdir, Tongkat
Kematian. Aku mengambilnya dari tuannya terdahulu. Aku mengambilnya dari kuburan
Albus Dumbledore.”
Dan sekarang Snape memandang Voldemort, dan wajah Snape nampak seperti topeng
kematian [Death Mask—topeng kematian, adalah cetakan yang dibuat dari
plester/gips/semen diambil dari wajah orang mati. Bukan seutuhnya istilah Inggris karena
ini juga digunakan di Paris untuk mencatat wajah orang tak dikenal yang tenggelam di
sungai Seine. Dengan demikian, wajah Snape diibaratkan seperti topeng kematian, sangat
pucat/putih dan tak ada gerakan—persis seperti topeng kematian. Diambil dari HP
Lexicon] Wajahnya putih pualam dan kaku, sehingga saat dia bicara, suatu kejutan
melihat ada orang hidup di balik mata yang kosong itu.
“Tuanku—biarkan aku mencari anak itu—“
”Semalaman ini, saat aku berada di tepi kemenangan, aku duduk di sini,” sahut
Voldemort, suaranya hanya lebih keras dari bisikan, ”berpikir, berpikir, kenapa Elder
Wand menolak apa yang harus dia lakukan, menolak melakukan seperti kata legenda, ia
harus mau melakukan apa yang diinginkan oleh pemilik yang berhak ... dan kupikir aku
tahu apa jawabannya.”
Snape tak menjawab.
”Mungkin kau sudah tahu jawabannya? Kau pandai, Severus. Kau sudah menjadi pelayan
yang baik dan setia, dan aku menyesali apa yang harus terjadi.”
”Tuanku—”
”Elder Wand tidak dapat melayaniku dengan baik, Severus, karena aku bukan tuannya
yang sejati. Elder Wand adalah milik penyihir yang membunuh pemiliknya yang terakhir.
Kau pembunuh Albus Dumbledore. Selagi kau masih hidup, Severus, Elder Wand tak
bisa sepenuhnya menjadi kepunyaanku.”
“Tuanku!” protes Snape, mengangkat tongkatnya.
“Tentu tidak bisa dengan cara lain,” sahut Voldemort. “Aku harus menguasai tongkat itu,
Severus. Kuasai tongkat, dan aku akan menguasai Potter akhirnya.”
Dan Voldemort membelah udara dengan Elder Wand. Tongkat itu seperti tidak
melakukan apa-apa pada Snape yang untuk sedetik berpikir dia telah mendapat
pengampunan: tapi kemudian tujuan Voldemort menjadi jelas. Kandang ular itu berputar
di udara dan sebelum Snape bisa berbuat apapun selain berteriak, ular itu sudah
melingkarinya, kepala dan bahu, dan Voldemort berbicara dalam Parseltongue.
“Bunuh.”
Jeritannya mengerikan. Harry melihat wajah Snape kehilangan sedikit warna yang tersisa,
wajahnya memutih saat mata hitamnya melebar saat taring ular itu menghunjam lehernya,
saat ia gagal mendorong kandang bermantra itu, saat lututnya menyerah, dan ia jatuh ke
lantai.
“Aku menyesalinya,” sahut Voldemort dingin.
Ia pergi; tak ada rasa sedih padanya, tak ada penyesalan. Ini sudah waktunya
meninggalkan gubuk dan mengambil alih, dengan tongkat yang sekarang akan
mengerjakan apapun yang dimintanya. Ia mengacungkannya pada kandang yang berisi
ular, mengarah ke atas, melepaskan Snape yang jatuh menyamping di lantai, darah
mengalir dari luka di lehernya. Voldemort berayun keluar dari ruangan tanpa memandang
ke belakang lagi, dan ular besarnya melayang di belakangnya dalam perlindungannya.
Kembali ke terowongan dan kembali ke pikirannya sendiri, Harry membuka matanya: ia
berdarah, menggigit buku jarinya sedemikian agar ia tak berteriak. Sekarang ia melihat
celah antara peti dan tembok, mengamati kaki dengan sepatu boot hitam gemetar di
lantai.
”Harry,” Hermione berbisik di belakangnya, tapi Harry sudah mengacungkan tongkatnya
pada peti yang menghalangi pandangan. Peti itu terangkat satu inci dan bergerak ke
samping tanpa suara. Sediam mungkin ia menyelinap ke dalam ruangan.
Ia tak tahu mengapa ia melakuan hal ini, mengapa ia mendekati orang yang sedang
sekarat ini: ia tidak tahu apa yang ia rasa saat melihat wajah putih Snape, dan jemari yang
mencoba menghentikan luak berdarah di lehernya. Harry melepaskan Jubah Gaib dan
melihat ke bawah, melihat pada orang yang ia benci, orang yang mata hitamnya melebar
menemukan Harry saat ia berusaha bicara. Harry membungkuk di atasnya: dan Snape
menangkap bagian depan jubahnya dan menariknya mendekat.
Sebuah suara serak berdeguk mengerikan keluar dari kerongkongan Snape.
”Ambil ... itu ... Ambil ... itu.”
Sesuatu yang lebih dari darah merembes keluar dari Snape. Biru keperakan, bukan gas
bukan cairan, memancar dari mulutnya, dari telinganya, dari matanya, dan Harry tahu itu
apa, tapi Harry tidak tahu apa yang harus ia lakukan—
Sebuah tabung tercipta dari udara, dijejalkan pada tangan gemetar Harry oleh Hermione.
Harry menampung bahan keperakan itu ke dalam tabung dengan tongkatnya. Saat tabung
itu penuh, dan Snape terlihat seakan tak ada darah tersisa lagi padanya, cengkeramannya
pada jubah Harry mengendur.
”Pandang ... aku,” ia berbisik.
Mata yang hijau beradu dengan yang hitam, tapi setelah sedetik sesuatu di kedalaman
dari pasangan yang gelap nampaknya lenyap: meninggalkannya kaku, hampa dan kosong.
Tangan yang memegang Harry bergedebuk di lantai, dan Snape tak bergerak lagi.
Chapter 33
Prince’s Tale
Kisah Pangeran
Harry tetap berlutut di samping Snape, hanya menatapnya, hingga sebuah suara
melengking dingin berbicara sangat dekat pada mereka, sampai-sampai Harry terlonjak
berdiri, mencengkeram tabungnya erat-erat, mengira Voldemort telah kembali ke ruangan
itu.
Suara Voldemort bergaung dari dinding, dari lantai, dan Harry menyadari bahwa dia
berbicara pada Hogwarts dan daerah sekitarnya, agar penduduk Hogsmeade dan semua
yang masih bertempur di kastil akan mendengarnya sejelas bila ia berdiri di samping
mereka, napasnya di belakang leher, mengembuskan kematian.
“Kalian telah bertempur,” sahut suara melengking dingin itu, “dengan gagah berani. Lord
Voldemort paham caranya menghargai keberanian.”
“Tapi kalian menderita kekalahan yang besar. Kalau kalian bertahan, tetap menolakku,
kalian akan mati semuanya, satu persatu. Aku tak menginginkan ini terjadi. Setiap tetes
darah sihir yang tertumpah adalah suatu kehilangan, suatu penghamburan.”
“Lord Voldemort bermurah hati. Aku perintahkan pasukanku untuk mundur sekarang
juga.”
“Kalian punya waktu satu jam. Perlakukan yang mati secara bermartabat. Rawatlah lukalukamu.”
Aku berbicara sekarang, Harry Potter, langsung padamu. Kau mengijinkan temantemanmu
mati untukmu, daripada menghadapiku sendiri. Aku akan menunggumu selama
satu jam di Hutan Terlarang. Jika di akhir masa itu kau tidak datang padaku, tidak
menyerahkan dirimu, maka pertempuran akan dimulai lagi. Saat itu aku sendiri akan
terjun di kancah pertempuran, Harry Potter, dan aku akan menemukanmu, dan aku akan
menghukum tiap laki-laki, perempuan, maupun anak kecil yang mencoba
menyembunyikanmu dalam waktu satu jam. Satu jam.”
Baik Ron maupun Hermione menggelengkan kepala dengan keras, menatap Harry.
”Jangan dengarkan dia,” sahut Ron.
”Kau akan baik-baik saja,” ujar Hermione. ”Mari—mari kita kembali ke kastil, jika ia
kembali ke Hutan Terlarang kita harus memikirkan rencana baru—”
Ia memandang sekilas pada jenazah Snape, lalu buru-buru kembali ke terowongan. Ron
mengikutinya. Harry melipat Jubah Gaibnya lalu menatap Snape. Dia tak tahu apa yang
harus dia rasakan, kecuali keterkejutannya atas bagaimana Snape dibunuh, dan alasan
mengapa itu terjadi.
Mereka merangkak kembali melalui terowongan, tidak ada satupun yang berbicara, dan
Harry ingin tahu apakah Ron dan Hermione masih bisa mendengar suara Voldemort
berdering-dering di kepala mereka, seperti dirinya.
Kau mengijinkan teman-temanmu mati untukmu, daripada menghadapiku sendiri. Aku
akan menunggumu selama satu jam di Hutan Terlarang ... satu jam ...
Gumpalan-gumpalan kecil mengotori halaman berumput di depan kastil. Mungkin hanya
kira-kira sejam atau sekitarnya menjelang fajar, tapi keadaannya gelap gulita. Ketiganya
bergegas melintasi pijakan batu. Sebelah bakiak, seukuran perahu kecil tergeletak di
depan mereka. Tak ada tanda-tanda Grawp ataupun penyerangnya.
Kastil itu sunyi secara tak wajar. Tidak ada cahaya atau sinar, tak ada letusan, jeritan atau
teriakan. Ubin besar di Pintu Masuk telantar ternoda darah. Batu-batu jamrud masih
berserakan di lantai bersama potongan marmer dan pecahan kayu. Sebagian pegangan
tangga luluh lantak.
”Ke mana semua orang?” bisik Hermione.
Ron memimpin jalan ke Aula Besar. Harry berhenti di pintu.
Meja asrama lenyap dan ruangan penuh sesak. Mereka yang selamat berdiri
berkelompok, tangan-tangan mereka saling berangkulan. Mereka yang terluka dirawat
dipanggung yang didirikan Madam Pomfrey dan sekelompok sukarelawan. Firenze ada di
antara yang terluka, panggulnya mengucurkan darah, gemetar di mana ia dibaringkan, tak
mampu berdiri.
Mereka yang tewas dibaringkan berjajar di tengah aula. Harry tidak bisa melihat jenazah
Fred karena dikelilingi keluarganya. George berlutut dekat kepalanya, Mrs Weasley
melintang di dada Fred, badannya berguncang, Mr Weasley mengusap rambut Mrs
Weasley, air matanya mengalir menuruni pipinya.
Tanpa bicara pada Harry, Ron dan Hermione menjauh. Harry melihat Hermione
mendekati Ginny yang wajahnya bengkak, dan memeluknya. Ron bergabung dengan Bill
dan Fleur, Percy mengalungkan lengannya di pundak Ron. Saat Ginny dan Hermione
bergerak mendekati keluarga, Harry bisa melihat dengan jelas jenazah yang terbaring
dekat Fred: Remus dan Tonks, pucat dan diam, nampak damai seperti yang sedang tidur
di bawah langit-langit yang disihir gelap.
Aula Besar terasa lebih kecil, mengerut, saat Harry berbalik membelakangi pintu. Ia tidak
bernapas. Dia tidak tahan melihat jenazah lain, agar bisa melihat siapa lagi yang mati
untuknya. Ia tidak bisa bergabung dengan keluarga Weasley, tidak bisa menatap mereka,
seandainya saja ia sudah menyerahkan diri, Fred tidak akan mati…
Ia berbalik dan lari di tangga marmer. Lupin, Tonks … keinginannya agar iatidak bisa
merasakan … ia berharap bisa merenggut jantungnya, bagian-bagian dalam tubuhnya,
semua yang menjerit di dalam dirinya …
Kastil itu benar-benar kosong, bahkan para hantu nampaknya bergabung berkabung di
Aula Besar. Harry berlari tanpa berhenti, menggenggam erat tabung yang berisi pikiran
terakhir Snape, ia tidak melambat hingga ia mencapai gargoyle batu penjaga kantor
Kepala Sekolah.
“Kata kunci?”
“Dumbledore!” sahut Harry tanpa berpikir, karena Dumbledore-lah yang ingin ia temui,
dan ia terkejut ketika gargoyle itu minggir, memperlihatkan tangga spiral di belakangnya
…
Ketika Harry menghambur masuk ke kantor bundar, ia menemukan perubahan. Lukisanlukisan
yang tergantung di dinding kosong. Tidak satupun Kepala Sekolah tinggal untuk
bertemu dengannya: semua, nampaknya, semua pergi, lewat lukisan-lukisan yang berjajar
di kastil, sehingga mereka bisa melihat dengan jelas apa yag terjadi.
Harry memandang tanpa harapan pada bingkai yang ditinggalkan Dumbledore,
digantungkan tepat di belakan kursi Kepala Sekolah, lalu Harry membelakanginya.
Pensieve disimpan di lemari seperti biasanya. Harry mengangkatnya ke atas meja dan
menuangkan memori Snape ke dalam baskom lebar dengan huruf rune di sekitarnya.
Keluar dari kepala seseorang mungkin melegakan ... bahkan apa yang ditinggalkan oleh
Snape mungkin tidak lebih buruk dari pikirannya sendiri. Memori-memori itu berputar,
putih keperakan dan aneh, tanpa ragu, dengan rasa nekat, berharap ini akan menenangkan
kepedihan yang menyiksa, Harry terjun.
Ia jatuh seketika di cahaya mentari, dan kakinya menemukan landasan yang hangat.
Waktu ia meluruskan diri, nampak bahwa ia berada di taman bermain yang nyaris
telantar. Sebuah cerobong besar mendominasi pemandangan. Dua gadis kecil berayunayun,
dan seorang anak laki-laki kurus mengamati mereka dari belakang semak. Rambut
hitamnya terlalu panjang dan bajunya tak sepadan sehingga kelihatan seperti disengaja:
jeans yang terlalu pendek, mantel yang terlalu besar dan bulukan, nampaknya kepunyaan
orang dewasa, dan sebuah kemeja pelapis yang aneh.
Harry bergerak mendekati si anak laki-laki. Snape terlihat berumur 9 atau 10 tahun, tidak
lebih, pucat, kecil, kurus. Ada kerakusan yang tidak dapat disembunyikan di wajahnya
yang kurus saat ia mengamati gadis yang lebih muda berayun lebih tinggi dan lebih tinggi
lagi dari saudaranya.
”Lily, jangan!” jerit yang lebih tua.
Tapi gadis itu membiarkan ayunan berayun hingga ke titik lebih tinggi dan melayang ke
udara, secara harafiah benar-benar terbang, melempar diri ke arah langit dengan tawa
lepas, dan bukannya jatuh di aspal malah dia meluncur seperti pemain trapeze, tetap di
udara terlalu lama, mendarat sangat halus.
”Mummy bilang jangan!”
Petunia menghentikan ayunannya dengan menarik tumit sandalnya di tanah, membuat
suara berderit, melompat, tangan di pinggul.
”Mummy bilang kau tidak diijinkan begitu, Lily!”
“Tapi aku nggak apa-apa,” sahut Lily masih terkekeh, “Tuney, lihat ini. Lihat apa yang
bisa kulakukan.”
Petunia memandang berkeliling. Taman bermain itu sudah ditinggalkan orang, kecuali
mereka berdua, dan walau gadis-gadis itu tidak tahu, Snape. Lily memungut bunga jatuh
di dekat semak-semak di mana Snape bersembunyi. Petunia maju, jelas terbagi antara
rasa ingin tahu dan ketidaksetujuan. Lily menunggu hingga Petunia cukup dekat untuk
melihat dengan jelas, lalu membuka telapak tangannya. Bunga diletakkan di situ,
kelopaknya membuka dan menutup seperti tiram yang aneh.
”Hentikan!” jerit Petunia.
”Takkan melukaimu,” sahut Lily, tapi ia menggenggam kembang itu dan melemparnya
kembali ke tanah.
”Itu tidak benar,” sahut Petunia, tapi matanya mengikuti kembang itu, ”bagaimana kau
melakukannya?”
”Sudah jelas, kan?” Snape tidak dapat menahan diri dan melompat keluar dari semaksemak.
Petunia mengkerut dan berlari kembali ke ayunan, tapi Lily, walaupun terlihat bingung,
tetap di tempat. Snape nampak menyesal telah mengagetkan mereka dengan
kemunculannya. Ada semburat warna muncul di pipi pucat itu saat ia memandang Lily.
“Apanya yang jelas?” tanya Lily.
Snape kelihatan gugup. Sambil memandang Petunia dari kejauhan, ia menurunkan
suaranya, “Aku tahu kau ini apa.”
”Apa maksudmu?”
”Kau ... kau seorang penyihir,” bisik Snape.
Lily nampak terhina.
”Bukan begitu caranya berbicara dengan orang lain.”
Ia berbalik dengan angkuh dan berjalan menuju saudarinya.
“Bukan!” sahut Snape. Wajahnya merah padam sekarang, dan Harry heran kenapa ia
tidak membuka mantelnya yang menggelikan itu, kecuali kalau dia tidak mau
memperlihatkan baju pelaspis di baliknya. Ia mengejar gadis itu, kelihatan seperti
kelelawar, seperti Snape yang lebih tua.
Kedua bersaudara itu mempertimbangkannya, sama-sama tak setuju, berpegangan pada
tiang ayunan, seakan itu tempat yang aman.
“Kau adalah,” sahut Snape pada Lily, “kau adalah penyihir. Aku telah mengamatimu
sejak lama. Tapi tak ada yang salah dengan itu. Ibuku penyihir, dan aku juga penyihir.”
Tawa Petunia seperti air dingin.
”Penyihir!” ia menjerit, keberaniannya kembali sekarang saat ia pulih dari
keterkejutannya akan kemunculan Snape tadi yang tidak diharapkan. ”Aku tahu siapa
kau. Kau anak si Snape itu ya? Mereka tinggal di Spinner’s End dekat sungai,” sahutnya
pada Lily, dan jelas pada suaranya bahwa ia menilai rendah para penduduk di Spinner’s
End. ”Kenapa kau memata-matai kami?”
”Aku tidak memata-matai,” sahut Snape memanas, tidak nyaman dan rambut kotor di
terangnya cahaya matahari. ”Buat apa memata-matai,” katanya tajam, ”kau hanya
seorang Muggle.”
Walau Petunia jelas-jelas tidak mengerti arti kata itu tapi dia tidak bisa salah mengartikan
nada suara Snape.
”Lily, ayo kita pergi!” katanya melengking. Lily mematuhi saudaranya seketika, menatap
Snape saat ia pergi. Ia berdiri mematung mengamati saat mereka berjalan melintasi
gerbang taman bermain, dan Harry, satu-satunya yang tertinggal untuk memantau
mereka, mengenali kekecewaan Snape, dan paham bahwa Snape sudah lama
merencanakan saat ini tapi tidak berjalan baik...
Pemandangan itu mengabur, dan sebelum Harry menyadari, terbentuk lagi yang baru di
sekitarnya. Ia sekarang ada di sebuah rumpun semak-semak. Ia bisa melihat sungai yang
disinari matahari, gemerlapan alirannya. Bayangan yang ditimbulkan oleh pepohonan
menciptakan naungan teduh dan hijau. Dua anak duduk bersila berhadapan di tanah.
Snape sudah membuka mantelnya, baju lapisannya terlihat, tidak begitu aneh terlihat di
cahaya redup.
”—dan Kementrian bisa menghukummu jika kau melakukan sihir di luar sekolah, kau
akan mendapat surat.”
”Tapi aku sudah melakukannya!”
”Kita tidak apa-apa, kita belum dapat tongkat. Mereka masih membiarkanmu jika kau
masih anak-anak dan kau belum bisa mengendalikannya. Tapi sekalinya kau sudah
berusia 11,” dia mengangguk memberi kesan penting, ”dan mereka mulai melatihmu, kau
harus hati-hati.”
Ada sedikit keheningan. Lily memungut ranting yang gugur dan memutarnya di udara,
dan Harry tahu bahwa Lily sedang membayangkan akan ada percikan api keluar dari
ranting itu. Ia mejatuhkan ranting, bersandar pada anak laki-laki itu dan berkata, ”Ini
benar nyata kan? Bukan lelucon? Petunia bilang kau bohong. Petunia bilang tak ada yang
namanya Hogwarts. Bener nggak?”
”Itu benar, untuk kita,” sahut Snape. ”Bukan untuk dia. Tapi kita akan menerima surat,
kau dan aku.”
”Sungguh?” bisik Lily.
”Tentu saja,” ujar Snape, dan meski dengan potongan rambut yang aneh, pakaian yang
ganjil, anehnya dia menampilkan sosok yang mengesankan di depan Lily, penuh
keyakinan.
”Dan benar-benar akan datang dengan burung hantu?” Lily berbisik.
“Biasanya,” sahut Snape, “tapi kau kelahiran Muggle, jadi seseorang dari sekolah akan
datang dan menjelaskan pada orangtuamu.”
”Apakah ada bedanya, menjadi kelahiran Muggle?”
Snape ragu. Mata hitamnya menyimpan keinginan dalam kesuraman, bergerak-gerak di
wajah yang pucat memandang rambut merah gelap itu.
”Tidak,” sahutnya, ”tidak ada perbedaan.”
”Baguslah,” sahut Lily menjadi tenang. Jelas bahwa ia tadinya cemas.
”Kau memiliki kemampuan sihir yang hebat sekali,” sahut Snape. ”Aku melihatnya.
Setiap waktu aku mengamatimu...”
Suaranya melemah, Lily tidak sedang mendengar, berbaring menelentang di tanah
beralaskan daun-daun, sedang memandangi kanopi daun di atas. Snape memandangi
sama rakusnya seperti dulu ia memandangi Lily di taman bermain.
”Bagaimana keadaan rumahmu?” Lily bertanya.
Sejumput kerutan muncul di antara kedua mata Snape.
”Baik.” katanya.
”Mereka tidak bertengkar lagi?”
”Oh, mereka masih bertengkar,” ujar Snape. Ia meraih segenggam daun dan menyobeknyobeknya,
kelihatan ia tak sadar akan apa yang sedang lakukan. ”Tapi tak akan lama,
dan aku akan pergi”
”Ayahmu tidak suka sihir?”
”Dia tidak suka apapun.”
”Severus?”
Sesudut senyum terpilin di mulit Snape saat Lily menyebut namanya.
”Yeah?”
”Ceritakan lagi soal Dementor.”
”Kenapa kau ingin tahu mengenai Dementor?”
”Kalau aku menggunakan sihir di luar sekolah—”
”Mereka tidak akan mengirimmu pada Dementor untuk pelanggaran seperti itu!
Dementor itu untuk orang-orang yang melakukan hal-hal yang benar-benar jahat. Mereka
menjaga penjara sihir, Azkaban. Kau tidak akan berakhir di Azkaban, kau terlalu—“
Wajahnya langsung memerah dan ia mengoyak-ngoyak daun lagi. Ada suara gemerisik
di belakang Harry membuatnya menoleh, Petunia bersembunyi di belakang pohon, salah
menginjak.
“Tuney!” sahut Lily terkejut namun ada nada menyambut dalam suaranya. Tapi Snape
langsung melompat berdiri.
“Siapa yang memata-matai sekarang?” ia berteriak, “apa yang kau inginkan?”
Petunia tidak bisa bernapas, ia tertangkap basah. Harry bisa melihat ia berjuang untuk
tidak mengatakan apa yang menyakitkan jika diungkapkan.
”Apa uang kau pakai sebenarnya?” sahut Petunia, menunjuk pada dada Snape, ”blus
ibumu?”
Ada suara gemeretak, sebuah dahan pohon di atas kepala Petunia runtuh. Lily berteriak;
dahan itu mengenai bahu Petunia, dia mungur dan menghambur penuh air mata.
”Tuney!”
Tapi Petunia sudah lari. Lily memberondong Snape.
“Apakah kau yang berbuat?”
“Bukan!” Snape terlihat menantang tapi juga pada saat yang sama ketakutan.
”Kau yang melakukannya,” Lily mundur, ”Kau melakukannya. Kau menyakitinya!”
”Bukan—aku tak melakukanya!”
Tapi dusta itu tidak meyakinkan Lily; setelah satu pandangan marah, ia lari dari rumpun
pohon itu mengejar saudarinya. Snape terlihat menyedihkan dan bingung ...
Adegan berubah lagi, Harry melihat ke sekeliling; dia ada di Peron 9 ¾, dan Snape
berdiri di sampingnya, sedikit membungkuk, di samping seorang wanita yang kurus,
berwajah pucat, nampak masam, yang sepertinya mencerminkan diri Snape. Snape
sedang mencermati sebuah keluarga dengan empat anggotanya tidak terlalu jauh darinya.
Dua gadis berdiri agak jauh dari orangtuanya. Lily seperti sedang memohon pada
saudarinya. Harry mendekat agar bisa mendengar.
“…Maaf, Tuney, aku menyesal. Dengar—“ ia menangkap tangan saudarinya dan
memegangnya erat-erat walau Petunia mencoba untuk melepasnya. “Mungkin setibanya
aku di sana, tidak, dengar Tuney! Mungkin setibanya aku di sana, aku bisa pergi ke
Profesor Dumbledore dan membujuknya untuk berubah pikiran!”
“Aku tidak—ingin—pergi,” sahut Petunia, dan dia menarik tangannya dari pegangan
saudarinya, ”Kau ingin aku pergi ke kastil bodoh itu dan belajar jadi—jadi—”
Mata pucatnya menelusuri peron, pada kucing-kucing yang mengeong di tangan
pemiliknya, pada burung hantu yang mengibaskan sayap dan ber-uhu sesama mereka di
sangkar, pada pada siswa sebagian sudah memakai jubah hitam panjang, memuat koperkoper
mereka di kereta api uap merah atau saling bertukar salam dengan teriakan
kegembiraan setelah berpisah selama satu musim panas.
“—kau pikir aku ingin jadi orang—orang sinting?”
Mata Lily penuh dengan air mata tatkala Petunia berhasil menarik tangannya.
”Aku bukan orang sinting,” ujar Lily, ”kau mengatakan hal-hal yang mengerikan!”
”Itulah tempat yang kau tuju,” nampaknya Petunia menikmati betul ucapannya. ”Sekolah
khusus untuk orang sinting. Kau dan pemuda Snape ... orang aneh, itulah kalian berdua.
Bagus kalau kalian dipisahkan dari orang normal. Untuk keselamatan kami.”
Lily memandang orangtuanya yang sedang sepenuh hati menikmati pemandangan di
peron. Dan dia melihat saudaranya lagi dan suaranya rendah dan kasar.
“Kau tidak memandang sebagai sekolah untuk orang sinting waktu kau menulis untuk
Kepala Sekolah dan memohon padanya untuk menyertakanmu.”
Wajah Petunia memerah.
“Memohon? Aku tidak memohon!”
“Aku melihat jawaban Dumbledore. Ia sangat baik.”
Kau tidak boleh membaca—“ bisik Petunia. “Itu barang pribadiku—bagaimana kau--?”
Lily membuka rahasianya sendiri dengan setengah memandang ke tempat Snape berdiri,
di dekatnya. Petunia menahan napas.
“Anak itu menemukannya! Kau dan anak itu mengendap-endap di kamarku!”
”Tidak—tidak mengendap-endap—“ sekarang Lily yang membela diri. “Severus melihat
amplop itu dan dia tidak percaya bahwa seorang Muggle bisa menghubungi Hogwarts, itu
saja. Dia bilang pasti ada penyihir menyamar bekerja di kantor pos untuk menangani—“
”Jelas-jelas penyihir ikut campur di mana-mana,” sahut Petunia, wajahnya pucat seperti
baru dibilas. ”Orang Sinting!” dia meludah pada saudaranya, menggelepakkan badannya
karena marah, ia kembali pada orangtuanya.
Adegan berganti lagi. Snape tergesa-gesa menyusuri koridor Hogwarts Express saat
kereta itu menyusuri pinggir kota. Ia sudah berganti pakaian dengan jubah sekolah,
mungkin mempergunakan kesempatan pertama untuk menyingkirkan baju Mugglenya
yang mengerikan. Akhirnya ia berhenti di luar sebuah kompartemen di mana sekumpulan
anaklaki-laki sedang ribut berbicara. Meringkuk di sudut kursi dekat jendela ternyata
adalah Lily, wajahnya ditekankan pada jendela kaca.
Snape menggeser pintu kompartemen dan duduk di seberang Lily. Lily memandang
Snape sekilas lalu memandang ke jendela lagi. Dia baru saja menangis.
“Aku tak ingin bicara denganmu,” katanya dalam suara tertahan.
“Kenapa?”
“Tuney m—membenciku. Karena kita melihat surat dari Dumbledore itu!”
“Memangnya kenapa?”
Lily melontarkan pandangan tak suka.
”Karena dia saudaraku!”
”Dia hanya seorang—” Snape cepat menghentikan ucapannya; Lily terlalu sibuk
mencoba mengelap matanya tanpa terlihat, tidak mendengarkan ucapannya.
”Tapi kita pergi!” sahut Snape, tak dapat menahan kegembiraan dalam suaranya. ”Inilah
dia, kita menuju Hogwarts!”
Lily mengangguk, mengelap matanya, tapi dia setengah tersenyum.
“Kau lebih baik berada di Slytherin!” sahut Snape, membesarkan hati agar Lily gembira
sedikit.
“Slytherin?”
Salah satu anak yang berbagi kompartemen, yang dari tadi mengacuhkan Lily maupun
Snape, memperhatikan kata itu, dan Harry yang dari tadi memperhatikan Lily dan Snape,
melihat ayahnya: langsing, rambut hitam seperti Snape tetapi terlihat jelas bahwa ia
berasal dari keluarga berada, diperhatikan bahkan dikagumi, hal-hal yang tidak
ditemukan pada diri Snape.
“Siapa yang mau di Slytherin? Kalau aku ditempatkan di Slytherin, aku akan pergi,
bagaimana denganmu?” James bertanya pada anak laki-laki yang duduk di seberangnya.
Dengan satu sentakan Harry menyadari bahwa itu Sirius. Sirius tidak tersenyum.
”Seluruh keluargaku di Slytherin.” katanya.
”Blimey,” sahut James, ”dan kukira kau baik-baik saja.”
Sirius menyeringai.
”Mungkin aku akan memecahkan tradisi. Kalau begitu, kau mau ke mana?”
James menarik pedang yang hanya ada dalam bayangan.
“’Gryffindor, dimana tempat berkumpulnya pemberani’. Seperti ayahku.”
Snape membuat bunyi yang meremehkan. James menoleh padanya.
“Kau keberatan?”
“Tidak,” sahut Snape walau seringai sekilasnya mengemukakan sebaliknya, “jika kau
merasa lebih baik punya otot daripada punya otak—“
“Kalau begitu kau sendiri mau ke mana, sedangkan kau tak memiliki keduanya?” Sirius
menyela.
James tertawa terbahak-bahak. Lily bangkit, terlihat marah dan menatap James hingga
Sirius dengan perasaan tak suka.
”Ayo, Severus, kita cari kompartemen lain!”
”Ooooooo...”
James dan Sirius menirukan suara tinggi Lily; James berusaha menjegal kaki Snape saat
ia lewat.
”Sampai jumpa, Snivellus!” sebuah suara terdengar, saat pintu kompartemen dibanting.
Dan adegan berganti lagi.
Harry berdiri tepat di belakang Snape saat mereka menghadapi meja asrama yang
diterangi ribuan lilin, barisan yang penuh wajah-wajah penuh perhatian. Kemudian
Profesor McGonagall berkata, ”Evans, Lily!”
Harry menyaksikan ibunya berjalan ke depan dengan kaki gemetar dan duduk di bangku
reyot itu. Profesor McGonagall menjatuhkan Topi Seleksi ke atas kepala Lily, dan tak
lebih dari sedetik sesudah Topi Seleksi menyentuh rambut merah tua itu, Topi berteriak,
Gryffindor!
Harry mendengar Snape mengerang. Lily melepaskan Topi, mengembalikannya pada
Profesor McGonagall, kemudian bergegas bergabung dengan para Gryffindor, saat ia
memandang balik pada Snape, ada senyum sedih di wajahnya. Harry melihat Sirius
menggerakkan bangku agar ada ruangan untuk Lily. Lily melihat Sirius lama sekali,
nampak mengenalinya waktu di kereta, melipat lengannya dan tidak menoleh lagi
padanya.
Pemanggilan diteruskan. Harry menyaksikan Lupin, Pettigrew, dan ayahnya bergabung
dengan Lily dan Sirius di meja Gryffindor. Akhirnya, saat hanya tinggal selusin siswa
yang tersisa untuk diseleksi, Profesor McGonagall memanggil Snape.
Harry berjalan bersamanya ke kursi, menyaksikan ia menempatkan Topi di atas
kepalanya. Slytherin!, teriak Topi Seleksi.
Dan Severus Snape bergerak ke ujung lain di Aula, jauh dari Lily, di mana para Slytherin
menyambutnya, di mana Lucius Malfoy, dengan lencana Prefek berkilauan di dadanya,
menepuk punggung Snape saat Snape duduk di sampingnya.
Dan adegan berganti...
Lily dan Snape berjalan melintasi halaman kastil, jelas sedang bertengkar. Harry
bergegas mengejar mereka, untuk mendengar lebih jelas. Saat ia mencapai mereka, ia
sadar bahwa mereka sudah jauh lebih tinggi sekarang, nampaknya mereka sudah
melewati beberapa tahun setelah Topi Seleksi.
”...meski kita seharusnya berteman?” Snape berkata, ”Teman baik?”
”Kita berteman, Sev, tapi aku tidak suka beberapa temanmu. Maafkan aku, tapi aku benci
Avery dan Mulciber. Mulciber! Apa yang kau lihat dari mereka, Sev? Dia penjilat.
Apakah kau tahu apa yang dia lakukan pada Mary Macdonald kemarin dulu?”
Lily mencapai pilar dan bersandar di sana, menatap wajah pucat dan kurus itu.
“Itu bukan apa-apa,” ujar Snape, “itu cuma lelucon, cuma itu—”
”Itu Sihir Hitam, dan kalau kau pikir itu lucu—”
”Lalu bagaimana dengan apa yang dilakukan Potter dan sobat-sobatnya?” tuntut Snape,
wajahnya memerah lagi saat ia mengatakannya, sepertinya tidak dapat menahan
kemarahan.
”Memangnya ada apa dengan Potter?” tanya Lily.
“Mereka menyelinap di malam hari. Ada seusatu yang aneh dengan Lupin. Ke mana dia
selalu pergi?”
”Dia sakit,” ucap Lily, ”mereka bilang dia sakit.”
”Tiap bulan saat purnama?” tanya Snape.
”Aku tahu teorimu,” ujar Lily, dan dia terdengar dingin, ”Kau terobsesi dengan mereka
kan? Kenapa kau begitu perhatian dengan apa yang mereka lakukan di malam hari?”
”Aku hanya mencoba menunjukkan padamu, mereka tidak semenakjubkan seperti orangorang
pikir.” Kesungguhan pandangan mata Snape membuat Lily tersipu.
”Walaupun begitu, mereka tidak menggunakan Sihir Hitam,” Lily menurunkan suaranya.
”Dan kau benar-benar tidak bisa berterima kasih. Aku dengar apa yang terjadi malam
kemarin. Kau menyelinap ke terowongan di bawah Dedalu Perkasa dan James Potter
menolongmu dari apapun yang terjadi di bawah sana—”
Seluruh wajah Snape berubah dan bicaranya bergetar, ”Menyelamatkan?
Menyelamatkan? Kau kira dia sedang bermain peran sebagai pahlawan? Dia sedang
menyelamatkan diri dan sobat-sobatnya juga. Kau tidak akan—aku tidak akan
membiarkanmu—“
“Membiarkanku? Membiarkanku?”
Lily memicingkan mata hijaunya yang terang. Snape mundur seketika.
“Aku tidak bermaksud—Aku hanya tidak ingin kau memperolok—dia naksir kau, James
Potter naksir kau!” kata-kata itu seperti meluncur keluar dari Snape di luar keinginannya.
“Dan dia tidak … Tiap orang mengira … Pahlawan Quidditch—“ kebencian dan
ketidaksukaan Snape membuat ia bicara tidak jelas, dan alis Lily semakin naik di
keningnya.
“Aku tahu James Potter hanyalah seseorang yang sombong,” kata Lily memotong ucapan
Snape. “Aku tidak perlu diberitahu olehmu. Tapi gagasan Mulciber dan Avery tentang
humor itu jahat. Jahat, Sev. Aku tidak paham bagaimana kau bisa berteman dengan
mereka.”
Harry ragu apakah Snape mendengarkan kritik Lily tentang Mulciber dan Avery. Saat
Lily menghina James Potter, seluruh tubuh Snape menjadi tenang, rileks, dan saat mereka
berjalan menjauh terasa ada kekuatan baru di setiap langkah Snape.
Adegan berubah lagi.
Harry mengamati lagi, saat Snape meninggalkan Aula Besar setelah mengerjakan OWLnya
untuk Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam. Mengamati saat Snape berjalan menjauhi
kastil, melamun menyimpang dari jalan, tidak hati-hati, mendekati tempat di bawah
pohon beech di mana James, Sirius, Lupin, dan Pettigrew duduk bersama. Tapi Harry
menjaga jarak saat ini, karena dia tahu apa yang terjadi setelah James mengangkat
Severus ke udara dan mengejeknya; ia tahu apa yag dilakukan dan dikatakan, dan
samasekali tidak menyenangkan untuk mendengarnya lagi. Dari jauh ia mendengar Snape
berteriak pada Lily dalam penghinaannya dan kemarahannya, kata yang tak termaafkan:
Darah Lumpur.
Adegan berganti …
“Maafkan aku.”
“Aku tak tertarik.”
“Aku menyesal.”
“Percuma bicara.”
Saat itu malam. Lily mengenakan baju tidur, berdiri dengan tangan terlipat di depan
lukisan Nyonya Gemuk di jalan masuk Menara Gryffindor.
“Aku hanya datang karena Mary bilang kau mau menginap di sini.”
”Memang. Aku tak pernah bermaksud memanggilmu Darah Lumpur, itu hanya—”
”Keceplosan?” Tak ada rasa kasihan pada suara Lily. ”Sudah terlambat. Aku sudah
bertahun-tahun mengarang alasan untuk semua tindakanmu. Tak satupun temanku bisa
paham kenapa aku bisa bicara padamu. Kau dan teman-teman Pelahap Mautmu yang
berharga –kau lihat, kau bahkan tidak menyangkalnya. Kau bahkan tidak menyangkal
bahwa itu adalah tujuanmu. Kau tak bisa menunggu untuk bergabung dengan Kau-Tahu-
Siapa, bukan?”
Snape membuka mulut, tapi menutupnya lagi tanpa bersuara.
”Aku tak dapat berpura-pura lagi. Kau memilih jalanmu, aku memilih jalanku.”
”Tidak –dengar, aku tak bermaksud—”
“—memanggilku Darah Lumpur? Tapi kau memanggil semua yang kelahirannya sama
denganku Darah Lumpur, Severus. Kenapa aku mesti dibedakan?”
Snape berusaha untuk berbicara, tapi dengan pandangan menghina Lily membuang muka,
dan memanjat kembali lubang lukisan …
Koridor mengabur dan adegan yang ini agak sulit tersusun. Harry seperti terbang melalui
bentuk dan warna yang berubah-ubah hingga sekitarnya padat kembali, dan ia berdiri di
atas bukit, sedih dan dingin dalam kegelapan, angin bertiup melalui cabang-cabang
pohon yang tinggal sedikit daunnya. Snape dewasa terengah. Menoleh pada suatu tempat,
tongkatnya dicengkeram erat-erat, menunggu seseorang atau sesuatu … Ketakutannya
menular pada Harry, walau Harry tahu ia tidak mungkin dicelakai, dan ia memandang
jauh, berpikir apakah yang sedang ditunggu Snape …
Kemudian seberkas cahaya putih membutakan melayang di udara; Harry mengira petir,
tetapi Snape jatuh berlutut dan tongkatnya terlempar dari tangannya.
“Jangan bunuh saya!”
“Aku tidak berniat demikian.”
Suara Dumbledore ber-Apparate ditenggelamkan oleh suara angin di cabang-cabang
pohon. Dumbledore berdiri di depan Snape dengan jubah melambai-lambai dan wajahnay
diterangi cahaya dari tongkatnya.
“Jadi apa, Severus? Pesan macam apa yang Lord Voldemort punya untukku?”
“Tidak –tidak ada pesan—saya datang atas keinginan sendiri!”
Snape meremas tangannya; dia terlihat sedikit gila, dengan rambut hitam terurai di
sekitarnya.
“Saya—saya datang dengan peringatan—bukan, sebuah permintaan—kumohon—“
Dumbledore menjentikan tongkatnya. Walau daun-daun dan cabang-cabang masih
beterbangan di udara malam di sekitar mereka, tempat di mana ia dan Snape berada
terasa sunyi.
“Permintaan apa yang bisa kupenuhi dari seorang Pelahap Maut?”
”Ra—ramalan, ... perkiraan ... Trelawney ...”
”Ah, ya,” sahut Dumbledore, ”seberapa banyak yang kau sampaikan pada Lord
Voldemort?”
”Semua—semua yang saya dengar!” sahut Snape. “Karena itulah—untuk alasan itu—ia
mengira itu berarti Lily Evans!”
”Ramalan itu tidak mengacu pada seorang wanita,” sahut Dumbledore, ”isinya mengenai
anak laki-laki yang lahir di akhir Juli—”
”Anda tahu apa yang saya maksud! Pangeran Kegelapan mengira itu adalah anak Lily, ia
akan memburu Lily—membunuhnya—”
”Kalau Lily memang berarti begitu banyak bagimu,” sahut Dumbledore, “tentu saja Lord
Voldemort akan mengampuninya? Tidakkah kau bisa meminta untuk mengasihani
ibunya, sebagai ganti anaknya?”
”Saya—saya sudah meminta padanya—”
”Kau membuatku jijik,” sahut Dumbledore, dan Harry belum pernah mendengar suara
Dumbledore begitu merendahkan. Snape terlihat sedikit menyusut.
“Kau tidak peduli akan kematian suami dan anaknya? Mereka boleh mati, asal kau
mendapat apa yang kau inginkan?”
Snape tidak berbicara, hanya memandang Dumbledore.
“Kalau begitu, sembunyikan mereka,” sahutnya parau, “Selamatkan dia—mereka—
Kumohon.”
”Dan apa yang kau berikan padaku sebagai imbalan, Severus?”
”Sebagai—sebagai imbalan?” Snape terperangah pada Dumbledore, dan Harry
mengharap Snape akan protes, tetapi setelah saat yang lama ia menyahut, ”Segalanya.”
Puncak bukit itu tersamar, dan Harry berdiri di kantor Dumbledore, dan sesuatu berbunyi
seperti binatang terluka. Snape merosot di kursinya, dan Dumbledore berdiri di depannya,
nampak suram. Sesaat Snape mengangkat wajahnya, ia nampak seperti orang yang sudah
hidup beratus tahun dalam penderitaan sejak meninggalkan puncak bukit itu.
“Saya kira … Anda akan … menjamin dia … selamat.”
”Dia dan James menyimpan kepercayaan pada orang yang salah,” sahut Dumbledore,
”Hampir seperti dirimu, Severus. Bukankah kau berharap Lord Voldemort akan
mengampuninya?”
Napas Snape terdengar pendek.
“Anak laki-lakinya selamat,” ujar Dumbledore.
Dengan sentakan kecil di kepalanya, Snape terlihat membunuh lalat yang menjengkelkan.
”Putra Lily hidup. Ia punya mata Lily, persis mata Lily. Kau ingat bentuk dan warna mata
Lily Evans, kan?”
”JANGAN!” lenguh Snape, ”Pergi ... Meninggal...”
”Apakah ini penyesalan, Severus?”
”Saya harap ... Saya harap saya mati ...”
“Lalu apa gunanya untuk orang lain?” sahut Dumbledore dingin, ”Kalau kau mencintai
Lily Evans, kalau kau benar-benar mencintainya, jalan untukmu terbuka lebar.”
Snape nampak melalui perih yang samar-samar, dan arti kata-kata Dumbledore terlihat
lama sekali sampai kepadanya.
”Apa—apa maksud Anda?”
”Kau tahu bagaimana dan mengapa Lily meninggal. Pastikan kematian itu tidak sia-sia.
Bantulah aku melindungi anak Lily.”
”Dia tidak perlu perlindungan. Pangeran Kegelapan sudah pergi—”
”—Pangeran Kegelapan akan kembali, dan pada saat itu Harry Potter akan berada dalam
bahaya besar.”
Ada sunyi yang lama, dan perlahan Snape bisa mengendalikan diri lagi, menguasai
napasnya lagi. Akhirnya ia berucap, ”Baiklah. Baiklah. Tapi jangan pernah—jangan
ceritakan, Dumbledore! Ini hanya di antara kita saja! Bersumpahlah! Saya tidak bisa
menanggung ... khususnya anak Potter ... Saya ingin Anda berjanji!”
“Janjiku, Severus, bahwa aku tidak pernah akan memperlihatkan sisi terbaikmu?”
Dumbledore mengeluh, menatap wajah garang Snape yang diliputi kesedihan yang
mendalam. “Kalau kau bersikeras …”
Kantor Kepala Sekolah memudar tapi langsung terbentuk kembali. Snape sedang berjalan
mondar-mandir di depan Dumbledore.
“—biasa saja, sombong seperti ayahnya, kecenderungan untuk melanggar peraturan, suka
melihat dirinya terkenal, mencari perhatian, tidak sopan—“
“Kau melihat apa yang ingin kau lihat, Severus,” sahut Dumbledore tanpa mengangkat
matanya dari Transfigurasi Terkini*. ”Guru lain melaporkan bahwa anak itu rendah hati,
cukup disenangi, dan berbakat. Kurasa dia cukup menarik.”
Dumbledore membalik lembaran bacaannya dan berkata tanpa mengangkat matanya,
“Tolong perhatikan Quirrell, ya?”
Seputaran warna dan semuanya gelap, Snape dan Dumbledore berdiri agak jauh di Pintu
Masuk, saat orang terakhir dari Pesta Dansa Natal melintasi mereka untuk pergi tidur.
“Jadi?” gumam Dumbledore.
“Tanda Kegelapan Karkaroff menjadi lebih gelap juga. Dia panik, dia takut pembalasan;
Anda tahu sejauh mana ia membantu Kementerian setelah kejatuhan Pangeran
Kegelapan.” Snape melihat ke samping melalui sosok hidung bengkok Dumbledore.
”Karkaroff berniat untuk melarikan diri jika Tanda itu terbakar.”
”Apakah demikian?” sahut Dumbledore lembut, saat Fleur Delacour dan Roger Davis
lewat terkikik-kikik bangkit dari tanah. ”Apakah kau tergoda untuk bergabung
dengannya?”
”Tidak,” sahut Snape, matanya tertuju pada sosok Fleur dan Roger yang makin mengecil.
”Saya bukan pengecut.”
”Bukan,” Dumbledore setuju, ”Kau jauh lebih berani daripada Igor Karkaroff. Kau tahu,
kadang aku merasa kita Menyeleksi terlalu cepat ...”
Dumbledore berjalan menjauh, meninggalkan Snape yang terlihat mematung.
Dan sekarang Harry berdiri di Kantor Kepala Sekolah lagi. Saatnya malam dan
Dumbledore merosot di kursinya yang seperti singgasana di balik meja, nyata-nyata
setengah sadar. Tangan kanannya terjuntai di sisinya, menghitam dan terbakar. Snape
sedang menggumamkan mantra, menujukan tongkatnya pada pergelangan tangan
Dumbledore, saat yang sama tangan kirinya menuangkan piala berisi ramuan kental
keemasan ke dalam tenggorokan Dumbledore. Setelah beberapa saat, kelopak mata
Dumbledore bergetar dan membuka.
”Mengapa,” sahut Snape tanpa basa-basi, ”mengapa Anda mengenakan cincin itu? Di
dalamnya terkandung Kutukan, pasti Anda mengetahuinya. Mengapa bahkan Anda
menyentuhnya?”
Cincin Marvolo Gaunt tersimpan di meja dekat Dumbledore. Cincin itu retak; pedang
Gryffindor terletak di sebelahnya.
Dumbledore meringis.
“Aku … bodoh. Aku tergoda …”
“Tergoda oleh apa?”
Dumbledore tak menjawab.
“Suatu keajaiban Anda berhasil kembali kesini,” Snape terdengar geram, “Cincin itu
mengandung Kutukan dari kekuatan yang luarbiasa, kita hanya bisa berharap kita bisa
menahannya; saya sudah memerangkap kutukan itu di satu tangan untuk sementara.”
Dumbledore mengangkat tangan yang menhitam dan sudah tak berguna lagi,
memperhatikannya dengan ekspresi seperti seseorang yang sedang diperlihatkan barang
ajaib yang menarik.
“Kau bekerja sangat baik, Severus. Berapa lama kau kira aku bisa bertahan?”
Nada suara Dumbledore sangat biasa, sebiasa seperti kalau dia sedang bertanya ramalan
cuaca. Snape ragu, kemudian berucap, ”Saya tidak bisa mengatakannya. Mungkin
setahun. Tidak ada yang bisa menghentikan mantra itu untuk selamanya. Mantra itu pasti
akan menyebar, ini termasuk Kutukan yang menguat setiap saat.”
Dumbledore tersenyum. Kabar bahwa ia hanya punya kurang dari satu tahun untuk hidup
nampaknya hanya sedikit atau bahkan tidak berpengaruh sama sekali padanya.
”Aku beruntung, sangat beruntung, bahwa aku punya kau, Severus.”
”Kalau saja Anda memanggil saya lebih cepat, saya mungkin bisa berbuat lebih baik lagi,
memberikan Anda lebih banyak waktu,” sahut Snape geram. Ia melihat pada cincin yang
retak dan pedang. ”Apakah Anda pikir merusak cincin bisa mematahkan Kutukan?”
”Sesuatu seperti itulah ... aku lupa daratan, tak ada keraguan ...” sahut Dumbledore.
Dengan susah payah ia menegakkan diri di kursi. ”Yah, sebenarnya ini membuat
masalah-masalah lebih terlihat mudah.”
Snape terlihat benar-benar kebingungan. Dumbledore tersenyum.
“Aku mengacu pada rencana Lord Voldemort yang berputar di sekitarku. Rencananya
ialah membuat putra Malfoy yang malang itu membunuhku.”
Smape duduk di kursi yang sering Harry duduki, di seberang meja Dumbledore. Harry
dapat mengatakan bahwa Snape ingin mengatakan lebih banyak lagi tentang tangan
Dumbledore yang terkena Kutukan, tapi Dumbledore menolak untuk membahasnya lebih
lanjut, dengan sopan. Sambil memberengut, Snape menyahut, “Pangeran Kegelapan tidak
mengharapkan Draco berhasil. Ini semua hukuman untuk kegagalan Lucius. Siksaan yang
pelan untuk orangtua Draco, saat mereka menyaksikan Draco gagal dan mendapat
ganjarannya.”
”Singkatnya, anak itu sudah mendapat vonis mati, aku yakin,” sahut Dumbledore.
Sekarang, aku mengira, pengganti untuk melakukan pekerjaan itu, sekali Draco gagal,
adalah kau sendiri?”
Hening sejenak.
”Saya kira ya, itu memang rencana Pangeran Kegelapan.”
”Lord Voldemort memperkirakan dalam jangka pendek ia tidak memerlukan mata-mata
lagi di Hogwarts?”
”Ia percaya sekolah ini akan berada dalam genggamannya, ya betul.”
”Dan jika sekolah ini benar-benar jatuh ke dalam genggamannya,” sahut Dumbledore,
dalam suara rendah, ”aku dapat jaminan bahwa kau akan berusaha sekuatmu untuk
melindungi para siswa di Hogwarts?”
Snape mengangguk kaku.
”Bagus. Sekarang. Prioritas pertama, temukan apa yang sedang dituju oleh Draco.
Seorang ABG yang sedang ketakutan merupakan bahaya untuk orang lain juga bagi
dirinya sendiri. Tawarkan padanya pertolongan dan bimbingan, ia harus menerimanya, ia
suka padamu—”
”—sekarang berkurang sejak ayahnya tidak disukai. Draco menyalahkan saya, ia mengira
saya telah merampas posisi Lucius.”
”Walau demikian, cobalah terus. Aku lebih memperhatikan korban-korban kejadian akan
rencana yang akan dilakukan oleh anak itu, daripada diriku sendiri. Akhirnya, tentu saja,
hanya ada satu hal yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan dia dari kemurkaan Lord
Voldemort.”
Snape menaikkan alisnya dan nada suaranya sengit saat ia bertanya, ”Anda bermaksud
membiarkannya membunuh Anda?”
”Tentu saja tidak. Kau yang harus membunuhku.”
Hening yang panjang, terpecahkan hanya dengan suara klik yang aneh. Fawkes si
phoenix sedang menggerogoti tulang belulang.
“Anda ingin saya mengerjakannya sekarang?” tanya Snape, suaranya penuh ironi, “Atau
Anda ingin beberapa saat untuk merancang tulisan di batu nisan?”
“Oh, belum saatnya,” Dumbledore tersenyum, “Aku berani mengatakan bahwa waktu
untuk itu akan datang dengan sendirinya. Dengan adanya kejadian malam ini,” ia
menunjukkan tangannya yang layu, “kita bisa yakin itu akan terjadi dalam waktu
setahun.”
“Kalau Anda tidak berkeberatan mati,” sahut Snape kasar, “mengapa tidak membiarkan
Draco yang melakukannya?”
“Jiwanya belum rusak,” sahut Dumbledore, “aku tak mau merenggutnya.”
“Dan jiwa saya, Dumbledore? Jiwa saya?”
“Kau sendiri tahu apakah ini akan mengganggu jiwamu atau tidak, untuk menolong
seorang tua menghindari nyeri dan malu,” sahut Dumbledore, “aku meminta pertolongan,
pertolongan yang besar darimu, Severus, karena kematian datang padaku sama pastinya
Chudley Cannons akan berada di peringkat terakhir pada liga tahun ini. Aku mengaku
aku memilih jalan keluar yang cepat dan tidak nyeri dari masalah yang berlarut-larut dan
kusut ini, misalnya, Greyback terlibat—kudengar Voldemort merekrutnya? Atau
Bellatrix tercinta, yang suka bermain-main dengan korbannya sebelum ia
‘memakannya’.”
Nada suaranya lembut tapi mata birunya menusuk Snape sebagaimana kedua mata itu
sering menusuk mata Harry, sebagaimana jiwa yang sedang mereka diskusikan bisa
terlihat oleh mereka. Akhirnya Snape mengangguk lagi, kaku.
Dumbledore nampak puas.
“Terimakasih , Severus.”
Kantor menghilang, dan sekarang Snape dan Dumbledore berjalan bersama di halaman
kastil yang sunyi sejak senjakala.
“Apa yang Anda lakukan dengan Potter, pada tiap malam Anda bersamanya?” Snape
bertanya kasar.
Dumbledore terlihat lelah.
“Kenapa? Kau tak mencoba menambah detensinya, kan, Severus? Anak itu kelihatannya
sebentar lagi akan menghabiskan waktunya untuk detensi.”
”Dia sudah mulai seperti ayahnya lagi.”
”Penampilannya, mungkin. Tetapi di dalamnya, ia lebih mirip ibunya. Aku menghabiskan
waktu dengan Harry karena aku perlu berdiskusi dengannya, informasi yang harus
kuberikan padanya sebelum terlambat.”
”Informasi,” ulang Snape, ”Anda mempercayai dia ... Anda tidak mempercayai saya.”
“Ini bukan soal mempercayai. Aku punya, seperti yang kau tahu, waktu yang terbatas.
Penting untuk memberi cukup informasi untuknya, agar ia bisa melakukan apa yang
harus ia lakukan.”
”Dan mengapa saya tidak boleh mendapat informasi yang sama?”
”Aku memilih untuk tidak menyimpan semua informasi dalam satu keranjang, khususnya
bukan keranjang yang dekat dengan tangan Voldemort.”
”Yang saya lakukan atas perintah Anda.”
”Dan kau melakukannya dengan sangat baik. Jangan mengira aku menganggap remeh
bahaya yang terus menerus kau hadapi, Severus. Untuk memberikan Voldemort
informasi yang sepertinya berharga, di sisi lain menyembunyikan intinya, adalah
pekerjaan yang tidak akan kuberikan pada siapapun kecuali kau.”
”Dan Anda lebih percaya pada anak yang tidak mampu Occlumency, yang sihirnya biasabiasa
saja, dan punya hubungan langsung dengan pikiran Pangeran Kegelapan!”
”Voldemort takut akan hubungan itu,” sahut Dumbledore, ”Belum begitu lama berselang,
ia dapat mencicipi bagaimana sebenarnya berbagi pikiran Harry itu rasanya bagi dia.
Sakit yang tak terperi seperti yang tak pernah ia rasakan. Ia tidak akan mencoba untuk
menguasai pikiran Harry lagi, aku yakin. Tidak dengan cara itu.”
”Saya tidak mengerti.”
“Jiwa Lord Voldemort tidak bisa menahan hubungan dekat dengan jiwa seperti Harry.
Seperti lidah dengan baja beku, seperti daging dalam api …”
“Jiwa? Kita bicara tentang pikiran!”
”Dalam kasus Harry dan Voldemort, bicara tentang yang satu berarti bicara tentang yang
lainnya.”
Dumbledore memandang berkeliling untuk yakin mereka sendiri. Mereka dekat ke Hutan
Terlarang, tapi tak ada tanda-tanda siapapun dekat sana.
”Setelah kau membunuhku, Severus—”
”Anda menolak untuk mengatakan semuanya, tapi Anda mengharapkan saya melakukan
hal kecil itu,” Snape geram, dan kemarahan yang sesungguhnya memancar dari wajah
kurus itu; ”Anda menganggap segala hal sudah pasti, Dumbledore! Mungkin saya akan
berubah pikiran!”
”Kau sudah berjanji, Severus. Dan saat kita bicara tentang pekerjaan di mana kau
berhutang padaku, aku kira kau setuju untuk mengamati lebih dekat teman muda
Slytherin kita?”
Snape terlihat marah, memberontak. Dumbledore mengeluh.
“Datanglah ke kantorku nanti malam, Severus, jam sebelas, dan kau tak akan mengeluh
lagi bahwa aku tak percaya padamu…”
Mereka kembali ke kantor Dumbledore, jendela nampak gelap, dan Fawkes bertengger
diam, saat Snape duduk tenang, saat Dumbledore berjalan mengelilinginya, berbicara.
“Harry tak boleh tahu, tidak sampai saat terakhir, tidak sampai jika sudah diperlukan, jika
tidak, bagaimana dia dapat kekuatan untuk melakukan apa yang harus dilakukan?”
“Tapi apa yang harus dilakukannya?”
”Itu akan menjadi persoalan antara aku dan dia. Sekarang, dengarkan baik-baik, Severus.
Akan datang saatnya—setelah kematianku—jangan membantah, jangan menyela. Akan
datang saatnya Lord Voldemort terlihat takut akan hidup ularnya.”
”Nagini?” Snape keheranan.
”Betul sekali. Jika datang saatnya Lord Voldemort berhenti mengirim Nagini untuk
melakukan apa yang diperintahkan, melainkan menjaga Nagini di sebelahnya, pakai
perlindungan sihir, maka kurasa sudah aman untuk memberitahu Harry.”
”Beritahu apa?”
Dumbledore menarik napas panjang dan menutup matanya.
”Beritahu padanya bahwa pada malam di mana Lord Voldemort mencoba membunuhnya,
saat Lily menjadikan nyawanya sebagai pelindung, Kutukan Pembunuh-nya memantul
kembali pada Lord Voldemort, dan satu pecahan jiwa Voldemort terlepas dari
keseluruhan, menempel pada satu-satunya jiwa yang masih hidup di gedung yang runtuh
itu. Sebagian dari Lord Voldemort hidup di dalam Harry. Itulah yang membuatnya bisa
bahasa ular, dan ada hubungannya dengan pikiran Lord Voldemort, yang tak pernah bisa
dimengertinya. Dan dengan pecahan jiwa itu, tidak disadari oleh Voldemort, tetap
menempel pada, dan dilindungi oleh Harry, Lord Voldemort tak bisa mati.
”Jadi anak itu ... anak itu harus mati?” tanya Snape perlahan.
”Dan Voldemort sendiri yang melakukannya, Severus. Itu penting.”
Senyap yang panjang lagi. Kemudian Snape menyahut, “Saya kira … selama ini … kita
melindungi anak itu untuk Lily. Untuk Lily.”
“Kita melindunginya karena penting untuk mengajarinya, membesarkan dia, membiarkan
dia mencoba kekuatannya,” sahut Dumbledore, matanya masih terpejam rapat. Sementara
itu, hubungan antara Voldemort dan Harry tumbuh semakin kuat, pertumbuhan yang
seperti benalu; kadang aku mengira Harry sendiri akan mencurigainya. Kalau aku
mengenalinya, ia akan mengatur hal-hal sedemikian rupa sehingga saat ia bertemu
dengan kematian, itu berarti akhir dari Voldemort yang sebenar-benarnya.”
Dumbledore membuka matanya. Snape nampak terkejut.
“Anda membiarkannya hidup agar ia bisa mati pada saat yang tepat?”
”Jangan terkejut, Severus. Berapa banyak laki-laki dan perempuan yang kau amati
kematiannya?”
”Akhir-akhir ini hanya mereka yang tidak bisa saya selamatkan,” sahut Snape. Ia
beranjak berdiri. ”Anda memperalat saya.”
”Maksudnya?”
”Saya memata-matai untuk Anda, berbohong untuk Anda, menempatkan diri saya dalam
bahaya kematian untuk Anda. Semuanya ditujukan untuk menjaga keselamatan putra
Lily. Sekarang Anda mengatakan pada saya, Anda membesarkannya seperti babi siap
untuk disembelih—”
”Menyentuh sekali, Severus,” sahut Dumbledore serius. ”Apakah kau sekarang sudah
punya rasa peduli pada anak itu?”
”Pada anak itu?” teriak Snape, ”Expecto patronum!”
Dari ujung tongkatnya keluar rusa betina perak, rusa itu mendarat di lantai kantor,
melambung sekali melintasi kantor dan meluncur ke luar dari jendela. Dumbloedore
mengamati rusa itu melayang pergi, dan saat cahaya keperakannya mulai lenyap,
Dumbledore menoleh pada Snape, matanya basah.
“Selama ini?”
“Selalu,” sahut Snape.
Dan adegan berganti. Sekarang Harry melihat Snape sedang berbicara pada lukisan
Dumbledore di belakang meja.
“Kau akan memberikan tanggal pasti keberangkatan Harry dari rumah paman dan bibinya
pada Voldemort,” sahut Dumbledore. “Tidak melakukannya berarti membangkitkan
kecurigaan karena Voldemort percaya kau selalu punya informasi bagus. Tapi kau harus
menanamkan gagasan umpan pengalih perhatian—yang kukira bisa menjamin
keselamatan Harry. Coba memantrai Mundungus dengan Confundus. Dan Severus, jika
kau terpaksa untuk mengambil bagian dalam pengejaran, berperanlah dengan
meyakinkan ... Aku mengandalkanmu untuk tetap dalam hitungan Voldemort selama
mungkin, agar Hogwarts tidak jatuh ke tangan Carrows ...”
Sekarang Snape berhadapan dengan Mundungus di rumah minum yang tidak dikenal,
wajah Mundungus terlihat kosong, Snape mengerutkan kening berkonsentrasi.
”Kau akan mengusulkan pada Orde Phoenix,” Snape bergumam, ”bahwa mereka akan
menggunakan umpan pengalih perhatian. Ramuan Polijus. Potter kembar. Itu satusatunya
yang mungkin berhasil. Kau akan melupakan bahwa aku yang mengusulkan itu.
Kau akan mengajukannya sebagai gagasanmu sendiri. Paham?”
”Aku paham,” gumam Mundungus, matanya tak fokus ...
Sekarang Harry terbang di sisi Snape di atas sapu di malam gelap yang bersih; dia
disertai para Pelahap Maut bertudung, di depan ada Lupin dan seorang Harry yang
sebenarnya adalah George ... seorang Pelahap Maut maju mendahului Snape dan
mengangkat tongkatnya, menunjuk langsung pada punggung Lupin –”
”Sectumsempra!” teriak Snape.
Tapi mantra yang dimaksud pada tangan bertomgkat dari Pelahap Maut itu meleset dan
mengenai George—”
Selanjutnya Snape sedang berlutut di kamar lama Sirius. Air mata berlinang dari
hidungnya yang bengkok saat ia membaca surat lama dari Lily. Halaman kedua surat itu
hanya berisi beberapa kata:
kok bisa sih berteman dengan Gellert Grindelwald. Kukira dia sudah gila!
Penuh cinta,
Lily
Snape mengambil halaman yang bertandatangan Lily, dan cintanya, diselipkan ke dalam
jubahnya. Ia merobek foto yang sedang dipegangnya, ia menyimpan bagian Lily sedang
tertawa, dan menjatuhkan bagian James dan Harry, jatuh di bawah lemari.
Dan sekarang Snape berdiri lagi di ruang baca Kepala Sekolah, saat Phineas Nigellus
bergegas datang dalam lukisannya.
“Kepala Sekolah! Mereka sedang berkemah di Hutan Dean. Darah Lumpur itu—”
”Jangan gunakan kata itu!”
”—baiklah, gadis Granger itu menyebut nama tempat itu saat ia membuka tasnya dan aku
mendengarnya!”
”Bagus. Bagus sekali!” teriak Dumbledore dari belakang kursi Kepala Sekolah.
Sekarang, Severus, pedangnya! Jangan lupa bahwa pedang itu hanya bisa diambil dalam
kondisi memerlukan, dan dengan keberanian—dan dia tidak boleh tahu kau yang
memberinya! Jika Voldemort membaca pikiran Harry dan melihat kau bergerak
untuknya—“
“Saya tahu,” sahut Snape kaku. Ia mendekati lukisan Dumbledore dan menarik sisinya.
Lukisan itu mengayun maju, memperlihatkan rongga tersembunyi di belakangnya, dari
situ Snape mengambil Pedang Gryffindor.
”Dan Anda masih belum akan memberitahu saya mengapa sebegitu penting untuk
memberi Potter sebuah pedang?” sahut Snape sembari mengayunkan mantel bepergian di
atas jubahnya.
”Kurasa tidak,” sahut lukisan Dumbledore. ”Ia tahu apa yang harus dilakukan. Dan
Severus, berhati-hatilah, mereka tidak akan berbaik hati pada kemunculanmu setelah
peristiwa George Weasley—”
Snape menuju pintu.
”Tidak usah khawatir, Dumbledore,” sahutnya dingin, ”saya punya rencana...”
Dan Snape meninggalkan ruangan. Harry bangkit, keluar dari Pensieve, sesaat kemudian
ia tergeletak di lantai berkarpet di ruangan yang sama; Snape mungkin baru saja menutup
pintu.